Aku Memang Harus Pulang


Sebuah kegetiran di subuh ini…
Hmm…., subuh ini, aku seperti dihadiahkan pada kenyataan pahit yang harus membuatku (barang kali) perlu sedikit mengeluarkan air mata. Pada kampungku tercinta, tempat di mana aku melabuhkan peristirahatan.

Berawal dari, --iseng—(ah, benarkah iseng? Tak juga siih sebenarnya), ingin mencoba duduk-duduk bersama para ibu-ibu di lingkaran tadarussan masjid. Sebenarnya sih, aku dan ibuku, lebih senang kalo tilawahnya yah di rumah saja. Tapi, kali ini, entah kenapa, tergerak hati ini untuk gabung di sana. Hanya setengah hingga satu jam saja.

Betapa aku sungguh terkejutnya, ketika kudapati, hampir separuh peserta tadarussannya TIDAK LANCAR membaca Al Qur’an. Masya Allah. Bukan hanya salah-salah sedikit. Tapi sudah fatal. Bahkan tak terbedakan lagi antara huruf nun dan ba. Antra ‘ain dan gho. Antara dzo dan tho. Antara tsa dan sya. Belum lagi panjang pendeknya! Dan itu, bukan anak-anak, tapi ibu-ibu yang umurnya sudah 50-an tahun (terlebih dan terkurang!). Ya Allah….sungguh ada tangis getir di sana.

Aku…aku bukan mengatakan bahwa aku lebih bisa atau lebih baik. Tidak! Toh, aku juga masih harus banyak belajar. Tapiii, melihat kenyataan ini, aku begitu terhenyak. Pertanyaannya, ke mana saja aku selama ini??

Ah, sangat miris sekali, di perkampungan yang bisa dibilang cukup kental keislamannya saja sudah sedemikian rupa, apa lagi di tempat-tempat yang islam hanya sebatas KTP saja. Dan bayangkanlah, seorang ibu, yang semestinya mengajarkan anaknya huruf-huruf itu, sebagai sekolah pertama sang anak, malah tidak tahu sama sekali dengan huruf alif ba ta.

Aku sungguh…sungguh sangat terhenyak!

Pada akhirnya, sampailah aku pada konklusi itu : BAHWA AKU MEMANG HARUS PULANG! Jika bukan dari diri kita sendiri, lalu siapa lagi yang akan membangun kampung ini? Siapa lagi? Tak banyak orang yang mau peduli. Maka, sudah sepatutnya, kita memulai dari diri kita, dari keluarga dan lingkungan kita.

Al Qur’an.
Sesuatu yang begitu ambisiusnya yahudi dan nasharo menjauhkannya dari hati para pemuda Islam. Sehingga militansinya menjadi begitu lemah, karena petanya, peta kehidupannya dijauhkan dari hati sang pemuda-pemudanya itu. Dan, itu memang semakin terasa….bahkan di pelosok-pelosok. Miris sekali, melihat para orang tua yang lebih bangga ketika anaknya yang masih duduk di bangku playgroup mampu menghafal lagu-lagu band terbaru ketimbang hafal Surat-surat di Al Qur’an.

Jika bukan kita, wahai saudaraku, maka siapa lagi? Bukankah dengan demikian, membuat kita juga belajar lebih banyak? Jika bukan karena cinta, maka energy apa lagi yang dapat menggerakkan kita untuk menegakkan Al Qur’an ini di lingkungan kita?

Lagi-lagi pada sebuah kenyataan, aku termangu. Pada sulitnya mencari tempat-tempat belajar Al Qur’an di kampungku ini. Tahsin dan tahfidz, misalnya. Kebanyakan, lebih mementingkan membaguskan iramanya saja, tapi melupakan makhrajnya, melupakan ke-istimroriyah-annya dalam hal berinteraksi dengan Al Qur’an. Hanya sebatas irama saja, agar bisa ikutan MTQ. Memang, sangatlah baik, membaca Al Qur’an dengan irama yang bagus, yang juga di anjurkan Rasulullah. Hanya saja, yang amat disayangkan, ia hanya sebatas untuk Lomba saja. Hanya sebatas sebuah kompetisi irama saja. Tak lebih.

Komentar dari Komentator


Wah….wah….wah…., aku siih sebenarnya BUKAN orang yang pas untuk menuliskan ini. Pengalaman tak ada, ilmu pun tak punya! Atau, malah jangan-jangan seperti ini, “Hiiiihhh…., ini anak masi bau kencur --(hee…sampai skarang aku gak ngerti deh, knapa istilahnya bau kencur? Kenapa tak bau ompol ajah skaliyan. Hihi.)--, sudah brani-brani pulak ngomongin soal ini! Hahay…”

Hanya saja, sedikit tertarik dengan tulisan yang ditulis oleh Da Rahmat di sini…Hehe dan berniat untuk menyambungnya. Uhm….sebenarnya semua berawal dari ke-iseng-anku (hahay! Dassaaaaarrr, suka iseng!) menguping (husy! Kebiasaan jelek! Mohon jangan ditiru!) pembicaraan orang-orang yang bermasalah. Uhm…sebenarnya tak sepenuhnya nguping siihhh, lebih tepatnya, gelombang bunyi itu sampai ke telingaku dengan proses menggetarkan membrane timpani, lalu sinyal di sampaikan ke impuls2 saraf trus (uhm…apa lagi yaah, udah lupa tuh plajaran biologinya. Hihi. Lagian, intinya kan Cuma gini : itu suara kedengaran, tanpa perlu di-uping-in sekalipun! Hehe). Jadi begini, yang sering datang ke rumah itu kan orang2 curhat semua tuh, mengenai masalah rumah tangga mereka. Jadi, sedikit banyaknya, aku denger2 jugak. Hehe, sekaliyaaaan nyari ‘ilmunya di sana. Hehe. (sebenarnya, apapun kan bisa kita jadikan plajaran yah? Asalkan kita mau belajar ajah kaleee…).

Memang benar apa yang di sampaikan dalam blognya Da Rahmat itu, bahwa “Siapa bilang nikah itu indah?”. (hehe, ‘afwan Da, sedikit mengutip judul tulisannya). Mungkin, banyakan, mikirnya yang so sweet-so sweet nya ajah, tapi, lupa menyisakan Ruang untuk hal-hal lain yang menjadi nyatanya setelah dijalani. Iya tho!? Klo diriku kan tak pengalaman, jadiii, masi boleh ngomong suka-suka ajah! Hag..hag…
(Maklum, penonton kan komentator paling hebat dari pada pemain, walaupun kebanyakan penonoton tak lebih hebat dari pemain. Dan, kali ini, aku laiknya penonton yang hari ini Cuma bisa jadi komentator. Mohon pemaklumannya. Hihi).

Nah, --mengutip kata ayahku, dengan redaksional yang sama sekali tak sama tentunya--, jika masi sinjel-sinjel beginiih (bacaan dari : single, hehe) mungkin kita bisa penginnya begini, penginnya begitu, yaah suka-suka kitanya ajah. Nah, jika udah bekeluarga, mesti ada asosiasi antara dua (dan lebih) keinginan, mimpi, cita-cita, pola pikir de es te nya yang GAK SELALU SAMA. Bahkan LIMIT mendekati tidak sama! Gak bisa dong, pake kata “suka-sukanya saia sahajaa lah.” Karena, ini menyoal penggabungan antara dua bekgrond, dua kultur, dua habit, dua pola pikir, kepribadian yang berbezzaaa. NAH, --lagi-lagi ngutip kata-kata ayahku dan lagi-lagi dengan redaksional yang berbezzaa--, di sini pentingnya MANAJEMEN KOMUNIKASI ITU. Dan, dari hasil riset (howalaaa, kapan pulak niiih aku ngadain riset!) bahwa INTINYA permasalahan keluarga itu adalah terletak pada KOMUNIKASINYA!

