PERNIKAHAN

PERNIKAHAN
By : ipi tyf
Pernikahan!
Sebuah kata yang sesungguhnya masih sangat jauh dari jangkauan fikiranku saat ini. Akan tetapi, entah kenapa, aku begitu tergelitik untuk menuliskannya.

Nyaris setiap hari begitu banyak orang yang datang ke rumah untuk menanyakan berbagai permasalahan rumah tangga. Suatu hari, aku menerima tamu seorang perempuan muda yang masih seumuran kakak sepupuku. Wanita itu hendak mencari ayahku untuk meminta solusi mengenai permasalahan rumah tangganya yang sudah seperti diujung tanduk. Sayang sekali ayahku waktu itu sedang ke luar kota, jadi yang kebetulan ada di rumah waktu itu adalah aku dan adikku yang masih kelas IV SD.

Wanita itu pada akhirnya menumpahkan cerita padaku. Jadilah aku penasihat dadakan seorang wanita yang sudah berumah tangga. Padahal, aku Cuma gadis di awal masa dewasa yang sama sekali tak mengerti akan permasalahan rumah tangga dan, tentu saja aku belum menikah!

Sang wanita bercerita, bahwa sudah lama dia cekcok dengan suaminya. Suaminya yang kerap bermain tangan dan sangat kasar. Nafkah lahir pun sangat jauh dibawah standar. Bayangkan, dengan 20 ribu, hari gini apa sih yang bisa dibeli? Belum lagi, suaminya itu sekarang tengah berpacaran dengan teman dekatnya yang juga sudah punya suami dan anak. Setela puncak pertengkaran sengit, ketika wanita itu sudah sangat capek menahan hati, akhirnya sang wanita pulang ke rumah orang tuanya beserta dua orang anak dan satu calon bayi yang tengah dikandungnya. Ironis!

Aku tak ingin membenarkan sepenuhnya apa yang disampaikan wanita itu. Sebab, aku belum mendengar cerita dari sang suaminya. Namun, sebagai perempuan, aku memang cukup merasakan apa yang dirasakannya. Hanya saja, aku patut acungkan jempol ketika wanita itu tetap ingin mempertahankan bahtera rumah tangganya yang porak poranda hanya demi anak-anaknya, dikala kebanyakan wanita sepertinya lebih memilh untuk bercerai saja. ”Saya tak bisa mencari penghasilan, bagaimana saya akan menghidupi anak-anak saya nanti?” paparnya.

Ada banyak kasus lagi yang sempat kudengar. Hanya karena biji cabe rawit saja, ada sepasang suami istri yang melepas akad yang sakral itu di pengadilan. Lalu, karena ketidaksesuaian sedikit saja perengkaran terjadi. Adapula yang mengedepankan ego sehingga yang ditemukan bukan saling mengalah tapi saling menonjolkan urat leher. Ada pula yang berpendidikan tinggi, seorang guru pula, yang tanpa angin tanpa hujan, tiba-tiba meninggalkan istrinya demi seorang janda yang juga seumuran dengan istrinya. Padahal tak ada yang kurang dari pelayanan sang istri terhadap suaminya itu. Sebaliknya, banyak juga laki-laki yang ditinggal oleh istrinya tanpa sebab dan musbab yang jelas. Bahkan, ada pula keluarga ustadz yang bermasalah. Keluarga yang semstinya menjadi teladan bagi lingkungan disekitarnya. Huaa..., semua serba ruwet lah!

Mendengar semua kisah ini, aku jadi berpikir ulang. Mencoba membuka-buka kembali lembaran file-file catatan harian yang sekaligus sebagai self upgrading, masterplan serta lembar muhasabah.
Target jangka menengah! Menikah! Membina keluarga ideal yang jauh dari pertengkaran. Sebuah keluarga da’wah, keluarga Al-Qur’an yang membina generasi-generasi qur’ani. Mapan. Cerdas. Aku ingin, suatu saat nanti menjadi istri yang terbaik dan ibu yang profesional. Aku ingin menjadi ibu yang terbaik. Aku ingin, suatu saat melahirkan dan membina calon-calon pemimpin masa depan yang tak hanya cerdas cara berpikirnya, tapi, berisi dadanya dengan intensitas keimanan.
Huaa...., ideal bukan?

Yah, aku yakin banyak yang memimpikan keluarga seperti ini. Tapi, semua kenyataan diatas membuatku kembali berpikir ulang. Dan pada akhirnya, aku mengambil sebuah konklusi bahwa, tak selamanya sesuatu yang idealita itu sesuai dengan realitanya. Dalam mempersiapkan diri untuk menuju jenjang itu, kita semua juga mesti siap dengan berbagai konsekuensi. Tak hanya yang manisnya, tapi, pahitnya juga.
Satu hal yang menjadi garis bawah dalam pandanganku saat ini adalah, untuk membentuk keluarga yang cerdas dan ideal, mesti BUTUH PERSIAPAN. Tidak bisa hanya sekedar learning by doing saja. Sungguh akan sangat berbeda produk yang dihasilkan dari orang-orang yang sekedar menikah lalu punya anak dan kemudian anaknya besar lalu menikah lagi, dengan orang-orang yang memiliki persiapan dan strategi-strategi tertentu dalam mempersiapkan sebuah bahtera rumah tangga.

Setiap anak yang terlahir keatas dunia ini akan dibesarkan oleh lingkungannya. Dan hampir setiap anak yang lahir kedunia ini mengatakan, ”Ibu saya adalah ibu yang terbaik.” apapun metoda yang diberikannya. Kenapa? Karena, pikiran dan persepsi anak tentu sudah terpola metode tersebut. Dan, tentu saja, semua berawal dari apa yang diterapkan oleh ibunya. Maka benarlah, bahwa ibu itu adalah madrasatul ’ula, sekolah pertama bagi anaknya. Menurutku, : INILAH SAATNYA UNTUK MEMBANGKITKAN CALON PEMIMPIN MASA DEPAN YANG BERADAB DIMULAI DARI PENDIDIKAN ANAK YANG BAIK DARI SEKOLAH PERTAMANYA. Itu artinya, inilah saatnya untuk memperbaiki pola pendidikan bagi calon-calon ibu. Bagaimana seorang calon ibu, mempersiapkan semua itu. Learning! Learning!! Baca....baca........baca..........!!!