Hmm...membaca judul di atas, jangan bilang ini adalah implikasi dari kefrustasian akibat jadi pengangguran dan dengan segera ingin menjadi karyawan. Heuu... Bukaaan. Bukaaan. Bahkan, aku sangat menikmati masa pengangguran (yaaa, setidaknya saat inilah). Karena, aku bisa bikin apaaaaaa ajah yang aku suka. Bisa ngetik spuas-puasnya. Hehe.
Trus? Gimana dong maksudnya?
Hmm...kembali mengingat pelajaran bahasa Indonesia kala jaman sekolah dulunya. Kata Bu Guru, segala sesuatu yang diberi akhiran –wan berarti menunjukkan orang atau keahlian. Seperti, budayawan yang berarti orang yang ahli dalam budaya. Sastrawan yang berarti orang yang ahli dalam sastra. Wartawan yang berarti orang ahli dalam mengumpulkan berita. Sariawan berarti orang yang ahli dalam sari. Upsss...salah yah? Hihi. Dan wawan adalah orang yang ahli dalam membuat huruf “wa”. Ihihi, makin ngaurr! Gak ding, becanda!
Nah, begitu pula dengan karyawan. Karyawan bukan melulu berarti pekerja di suatu instansi atau perusahaan yang kemudian diberi gaji atau upah atas pekerjaannya, jasanya, tenaga ataupun pikirannya. Karyawan adalah kata karya yang dilekatkan –wan pada akhirannya sehingga artinya adalah orang yang ahli dalam berkarya.
Sebenarnya ini menyoal paradigma sahaja kali yah. Bagaimana merubah paradigma pikir kita dari yang sebelumnya “pekerja/bawahan” menjadi “seseorang yang mampu berkarya”. Siapapun kita, apakah kita adalah employee di suatu perusahaan atau instansi...ataupun masih jadi pengangguran, maka menjadilah KARYAWAN. Orang yang selalu berkarya, memberikan apa yang paling optimal yang dipunya. Sehingga, diri kita akan berharga dan berkualitas. Ya, karya-karya terbaik yang kita punya.
Hayuk...hayuk...
Mari kita menjadi KARYAWAN!
Agar kelak, kit meninggalkan sebuah jejak terindah untuk orang-orang sesudah kita. Dalam bentuk apapun itu, selama ia memberikan kemanfaatan bagi orang-orang di sekeliling kita. Siiippppp???
________________________
sumber gambar di sini
Sosok Bersahaja itu Bernama : Mba Sinta Yudisia
Siapa yang tak kenal dengan sosok Sinta Yudisia? Novelis hebat dengan karya yang begitu bergizi ini. Lebih dari 40 judul buku sudah diterbitkan oleh Mba Sinta. Luar biasa! Banyak dari deretan karya itu berlabelkan “best seller”. Mba Sinta adalah satu dari sederet nama penulis yang aku kagumi. Baik tulisannya, apalagi sosoknya. Subhanalloh…
Aku pertama kali berjumpa Mba Sinta tiga tahun lalu. Pada momen Silnas FLP yang diadakan di PPPPTK Srengseng Sawah Jakarta Selatan, tahun 2008. Pertemuan pertama, begitu menggugah. Mencengangkan. Dan membuatku langsung kagum. Kala itu kami semua tengah berkumpul di aula. Mataku langsung berbinar demi menyaksikan banyak penulis besar yang biasanya hanya kukenali lewat tulisannya, kini ada di depan mata secara nyata. Bahagia sekali rasanya bisa berjumpa dan bertatap langsung dengan mereka. Setidaknya, menularkan semangat yang luar biasa untukku yang masih tertatih-tatih berkarya ini. Hehe, maklumlah, aku ‘orang daerah’ (juga orang kampung) yang tidak begitu aksesibel dengan penulis-penulis hebat. Mungkin beda cerita kalo aku berdomisili di tempat yang lebih aksesibel yang bisa dengan mudah menjumpai forum-forum kepenulisan yang dihadiri oleh para penulis hebat itu.
Nah, di momen itu, aku sangat terkesan ketika ada satu sosok bersahaja yang mengulurkan tangannya lebih dahulu. Dan ia memperkenalkan diri, “Saya Sinta. Sinta Yudisia.” Masya Alloh. Kaget aku dan langsung surprise banget. Di saat penulis yang lain, kebanyakan “dikejar” dan umumnya kitalah yang memperkenalkan diri terlebih dahulu, sebaliknya Mba Sinta malah mengulurkan tangan dan memulai untuk berkenalan terlebih dahulu. Masya Alloh… Ini—sekali lagi, meninggalkan kesan tersendiri yang kutaruh di sebuah folder istimewa di hatiku.
Setelahnya, Mba Sinta kasi wejangan buat kita, terutama dalam dunia kepenulisan. Wuihhh…senang banget bisa share sama Mba Sinta. Sampai sekarang pun, aku masi menyimpan sebuah catatan kecil yang Mba Sinta tuliskan untukku. Terima kasih Mba Sinta.
Aku pun juga ingin, meninggalkan ‘sesuatu’ untuk dikenang oleh orang-orang sesudahku. Aku pun juga ingin melahirkan karya seperti banyak penulis lainnya. Aku pun ingin, mengajak pada jalan kebaikan lewat tulisan-tulisan yang kutulis, meski hari ini masihlah sangat sederhana. Aku pun juga ingin, umurku tak hanya sampai pada hari di mana aku menghembuskan nafas terakhirku. Aku ingin, ‘umur’ku lebih panjang dari itu, bahkan sesudah aku hancur bersama tanah sekalipun. Dan, yang seperti itu…hanyalah kita temukan pada orang-orang meninggalkan sebuah karya bersejarah yang ia tuliskan.
Maka dari itu, aku ingin mengajak diriku sendiri, mengajakmu semua (yang sempat membaca ini), untuk menuliskan apa saja lintasan hikmah, ilmu-ilmu yang ada pada kita, membaginya kepada banyak orang. Tak mengapa hanya lewat blog. Tak mengapa hanya lewat note. Sungguh lebih baik lagi, jika karya itu dalam bentuk sebuah buku yang akan menginspirasi banyak orang. Selama masih ada orang yang mengamalkan apa yang kita tuliskan dan merasakan manfaat dari apa yang kita bagi, maka selama itu pula investasi pahala dan kebaikan terus mengalir. Kemanfaatan yang terus ‘hidup’ meskipun sang penulisnya telah lama meninggalkan dunia.
Barokallaahu fiikum ajma’in….
Aku pertama kali berjumpa Mba Sinta tiga tahun lalu. Pada momen Silnas FLP yang diadakan di PPPPTK Srengseng Sawah Jakarta Selatan, tahun 2008. Pertemuan pertama, begitu menggugah. Mencengangkan. Dan membuatku langsung kagum. Kala itu kami semua tengah berkumpul di aula. Mataku langsung berbinar demi menyaksikan banyak penulis besar yang biasanya hanya kukenali lewat tulisannya, kini ada di depan mata secara nyata. Bahagia sekali rasanya bisa berjumpa dan bertatap langsung dengan mereka. Setidaknya, menularkan semangat yang luar biasa untukku yang masih tertatih-tatih berkarya ini. Hehe, maklumlah, aku ‘orang daerah’ (juga orang kampung) yang tidak begitu aksesibel dengan penulis-penulis hebat. Mungkin beda cerita kalo aku berdomisili di tempat yang lebih aksesibel yang bisa dengan mudah menjumpai forum-forum kepenulisan yang dihadiri oleh para penulis hebat itu.
Nah, di momen itu, aku sangat terkesan ketika ada satu sosok bersahaja yang mengulurkan tangannya lebih dahulu. Dan ia memperkenalkan diri, “Saya Sinta. Sinta Yudisia.” Masya Alloh. Kaget aku dan langsung surprise banget. Di saat penulis yang lain, kebanyakan “dikejar” dan umumnya kitalah yang memperkenalkan diri terlebih dahulu, sebaliknya Mba Sinta malah mengulurkan tangan dan memulai untuk berkenalan terlebih dahulu. Masya Alloh… Ini—sekali lagi, meninggalkan kesan tersendiri yang kutaruh di sebuah folder istimewa di hatiku.
Setelahnya, Mba Sinta kasi wejangan buat kita, terutama dalam dunia kepenulisan. Wuihhh…senang banget bisa share sama Mba Sinta. Sampai sekarang pun, aku masi menyimpan sebuah catatan kecil yang Mba Sinta tuliskan untukku. Terima kasih Mba Sinta.
Aku pun juga ingin, meninggalkan ‘sesuatu’ untuk dikenang oleh orang-orang sesudahku. Aku pun juga ingin melahirkan karya seperti banyak penulis lainnya. Aku pun ingin, mengajak pada jalan kebaikan lewat tulisan-tulisan yang kutulis, meski hari ini masihlah sangat sederhana. Aku pun juga ingin, umurku tak hanya sampai pada hari di mana aku menghembuskan nafas terakhirku. Aku ingin, ‘umur’ku lebih panjang dari itu, bahkan sesudah aku hancur bersama tanah sekalipun. Dan, yang seperti itu…hanyalah kita temukan pada orang-orang meninggalkan sebuah karya bersejarah yang ia tuliskan.
Maka dari itu, aku ingin mengajak diriku sendiri, mengajakmu semua (yang sempat membaca ini), untuk menuliskan apa saja lintasan hikmah, ilmu-ilmu yang ada pada kita, membaginya kepada banyak orang. Tak mengapa hanya lewat blog. Tak mengapa hanya lewat note. Sungguh lebih baik lagi, jika karya itu dalam bentuk sebuah buku yang akan menginspirasi banyak orang. Selama masih ada orang yang mengamalkan apa yang kita tuliskan dan merasakan manfaat dari apa yang kita bagi, maka selama itu pula investasi pahala dan kebaikan terus mengalir. Kemanfaatan yang terus ‘hidup’ meskipun sang penulisnya telah lama meninggalkan dunia.
Barokallaahu fiikum ajma’in….
Dari CURHAT hingga MIMPI
harus semangat raih mimpi^^ |
Maaf yah, lagi-lagi aku pengin curhat nih sama kamu. Boleh ya?
Eh, tapi, sebelumnya…aku sebenarnya mejavascript:void(0)rasa tak begitu enak curhat sama kamu, Bloggie. Ada yang bilang, terlalu ekstrovert itu tak baik. Yaah, aku tahu sih. Kan jadinya semua orang tahu saja bagemananya kita. Enak banget bisa jadi introvert, penuh misteri. Hehe. Sebenernya lebih baik jadi ambivert ajah kali yaah. Tapi, plis yah Bloggie, kali iniiiii….ajah, mengertilah aku. Heuu…maunya dipahami mulu nih ya? hehe.