Yah, namanya juga menggabungkan antara dua hal dengan bekground, dengan MIMPI dan CITA-CITA, dengan latar belakang, dengan pola pikir de es te yang berbeda, tho!? Nah, keberbedaan ini, cendrung menimbulkan KONFLIK! Yang membuat orang2 banyak berkesimpulan “Siapa bilang nikah itu indah!”.
Mengenai konflik ini, uhmm….bagi yang suka baca tulisannya Mba I-Je yang S-2 psikologinya jebolan UGM itu looh, hihi, barangkali persepsi setiap orang pun berbeda, dan bagaimana ia menolerir konflik itu pun berbeda. Kalo si suami misalnya, yang segini dan begini ini sudah dikategorikan konflik, bagi si isteri belum. Dan, perbedaan persepsi tentu akan berimbas pada perbedaan men-tolerir si konflik. Uhm…perlu adanya pelurusan pandangan kale yaah, penyamaan persepsi jugak deh!

Tapiii, sebenarnya, intinya itu adalah MANAJEMEN KOMUNIKASI nya itu tadi. Karena, selain kepribadian, selain bekrond kluarga, selalin habit, kultur, ada lagi hal nyang membedaka antara laki-laki dan perempuan itu. Pada dasarnya, perempuan cendrung berpikir “terlalu jangka pendek” dan laki-laki pada umumnya lebih mengglobal. Makanya, kepala rumah tangga itu yah lelaki, karena Allah sudah lebihkan beliau-beliau ini di sininya. Banyak loh, perempuan yang mikirnya spontaneous begete, sehingga akibat-akibat ke depan tak terpetakan. Sebagai contoh, kisah nyata, tanpa menyebutkan siapa orangnya, di suatu daerah yang sedang berkembang, hiduplah sepasang suami-istri yang hidupnya sejahtera (halaah, macam pembukaan dongeng ajah niih? Hihi). Nah, mereka mulai merintis bisnis minimarket. Bisnis itu rupanya mendapat sambutan baik di kalangan masyarakat yang terbukti dengan begitu berkembangcepatnya itu minimarket. Nah, ketika bisnis mulai mencapai puncaknya, si istri mulai deh banyak maunya, mau beli ini, mau beli itu, maunya kek gini kek gitu. Sementara, si suami, lebih melihat secara global, sebaiknya yah begini-begini dulu lah. Karena perbedaan ini, terpiculah konflik. Si istri banyak maunya, si suami gak bisa ‘mengendalikan’ kemauan sang istri sehingga ujung2nya, jadi goyah itu bisnis. Wal hasil, minimarketnya pailit dan terjual, si suami istri akhirnya bercerai di pengadilan. Uhm…sebuah contoh kecil dari sekian banyak pencetus konflik yang disebabkan perbedaan-perbedaan itu. Dan, satu hal yang pengin diriku garis bawahi di sini (sebagai seorang komentator, hihi) yaitu ; inti permasalahannya terletak pada KOMUNIKASI yang MENJEMBATANINYA! Allahu’alam.

Uhm….perlu penyamaan persepsi, dan dikomunikasikan. Perlu penyatuan visi dan misi, dan dikomunikasikan. Gak bisa dong yah, mentang2 laki-laki memang umunya lebih visioner ketimbang perempuan, dan lebih mampu memetakan secara global, lantas ngomongnya “HARUS BEGINI, MESTINYA BEGITU” tanpa terlebih dahulu mempertanyakan apa pendapat sang istri dan tanpa terlebih dahulu mendengarkan apa isi hatinya. Iya tho?? Hihi. Dan, jika memang sang istrinya belum bisa memetakan, dikembalikan pada JEMBATAN KOMUNIKASI tadi. Sebaliknya, gak selalu dong yah, laki-laki selalu benar. Sebab, umunya perempuan itu lebih detil ketimbang laki-laki, terutama untuk hal-hal kecil. Nah, gentian dong, yang ngingetinnya. Lagi2 dikembalikan pada komunikasi antara keduanya.
(lagi-lagi, sebagai komentator hanya bisa berkomentar sahajaaaa, muhun maap jika banyak yang gak tepat, banyak yang salah kata. Maklumlah, si komentator. Hihi)

Eh….eh….., sedikit menambahkan yang out of topic dari tulisan di atas, uhm…diriku rasa, perlu adanya ‘kesesuaian jiwa’ dalam keluarga itu. Karena, kalo kata ibnul Qayyim, cinta itu adalah “kesesuaian ruh” sang pelakunya. Dengan hal yang senada, Ust. Anis Matta pun membahasakan cinta jiwa itu, bahwa jiwa-jiwa itu perlu adanya kesesuaian. Tak negrti juga aku, rumit untuk dijelaskan mengapa jiwa itu memilih ini atau itu, tapi yang jelas kesesuaian jiwa itu pasti akan berasa dengan sendirinya. Uhm…., barangkali lebih kurang ‘chemistery’ itu kali yaah. Ah, udah ah! Gak enak juga membahasakan ini sementara aku bukan orang yang fahim. Hehe.

Kesimpulannya?
Hehe….sederhana sahaaajaa kesimpulannya: YUUK BLAJAR LAGI!

Dua Jam Bersama Ayah


Hehe…judulnya memang sedikit aneh. Kenapa harus 2 jam? Toh, begitu banyak waktu-waktu yang telah kami lewati dengan diskusi-diskusi panjang itu. Uhm…anggap saja aku lagi kehabisan ide untuk membuat judul. Hihi. Dan, diskusi kmarin ini memang berlangsung lebih kurang 2 jam. Plus sesi Tanya jawab. Halaaaah…macam diskusi formal ajah. Hehe.

Uhm…aku dan ayah memiliki begitu banyak kesamaan dalam hal kegemaran, makanan, dan mimpi-mimpi. Makanya, share dan diskusi seperti ini jadi terasa menyenangkan.

Dream list! Begitu ayah membahasakannya. Dream list dalam hidup.
Mungkin aku adalah seseorang yang memiliki banyak mimpi dalam hidup. Setiap kali periode tertentu, akan kulakukan refresh terhadap mimpi-mimpi itu. Namun, aku sering melupakan satu hal. Tangga untuk mencapai mimpi-mimpi itu. Dan Ayah menyadarkanku, akan titik itu.

Yup! Rasionalitas dalam menuliskan sebuah mimpi!
Yah, memang tidak ada yang melarang untuk bermimpi setinggi-tingginya. (selama bermimpi dan bercita-cita tinggi tak dipungut upeti! Hihi…).
Bahkan, ada anjuran untuk mencapai mimpi itu pada titik terjauh. Bahasa klisenya, gantungkan cita-cita dan mimpimu setinggi bintang di langit. Hehe.

Tapiii, tak cukup hanya sekedar mimpi saja!
Tak cukup dengan menuliskannya saja, lalu dibiarkan tergantung di dinding kamar tanpa ada upaya pencapaian untuk itu. Harus ada langkah! Harus ada action!


Kadang, sering terlupa dengan satu hal ini. Apa itu? Rasionalitas mencapai mimpi-mimpi itu. Sering kali, yang terjadi malah hal yang tak sesuai dengan harapan. Sering kali, tak berjalan sesuai dengan apa yang dipetakan! Dan itu adalah suatu keniscayaan.

Maka, mungkin, ini sebuah momentum bagiku, untuk menata kembali mimpi-mimpi itu. Memenej segala ke-fluktuatif-an dalam hidup. Dan, mengikutsertakan kerasionalitasan dalam menuliskan sebuah mimpi.

Hayuu…kembali semangaaat!
Hayuu…hayuu….

Sejak Baru Pandai Menulis


Hmm….sejenak membuka file-file lama kehidupan ini. Hehe. Mungkin bagimu ini tak begitu penting! Tapi, bagiku, ini adalah sejarah hidup. (halaaah! gayaaa cuy! Hihihi).

Emmh…sebelumnya, aku ingin sedikit bertanya. Kapankah kau pertama kali menulis surat? Hehe, jangan-jangan ini sebuah pertanyaan konyol! Ah..tidak..tidak! aku hanya ingin sedikit bercerita saja. Pertanyaan itu, tak usahlah kau jawab.

Aku baru menyadari, rupanya, dari kecil aku memang sudah menyukai yang namanya kertas dan pulpen ataupun pinsil. Dan, adalah kesukaanku jua mengorat-oret lembaran-lembaran itu.

Aku masih ingat, pertama kali aku menulis surat adalah ketika aku baru pandai menuliskan a,b,c, d dan seterusnya! Ketika itu, ibuku tercinta sedang mengikuti pendidikan cakim (pasca S-1) di UIN Syarif Hidayatullah selama 1 tahun lamanya. Dan, aku begituuu bersemangat menulis surat untuk ibu, kala itu. Ketika itu aku sudah TK di TK Bundo Kanduang, Lundang, Sungai Pagu. Isi suratku macam-macam ceritanya. Jika membacanya, aku barang kali akan tertawa.

Tapi, adalah pelajaran berharga dari surat menyurat ini. Kemudian, aku memang jadi gemar menuliskan segala sesuatu. Sudah kuceritakan belum yah?! Dahulu, hal paling mengembirakan bagiku adalah ketika ayah pulang membawa segepok kertas. Kertas bekas tentunya. Yang hanya satu sisinya yang putih, sisi yang lainnya sudah terpakai. Dan, sisi sebelahnya itu, akan kuisi dengan berbagai coretan. Mulai dari bermacam-macam tulisan hingga desain rumah yang kuinginkan. Entah kenapa, dahulu, begitu suka menggambar rumah. (Mimpi jadi arsitek yang kaga kesampaian. Hoho).

Tapi…aku merasakan manfaat besar dari kegemaran itu. (baca : kegemaran menuliskan dan mencoret-moret itu). Aku jadi lebih senang menuliskan segala sesuatu. Meskipun aku bukan seorang penulis handal. Bukan pula penulis terkenal yang karyanya bertebaran di berbagai media massa, tapi, aku jadi sangat suka menulis. Jika orang-orang paling benci plajaran mengarang, aku sebaliknya. Aku sangat suka plajaran mengarang!

Apa kesimpulannya?
Uhm….ternyata, jika pembiasaan itu di lakukan sejak dini, maka, ia menjadi sesuatu yang tersimpan di amygdale seseorang.
Mengutip apa yang disampaikan si…. (haduuh..siapa yah namanya, si pemeran Pak Guru dalam pilem I’m not Stupid itu loh), “Fokuslah pada kelebihannya, jangan besarkan kekurangannya.”
Setiap anak dilahirkan dengan kekayaan bakat yang barang kali berbeda tiap mereka. Maka, dengan mengembangkannya, niscaya, engkau (para orang tua, para calon orang tua, para pendidik), tengah menuju terwujudnya generasi-generasi yang extraordinary!! Percayalah, jika kita hanya mencita-citakan anak-anak kita nantinya hanya sebatas seperti anak-anak kebanyakan, maka memang akan menjadi itu lah ia. Tapi, ketika kita mencita-citakan sebuah cita-cita besar untuknya, maka….ia pun akan menjadi luar biasa! Percayalah, setiap anak berhak untuk menjadi luar biasa! Ini bukan berarti expoitasi terhadap anak, apalagi memaksakan seorang anak harus sesuai dengan maunya para orang tua. Bukan! Bukan itu! Tapi…how to explore the child ability!
Uhm…perlu belajar lebih banyak lagi tentunya!
Hayuu…hayuuu…harapan itu masih ada  (heh? Harapan yang mananya niih! Haduuh..mulai ngaco kayanya. Hihihi…)

Idealita dan Realita


Semakin kusadari bahwa :
DUNIA KAMPUS itu adalah dunia yang penuh IDEALITA
dan DUNIA KERJA itu adalah dunia yang penuh dengan REALITA

Semakin memasuki dunia pasca-kampus, semakin terasa betapa sulitnya menyeimbangkan antara realita yang ada di sekeliling kita dengan idealisme yang kita pegang & kita bawa (atau bahkan mungkin di-doktrin??) dari dunia kampus...

Fiuufftt...
Dan aku..sudah "mulai" berkutat dengan itu semua.
"Perang" pun terjadi, antara idealita dan realita itu...

Bukan...bukan tidak senang untuk "DILAMAR PEKERJAAN". Di Jaman yang begitu sulit mencari kerja sekarang ini, lalu ada tawaran kerja (atau benar2 diharapkan untuk bekerja di sana) adalah suatu kesempatan langka.
Tapi PERMASALAHANNYA adalah BERBENTURANNYA dengan IDEALISME yang SELAMA ini AKU PEGANG, bahkan AKU PATRIKAN di hatiku sejak berada di dunia kampus.
Dan, ini semua semakin diperumit dengan adanya faktor lain yang membuatnya menjadi lebih kompleks.

Ada Malaikat Maut di Dekatku


Uhm…di suatu kesempatan, belum lama ini, aku menyaksikan seekor ayam yang dipotong lehernya. Lalu, ayam itu menggelepar, dan kakinya pun menegang! Masya Allah… Sang ayam berusaha untuk menahan sakitnya sakaratul maut! Beberapa kali dia tehempas kiri dan kanan, terloncat dengan tingginya, menahan rasa sakit yang amat sangat, sebelum akhirnya diam tanpa gerak. Hanya raganya saja yang tersisa.
Sungguh, malaikat maut ada di dekatku! Hanya saja, kita manusia, tidak menyadarinya!

Melihat perihnya sakaratil maut itu, sungguh…aku teringat pada kematian. Pada sesuatu yang sudah PASTI akan aku, kau, dan kita smua hadapi. Hanya saja, dengan cara apakah nyawa itu di cabut? Allahu… semoga kita semua termasuk orang2 yang Allah ambil nyawanya dengan kelembutan.

Mungkin, kita sudah sering membaca surat ini. Qs. An-Nazi’at ayat 1-2.
Ùˆَالنَّازِعَاتِ غَرْقا
ÙˆَالنَّاشِØ·َاتِ Ù†َØ´ْطا
Demi Malaikat yang mencabut nyawa dengan keras, demi malaikat yang mencabut nyawa dengan lembut.

Sungguh, perpisahan antara jiwa dan raga itu kian dekat. Jikalah kematian itu beraroma, tentulah ia semakin hari semakin menusuk hidung.

Hanya saja, diri ini, kerap kali lupa. Kerap kali abai. Kerap kali lalai.
Maka benarlah, bahwa sesungguhnya mengingat kematian itu dapat melembutkan hati. Agar jangan misi-misi duniawi saja yang lebih mendominasi, dan melupakan misi ukhrawi…

Apresiasi dan Penyalahan!


Tak ada orang tua yang menginginkan keburukan pada anaknya. Pasti, setiap orang tua ingin yang terbaik. Tapi, di sinilah letak salahnya. Bahwa, menginginkan yang terbaik tapi dengan kesalahan. Dengan sebuah KESALAHAN yang mungkin tak disadari. Kesalahan yang mungkin saja membunuh! Mematikan! Bukan dengan pisau, racun maupun obat-obatan, TAPI KARAKTER!

Banyak orang tua yang merasa dirinya selalu benar, sehingga, yang keluar pada anak adalah KATA-KATA PERINTAH, KATA MENYALAHKAN, tanpa sedikitpun APRESIASI… Padahal, satu hal, meski orang tua memang lebih banyak memakan asam garam kehidupan, bukan berarti ia senantiasa benar dalam segala hal.

Sesungguhnya, --kesimpulanku-- anak, adalah selayaknya “laboratorium” hidup bagi orang tua yang darinya kita (sebagai orang tua) mesti belajar banyak! Setiap tingkah, polah, dan tindakannya, memiliki pembelajaran tersendiri bagi sang orang tua untuk terus dan terus memperbaiki diri, memperbaiki pola didiknya. Jangan sampai kesalahan itu dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi “corak” yang mewarnai karakternya. Kesalahan yang “abadi”, melekat pada karakter dasarnya.

APRESIASI! Ini sangatlah perlu. Sebab, ia sedang bertumbuh! Jika ia sedang bertumbuh, lantas segera “dipangkas”, maka ia akan sulit untuk bertumbuh lagi. Jika pun tumbuh, barangkali tak seoptimal yang pertama. Atau, setidaknya, menjadi layu. Bukan berarti, tiada pula menyalahkan dengan suatu pembiaran! Tidak! Bukan ini maksudku. Menyalahkan, atas sebuah kesalahan yang memang salah! Tapi, apresiasi kebenarannya terlebih dahulu, BARU KEMUDIAN PERBAIKI KESALAHANNYA! Mendengar! Ini juga salah satu kuncinya. Tidak hanya orang tua saja yang mesti didengar oleh anak, tapi, orang tua juga mesti MENDENGAR anak!