Ehem… Akhir-akhir ini, aku suka baca non-fiksi, Bloggie. Bahkan aku lupa, kapan terakhir kali aku baca novel imaji. Padahal, aku kan imaji banget. Paling demen sama sains fiksi, cerita kejiwaan. Tapi aku tak suka cerita imaji yang tak ada di dunia nyata alias sesuatu yang absurd di dunia nyata, Bloggie. Contohnya Harry Potter. Dari jilid 1 sampai 7 (eih, bener yak ada 7 jilid? Bahkan aku tak tahu, Bloggie. Hehe) tak satu pun yang kubaca. Aku sampai terheran-heran melihat temenku yang betah namatin buku setebel itu dalam sehari semalam saja. Wuuuuihh. Kali ini, kayaknya minatku mulai berdilatasi deh. Aku lebih suka sesuatu yang realistis, ditemukan di dunia nyata, apalagi yang berbahasa jiwa. Selain itu, aku suka baca buku kisah-kisah inspiratif, kisah kehidupan. Menginspirasi sekali. Yah, intinya kisah-kisah yang ada di dunia nyata lah, kisah hidup, walau dinovelkan, tapi kalo sebagian besarnya adalah terinspirasi dari kisah nyata, aku teteup sukaaa deh.
Lalu, apa hubungannya curhat sama macam-macam tulisan? Ehem…sebenarnya begini Bloggie. Aku kan bukan siapa-siapa nih yah. Beda banget sama Andrea Hirata dan A. Fuadi, dua sosok yang menuliskan kisah hidupnya di tulisan yang kemudian menginspirasi banyak orang. Tapi, apapun itu, kadang menuliskan kisah kita—tidak pun seinspiratif kisah mereka—memberikan warna tersendiri bagi orang lain yang sempat membacanya. Bisa jadi, kisah sederhana itulah yang sedang dibutuhkan orang lain yang mungkin mengalami nasih yang sama dengan kita di belahan bumi lainnnya (selama dia mengerti bahasa kita tentunya, hee…). Jadi, bagaimana pun sederhananya kisah itu, betapapun mungkin kita kira tak inspiratif, bisa jadi saja ada yang sedang memerlukannya. Makanya, aku tidak terlalu keberatan untuk berbagi kisah di sini. (hee, semoga ini bukan sebuah pembelaan diri ataupun pembenaran ataupun sedang mencoba menghibur diri. Hihi).
Bloggie…
Banyak sosok yang kukenal, menggapai kesuksesannya dengan keajaiban mimpi sebagai navigasinya. Masya Alloh. Dan, kesuksesan mereka, sebab mereka bisa ber-ikhtiar di atas usaha rata-rata orang-orang kebanyakan. Mereka berada jauh di luar zona nyamannya. Dan bagi mereka, tantangan adalah sesuatu yang “sangat menarik” untuk di hadapi. Di sisi lain, aku juga banyak mengenal sosok yang begitu menikmati segala yang lurus-lurus, dan apa adanya saja. Tanpa obsesi. Tanpa mimpi. Hanya satu saja, yang penting hidupnya mulus dan tenang. Ia selalu berada di zona nyaman. Tantangan menjadi musuh yang paling ia jauhi.
Dari dua jenis sosok yang kukenali itu, kelompok pertama memiliki kesuksesan jauh lebih besar dari kelompok kedua. Tapi, lagi-lagi, tetap saja….kembali pada credo : life is choice. Hidup kita adalah pilihan apa yang kita pilih.
Bloggie…
Curhatku kali ini adalah tentang banyak hal. Tapi, polarnya adalah…tentang mimpi. Yah, mimpi. Kadang aku merasa, semangatku itu seperti terbit dan tenggelamnya matahari. Terbit sebersit spirit di fajar indah, lalu kembali meredup dan tenggelam bersama bergantinya siang dan malam di senja lembayung. Padahal, semangat itu adalah bahan bakar menuju mimpi-mimpi. Ia akan menjadi katalisator untuk menempuh jarak antara ikhtiar (usaha dan do’a) dengan kesuksesan.
Tapi…sudah banyak yang membuktikan keajaiban dari navigasi sebuah mimpi, Bloggie. Aku sungguh tak ingin menjadi orang yang selalu berada di zona nyaman saja. Aku ingin keluar dari ini semua. Aku pun ingin raih mimpi-mimpiku. Sudah banyak kesempatan dan masa yang kulewati. Semestinya aku bisa dua kali lipat lebih jauh dari ini jika saja sedari dahulu aku memulainya. Bayangkan Bloggie, aku baru merasakan dan lebih tepatnya menyadari itu semua justru di tahun akhir kuliahku. Tapi, tidak apa. Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Berani bermimpi saja, itu sudah suatu langkah awal kemenangan, meski saat ini kita tidak tahu bagaimana cara mewujudkannya. Yakin saja dengan keajaiban navigasi mimpi yang akan menjadi nafas perjalanan kita menujunya. Bukankah begitu, Bloggie?
Ah, satu hal yang terpenting, Bloggie. Bahwa aku harus MEMULAINYA! Kali ini aku perlu berterima kasih pada kegetiran yang telah “menendang”ku untuk bergerak. Walau hanya sebuah langkah kecil saja, Bloggie. Tapi, tak ada langkah besar yang tak dimulai dengan langkah kecil, bukan? Dan kali ini, aku sungguh tak ingin perubahan ekstrim lagi. Aku hanya ingin perubahan yang mutawatir tapi istimror. Begitu saja. Tidak mengapa sedikit-sedikit. Tapi, aku ingin ia kelak menemukan momentum ledakkannya seperti supernova (hee, terlalu bermimpi yah?)
Aaah iya, Bloggie. Sejauh ini, ternyata aku masih sangat mencintai dunia pendidikan. Aku ingin jadi guru, Bloggie. Satu jalan pertama, untuk menjadi guru di bidangku sendiri, aku harus lanjut kuliah dulu. Aku tahu, dengan IPK tamat yang pas-pasan, sulit sekali untuk mendapatkan beasiswa. Tapi, aku harus yakin dengan banyak KEMUDAHAN di depan kendatipun sekarang yang terlihat adalah KESULITAN. Tapi aku yakin, insya Alloh akan selalu ada JALAN, apalagi untuk menuntut ilmu. Bukankah begitu janji Alloh?
Suatu saat, aku ingin mendirikan sebuah sekolah, Bloggie. Sebuah Global School. Global School untuk remaja, SMP dan SMA. Aku tahu, ini sangat jauh dari profesiku. Tapi, aku ingin sekali membangun dengan jalan ini. Pendidikan adalah sebuah kunci, menurutku. Pendidikan yang bukan sekedar transfer of knowledge, melainkan pendidikan komprehensif yang membangun akhlak, membangun calon-calon batu bata peradaban. Meski hari ini, aku belum tahu bagaimana cara wujudkan itu, tapi aku punya mimpi untuk itu.
Hehe, maaf yah Bloggie, aku menuliskan curhatku dengan bahasa yang sangat tak sekuens. Kali ini aku hanya benar2 menuliskan apa saja yang terlintas, tanpa peduli sekuensing. Maaf yah… Jangan lupa, mohon do’anya.
Hurt
Hurt.... |
Sebagaimana aku tahu bagaimana sakitnya terluka, sungguh tak ingin mencipta sebuah luka baru. Untuk sesiapapun itu. Maka, setelah ini, semoga tak lagi ada labuhan harap pada manusia. Jangan lagi ada penggantungan seluruh harapan pada manusia yang juga sama dhaifnya, apalagi sampai mendahului Alloh atas takdir-takdir itu. Sebab, tak selalu berujung manis seperti ingin-ingin kita saja. Ada rahasia-Nya yang tak mampu kita jamah. Cukuplah serahkan saja kepada-Nya, Dzat yang ditangan-Nya segala keputusan.
Dalam segenap episode hidup, ada banyak penyikapan yang orang lakukan ketika harapan besar—apapun itu—yang ia rajut dalam hatinya, tiba-tiba kandas. Mulai dari yang mencoba tetap bertahan di gigir ketegaran, hingga yang paling tragis dan menggenaskan—mati di tali gantungan atau dengan seteguk cairan pembasmi serangga.
Tentang luka-luka yang pernah ada—apakah ia meninggalkan squele atau tidak, biarlah jadi pelajaran besar untuk diri kita, yang akan mengeluarkan kita dari belenggu pengharapan total pada manusia. Ya, mengeluarkan kita dari itu semua. Sekali lagi, cukuplah pada Alloh saja. Cukuplah pada Dia saja. Tiada yang lainnya.
Network Building
Ini tentang kisah perjumpaanku beberapa waktu yang lalu dengan seorang wanita mandiri yang kaya akan pengalaman hidup. Pada mulanya, perjalanan itu (dari Kampung Rambutan ke Cengkareng) sudah kurencanakan untuk kuhabiskan dengan tidur. Hee…. Tapi rencana itu gagal demi melihat sosok yang duduk di bangku sebelahku. Awalnya, hanya seulas senyum saja yang kuberikan untuk sosok wanita sekitar 30-an tahun itu setelah ia menanyakan apakah bangku di sebelahku kosong. Tapi, ia kemudian memulai percakapan. Hmm…sangunis sangat, pikirku. Dan biasanya aku tahu, komentar apa yang diinginkan sosok sangunis dalam menanggapi ceritanya. Haha.
Satu hal saja yang membuatku takjub. Bahwa wanita itu punya mimpi di balik gayanya yang begitu cuek dan lebih terlihat slenge’an. Dia bercerita bahwa dulunya ia adalah seorang TKI. Tapi, sekarang ia telah menjadi manager di sebuah perusahaan ketenagakerjaan dan menjadi direkur di sebuah perusahaan kecil-kecilan yang ia kelola sendiri. Bahkan ia sudah punya sebuah rumah yang cukup mewah di sebuah kawasan di Jalan Raya Bogor. Dia juga membeli lahan yang luas di kampungnya di Sumbawa sana dan beberapa ekor ternak untuk digarap saudara-saudaranya. Dan ini semua, berangkat dari segala kegetiran, kepahitan dan sulitnya hidup.