Semua ini mengajarkan kepada kita, para orang tua, para calon orang tua, para pendidik, bahwasannya kita HARUS SELALU BELAJAR! Harus! Dari “laboratorium hidup” itu.

Bagi sesiapapun, (terutama yang menuliskan ini…:p) sesungguhnya, jika kau menginginkan membangun batu bata peradaban ini dengan melahirkan generasi-generasi calon pemimpin masa depan, maka yang harus kau pegang adalah KUNCINYA! Yup, kuncinya! Terus belajar, dan belajar! Bukan hanya dari buku-buku saja, bukan hanya dari training2 saja, tapi, juga dari pengalaman hidup banyak orang-orang di sekelilingmu! Apa saja, bisa dijadikan plajaran. Apa pun. Ambil saja yang baiknya, dan tinggalkan yang buruknya. Sekaligus, jika punya power, maka ingatkan jualah!

Setiap peradaban, akan ada rijal-rijalnya.
Maka, mempersiapkan batu bata pembangun peradapan itu, mestilah dari satuan terkecilnya!
Madrasah pertamanya!

Oh iya, jika sempat, tontonlah pilem “I’m not Stupid 2”. Salah satu dari sekian banyak film yang bertemakan pendidikan anak yg sangat inspiratif. Begitu banyak plajaran yang bisa kita ambil dari sana. Meski kurang suka menonton (heee…:p), tapi, ternyata, untuk film-film tertentu, ada kalanya kita perlu jua menontonnya. Agar kita bisa mengambil ‘ilmunya juga dari sana sekaligus menjadi modal untuk memperbaiki kesalahan2 yang mungkin ada bagi orang tua…

Dalam fil I’m not Stupid, begitu jelas kelasalahan2 itu, yang mungkin ada di lingkungan kita. Maka, barang kali kita bisa perbaiki itu... Hayuu..tonton gih…hihi. Bagiku siih, ini film benar2 sangat inspiratif! Begituuuuuuuuuuu buanyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak plajaran yang bisa diambil dari setiap kesalahan2 pelaku yang ada di dalamnya, dan akibat buruk yang ditimbulkannya. Dan, bayangkanlah, jika para pendidik seperti ini? Akan jadi apa dan akan seperti apa masa sepan seorang anak? (aku gak bakalan bikinkan sinopsisnya! Ambil ajah plajarannya sendiri….okeeeeh….^^)

Tarwih Kilat Khusus


Bismillahirramanirrahimalhamdulillahirabbila’alaminarrahmanirrahimimalikiyaumiddiiniyyakana’buduwaiyyakanasta’inihdinasshirotholmustaqimashirotholadzina’anamta’alayhimwaladhoooliiiiiiin. Amiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin.

Fiuuuftt!
Melelahkan tak membaca 7 ayat diatas dengan satu nafas?
Serangkaian ayat yang senantiasa di ulang-ulang, dan memiliki keutamaan yang sedemikian banyak! Tapi, di baca dengan satu nafas saja. (satu tarikan nafas tanpa jeda, tanpa wakaf)
Kilat Khusus! Benar2 tarwih kilat khusus!

Dan ini lah masalahanya!

Sebenarnya sudah lama aku “protes” mengenai hal ini. Mengenai bacaan Al Fatihah di Tarwih di Sebuah Mesjid di….(untuk menjaga nama baik, maka tak perlu disebutkan yah…)
Pasalnya, kecewa banget dengan bacaannya yang begitu.
Masa’ sih Al Fatihahnya dibaca dalam 1 nafas?
Ck..ck..ck…
Lantas di mana letak kenikmatannya?
Uhm…tarwihnya dikejarkan sebanyak 20 raka’at, plus witir 3 raka’at. Tapiiii, masya Allah, 2 raka’at selama 2 menit. Bacaannya…astaghfirullaah…, kaga jelas lagi mana ayat 1,2 dan 3 dan makhraj nya yang amburadul. Bayangkanlah…betapa tidak enaknya.

Padahal…alfatihah adalah surat pilihan yang di ulang2 membacanya dalam setiap kali sholat dan TIDAK SAH suatu sholat tanpa membacanya. Di dalam surat ini lah terkandung totalitas pokok tashawwur (konsepsi, persepsi, pandangan Islam) dan arahan-arahan spiritual yang bersumber dari tashawwur itu.

Dalam hadits shahih Muslim dengan sanad dari al’Ala bin Abdur Rahman mantan budak AL Hirqah, dari ayahnya dari Abu Hurairah, dari Rasulullaah saw udah dikatakan :

“Allahu ta’ala berfirman : Aku membagi shalat antara aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian, separuhnya untuk-Ku dan separuhnya untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta. ‘Apabila hamba mengucapkan, “Alhamdulillaahirobbil’alamin”, Allah berfirman “Hamba-Ku telah memuji-Ku.” Dan apabila hamba mengucapkan, “Ar Rahmaanir Rahiim,” Allah berfirman, “Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.” Dan apabila hamba-Ku mengucapkan,”maalikiyaumiddiin,” Allah berfirman, “Hamba-Ku telah memuliakan Aku. Dan apabila hamba mengucapkan, “Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin” Allah berfirman, “ini antara Aku dan Hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Maka apabila hamba itu mengucapkan “ihdinashhirootholmustaqiim, shirotholladziina an’amta’alaihim ghairil maghdhduubi’alaihim waladh-dhaalliin’, Allah berfirman, “Ini adalah untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta”

Masya Allah….

Lantas, itu artinya, tarwih kilat khusus, telah menghalangi kesempatan kita “bermesraan” dalam sebuah komunikasi yang indah dgn Rabb kita….

Balik Kampung


Hehe…sudah 2 tahun kiranya aku tak kunjungi mesjid ini. Sebuah mesjid di kampungku, Mudiak Lawe… Lebih kurang 10 tahun masa kecilku, kuhabiskan di pinggiran bukit ini. Hmm…sebuah kenangan masa kecil yang menyenangkan.

Tak banyak berubah. Bahkan, Bapak Pengurus mesjidnya dari aku SD dulu, -yang waktu itu masih jamannya nyatat agenda ramadhan llau berburu tanda tangan sang penceramah-, hingga kini, MASIH SAMA! Wajah-wajah ibu2, uwo2, anduang2 pun masih lekat diingatan. Aku begitu hafal dengan wajah-wajah itu. Yang asing olehku justru anak remajanya. Sebab, ketika dahulu, mereka masih bayi. Kini, mereka telah remaja pula. Uhm…tak terasa belasan tahun berlalu sudah.

Dahulu, waktu masih kecil, aku beramadhan di mesjid ini. Selepas berbuka dan makan, kami (aku dan Yuna) bergegas menuju mesjid ini. Tujuannya adalah biar bisa ikut tadarusan. Nah, yang diharapkan dari tadarusan itu apa, coba? Uhm…hihi….-malu untuk menyebutkannya-, yaitu…bisa mengaji dengan mikrofon. Haha. Sebuah keinginan yang sederhana tentunya. Dan kami –para anak-anak—akan sangat kecewa jika para orang dewasa mendominasi lingkaran tadarusan itu. Hihi.

Masa kecilku, kuhabiskan di kaki bukit ini. Bukit Anda, begitu orang2 kampungku menyebutnya. Ada kenangan bersama Yuna yang begitu banyak di sini. Di sebelah mesjid, berdiri SDN 10 BSM, SD ku dulu, dan di seberang mesjid, berdiri pula MDA-ku, tempat ngajiku dulu. Klo di tempat lain, namanya TPA.

Di sekolah itu, sangaaaat menyenangkan. Jauh dari aroma2 perkotaan, jauh dari permainan kelas elektronik. Permainan kami hanyalah, kelereng, petak umpet, yoyo, main tali dan ore. Bukan netendo, bukan ngotak atik HP, bukan pula computer, kayak anak jaman sekarang. Dan, yang paling menyenangkan itu adalah…sungai! Sungai yang mengairi di belakang sekolah. Kami sering bermain di situ.