Sebelum kami berpisah, wanita itu menyerahkan selembar kartu nama berlogokan perusahaannya. Dan, masih dengan senyum ramahnya, ia berkata “semoga kita berjumpa lagi” dan tak lupa menawarkan agar suatu saat mampir ke rumahnya.
Dari panjangnya kisah yang ia ceritakan, kesimpulanku meng-kerucut pada satu hal saja. Bahwa salah satu kunci suksesnya ia adalah BANYAK MEMBANGUN LINK! Banyak membangun link berarti banyak membangun silaturrahim. Dan, silaturrahim sering kali mendatangkan rizki. Seperti yang Rasulullaah sabdakan.
Banyak membangun link, memperluas networking, akan memberi kita kesempatan lebih luas. Dengan begitu banyak sekali kemudahan yang kita jumpai. Jangan pernah remehkan sebuah pertemuan kecil dan perkenalan kecil kita dengan seseorang. Sebaliknya, selain menambah pertemanan dan menjalin silaturrahim, kita tak pernah tau akan seperti apa takdir kita ke depan. Bisa jadi, perjumpaan sesaat itulah yang kemudian menjadi hal-hal besar dalam hidup kita.
Oh iya, hampir lupa. Dahulu, aku pernah mengurus suatu urusan yang masya Alloh ribetnya. Jika segala urusan itu kuselesaikan sendiri, mungkin aku butuh waktu yang lebih lama. Beruntung aku mengenal seorang ibu baik hati yang bersedia membantuku. Kelebihan ibu tersebut adalah ia banyak membangun network, dengan sesiapa saja. Sehingga, untuk segala urusan dia mengenal orang-orang yang bisa membantunya. Sehingga, berasa sekali urusan kita dipermudah. Ini juga memberiku pelajaran betapa pentingnya membangun link itu. Hayuuk…hayuuk…bangun link yuuk. Di mana pun kita tersesat nantinya, kita masih punya tempat untuk dikunjungi. Hehe.
Satu hal saja yang membuatku takjub. Bahwa wanita itu punya mimpi di balik gayanya yang begitu cuek dan lebih terlihat slenge’an. Dia bercerita bahwa dulunya ia adalah seorang TKI. Tapi, sekarang ia telah menjadi manager di sebuah perusahaan ketenagakerjaan dan menjadi direkur di sebuah perusahaan kecil-kecilan yang ia kelola sendiri. Bahkan ia sudah punya sebuah rumah yang cukup mewah di sebuah kawasan di Jalan Raya Bogor. Dia juga membeli lahan yang luas di kampungnya di Sumbawa sana dan beberapa ekor ternak untuk digarap saudara-saudaranya. Dan ini semua, berangkat dari segala kegetiran, kepahitan dan sulitnya hidup.
Sebelum kami berpisah, wanita itu menyerahkan selembar kartu nama berlogokan perusahaannya. Dan, masih dengan senyum ramahnya, ia berkata “semoga kita berjumpa lagi” dan tak lupa menawarkan agar suatu saat mampir ke rumahnya.
Dari panjangnya kisah yang ia ceritakan, kesimpulanku meng-kerucut pada satu hal saja. Bahwa salah satu kunci suksesnya ia adalah BANYAK MEMBANGUN LINK! Banyak membangun link berarti banyak membangun silaturrahim. Dan, silaturrahim sering kali mendatangkan rizki. Seperti yang Rasulullaah sabdakan.
Banyak membangun link, memperluas networking, akan memberi kita kesempatan lebih luas. Dengan begitu banyak sekali kemudahan yang kita jumpai. Jangan pernah remehkan sebuah pertemuan kecil dan perkenalan kecil kita dengan seseorang. Sebaliknya, selain menambah pertemanan dan menjalin silaturrahim, kita tak pernah tau akan seperti apa takdir kita ke depan. Bisa jadi, perjumpaan sesaat itulah yang kemudian menjadi hal-hal besar dalam hidup kita.
Oh iya, hampir lupa. Dahulu, aku pernah mengurus suatu urusan yang masya Alloh ribetnya. Jika segala urusan itu kuselesaikan sendiri, mungkin aku butuh waktu yang lebih lama. Beruntung aku mengenal seorang ibu baik hati yang bersedia membantuku. Kelebihan ibu tersebut adalah ia banyak membangun network, dengan sesiapa saja. Sehingga, untuk segala urusan dia mengenal orang-orang yang bisa membantunya. Sehingga, berasa sekali urusan kita dipermudah. Ini juga memberiku pelajaran betapa pentingnya membangun link itu. Hayuuk…hayuuk…bangun link yuuk. Di mana pun kita tersesat nantinya, kita masih punya tempat untuk dikunjungi. Hehe.
Kelayakan Dipercaya
Hari ini aku dapat kunjungan dari sahabat lamaku dari Pulau Pandan. Teman sepermainan sejak masa SMA dulu jika aku sudah pulang kampung. Waah, senangnya hatiii. Hehe. Sudah 4 hari ini, pasca tragedy kecelakaan itu, aku nyaris tak pernah keluar rumah. Kakiku masih terasa agak berat untuk diseret dan kepala kananku kadang-kadang masih terasa agak ngilu walau kondisi hari ini sudah sangat lebih baik dari pada kondisi empat hari lalu, alhamdulillaah. Sebab aku tak kelihatan di luar rumah itulah, makanya sahabatku itu datang menjenguk.
Lama kami mengobrol. Masih seputar dunia kerja, tes PNS, maupun kondisi kandungannya yang baru di trimester pertama itu. Beberapa jenak kemudian, ia mengeluarkan selembar kertas. O ow…, rupanya teks pidato bahasa Inggris. Ia memintaku untuk membacakan pronunciation teks pidato itu untuk diajarkan pada muridnya yang akan ikut kompetisi pidato bahasa inggris. Murid kelas lima SD. Terus terang, aku kurang PD dengan pronunciation-ku. Tapi, aku hanya tak tega saja membuatnya kecewa. Di satu sisi, dengan adanya kepercayaan yang diberikan kepadaku, sungguh ada kebahagiaan tersendiri bagiku yang membuatku sangat ingin memberikan yang terbaik bagi sahabatku itu. Aku coba me-recall memory sepuluh tahun lalu, ketika aku juga dihadapkan pada kompetisi yang sama, English Speech Contest.
Walau lidahku sempat sedikit patah-patah mengeja kalimat-kalimat itu, tapi telingaku kali ini tak begitu terkena ‘polusi’ suara akibat pronunciation yang jelek. Mungkin, karena aku sudah bertekad akan memberikan bantuan terbaik untuk sahabatku itu, maka suara sumbang itu lebih diminimalisir. Walau tidak sempurna, tapi, kali ini jauh lebih baik dari pada pronunciation-ku yang sudah-sudah.
Ini untuk pertama kalinya rasa percaya diriku berangsur pulih setelah dilabel “bad-pronunciation” dulunya itu. Satu kata kunci yang sangat berarti itu adalah…kepercayaan! Ada yang bersedia mempercayaiku dan dengannya aku berupaya untuk memberikan apa yang paling optimal yang kupunya.
Kali ini aku memperoleh sebuah pelajaran berharga tentang arti pentingnya memberi kepercayaan. Tentang arti pentingnya meng-apresiasi walau sedikit saja peningkatannya. Kadang-kadang, secara tidak sadar, kita telah meruntuhkan sebuah rasa kepercayaan yang secara tak disadari meninggalkan suatu squele di hati sesiapapun itu, terutama anak-anak, meskipun yang bersangkutan juga tak menyadarinya. Kata-kata semisal, “Ah, masa’ sih bisa?”, “Aah, gak mungkin tuh..”, “Bener nih kamu bisa?”, “Ah, kamu begitu terus, mana mungkin bisa berubah.”, “Kamu iniiii, begini-begini terus. Kapan sih bisa rajin?”, “Saudara ini! Jika semua mahasiswa seperti saudara, Indonesia takkan bangkit!”, dan kata-kata yang menyeret pada emosi negative lainnya. Mungkin maksudnya adalah baik, untuk mengingatkan. Tapi, kata-kata seperti ini seolah-olah menyangsikan kesanggupan seseorang. Padahal, jika mau, bisa aja kan yah!?
Mencoba memberi kepercayaan, berarti menanamkan pada diri seseorang bahwa dia SANGGUP untuk memikulnya. Dengan itu, bisa saja seseorang akan menghasilkan sesuatu yang dua kali lipat lebih besar karena ia dipercaya untuk itu. Memberi sebuah rasa kepercayaan dan mengakui eksistensi orang lain itu ternyata penting.
Pelajaran berharga lainnya adalah dalam sebuah hubungan horizontal antara sesama manusia, ketika kita bersedia untuk memenuhi apa yang orang lain butuhkan dari kita, maka, di saat itu pula kita akan memperoleh begitu banyak sahabat setia. Meski bukan berarti kita menciptakan ketergantungan orang lain atas diri kita dengan pemenuhan sisi yang ia butuhkan itu, melainkan melengkapinya untuk kemandiriannya. Dalam teori Maslow, ini memenuhi tingkatan ke-4 dan ke-5. Sedangkan dalam teori ukhuwah, inilah yang disebut dengan tafahum. Allahu’alam.
Lama kami mengobrol. Masih seputar dunia kerja, tes PNS, maupun kondisi kandungannya yang baru di trimester pertama itu. Beberapa jenak kemudian, ia mengeluarkan selembar kertas. O ow…, rupanya teks pidato bahasa Inggris. Ia memintaku untuk membacakan pronunciation teks pidato itu untuk diajarkan pada muridnya yang akan ikut kompetisi pidato bahasa inggris. Murid kelas lima SD. Terus terang, aku kurang PD dengan pronunciation-ku. Tapi, aku hanya tak tega saja membuatnya kecewa. Di satu sisi, dengan adanya kepercayaan yang diberikan kepadaku, sungguh ada kebahagiaan tersendiri bagiku yang membuatku sangat ingin memberikan yang terbaik bagi sahabatku itu. Aku coba me-recall memory sepuluh tahun lalu, ketika aku juga dihadapkan pada kompetisi yang sama, English Speech Contest.
Walau lidahku sempat sedikit patah-patah mengeja kalimat-kalimat itu, tapi telingaku kali ini tak begitu terkena ‘polusi’ suara akibat pronunciation yang jelek. Mungkin, karena aku sudah bertekad akan memberikan bantuan terbaik untuk sahabatku itu, maka suara sumbang itu lebih diminimalisir. Walau tidak sempurna, tapi, kali ini jauh lebih baik dari pada pronunciation-ku yang sudah-sudah.
Ini untuk pertama kalinya rasa percaya diriku berangsur pulih setelah dilabel “bad-pronunciation” dulunya itu. Satu kata kunci yang sangat berarti itu adalah…kepercayaan! Ada yang bersedia mempercayaiku dan dengannya aku berupaya untuk memberikan apa yang paling optimal yang kupunya.
Kali ini aku memperoleh sebuah pelajaran berharga tentang arti pentingnya memberi kepercayaan. Tentang arti pentingnya meng-apresiasi walau sedikit saja peningkatannya. Kadang-kadang, secara tidak sadar, kita telah meruntuhkan sebuah rasa kepercayaan yang secara tak disadari meninggalkan suatu squele di hati sesiapapun itu, terutama anak-anak, meskipun yang bersangkutan juga tak menyadarinya. Kata-kata semisal, “Ah, masa’ sih bisa?”, “Aah, gak mungkin tuh..”, “Bener nih kamu bisa?”, “Ah, kamu begitu terus, mana mungkin bisa berubah.”, “Kamu iniiii, begini-begini terus. Kapan sih bisa rajin?”, “Saudara ini! Jika semua mahasiswa seperti saudara, Indonesia takkan bangkit!”, dan kata-kata yang menyeret pada emosi negative lainnya. Mungkin maksudnya adalah baik, untuk mengingatkan. Tapi, kata-kata seperti ini seolah-olah menyangsikan kesanggupan seseorang. Padahal, jika mau, bisa aja kan yah!?
Mencoba memberi kepercayaan, berarti menanamkan pada diri seseorang bahwa dia SANGGUP untuk memikulnya. Dengan itu, bisa saja seseorang akan menghasilkan sesuatu yang dua kali lipat lebih besar karena ia dipercaya untuk itu. Memberi sebuah rasa kepercayaan dan mengakui eksistensi orang lain itu ternyata penting.
Pelajaran berharga lainnya adalah dalam sebuah hubungan horizontal antara sesama manusia, ketika kita bersedia untuk memenuhi apa yang orang lain butuhkan dari kita, maka, di saat itu pula kita akan memperoleh begitu banyak sahabat setia. Meski bukan berarti kita menciptakan ketergantungan orang lain atas diri kita dengan pemenuhan sisi yang ia butuhkan itu, melainkan melengkapinya untuk kemandiriannya. Dalam teori Maslow, ini memenuhi tingkatan ke-4 dan ke-5. Sedangkan dalam teori ukhuwah, inilah yang disebut dengan tafahum. Allahu’alam.
Lelaki Tua Berkopiah
Untuk kali keduanya lelaki berkupiah putih itu mengajakku berbicara di tempat yang sama. Lelaki yang mengenakan kaos salah satu pasangan cabup cawabup di kampung kami, dengan celana wol yang sudah usang. Dan kopiah putih yang tak pernah lepas dari kepalanya. Dua bola mata yang bundar. Kumis yang telah bercampur antara warna hitam dan putih. Serta bibir yang senantiasa menyunggingkan sebilah senyum.
Sekilas, laki-laki itu terlihat sangat biasa-biasa saja. Tak ada keganjilan apapun yang kutemukan dari penampilannya. Tapi, setelah berbicara ngaur tak beraturan berikut tingkah aneh yang diperlihatkannya dengan gaya bicaranya yang begitu berbeda dengan makhluk normal lainnya, barulah pikiranku curiga “jangan-jangan si Bapak ini….tidak waras!”
Kucoba mengimbangi bicara sang Bapak. Mengiyakan. Ikut tertawa kala dia tertawa. Sebab—bagiku, dalam kondisi bagaimana pun, aku harus tetap menghargai lawan bicaraku dan mengapresiasinya dengan wajah secerah mungkin—bahkan dalam kondisi aku bersedih sekali pun. Makanya, bagi orang-orang yang baru kenal denganku, umumnya mengatakan bahwa aku selalu tertawa ceria dan tampak tak pernah ada masalah meskipun aku tengah dirundung kesedihan. Padahal, di dalamnya…..heuu….sedang ’tarumuak’. hehe.
Kala itu, aku sedang menunggu travel menuju Padang. Dan, saat itulah si Bapak itu datang menghampiriku. Aku semakin gelisah melihat isi “ota” si Bapak yang makin ngalor ngidul tak beraturan itu. Semua mobil yang lewat dibilangnya adalah miliknya. Haduuuuh… Ingin sekali aku kabur dari tempat itu, tapi, sudah terlanjur berjanji sama orang travelnya kalo aku akan menunggu di sana. Dalam hati aku berdo’a agar travelnya cepat datang, sambil tetap memasang wajah appreciate sama si Bapak.
Akhirnya, si travel pun datang. Alhamdulillaah. Dengan segera aku masuki travelnya tanpa melirik lagi kepada si Bapak. Takut-takut nantinya si Bapak menuduh travel itu juga mobil kepunyaannya. Hehe. Sesampai di dalam travel, aku malah ditertawakan karena ngobrol sama orang gila. Heuu…
Ada pelajaran berharga yang dapat kupetik dari peristiwa ini. Ini semua mengajarkanku betapa berharganya ni’mat akal sehat. Akal sehatlah yang membedakan antara manusia dengan segenap hewan-hewan lainnya. Akal sehatlah yang membuat manusia lebih tinggi dari segenap makhluk bumi lainnya….
Namun, ternyata banyak juga yang tak menyadari dan tak men-syukuri betapa berharganya ni’mat sehat akal ini. Banyak juga yang masih malas-malasan belajar. Malas-malasan menuntut ilmu. Lebih memilih main PS ketimbang ikut pelajaran sekolah. Padahal, setiap kita diberikan kapasitas yang hampir sama, untuk meng-entry segenap ilmu ke dalamnya…
Aihh, meski ditertawakan, tapi kemudian aku mendapat pelajaran berharga dari si Bapak itu. Bahwa Alloh telah anugrahkan sebuah ni’mat luar biasa, yaitu ni’mat untuk berakal. Ni’mat untuk dapat berpikir. Sungguh, kita lebih beruntung dari segenap orang-orang yang tak bisa menggunakan fasilitas dari Alloh ini, apakah itu sebab ketidakwarasan, down syndrome, squele permanent akibat kecelakaan, ataupun Transient Ischemic Attact, atau entah apa lagi. Sungguh, ni’mat dapat menggunakan akal sehat itu adalah ni’mat yang sangat luar biasa.
Lalu, setelah begitu banyak nikmat yang Alloh curahkan, apakah pantas untuk kita sia-siakan? Sungguh, tidak! Sama sekali tidak! Dan sungguh, kapasitas otak kita adalah amat sangat luas! Semakin kita isi, semakin terbentuk jaringan-jaringan yang akan menghidupkan kondisi dormannya. Semakin kita diamkan, semakin sel-sel itu mengalami delesi. Sungguh, otaklah satu-satunya sel yang tidak dapat beregenerasi. Maka, selagi sel-selnya belum mati, mari kita isi dengan segenap ilmu yang bermanfaat. Mari…yuk mari… Jangan lupa untuk saling mengingatkan… ingatkan aku yaaaah…
Sekilas, laki-laki itu terlihat sangat biasa-biasa saja. Tak ada keganjilan apapun yang kutemukan dari penampilannya. Tapi, setelah berbicara ngaur tak beraturan berikut tingkah aneh yang diperlihatkannya dengan gaya bicaranya yang begitu berbeda dengan makhluk normal lainnya, barulah pikiranku curiga “jangan-jangan si Bapak ini….tidak waras!”
Kucoba mengimbangi bicara sang Bapak. Mengiyakan. Ikut tertawa kala dia tertawa. Sebab—bagiku, dalam kondisi bagaimana pun, aku harus tetap menghargai lawan bicaraku dan mengapresiasinya dengan wajah secerah mungkin—bahkan dalam kondisi aku bersedih sekali pun. Makanya, bagi orang-orang yang baru kenal denganku, umumnya mengatakan bahwa aku selalu tertawa ceria dan tampak tak pernah ada masalah meskipun aku tengah dirundung kesedihan. Padahal, di dalamnya…..heuu….sedang ’tarumuak’. hehe.
Kala itu, aku sedang menunggu travel menuju Padang. Dan, saat itulah si Bapak itu datang menghampiriku. Aku semakin gelisah melihat isi “ota” si Bapak yang makin ngalor ngidul tak beraturan itu. Semua mobil yang lewat dibilangnya adalah miliknya. Haduuuuh… Ingin sekali aku kabur dari tempat itu, tapi, sudah terlanjur berjanji sama orang travelnya kalo aku akan menunggu di sana. Dalam hati aku berdo’a agar travelnya cepat datang, sambil tetap memasang wajah appreciate sama si Bapak.
Akhirnya, si travel pun datang. Alhamdulillaah. Dengan segera aku masuki travelnya tanpa melirik lagi kepada si Bapak. Takut-takut nantinya si Bapak menuduh travel itu juga mobil kepunyaannya. Hehe. Sesampai di dalam travel, aku malah ditertawakan karena ngobrol sama orang gila. Heuu…
Ada pelajaran berharga yang dapat kupetik dari peristiwa ini. Ini semua mengajarkanku betapa berharganya ni’mat akal sehat. Akal sehatlah yang membedakan antara manusia dengan segenap hewan-hewan lainnya. Akal sehatlah yang membuat manusia lebih tinggi dari segenap makhluk bumi lainnya….
Namun, ternyata banyak juga yang tak menyadari dan tak men-syukuri betapa berharganya ni’mat sehat akal ini. Banyak juga yang masih malas-malasan belajar. Malas-malasan menuntut ilmu. Lebih memilih main PS ketimbang ikut pelajaran sekolah. Padahal, setiap kita diberikan kapasitas yang hampir sama, untuk meng-entry segenap ilmu ke dalamnya…
Aihh, meski ditertawakan, tapi kemudian aku mendapat pelajaran berharga dari si Bapak itu. Bahwa Alloh telah anugrahkan sebuah ni’mat luar biasa, yaitu ni’mat untuk berakal. Ni’mat untuk dapat berpikir. Sungguh, kita lebih beruntung dari segenap orang-orang yang tak bisa menggunakan fasilitas dari Alloh ini, apakah itu sebab ketidakwarasan, down syndrome, squele permanent akibat kecelakaan, ataupun Transient Ischemic Attact, atau entah apa lagi. Sungguh, ni’mat dapat menggunakan akal sehat itu adalah ni’mat yang sangat luar biasa.