Uhm…aku jadi teringat teman SD-ku. Nasib yang berbedalah yang membawa kami. Di kelasku itu, anak perempuan hanya 8 orang dan anak laki-lakinya 18 orang. Sahabat terbaikku itu namanya Upit, sekarang jadi guru di SDN Sei Cangkar. Lalu, Devi sekarang kuliah di Batam sekalian kerja. Trus, Yulni. Yulni sudah menikah (ng…sudah punya anak belum yah? Hehe. Kayaknya sudah). Lalu Irat, yang sudah punya 2 anak. Yelvi, sudah nikah juga, tapi, kayaknya belum punya anak tuh. Rosi, tak dapat kabar berita. Dan Yarni. Yarni sudah pindah ke Bengkulu semenjak SMP. Teman2 yang cowoknya, lebih banyak dan….sangat nakal! Hehe. Abiiiiis, suka menjahili kami, anak perempuan. Siapa ajah yah? Yoni, Ul, Basra, Wilnasri, Dedy Lodra, Haris, Momon, Een, Andi, Igus, Isis Lawe, Isis Pak Cip, Riko, Dodi, Riki, Jalani, uhm…aku melupakan 2 orang lagi. Hee….maafkan.

“Eh, Pi, bilo pulang?” seseorang menyapaku di depan pintu mesjid. Aku terkesiap. Bayangan masa lalu, lenyap seketika. Masya Allah, Upit! Lengkapnya : Fitria Listiowati, tema sebangkuku sejak kelas 2.

“Eeeh…Upiiiit!” langsung deh, surprise banget! Saking surprise nya, aku jadi speechless. Serius! Macam seseorang jumpa ma kekasihnya, tak bisa berkata-kata. Hihihi…, Ngaco!! Bahkan aku lupa minta nomor HP-nya.

Masya Allah…
Kampungku….tak banyak yang berubah…SD-ku….juga tak banyak berubah. Kecuali guru2ku tercinta, yang wajahnya semakin tua yang berjumpa di dalam mesjid kemudian.

Ternyata, waktu berlari demikian KENCANG!

Harga Kepantasan


Tak perlulah menakar harga sebuah kepantasan, meski akan selalu ada harga untuk sebuah kepantasan itu.

Hanya yang TERBAIK!


Satu Hal….
Ketika kita sudah tekad kan bahwa kita AKAN MELAKUKAN yang TERBAIK dalam hidup kita, maka, DUNIA pun AKAN berubah!


Maka, HARUS LAKUKAN yang TERBAIK!!!


Aku akan melakukan yang terbaik yang aku punya dalam hidupku!
Bukan….bukan hasilnya, tapi KERJANYA!

Nila di Ujung Selokan


Hmm…sedikit menceritakan soal ikan-ikan di Tabekku. Hihi. Jadi begini, sore ini aku hendak mengambil lengkuas untuk bikin gulai, di halaman rumah (hehe, ini enaknya punya toga di halaman. Jika butuh, tinggal ambil doang. Segar…bebas pengawet..terjamin kualitasnya. Dan, tak perlu materia medica dalam pengolahan simplisianya. Hihi. Karena tak perlu dibentuk simplisia. Keh..keh.keh…:-D). Jadi, aku melewati bak antara (hmm..klo di industry farmasi, ini mah istilahnya tempat penyimpanan produk antara dan produk ruahan. Hihihi). Jadi, bak antara itu adalah semacam bak pemisah antara tabekku dengan saluran pipa air menuju tabek tetangga. Nah, di sana, ternyata ada seekor nila yang tengah berusaha melawan arus. Rupanya nila itu kesasar di bak antara yang sama sekali tidak diperuntukkanuntuk ikan melainkan untuk saluran air saja.

Aku terkesima beberapa saat memandangi si nila itu. Ia, berenang secepat aliran air sehingga tak terbawa arus aliran air. Ia masih terus..dan terus berupaya agar ia tak hanyut terbawa arus. Ia tak berenang-renang dengan santai laiknya ikan dalam akuarium. Tapi, ia terus...dan terus berjuang melawan arus itu! Subhanallaah…

Hari ini aku dapat plajaran tentang kesungguhan itu dari si nila ynag nyasar di bak antara. Si nila yang berusaha untuk terus melawan arus….terus berjuang. Seeokor nila yang tak dibekali oleh Allah akal saja, mampu berjuang dan bertahan sedemikian rupa, lalu bagaimana dengan diri kita yang dikaruniakan Allah kesempurnaan? Kemampuan berpikir…dan hati. Bukankah semestinya, kita harus lebih tegar menghadapi gelombang kehidupan ini?

Lihatlah seekor nila yang terus menerus berjuang itu. Lalu, pandangilah diri kita. Yang mungkin begitu mudah menyerah. Begitu gampang putus asa. Begitu…mudah lelah. Padahal, ujian-ujian yang Allah berikan itu pun sesuai kadar kesanggupan hamba-Nya. Jikalah ada alat semacam HPLC (baca Hewlett Packard Liquid Chromatography…hihihi...gak ding! Ngaco! Maksudnya High Performance Liquid Chromatography) yang bisa mengukur kadar kesanggupan kita hingga kadar terkecil seklaipun, maka sesungguhnya beban yang Allah berikan tentulah masih berada pada nanometer gelombang yang dapat terdeteksi oleh alat itu. Jika saja. Namun, tentu saja alat detector yang mampu mengukur kesanggupan manusia itu tidak ada. Tapi, bukankah Allah telah menjaminnya?? Siapakah yang lebih menepati janji melainkan Allah?

Nah…nah…, Fatheruu….., tak ada alas an untuk menyerah!
Hayuu….jika kamu mau, kamu PASTI BISA! Do the best!

Patah….kalah….dan terjatuh…bukan hal yang perlu diratapi.
Dirimu pandangilah rerumputan itu. Sebanyak apa orang-orang yang menginjak-injaknya, memangkasnya, me-round-up nya, tapi lihatlah…dia tetap tumbuh…dan terus tumbuh. Meskipun sempat patah, layu dan terinjak, tapi ia tak punya alas an untuk tetap layu. Dia tetap bangkit. Dia tetap tumbuh. Lalu, kenapa tak belajar dari sang rerumputan itu?

Seperti Cinta Langit Pada Bumi

Hasil iseng2 menggambar..kayak anak TK..hihihi

Seperti Langit yang menyediakan cinta untuk bumi,
Seperti hujan dan matahari yang memberikan cinta untuk tanaman…
Atau seperti air pada api….
Tiadalah…semuanya menyatu…melainkan karena adanya KESAMAAN, KESEIMBANGAN atau PEMENUHAN/SALING MENGISI…

Jiwa...


“Jiwa itu ibarat prajurit-prajurit yang dibaris-bariskan. Yang saling mengenal di antara mereka pasti akan saling melembut dan menyatu. Yang tidak saling mengenal di antara mereka pasti akan saling berbeda dan berpisah”

Laiknya Mentari... Hanya Memberi....

Menjadi ibu, beratkah?
Harus bangun paling pagi dan tidur paling larut. Semua demi cinta. Yah, demi cinta! Jika kita mengerjakan sebagian pekerjaan ibu saja sudah begitu lelah, tapi, seorang ibu tetaplah sosok tangguh yang tak pernah mengeluh. Tak pernah!! Meski ia lelah, tapi, tak pernah ada keluh kesah!

Cinta ibu itu, sungguh luar biasa!
Sungguh luar biasa!
Cinta yang menembus dimensi logika.

Laiknya mentari, yang memberikan sinarnya untuk tanaman dapat bertumbuh….untuk kehidupan dapat berjalan. Tapi, adakah sang mentari meminta imbalan atas jasanya yang memperantarai proses fotosintesis itu? Tidak! Tanaman tak memberikan apapun pada mentari, sebagaimana mentari tak pernah meminta apapun dari tanaman! Ia terus memberi…dan terus memberi…karena baginya, hakikat cinta itu adalah memberi…dan terus memberi…


Ibuuu…
Sungguhlah aku sangat mencintaimu…sangat mencintaimu…
Madrasah pertamaku…
Bukan saja aku pertama kali mengenal huruf A,B,C, atau huruf Alif, Ba, Ta, ataupun angka 1,2,3 darimu ibuku, tapi, aku belajar mengenal dunia ini darimu, ibuku…

Ibuku,
Tiada terbalas jasamu…tiada, bahkan secuilpun…
Tapi Ibu, sungguh ingin, aku mempersembahkan sebuah mahkota yang cahayanya melebihi cahaya matahari di hari keabadian itu kelak. Ibu, aku ingin mempersembahkannya untukmu…ibuku tercinta…

Apoteker Unand Angkatan I tahun 2009/2010

Detik2, menjelang yudisium...(wajah2 panik campur cemas..hee..^^)

Detik2, menjelang yudisium...(wajah2 panik campur cemas..hee..^^)

Detik2, menjelang yudisium...(wajah2 panik campur cemas..hee..^^)

Sebelum pengarahan dari IAI, 4 Agustus 2010

Sebelum pengarahan dari IAI, 4 Agustus 2010


3 Jam sebelum sidang komprehensin apoteker-ku...:)

Kak  Fitri : "Dadadaaaahh..."
Kak Riri : "Ceeees"

setelah presentasi Business Plan...^^

Heihehei..sibuk ni yee...

DPC-nya Faklutas Farmasi euyy...hihi

Di Belakang Fakultas qta..^^






Syukurku Hari Ini


Subhanallaah…
Betapa bahagianya…betapa indahnya…

Mungkin bagimu…(iya! Kamu yang lagi baca, tho! Siapa lagi coba? Hihi…sotoy!) ini bukan hal yang istimewa. Atau, kau bilang, biasa-biasa saja! (kalo tak istimewa yah biasa2 ajah laaah…). Tapiii sungguh bagiku semuanya ini hal yang membahagiakan. Hayooo, bahagia tidak bisa dibeli dengan uang.

Menyoal apa coba?
hmm…hanya sekedar sayur mayur sahaajaa toh. Tapiii, sungguh menyenangkan sekali ketika hendak masak sayur,dan sayurnya langsung dipetik dari kebun kita sendiri. Benar2 segar. Manis. Dan, terjamin kualitasnya. Cieee…

Hmmpph…
Maka, ni’mat Tuhan mana lagikah yang kamu dustakan. Sungguh, sudah begitu banyak ni’mat yang Allah berikan. Lahan2 yang subur, dan begitu mudah ditanami tanaman. Tabek yang menyenangkan. Waahh…Masya Allah… Maka, Nikmat Allah mana lagi yang kamu dustakan??

Jika kau sempat, berkujunglah…
Akan kuajak kau berkeliling tabekku (tabekku surgaku, hehe) dan akan kuajak pula kau memetik sayur mayur. Kalau kau mau, kita bisa bikin ikan bakar atau ikan saos tomat, atau semur ikan, atau pepes pepes, atau ikan asam padeh, atau…apa yan kau mau? Hehe. Juga sayur mayur yang kaumau, buncis, kacang panjang, bayam, kangkung, terong, de es be…

Hayuuk..
Hayuuk..
Mari menanam…
:-)



Sebelum Statusnya Berubah


Hmmpph…
Ternyata…liburan paska segala sesuatunya (yang berbau) pendidikan selesai satu tahap, tidak seindah yang dibayangkan yaah? (memangnya mau sampai tahap mana yah? S-8??) Hehe. Padahal, kemarin-kemarin…, waktu sibuk2nya ujian, yang ada di pikiran “duuuh, enaknyaaa, kalo bisa liburan. Hee…”

Sebelum statusnya berubah jadi : PENGANGGURAN (hihi, semoga saja tidak begitu lama. Ish..masa’ sih mau jadi penganggguran! Tak laaaah!), memang tak seenak yang dibayangkan. Sekarang ini, semuanya serba salah. Jika dibilang masih mahasiswa, tidak juga. Jika dibilang sudah tak mahasiswa lagi, juga tak bisa karena belum wisuda pun. Jika nak cari kerja pun, tak bisa laah. Ijazah juga belom ada. Hmmpph… Jadi, sekarang…statusnya adalah : TIDAK JELAS! Huhu.

Okelah…, kita namakan saja statusnya saat ini : TIDAK JELAS! Hehe. Nah, sebelum statusnya berubah jadi : PENGANGGURAN eih…bukaaaan..jangan pengangguran dong! Wiraswasta kek…apa nek…jangan pengangguran dong!, maka yang mesti kita lakukan adalah…ng…enaknya ngapa yah? Baca-baca buku? Bikin novel? Atau ngapa yaah? Buka private buat anak SMP-SMA? Menanam sayur mayur, memancing… Atau…, berbakti untuk kampuang tercintaa. Wah…serius niih, mati gaya! (hehe….)

Aih, sudahlah. Dari pada bengong begono, mending melakukan sesuatu yah yg bisa kasi manfaat buat diri sendiri dan lingkungan sekitar. Nyiapkan diri buat Ramadhan esok hari…(waaahh, senangnyaaaa…Ramadhan is coming soon! Alhamdulillaaaaah…)

Udah ah, koq aku jadi GeJe beginiii yah…
Hayuuk..hayuuk…benahi diri!
Benahi hati!!
Hayuuuk…

Bingkai Motif Bunga-Bunga


Di angkot lurus kemarin, aku bertemu beberapa anak SD yang sedang tertawa-tawa, dan di tangan mereka ada sebuah karton dengan bingkai bermotif bunga-bunga. Melihat itu, aku seperti dikembalikan kepada masa 14 tahun silam, ketika aku baru duduk di kelas 3 SD. Tentang sebuah bingkai bamboo. Sebuah momen yang takkan lenyap dari ingatanku. Ingatanku yang begitu sederhana kala itu.
Tentang bingkai bamboo, dahulu, semasa aku kelas 3 SD itu, bu Guru menyuruh kami membuat prakarya di sebuah karton yang dibingkai. Kerajinan tangan. Hmmpph…, aku sangat menyukai plajaran kerajinan tangan (sama seperti aku menyukai matematika. Sangat suka! Atau, apa karena aku potensial hemisfernya dominan otak kanan yah? Hihi). Nah, setelah prakarya itu selesai, bu guru mengatakan bahwa prakarya itu boleh dibawa pulang oleh seluruh siswa. Dua hari lagi, prakarya itu harus sudah selesai dibingkai.

Sesampai di rumah, kuceritakan kepada ayah, bahwa aku harus membawa prakarya itu dengan dibingkai dua hari lagi. Ayahku tersenyum dan mengatakan, “….insya Allah besok kita bingkai.” Tapi, ternyata ayah membingkaikannya dengan bingkai yang ada motif bunga-bunganya. Aku heran, dan mengatakan pada ayah, bahwa teman-temanku menggunakan bingkai bamboo, bukan bingkai motif bunga-bunga begitu! Tapi, ayahku mengatakan, bingkai motif bunga-bunga adalah lebih baik.

Aku memandang ayah yang sampai berkeringat di dahinya ketika menggergaji bingkai motif bunga-bunga itu, tapi tetap semangat menggergajinya. Ayah yang begitu bersemangat memberikan yang terbaik untukku. Aku, dengan pemikiranku yang sederhana, waktu itu merasa kecewa. Karena, bukan bingkai bamboo, melainkan bingkai motif bunga-bunga.

Dua hari kemudian, aku membawa prakarya itu ke sekolah dengan malu-malu. Kusembunyikan di balik plastic hitam karena bingkaiku berbeda. Pun, ketika aku mengeluarkan bingkai itu dari balik kantong plastic hitam, teman-temanku semua menertawakanku. Aku menjadi marah, malu dan ingin menangis rasanya. Aku benci menjadi yang berbeda. Aku ingin seperti mereka kebanyakan. Hanya bingkai bamboo saja. Tanpa motif.

Tapi, betapa terkejutnya aku, ketika Bu Guru datang, dan justru memuji bingkaiku yang bermotif bunga-bunga. Teman-temanku yang tadi menertawakanku jadi terdiam ketika bingkai bunga-bungaku dipamerkan Bu Guru di depan kelas. Seketika, aku merasa percaya diri, dan begitu bangga pada ayahku. Bahwa ayah benar! Bingkai Motif bunga-bunga, memang lebih baik, meskipun aku berbeda dengan yang lain.

Mungkin kala itu, aku belum bisa mengambil pelajaran dari kisah bingkai motif bunga-bunga itu. Tapi, kini, jika mengenangnya, aku jadi tersenyum. Kisah ini memberiku begitu banyak pelajaran. Bagiku!