Lalu, setelah begitu banyak nikmat yang Alloh curahkan, apakah pantas untuk kita sia-siakan? Sungguh, tidak! Sama sekali tidak! Dan sungguh, kapasitas otak kita adalah amat sangat luas! Semakin kita isi, semakin terbentuk jaringan-jaringan yang akan menghidupkan kondisi dormannya. Semakin kita diamkan, semakin sel-sel itu mengalami delesi. Sungguh, otaklah satu-satunya sel yang tidak dapat beregenerasi. Maka, selagi sel-selnya belum mati, mari kita isi dengan segenap ilmu yang bermanfaat. Mari…yuk mari… Jangan lupa untuk saling mengingatkan… ingatkan aku yaaaah…
Semangat Kartini
Dalam Musda II GOW (Gabungan Organisasi Wanita) Solsel yang bertepatan dengan tanggal 19 April 2011 Lalu, adalah kali pertamanya aku tidak PD dengan tampilanku yang apa adanya. Tanpa ransel (kuyu, kucel dan usang) yang seperti biasa senantiasa menemani. Entah kenapa, tidak PD saja rasanya berpenampilan ala “anak muda” (ciaaaahhh…) di hadapan para ibu-ibu yang kebanyakan para ibu-ibu DW-nya ‘orang penting’ itu. Jadilah hari itu, aku mengenakan sandal emak-emak dan juga tas emak-emak. Hihi.
Menarik sih acara Musda-nya. Di antara semua agendanya, yang paling menarik bagiku adalah ceramah umum yang disampaikan oleh Biro pemberdayaan perempuan tingkat Propinsi yang mengupas habis soal KDRT a.k.a kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jadi, sekalian sosialisasi UU No. 23 tahun 2004 tentang KDRT. Hmm…ternyata, KDRT itu bukan hanya semata tindak fisik yah? Tapi juga tekanan psikis, di mana jika salah satu pihak yang menjadi bagian dari keluarga merasa tertekan secara psikis dan tidak memperoleh ketenangan ketika berada di rumah, itu sudah tergolong KDRT.
Pemaparan Ibu dari Biro Pemberdayaan Perempuan tingat propinsi itu kembali mengingatkanku pada kisah-kisah ibu-ibu yang curhat denganku soal tekanan psikis yang diterima oleh beliau-beliau itu. Memang tak banyak yang main fisik, tapi, tekanan psikis…hummm…banyak sangat! Dari pemaparan ini, berasa sudah betapa pentingnya pendidikan dan sosialisasi ini pra-nikah. Setidaknya, dijelaskan pada masyarakat yang awam tentang hal ini, agar mereka mengerti. Agar tak semakin banyak dan bertambah banyak, lagi…dan lagi…kasus-kasus macam tu.
Pada akhir tahun 2010 lalu, aku dan uni psikolog-ku sempat meniatkan (dan sempat mempublikasikan) untuk membuat sekolah pra-nikah ini. Jiyaaaah…., bukan praktisi padahal! Ya, memang bukan praktisi. Kan Cuma jadi fasilitator. Yang ngisi kan tetep orang-orang yang berpengalaman sekaligus praktisi. Hee… Niat ini sebenarnya berangkat dari keprihatinan mendalam terhadap kondisi yang terjadi di sekeliling. Seperti sebuah siklus saja. Tamat SMA, atau bahkan tamat SMP langsung menikah, begitu hingga ke anak dan cucunya. Hidupnya begitu-begitu saja. Tak ada perubahan. Tak ada visi. Tak ada misi. Tak ada mimpi-mimpi untuk menjadikan generasi selanjutnya lebih baik. Projectnya sudah jalan 50 %, sudah ada lokasi, sudah ada pemateri dan sudah ada peserta yang mendaftar (walau pesertanya masih belum menjangkau lapisan masyarakat umum, masih di kalangan mahasiswa). Tapi, sayang sekali…piskolognya udah “kabur” duluan ke Kota Besar sono. Tak sangguplaaah jika harus sendirian… Hee… Tapi setidaknya, ide nya masih tersimpan. File-file nya masih ada. Siapapun yang kemudian ingin menggerakkan, kami akan sangat appreciate sekali. Hehe.
Menarik sih acara Musda-nya. Di antara semua agendanya, yang paling menarik bagiku adalah ceramah umum yang disampaikan oleh Biro pemberdayaan perempuan tingkat Propinsi yang mengupas habis soal KDRT a.k.a kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jadi, sekalian sosialisasi UU No. 23 tahun 2004 tentang KDRT. Hmm…ternyata, KDRT itu bukan hanya semata tindak fisik yah? Tapi juga tekanan psikis, di mana jika salah satu pihak yang menjadi bagian dari keluarga merasa tertekan secara psikis dan tidak memperoleh ketenangan ketika berada di rumah, itu sudah tergolong KDRT.
Pemaparan Ibu dari Biro Pemberdayaan Perempuan tingat propinsi itu kembali mengingatkanku pada kisah-kisah ibu-ibu yang curhat denganku soal tekanan psikis yang diterima oleh beliau-beliau itu. Memang tak banyak yang main fisik, tapi, tekanan psikis…hummm…banyak sangat! Dari pemaparan ini, berasa sudah betapa pentingnya pendidikan dan sosialisasi ini pra-nikah. Setidaknya, dijelaskan pada masyarakat yang awam tentang hal ini, agar mereka mengerti. Agar tak semakin banyak dan bertambah banyak, lagi…dan lagi…kasus-kasus macam tu.
Pada akhir tahun 2010 lalu, aku dan uni psikolog-ku sempat meniatkan (dan sempat mempublikasikan) untuk membuat sekolah pra-nikah ini. Jiyaaaah…., bukan praktisi padahal! Ya, memang bukan praktisi. Kan Cuma jadi fasilitator. Yang ngisi kan tetep orang-orang yang berpengalaman sekaligus praktisi. Hee… Niat ini sebenarnya berangkat dari keprihatinan mendalam terhadap kondisi yang terjadi di sekeliling. Seperti sebuah siklus saja. Tamat SMA, atau bahkan tamat SMP langsung menikah, begitu hingga ke anak dan cucunya. Hidupnya begitu-begitu saja. Tak ada perubahan. Tak ada visi. Tak ada misi. Tak ada mimpi-mimpi untuk menjadikan generasi selanjutnya lebih baik. Projectnya sudah jalan 50 %, sudah ada lokasi, sudah ada pemateri dan sudah ada peserta yang mendaftar (walau pesertanya masih belum menjangkau lapisan masyarakat umum, masih di kalangan mahasiswa). Tapi, sayang sekali…piskolognya udah “kabur” duluan ke Kota Besar sono. Tak sangguplaaah jika harus sendirian… Hee… Tapi setidaknya, ide nya masih tersimpan. File-file nya masih ada. Siapapun yang kemudian ingin menggerakkan, kami akan sangat appreciate sekali. Hehe.
Cinta Kita Tak Pernah Bertepuk Sebelah Tangan
Sahabat, pernahkah ada sebersit harap di hatimu, untuk melabuhkan asa dan menyandarkan hatimu pada satu sosok? Pernahkah ada sebuah rasa yang meluap-luap bagaikan banjir bandang yang tertahan di balik wajahmu yang merona? Pernahkah ada sebuah rasa yang begitu dahsyat yang begitu sulit engkau tahan dan kemudian binar matamu tak sanggup menyembunyikan itu semua? Pernahkah engkau rasakan demikian, sahabat? Meski kemudian engkau tahu, bahwa rasa-rasa itu adalah sesungguhnya bukan pada sosok yang layak, dan belum dihalalkan-Nya, lalu kemudian mati-matian engkau coba lenyapkan dari segala bilik memorimu? Pernahkah?
Kemudian, pada saat yang tak terduga, saat harap-harapmu itu seperti singsingan fajar yang semakin meninggi dan kemudian menjadi mentari pagi di ufuk timur yang kian mencerah, kau dihadapkan pada sesuatu yang bagimu lebih dahsyat dari hancurnya katai putih menjadi supernova. Harapan dan asa yang kau rajut tiba-tiba saja buyar seketika. Tiba-tiba saja mentari yang baru saja menyingsing di ufuk timur, dengan segera tenggelam seketika. Kau merasa gelap. Harapanmu itu kandas seperti bergantinya mentari dengan gelapnya sang malam tanpa rembulan. Semangatmu meredup. Harapanmu lenyap. Lalu, engkau menderita sebab langit asamu tiba-tiba saja mendung dan memuntahan hujan deras.
Ah, sahabat. Kau sedang dirundung kedukaan. Tapi, engkau tak boleh lupa satu hal, bahwa CINTAMU TAK PERNAH BERTEPUK SEBELAH TANGAN! Ya, sekali lagi, cintamu tak pernah bertepuk sebelah tangan. Sungguh, tak pernah.
Sebab, mungkin saja harap-harap itu telah membuatmu lupa bahwa ada banyak lokus cinta yang ada di sekelilingmu. Cinta tulus, yang tak pernah ada pamrih sedikitpun, tercurah untukmu, di saat engkau (mungkin) mengejar cinta yang bahkan bukan selayaknya untuk kau kejar!
Cobalah kembali kita insafi sejenak. Sungguh ada banyak cinta di sekeliling kita, tulus teruntuk buat kita, yang mungkin ambang dalam hati kita sebab satu lokus harap itu sudah tersandar bulat-bulat padanya. Cinta dari sahabat-sahabat kita, saudara saudari kita. Mereka yang merengkuh pundak-pundak kita dengan hangat. Berbagi kedukaan dan berbagi canda tawa dengan kita. Adakah pantas untuk terlupakan?