Bahwa ketika kita memiliki differensiasi, maka, kita memiliki potensi sukses lebih besar! Orang-orang sukses itu, adalah mereka yang mampu keluar dari “orang-orang kebanyakan”. Ketika mereka terus ber-inovasi dalam hidupnya. Menjadi berbeda (dalam konteks kebaikan), bukan sesuatu yang memalukan, tapi sebaliknya, justru akan membuka peluang-peluang yang lebih besar untuk kita. Mungkin, dalam bahasa sederhananya, lebih kreatif dalam hidup, kali yah? Mereka yang tak khawatir akan menjadi bahan tertawaan. Mereka mau menjadi yang berbeda. Dan, sungguh, ketika dia menjadi yang berbeda itu dalam kebaikan, dan ketika kebaikan itu diikuti banyak orang, maka ia telah menanamkan investasi bagi dirinya dan kehidupannya.

be continued...^__^

Pelangi Ukhuwah

Jika ukhuwah itu semisal pelangi, mungin we2n biru, uni merah, dia kuning & mereka hijau.
Kita memiliki keindahan tersendiri, tapi akan semakin sempurna jika mewarnai bersama dalam bentuk pelangi ukhuwah…
Semoga Allah senantiasa menguatkan ikatan persaudaraan di antara qta Tetap saling mengngatkan dan menguatkan ^_^
Uhibbuki Fillah…
(Syafweni Putri, 5 Agustus 2010, 16.00)

Yup, ukhuwaah itu memang luar biasa…tak terbeli oleh apapun, meski seluruh kekayaan bumi di belanjakan…
Dan, SEMOGA TIDAK ADA LIMIT untuk SEBUAH UKHUWAH, meski jarak memisahkan kita…

Wisma....I'm in Luv

Sepenggal kehidupan wisma, adalah satu potong masa indah yang tak mungkin kulupakan. Kepadaku, Allah hadirkan sosok-sosok luar biasa… Sejak kali pertama menginjakkan kaki di Syakuro, dan generasi-generasi yang terus berganti, hingga kini di Hurriyah. Dari mereka, aku belajar begitu banyak hal! Banyak hal! Banyak hal dari kehidupan ini… 

Adalah anugrah terindah dari Allah, ketika aku dipertemukan dengan mereka. Mereka yang kucintai, karena Allah…
Benar, sungguh benarlah, bahwa ukhuwah itu tak dapat dihargai dengan rupiah.
Generasi-generasi terus berganti…
5 Tahun, bukan waktu yang singkat untuk skala waktu dunia… Sudah begitu banyak, kenangan, plajaran yang takkan terlupakan selama ini…

Jazakillaahu khoir akhwatifillaah…
Atas kebersamaan kita yang tak terbeli ini…
Ketika ada masa bersua, maka MESTI ada masa tuk berpisah…
Sebab, ia adalah niscaya…
Dan kini, giliranku yang harus meninggalkannya…
“Bapisah, bukannyo bacarai…”

Special thank’s to : akhwat2 luar biasa yang pernah kukenal…(mungki tak tersebutkan semuanya, tapi yakinlah, di hatiku…dirimu semua selalu ada…) Buat saudari2ku, Syafnida Gusti, S.Si; Jendra SE (a. S.Si, hihihi); Rusda Ulfa, S. Farm; Asnany Chaniago, S.Si; Lismanizar, S.Si; Karimatul Hasnah, S.Farm, Apt; Syafweni Putri, Auvianis, Dewi Oktavia, Sluruh Syakuro’ers (beserta alumni syakuro’ers dari angkatan ’99), sluruh Hurriyah’ers (generasi jompo’ers) dan adik2 yang akan menjadi Hurriyah’ers selanjutnya (Ola, Mitha, Vina, Rahma, Nana, Erni).
(hehe, ini tentu saja belum sepersepuluh dari nama-nama yang seharusnya kutuliskan. Hm…tak perlu kutuliskan di sini seluruhnya. Cukup di hatiku saja. Cukup di hatiku saja, semuanya terukir dengan indah….cieeee…..)

Daun Berguguran...


Aku semakin sadar, bahwa setiap catatan yang terlahir dari jiwa, pun akan sampai ke jiwa… apapun warna emosinya. Karena Allah tidak hanya ciptakan manusia dengan segenap pikir yang bersumber dari otak semata, tapi jua rasa yang bersumber dari hati dengan segenap kisi yang ada di dalamnya.

Pada jiwa-jiwa itu ada ghiroh dan gelora. Berpadu dengan daya pikir yang luar biasa! Jadilah ia, generasi-generasi peradaban baru! Generasi-generasi yang menyambut tantangan dengan tangan terbuka lebar!
Inilah kami!
Inilah kami!
Inilah kami!
Bagian dari kebangkitan itu!
Arruhul jadiiid…fii jasaadil ummaah…

Mengukir tinta-tinta sejarah dengan gerak mereka. Dengan kepalan tangan mereka.
Dengan gelora semangat mereka. Mengobarkan panji yang patut dan pantas untuk diperjuangkan! Ruh-ruh mereka berkumpul! Bersatu! Membentuk kekuatan adidaya yang membuat musuh-musuh mereka gentar! Bahkan, sebelum mereka turun ke medan juang itu sekali pun!

Tapi, seleksi tetaplah seleksi…
Memang sudah menjadi fitrahnya…
Yang jatuh…tetap akan jatuh…
Yang tersisa…adalah yang memiliki kekuatan luar biasa!
-tanpa harus membenarkan teori Darwin-, seleksi alam itu memang terjadi. Tapi, selalu saja ada regenerasi. Seperti tumbuhnya dedaunan setelah sebagiannya gugur. Bahkan jauh lebih baik dari dedaunan gugur itu! Tapi, siapapun itu, maka kita berharap, BUKAN KITA lah yang menjadi dedaunan yang gugur! Ia hanya boleh gugur pada tempat terindah, pada keadaan yang Dia ridha. Bukan gugur karena kecewa, sakit hati ataupun lelah! Tidak! Hanya boleh gugur karena telah sampai ujung perjuangannya. Gugur yang akan menyejarah! Yang tak hanya habis pada zaman itu saja melainkan abadi dalam catatan sejarah!

Ukhuwah Fillah : In Memoar


Waktu telah berlari sedemikian kencangnya. Tak berasa, lima tahun berlalu sudah.
Yah, sudah lima tahun saja ya? Berbagai warna hidup tlah kita lewati yah. Banyak likunya. Banyak arang melintangnya. Banyak suka dan tawanya. Juga ada dukanya.

Berbeda! Yah, tentu saja berbeda antara dahulu dan sekarang. Jika belum bisa dikatakan banyak, setidaknya tentu saja berbagai episodenya sudah lebih berwarna.
Hidup kita, jalan kita, akan selalu menyesuaikan dengan segala sesuatu yang membangun kehidupan itu sendiri. Sederhananya, tentu lingkungan kita.

Tidak tahu kenapa, tiba-tiba ingin menuliskan ini saja. Bukan ingin membangkitkan kenangan lama. Tentu saja bukan! Sebab kenangan tetap hanyalah sebuah masa lalu yang tiada kendaraan menuju ke sana. Dahulu sempat terbahasakan, “apakah akan ada limit untuk sebuah ukhuwah? Apakah kebersamaan itu memiliki waktu paruh?”. Tentu saja tak satu pun di antara kita berharap demikian! Ah, tentu saja.

Barang kali tidak seperti dahulu, ketika masih bersama-sama, saat ini kita telah berada pada posisi dan jalan masing-masing. Sekali lagi, tentu kita tak pernah berharap ada limit untuk sebuah ukhuwah. Untuk sebuah kebersamaan, sesibuk apapun kehidupan kita saat ini. Seterasing apapun dunia yang kita jalani saat ini.

Memang, tak seperti dahulu…
Barang kali sudah banyak alasan dan kepentingan kita dari pada hanya untuk ngumpul bersama. Yah, tentu saja. Karena lini-lininya tentu tak lagi berada pada sisi yang sama.
Tapi, setidaknya kita masih punya satu ikatan : ukhuwwah fillaah… yup, ukhuwahfillaah…generasi ke-6 Asrama.

Hari ini, saat ini, barangkali sudah ada potongan tambahan nama baru di ujung namamu teman2 semua.  Sejenak, mari kita list satu persatu. Jangan-jangan ada yang sudah lupa! Jangan-jangan ada yang sempat mengalami delesi dari pikiran kita.
Jangan-jangan….