Ada lagi, curahan cinta yang lebih dahsyat dari itu. Bahkan, ia pertaruhkan nyawa demi kehidupan kita. Sungguh, cinta yang takkan pernah terbalaskan oleh diri kita. Ialah cinta ibu dan ayah kita. Lalu, apakah masih ada alasan bagi kita untuk lupa dengan segenap cinta yang begitu dahsyat ini dan masih merelakan separuh hati kita, bahkan untuk seseorang yang tak layak menurut-Nya? Cobalah sejenak kembali kita selami. Bukankah beliau berdua tak pernah rela membiarkan sedikitpun ada beban penderitaan di hati kita? Saat kita bahkan lebih euphoria menerima SMS dia dari pada beliau berdua? Saat sebagian alam fikir kita justru tersedot pada seseorang yang belum tentu terbaik buat diri kita, dan lupa akan segala cinta dahsyat dari ayah bunda kita? Bukankah beliau telah berkorban segalanya untuk kita? Memberikan yang terbaik untuk kita. Berbahagia dengan kebahagiaan kita, melebihi kebahagiaan diri beliau sendiri. Apakah kita lupa itu? Ingatkah kita, ketika beliau lebih rela kekurangan, lebih rela untuk tidak enak, hanya demi diri kita agar tidak kekurangan dan merasa lebih enak? Ingkatkah kita, ketika beliau senantiasa bersusah payah, lelah dan penat tetapi tak pernah beliau keluhkan itu? Bahkan, ketika kita bertanya, “adakah engkau lelah, Bunda?” beliau masih saja menjawab “tidak, anakku” padahal tubuh itu sudah begitu gemetaran? Aaah…, sungguh, mungkin kita lupa, ketika kita mengejar cinta yang belum tentu Alloh halalkan untuk diri kita. Lupakah kita akan hal itu?
Sahabat, bersyukurlah…bahwa engkau jauh lebih beruntung dikaruniai kasih dan cinta yang tak terbatas? Kita jauh lebih beruntung dari pada segenap anak-anak lainnya yang sama sekali tak merasakan dahsyatnya cinta luar biasa ini. Anak-anak yang tak pernah merasakan betapa bersahajanya belaian seorang ibu? Lalu, masihkah kita sanggup berkata, bahwa cinta kita bertepuk sebelah tangan?
Di atas itu semua, masih lagi ada cinta yang Maha Dahsyat! Cinta Sang Maha Pemilik Cinta. Kita, yang senantiasa melakukan dosa di hadapan-Nya, tapi, Dia masih membentangkan segenap keampunan. Masih mencurahkankan segenap Rahman dan Rahim-Nya pada diri kita yang dhaif ini. Dia yang sungguh jauh lebih dekat dengan kita. Bahkan, dia itu, tentulah tak lebih bandingannya dengan sebiji dzarrah dibandingkan luasnya semesta. Bahkan ia lebih kecil dari pada itu. Lalu, adakah kita lupa akan hal ini? Ah, sungguh…cinta kita tak pernah bertepuk sebelah tangan. Tak pernah…
Sahabat…
Sungguh, ada cinta-Nya yang Maha Indah yang lebih patut untuk kita kejar. Sungguh, dia itu bukan apa-apa. Bahkan, BELUM TENTU dia adalah sebaik-baik pilihan-Nya buat diri kita. Berhentilah melabuhkan harap pada manusia yang sama dhaifnya dengan diri kita. Berhentilah menyandarkan hati pada sosok yang belum tentu Dia ridhoi untuk membersamai kita. Sedangkan cinta-Nya dan kasih sayang-Nya, adalah sesuatu yang PASTI meliputi semua hamba-Nya, bahkan setelah kita bermaksiat sekalipun. Sungguh, ampunan-Nya lebih luas dari samudera, kendati pun dosa-dosa kita juga sebanyak air di lautan. Lalu, masihkah kita rela menukar cinta yang banyak dengan cinta yang sedikit? Tentu kita tak ingin merugi, bukan?
Sahabat, mari, kita saling mengingatkan…Mari kita mengejar cinta-Nya. Yaah, cukuplah pada-Nya saja kita labuhkan segenap harap. Dia paling tahu apa yang terbaik bagi diri kita, jauh melebihi kita. Bahkan kita tak tahu apa-apa… Sahabat, ingatkan diriku yaaah…
Kemudian, pada saat yang tak terduga, saat harap-harapmu itu seperti singsingan fajar yang semakin meninggi dan kemudian menjadi mentari pagi di ufuk timur yang kian mencerah, kau dihadapkan pada sesuatu yang bagimu lebih dahsyat dari hancurnya katai putih menjadi supernova. Harapan dan asa yang kau rajut tiba-tiba saja buyar seketika. Tiba-tiba saja mentari yang baru saja menyingsing di ufuk timur, dengan segera tenggelam seketika. Kau merasa gelap. Harapanmu itu kandas seperti bergantinya mentari dengan gelapnya sang malam tanpa rembulan. Semangatmu meredup. Harapanmu lenyap. Lalu, engkau menderita sebab langit asamu tiba-tiba saja mendung dan memuntahan hujan deras.
Ah, sahabat. Kau sedang dirundung kedukaan. Tapi, engkau tak boleh lupa satu hal, bahwa CINTAMU TAK PERNAH BERTEPUK SEBELAH TANGAN! Ya, sekali lagi, cintamu tak pernah bertepuk sebelah tangan. Sungguh, tak pernah.
Sebab, mungkin saja harap-harap itu telah membuatmu lupa bahwa ada banyak lokus cinta yang ada di sekelilingmu. Cinta tulus, yang tak pernah ada pamrih sedikitpun, tercurah untukmu, di saat engkau (mungkin) mengejar cinta yang bahkan bukan selayaknya untuk kau kejar!
Cobalah kembali kita insafi sejenak. Sungguh ada banyak cinta di sekeliling kita, tulus teruntuk buat kita, yang mungkin ambang dalam hati kita sebab satu lokus harap itu sudah tersandar bulat-bulat padanya. Cinta dari sahabat-sahabat kita, saudara saudari kita. Mereka yang merengkuh pundak-pundak kita dengan hangat. Berbagi kedukaan dan berbagi canda tawa dengan kita. Adakah pantas untuk terlupakan?
Ada lagi, curahan cinta yang lebih dahsyat dari itu. Bahkan, ia pertaruhkan nyawa demi kehidupan kita. Sungguh, cinta yang takkan pernah terbalaskan oleh diri kita. Ialah cinta ibu dan ayah kita. Lalu, apakah masih ada alasan bagi kita untuk lupa dengan segenap cinta yang begitu dahsyat ini dan masih merelakan separuh hati kita, bahkan untuk seseorang yang tak layak menurut-Nya? Cobalah sejenak kembali kita selami. Bukankah beliau berdua tak pernah rela membiarkan sedikitpun ada beban penderitaan di hati kita? Saat kita bahkan lebih euphoria menerima SMS dia dari pada beliau berdua? Saat sebagian alam fikir kita justru tersedot pada seseorang yang belum tentu terbaik buat diri kita, dan lupa akan segala cinta dahsyat dari ayah bunda kita? Bukankah beliau telah berkorban segalanya untuk kita? Memberikan yang terbaik untuk kita. Berbahagia dengan kebahagiaan kita, melebihi kebahagiaan diri beliau sendiri. Apakah kita lupa itu? Ingatkah kita, ketika beliau lebih rela kekurangan, lebih rela untuk tidak enak, hanya demi diri kita agar tidak kekurangan dan merasa lebih enak? Ingkatkah kita, ketika beliau senantiasa bersusah payah, lelah dan penat tetapi tak pernah beliau keluhkan itu? Bahkan, ketika kita bertanya, “adakah engkau lelah, Bunda?” beliau masih saja menjawab “tidak, anakku” padahal tubuh itu sudah begitu gemetaran? Aaah…, sungguh, mungkin kita lupa, ketika kita mengejar cinta yang belum tentu Alloh halalkan untuk diri kita. Lupakah kita akan hal itu?
Sahabat, bersyukurlah…bahwa engkau jauh lebih beruntung dikaruniai kasih dan cinta yang tak terbatas? Kita jauh lebih beruntung dari pada segenap anak-anak lainnya yang sama sekali tak merasakan dahsyatnya cinta luar biasa ini. Anak-anak yang tak pernah merasakan betapa bersahajanya belaian seorang ibu? Lalu, masihkah kita sanggup berkata, bahwa cinta kita bertepuk sebelah tangan?
Di atas itu semua, masih lagi ada cinta yang Maha Dahsyat! Cinta Sang Maha Pemilik Cinta. Kita, yang senantiasa melakukan dosa di hadapan-Nya, tapi, Dia masih membentangkan segenap keampunan. Masih mencurahkankan segenap Rahman dan Rahim-Nya pada diri kita yang dhaif ini. Dia yang sungguh jauh lebih dekat dengan kita. Bahkan, dia itu, tentulah tak lebih bandingannya dengan sebiji dzarrah dibandingkan luasnya semesta. Bahkan ia lebih kecil dari pada itu. Lalu, adakah kita lupa akan hal ini? Ah, sungguh…cinta kita tak pernah bertepuk sebelah tangan. Tak pernah…
Sahabat…
Sungguh, ada cinta-Nya yang Maha Indah yang lebih patut untuk kita kejar. Sungguh, dia itu bukan apa-apa. Bahkan, BELUM TENTU dia adalah sebaik-baik pilihan-Nya buat diri kita. Berhentilah melabuhkan harap pada manusia yang sama dhaifnya dengan diri kita. Berhentilah menyandarkan hati pada sosok yang belum tentu Dia ridhoi untuk membersamai kita. Sedangkan cinta-Nya dan kasih sayang-Nya, adalah sesuatu yang PASTI meliputi semua hamba-Nya, bahkan setelah kita bermaksiat sekalipun. Sungguh, ampunan-Nya lebih luas dari samudera, kendati pun dosa-dosa kita juga sebanyak air di lautan. Lalu, masihkah kita rela menukar cinta yang banyak dengan cinta yang sedikit? Tentu kita tak ingin merugi, bukan?
Sahabat, mari, kita saling mengingatkan…Mari kita mengejar cinta-Nya. Yaah, cukuplah pada-Nya saja kita labuhkan segenap harap. Dia paling tahu apa yang terbaik bagi diri kita, jauh melebihi kita. Bahkan kita tak tahu apa-apa… Sahabat, ingatkan diriku yaaah…
homeSWEEThome, 24 April 2011
Wahai kakiku, cepatlah pulih...biar bisa locat-loncat lagi... ^___^
Ganbatte Kudasai!
Semangatttt!!! |
Cerita ini tentang Jepang, yang sudah begitu menanamkan kalimat-kalimat SEMANGAT sejak mereka masih belum mengenali dunia. Sejak mereka baru memualai kehidupan ini. Kata-kata “Gambaremasu!” atau “Ganbatte kudasai!” dan kalimat-kalimat penyemangat lainnya. Salah seorang orang Indonesia heran dengan hal ini. “Kenapa sih, orang Jepang suka sekali mengatakan Ganbatte Kudasai?”
Maka, ‘keajaiban’ sugesti kata itu dibuktikan pasca tiga tragedi yang terjadi begitu beruntun. Gempa, Tsunami dan ledakan nuklir. Apa yang menariknya? Menurut kisah itu, orang Jepang sama sekali tidak memutar nyanyi-nyanyi penuh kesedihan dan keterharuan. Sebaliknya, mereka malah memutar lagu-lagu penuh semangat, sehingga yang ada adalah sebuah semangat untuk kembali bangkit. Di kisahkan juga di sana, ada seorang nenek-nenek yang mencari suaminya yang hilang pasca bencana. Bukannya empati mellow-mellow yang diberikan demi melihat upaya sang nenek yang kehilangan belahan jiwanya melainkan kalimat, “Ganbatte kudasai! Kamu pasti bisa!”
Masya Alloh...
Ternyata dahsyat sekali yah, suntikan semangat itu! Dahsyat sekali sebuah sugesti positive itu? Trima kasih Ratih, atas suntikkan semangat yang dirimu tularkan. Suatu saat, aku yakin, dirimu akan berada di puncak-puncak kesuksesan itu. Man jadda wa jadda!
Tentang keterpurukkan, apapun itu, adalah sesuatu yang niscaya. Bukankah hidup ini begitu dinamis? Dan bukankah kedinamisan itu laiknya gelombang pasang surut? Tak selalu berada di puncak, tapi juga pernah berada dalam keterpurukkan, menyoal apa saja itu! Tapi, bukan berarti pula keterpurukkan itu akan senantiasa menggiring kita pada kehancuran, pada ketidakberdayaan, pada redupnya mimpi dan harapan. Tidak! Selama kita terus berupaya, bertahan dan tangguh dalam gigir ketegaran, selama itu pula gelombang itu akan menjadi ttik-titik yang mengantarkan kita pada sebuah kejayaan, pada sebuah kesuksesan!
Mari melukis mimpi-mimpi kita. Dengan mimpi, akan terbit sebuah harapan. Lalu, semangatlah yang akan menjadi bahan bakarnya. Dan semangat itu ternyata dapat tersintesa dengan adanya sugesti-sugesti positive, dengan kalimat-kalimat “Semangat!”, “Hamasah!”, “Keep moving forward”, “Ganbatte kudasai!”, “Gambaremasu!”, bahkan dalam kondisi seterpuruk apapun itu.
Hayuuukk...
Semangaaaaaaaaaaaattt!!
Catatkan lembaran penyemangat dalam hidupmu!
Gapai mimpi, raih prestasi!
Sebab, setiap orang BERHAK UNTUK BERPRESTASI!
sedikit cuplikan semangat..^^ |
homeSWEEThome...23 April 2011
Saat mesti harus istirahat dari segala sesuatu yang bernama "malala"
Kesempatan Kedua
Alhamdulillaah…
Alhamdulillaah ya Rabb…
Segenap kesyukuran kusampaikan pada-Mu ya Alloh, atas KESEMPATAN yang Engkau berikan sekali lagi untukku ya Alloh….
Dua peristiwa yang hanya dipisahkan oleh jangka waktu 48 jam ini benar-benar memberikan sentakkan dan pelajaran berharga bagiku, akan berharganya sisa-sisa waktu yang kupunya. Tentang apa sesungguhnya esensi hidupku. Dan tentang bagaimana ending kehidupan yang berakhir dengan sebuah senyuman manis… dengan kalimah “Laa Ilaha illalloh…”. Sungguh, tiadalah yang kurindui dari akhir dan ending kehidupan ini selain dengan kalimat itu. Ya Alloh, hamba mohonkan pada-Mu ya Rabb, jadikanlah penutup hari-hariku adalah dengan pentutupan yang baik ya Alloh. Sungguh, diri ini…masih sangat jauh dari baik ya Rabb… Masih sangat jauh dari baik. Tak ada yang dapat menjamin, akan bagaimana dan seperti apa akhir dan ending dari kehidupan ini. Sungguh tak seorangpun dapat menjaminnya…
Baru 48 jam yang lalu, aku hampir-hampir saja menghadang maut, kali ini…kembali Alloh hadirkan pengingat dan reminders lagi, yang sungguh tak jauh beda.
Sore ini, ba’da asyar, aku hendak menghadiri halaqoh. Di persimpangan Jawi-jawi (simpang dari jalan kecil dari rumahku menuju jalan raya), aku berbelok ke arah kanan dan tiba-tiba saja seperti ada sesuatu yang sangat kuat mendorongku dari arah belakang. Padahal, aku sudah menyebrang dengan sangat hati-hati, dan estimasiku tidak meleset. Aku sudah melaju dengan kecepatan sedang sekitar empat atau lima meter di jalur kiri, jalur yang seharusnya.
Aku dan motorku terpental ke sisi kiri jalan. Ada seonggok batako tengah menantiku di sana. Allahu akbarr! Dunia terasa berputar beberapa kali. Kepalaku rasanya terbentur pada batako. Alhamdulillaah, aku mengenakan helm, sehingga kepala terlindungi.
Laa ilaaha illalloh…
Allahu akbar!
Beberapa saat saja, semua orang mengerumuniku. Sang penabrak yang tadi mendorong motorku sangat kuat, juga tergeletak di jalan dengan posisi kepala menyentuh jalan dan motornya pun ikut terguling, tapi tak jauh dari dia. Pemuda pengendara itu nyaris tak bergerak. Tubuhnya diangkat ke pinggir jalan, ada sedikit darah. Ya Alloh….
Aku berusaha bangkit dari posisiku yang berbantalkan batako. Terasa nyeri di kepala kanan bagian belakang dan kaki kananku. Ya Alloh… Lagi-lagi aku berpikir, apakah ini adalah ending dari kehidupanku… Ya Alloh…
Orang-orang mengelilingiku, dan bertanya “Bagaimana?” Beberapa saksi mata meminta untuk segera di antar ke rumah sakit saja. Sebagian menahan, agar urusan ini diselesaikan dulu. Si penabrak harus bertanggungjawab dulu! Allahu akbar…
Simpang tiga Jawi-jawi itu sering juga disebut simpang Baygon. Entah kenapa disebut dengan nama simpang Baygon. Tapi, angka kecelakaan di sana memang cukup tinggi. Sudah berkali-kali kecelakaan terjadi di sana. Dan juga entah berapa orang yang meregang nyawa di dana. Aku sering menyaksikan pecahan kaca dan mobil penyok serta sisa darah di tempat itu.
Alhamdulillaah…aku mengenakan helm. Jika tidak, sungguh…aku tidak tahu bagaimana nasibku. Sangat mungkin, ini akan menjadi ending dari hidupku. Sebab, aku sering kali menyaksikan kecelakaan dengan memar di dalam kepala. Sahabatku di Farmasi, adek tingkatku di Farmasi, juru masak di sekolahku di SMA dulunya, meninggal akibat inflamasi dan infeksi yang terjadi di dalam kepala. Memang, tidak ada luka di badan. Bahkan juga tak ada luka luar di kepala. Tapi, lukanya ada di dalam. Terjadi reaksi inflamasi lalu terjadi infeksi.
Kadang, banyak yang mengenakan helm hanya karna takut polisi saja. Padahal, helm itu juga adalah demi keselamatan si pengendara. Bukankah aturan itu dibuat untuk menyelamatkan? Pelajaran berharganya adalah ketika kita menjalankan aturan bukan sebab siapapun tapi atas kesadaran bahwa itu akan menyelamatkan, maka kita akan jumpai kemanfaatan besar di dalamnya. Itu baru aturan manusia. Apalagi aturan Alloh dan Rasul-Nya. Selama kita ikuti aturan dan rambu-rambunya, insya Alloh kita akan selamat. Dua wasiat Rasulullaah buat kita, Al Qur’an dan sunnah, yang selama kita berpegang teguh pada keduanya, maka kita akan selamat dalam mengarungi dunia ini…
Dari rentang peristiwa ini, sungguh… ada segenap kesyukuran bahwa dengannya aku jadi sangat mengerti akan berharganya sisa-sisa waktu yang Alloh jatahkan. Dua kali sudah Alloh berikan kesempatan. Ya, NIKMAT KESEMPATAN untuk kembali berbenah diri. Sungguh sangat berharga waktu yang tersisa. Akankah disiakan? Sementara kita tak pernah tahu, akan seperti apa ending kehidupan ini.
Sungguh, peristiwa beruntun ini, ketika dua kali nyaris berhadapan dengan maut, meninggalkan sebuah muhasabah bagi diriku. Sungguh… Membuat kembali mengevaluasi diri… Dan sungguh, pelajaran kali ini sungguh sangat jauh menyentuh palung terdalam di hatiku. Tentang berharganya nikmat kESEMPATAN. Tentang berharganya waktu yang kupunya. Akankah disiakan? Akankah disiakan? Sementara dunia ini bukanlah segala-galanya… Hanya sebuah persinggahan sementara yang jika tak berhati-hati dengan senda guraunya dan permainannya, maka akan ada penyesalan panjang yang tak berkesudahan, ketika segala sesuatunya dibalaskan.
Tentang sisa waktu yang kita punya lagi, sungguh tak seorang pun dapat meng-estimasinya. Sungguh tak seorang pun dapat memprediksinya. Lalu, apakah masih ada alasan untuk menyia-nyiakan kesejenakkan waktu ini, setelah dua kali Alloh berikan kesempatan? Sungguh….kita tak pernah punya alasan lagi untuk itu….
Sungguh, dunia dengan kesejenakkannya, bukanlah esensi dari hidup ini, walau bukan berarti kita mesti meninggalkan dunia. Ada jangka yang begitu panjang yang akan kita lewati setelahnya. Maka, jika cita-cita kita adalah sejauh itu, jauh melintasi dunia, maka…dunia pun kemudian menjadi sesuatu yang niscaya akan dilintasi. Tapi, jika hanya sampai berujung pada kesejenakkan dunia saja, bahan bakar kita tentu takkan pernah mencukupi untuk menempuh perjalanan panjang itu.
Ya Alloh…Trima kasih ya Rabb, atas KESEMPATAN kedua yang Engkau berikan untuk berbenah diri. Sungguh tak ada yang dipunyai diri ini selain kedhaifan di hadapan-Mu ya Rabb… Hamba mohonkan kepada-Mu ya Alloh…akhir dari kesejenakkan dunia ini adalah dengan sebaik-baiknya ending ya Robb… Tak ada yang dapat menjamin diri ini ya Alloh selain Engkau…
Alhamdulillaah ya Rabb…
Segenap kesyukuran kusampaikan pada-Mu ya Alloh, atas KESEMPATAN yang Engkau berikan sekali lagi untukku ya Alloh….