ASPI’ers
Dr. Silvia Regina
Yulia Hamdani, S.Pd
Dr. Riri Ayusa Asri
Sari Zakiah Akmal, S.Psi, Psikolog.
Tecer Fragma Shinta, SE
Mukhlisa Busra, S.Pd
Dr. Nina Prameshuri
Vionalisa S.Ag
Liska Putri Yendra, S. Kep, Ners
Dr. Peppy Faurina
Hasmy Raharini, Amd. Keb
Indah Pratiwi, Amd. Keb
Dr. Tessa Safitri
Ledy Rahma Sonar, Amd. Akt
Ayu Prima Yesuari, ST
Sabriani Suci Zasneda, S.Si
Monica Eska Theresia, S.Kep, Ners
Ela Bestia, S. Sos
Dr. Miratul Hayat
Drg. Aria Fransiska
Eka Ferlinda, SE
Amelya Zein, S.Sos
Sri Endah Budi Astuti, SKM
Refika Gusmawita, S.Sos
Putri Limilia, S. i.kom
Dewi Novia Nursa, S.Kom
Rizky Fitria, SE
Tesi Susanti, SH
Vita Nova Anwar, S.Pd 
Fathelvi Mudaris, S. Farm, Apt

ASPA’ers 
Dedy Syahril, SE
M. Habibi Taqwim, SE (heee, benar gak yaah? Maap kalo salah)
Willya Hendra, ST
Ihsan Tria Pramanda, S.Si
Muhammad Imran, S.Farm, Apt
Guhi Munda Paraja, ST
Ade Saputra, Amd
Riky Arieski, SE
Ahmad Taufik, S.Psi, Psikolog
Iftitah Rohman Hukama, S.Si
Isra Hidayat, S.Pd
Fuad Fadhli, ST
Wahyu Ramdhani, ST (hee…benar gak yah, Dhani? Kaga tw apa gelar bwt desain grafis. ^^)
Dr. Rahmat Haris Pribadi
Rizki Mardian, S.Kom
Suharman Saputra, ST
Rhevy Adriade Putra, S.Sos
Hardiansyah, Amd Akt
Rahmad Gafardo Rifnal, S…(Hadduuuh, maap Bib. Kalo gelar tamatan Malaysia nii, tak tau laaaah….hihi)
Ade Husni, ST
Ronal Okta Firman, ST
Dr. Adrifen Berti Akbar
Anggi Budi Hidayat, ST
Drg. Beninov Satria
Dr. David Chandra Erikson

Satu hal saja…
Daku Bangga pernah mengenalmu semua…
Bahwa ada 3 tahun episode hidup yang kita jalani bersama. Dalam suka maupun duka.
Seperti nyanyi ciptaan Suni waktu itu,
“Ingat engkau wahai teman, perpisahan ini, bukan sebuah akhir persahabatan antara kita. Semua hal yang tlah terjadi, di asrama ini, takkan terhapus rasa, keinginan tuk kembali bersama”
Yup, semoga memang “abadi” hingga ke hari yang abadi.

Pertemuan Penuh Kerinduan...


Apa yang diharapkan seorang terhadap kekasihnya?
Pertemuan yang penuh kerinduan…
Bermohon dengan penuh kelembutan…
Membaca surat cinta dengan penuh penghayatan…

Jika kau benar-benar cinta, wahai diri…
Maka , yang kau harapkan adalah pertemuan…
Pertemuan penuh kerinduan…
Membaca surat cinta itu, dan mengharapkan pertemuan abadi, kebersamaan yang abadi…

Wahai diri, pertemuan dengan Sang Maha Kekasih telah dibentangkan-Nya dengan sedemikian panjang…
Apakah akan kau sia-siakan?
Tidak hanya lima kali saja, kau boleh bertemu-Nya lebih dari itu!
Kau boleh bertemu-Nya di penguhujung malam-malam-Mu, ketika Dia membentangkan sayap maghfiroh-Nya
Kau bacalah surat-surat cinta-Nya yang begitu indah dan puitis melebihi apapun dengan penuh penghayatan!

Wahai diri,
Sejatinya seorang pencinta adalah mengharapkan pertemuan dengan penuh kerinduan!
Dan, semestinya, tak sedetik pun waktu yang terlewatkan dengan kelengahan ketika bertemu Sang Maha Kekasih!

Wahai diri,
Waktu itu kian dekat…waktu yang akan memutusmu dengan kefanaan dunia…
Andai kematian itu berbau, tentulah aromanya semakin memenuhi rongga penciumanmu…
Tapi, kenapa wahai diri? Kenapa? Kenapa kau masih bersantai-santai dengan kelalaian… Tak sadarkah kau, bahwa kau telah begitu banyak men-dzolimi dirmu sendiri?
Tak sadarkah kau, bahwa semuanya akan kau pertanggungjawabkan?
Tak sadarkah kau wahai diri!??

Wahai diri…
Jenak-jenak pertemuan itu telah dibentangkan-Nya…
Pertemuan yang penuh kerinduan…
Kau…tak boleh lalaikan lagi…
Bersegeralah atas cinta-Nya..
Cinta di atas segala cinta…


Sebuah renungan, sehari sebelum siding komprehensif…di senja yang berawan… Wisma Hurriyah, Sya’ban 1431 H

Sebuah Epilog Senja...


Sore yang indah… Melepaskan pandangan pada sketsa senja yang begitu menawan. Anggun. Dan begitu mempesona. Pemandangan rerumpun padi-padi dan tongkol jagung-jagung…

Kepada tongkol jagung, aku tersenyum… Senyum entah apa. Tapi, sesungguhnya si rerumpun padi, si tongkol jagung, si rerumput yang menyertainya, tengah memuji dan bertasbih pada-Nya dengan cara mereka sendiri…

Belajar begitu banyak hal…Tiba-tiba di kepalaku memuat siklus krebs..siklus c-AMP… Teringat pula pada peredaran bulan dan bintang yang berjalan pada garis edarnya. Semua berkelebat… Bahkan, ketika kupandangi diriku sendiri, ada poses MAHA DAYA yang takkan pernah terjamah oleh tenaga manusia! Dan Al Qur’an telah mengisahkan smuanya!
Semua keluarbiasaan yang tak sanggup manusia lakukan…
Semakin tersadarlah diri yang dhaif ini, bahwa sesungguhnya kita amat lemah! Amat sangat lemah!

Terhadap diriku, dirimu, diri kita, para manusia yang Allah anugrahkan kesempurnaan…
Sedikit menelik pada diri kita. Tak jauh-jauh. Hanya pada diri kita. Pada jantung yang berdenyut, bahkan tanpa kita perintah. Pada impuls syaraf yang kecepatannya melebihi cahaya matahari. Pada segala proses regulator di hipotalamus dan hipofisa. Pada, proses feedback positif dan feedback negative yang memberikan keseimabngan. Sungguh, aku bahkan tak sangup menuliskan satu persatu…

Dalam diri kita, dalam fisiologis tubuh kita, ada jutaan, bahkan milyaran proses luar biasa yang tak terjamah oleh manusia itu sendiri. Semua proses yang berada pada garis edarnya. Andaikan manusia itu menjalankan proses fisiolgis itu, maka sungguh, takkan ada manusia yang dapat hidup! Tak ada!
Subhanallaah…
Siapakah yang menuntun segala proses itu, siapakah yang menuntun agar sel ini harus tumbuh dan berada di sini di bagian ini, bukan yang ini… Siapakah? Diri kita, sel-sel dalam tubuh kita, BAHKAN JAUH LEBIH CERDAS DARI DIRI KITA! Jauh…sangat jauh…di atas diri kita…

Setiap proses yang ada pada diri kita, sesungguhnya…adalah dalam rangka bertasbih kepada-Nya, berada pada garis edar-Nya, dan dalam rangka memenuhi fithrahnya…

MUNGKIN KITA TAK SADAR, bahwa setiap amstrong dari tubuh kita, yang senantiasa melaksanakan proses-proses fisiologis itu sebagai suatu cara bertasbih kepada-Nya, TIDAK PERNAH RELA untuk diajak bermaksiat. Tapii, sering kita tak pernah sadar akan itu…

Sebuah renungan, sehari sebelum siding komprehensif…di senja yang berawan… Wisma Hurriyah, Sya’ban 1431 H