Dua peristiwa yang hanya dipisahkan oleh jangka waktu 48 jam ini benar-benar memberikan sentakkan dan pelajaran berharga bagiku, akan berharganya sisa-sisa waktu yang kupunya. Tentang apa sesungguhnya esensi hidupku. Dan tentang bagaimana ending kehidupan yang berakhir dengan sebuah senyuman manis… dengan kalimah “Laa Ilaha illalloh…”. Sungguh, tiadalah yang kurindui dari akhir dan ending kehidupan ini selain dengan kalimat itu. Ya Alloh, hamba mohonkan pada-Mu ya Rabb, jadikanlah penutup hari-hariku adalah dengan pentutupan yang baik ya Alloh. Sungguh, diri ini…masih sangat jauh dari baik ya Rabb… Masih sangat jauh dari baik. Tak ada yang dapat menjamin, akan bagaimana dan seperti apa akhir dan ending dari kehidupan ini. Sungguh tak seorangpun dapat menjaminnya…
Baru 48 jam yang lalu, aku hampir-hampir saja menghadang maut, kali ini…kembali Alloh hadirkan pengingat dan reminders lagi, yang sungguh tak jauh beda.
Sore ini, ba’da asyar, aku hendak menghadiri halaqoh. Di persimpangan Jawi-jawi (simpang dari jalan kecil dari rumahku menuju jalan raya), aku berbelok ke arah kanan dan tiba-tiba saja seperti ada sesuatu yang sangat kuat mendorongku dari arah belakang. Padahal, aku sudah menyebrang dengan sangat hati-hati, dan estimasiku tidak meleset. Aku sudah melaju dengan kecepatan sedang sekitar empat atau lima meter di jalur kiri, jalur yang seharusnya.
Aku dan motorku terpental ke sisi kiri jalan. Ada seonggok batako tengah menantiku di sana. Allahu akbarr! Dunia terasa berputar beberapa kali. Kepalaku rasanya terbentur pada batako. Alhamdulillaah, aku mengenakan helm, sehingga kepala terlindungi.
Laa ilaaha illalloh…
Allahu akbar!
Beberapa saat saja, semua orang mengerumuniku. Sang penabrak yang tadi mendorong motorku sangat kuat, juga tergeletak di jalan dengan posisi kepala menyentuh jalan dan motornya pun ikut terguling, tapi tak jauh dari dia. Pemuda pengendara itu nyaris tak bergerak. Tubuhnya diangkat ke pinggir jalan, ada sedikit darah. Ya Alloh….
Aku berusaha bangkit dari posisiku yang berbantalkan batako. Terasa nyeri di kepala kanan bagian belakang dan kaki kananku. Ya Alloh… Lagi-lagi aku berpikir, apakah ini adalah ending dari kehidupanku… Ya Alloh…
Orang-orang mengelilingiku, dan bertanya “Bagaimana?” Beberapa saksi mata meminta untuk segera di antar ke rumah sakit saja. Sebagian menahan, agar urusan ini diselesaikan dulu. Si penabrak harus bertanggungjawab dulu! Allahu akbar…
Simpang tiga Jawi-jawi itu sering juga disebut simpang Baygon. Entah kenapa disebut dengan nama simpang Baygon. Tapi, angka kecelakaan di sana memang cukup tinggi. Sudah berkali-kali kecelakaan terjadi di sana. Dan juga entah berapa orang yang meregang nyawa di dana. Aku sering menyaksikan pecahan kaca dan mobil penyok serta sisa darah di tempat itu.
Alhamdulillaah…aku mengenakan helm. Jika tidak, sungguh…aku tidak tahu bagaimana nasibku. Sangat mungkin, ini akan menjadi ending dari hidupku. Sebab, aku sering kali menyaksikan kecelakaan dengan memar di dalam kepala. Sahabatku di Farmasi, adek tingkatku di Farmasi, juru masak di sekolahku di SMA dulunya, meninggal akibat inflamasi dan infeksi yang terjadi di dalam kepala. Memang, tidak ada luka di badan. Bahkan juga tak ada luka luar di kepala. Tapi, lukanya ada di dalam. Terjadi reaksi inflamasi lalu terjadi infeksi.
Kadang, banyak yang mengenakan helm hanya karna takut polisi saja. Padahal, helm itu juga adalah demi keselamatan si pengendara. Bukankah aturan itu dibuat untuk menyelamatkan? Pelajaran berharganya adalah ketika kita menjalankan aturan bukan sebab siapapun tapi atas kesadaran bahwa itu akan menyelamatkan, maka kita akan jumpai kemanfaatan besar di dalamnya. Itu baru aturan manusia. Apalagi aturan Alloh dan Rasul-Nya. Selama kita ikuti aturan dan rambu-rambunya, insya Alloh kita akan selamat. Dua wasiat Rasulullaah buat kita, Al Qur’an dan sunnah, yang selama kita berpegang teguh pada keduanya, maka kita akan selamat dalam mengarungi dunia ini…
Dari rentang peristiwa ini, sungguh… ada segenap kesyukuran bahwa dengannya aku jadi sangat mengerti akan berharganya sisa-sisa waktu yang Alloh jatahkan. Dua kali sudah Alloh berikan kesempatan. Ya, NIKMAT KESEMPATAN untuk kembali berbenah diri. Sungguh sangat berharga waktu yang tersisa. Akankah disiakan? Sementara kita tak pernah tahu, akan seperti apa ending kehidupan ini.
Sungguh, peristiwa beruntun ini, ketika dua kali nyaris berhadapan dengan maut, meninggalkan sebuah muhasabah bagi diriku. Sungguh… Membuat kembali mengevaluasi diri… Dan sungguh, pelajaran kali ini sungguh sangat jauh menyentuh palung terdalam di hatiku. Tentang berharganya nikmat kESEMPATAN. Tentang berharganya waktu yang kupunya. Akankah disiakan? Akankah disiakan? Sementara dunia ini bukanlah segala-galanya… Hanya sebuah persinggahan sementara yang jika tak berhati-hati dengan senda guraunya dan permainannya, maka akan ada penyesalan panjang yang tak berkesudahan, ketika segala sesuatunya dibalaskan.
Tentang sisa waktu yang kita punya lagi, sungguh tak seorang pun dapat meng-estimasinya. Sungguh tak seorang pun dapat memprediksinya. Lalu, apakah masih ada alasan untuk menyia-nyiakan kesejenakkan waktu ini, setelah dua kali Alloh berikan kesempatan? Sungguh….kita tak pernah punya alasan lagi untuk itu….
Sungguh, dunia dengan kesejenakkannya, bukanlah esensi dari hidup ini, walau bukan berarti kita mesti meninggalkan dunia. Ada jangka yang begitu panjang yang akan kita lewati setelahnya. Maka, jika cita-cita kita adalah sejauh itu, jauh melintasi dunia, maka…dunia pun kemudian menjadi sesuatu yang niscaya akan dilintasi. Tapi, jika hanya sampai berujung pada kesejenakkan dunia saja, bahan bakar kita tentu takkan pernah mencukupi untuk menempuh perjalanan panjang itu.
Ya Alloh…Trima kasih ya Rabb, atas KESEMPATAN kedua yang Engkau berikan untuk berbenah diri. Sungguh tak ada yang dipunyai diri ini selain kedhaifan di hadapan-Mu ya Rabb… Hamba mohonkan kepada-Mu ya Alloh…akhir dari kesejenakkan dunia ini adalah dengan sebaik-baiknya ending ya Robb… Tak ada yang dapat menjamin diri ini ya Alloh selain Engkau…
Simpang Jawi-jawi, Solok Selatan 21 April 2010
_________________________________________
Sumber gambar di sini
Bertarung dengan Maut
Suatu saat...kitapun akan berumah di sini.... |
Perjalanan pulang kali ini, juga diwarnai hujan dan kabut yang membuat jalanan jadi licin. Jika sudah begini, tentulah sangat rawan dengan kemacetan. Apalagi, jalan ini adalah jalan transit yang sangat penting. Mengangkut berbagai jenis barang dari berbagai tempat menuju kota Padang. Maka, tak heran jika banyak truk-truk besar (yang kebanyakan juga over load) yang melintasi jalan ini. Sebab overload itu pula, kebanyakan tak bisa menahan beban. Akhirnya terjadilah kecelakaan. Umumnya pun kecelakaan terjadi pada truk-truk besar itu.
Di Sitinjau Lauik, setelah kemacetan panjang ini, travel yang kutumpangi terjebak di sebuah pendakian. Di depanku ada mobil fortuna yang kelihatannya masih sangat baru, lalu di depannya lagi ada truk besar yang mungkin overload. Lalu, di belakang kami, ada truk besar pula, dan samping kirinya adalah jurang. Di samping kanan, adalah jalan dari jalur yang berlawanan.
Tiba-tiba, truk didepan fortuna tak sanggup menahan beban, dan akhirnya tanpa terkendali, bus pun mundur, menghantam fortuna yang tak menjaga jarak dengan truk itu. Fortuna itu serta merta remuk. Orang-orang di travel sudah berteriak kalut. Sebab, jika mobil dibelokkan ke kiri, sudah pasti masuk jurang. Jika tetap diam, pasti akan lebih remuk dari fortuna, sebab akan dihantam oleh fortuna dan truk sekaligus. Dan dibelakang kami, sudah menunggu pula sebuah truk. Tentu saja kami akan remuk semuanya.
Semua orang berteriak panic. Sungguh panic, berhadapan dengan maut. Kali ini aku benar-benar bungkam. Bahkan aku tak berekspresi apa-apa. Yang ada di pikiranku adalah, aku belum sholat dzuhur! Sebab, perjalananku sungguh mepet, tak sempat untuk sholat karena akan ketinggalan travel dan aku meniatkan insya Alloh akan sholat di perhentian travel nantinya, di jama’ dengan Asyar sekaligus. Bagaimana jika Alloh mengambil nyawaku sementara aku belum shalat? Ya Alloh…aku belum sholat…
Alhamdulillaah, supirnya cukup cepat mengambil keputusan. Ia membanting stir segera ke arah kanan, setelah si fortuna remuk ini memutar body mobilnya agak ke kiri. Akhirnya, si supir segera mencuri jalur kanan, dan sempat pula hampir berpapasan dengan mobil dari arah berlawanan.
Semua orang di travel akhirnya bernafas lega. Entah bagaimana nasib si fortuna itu dan penumpangnya. Mobil travelku sudah terlanjur melaju, menghindari kemungkinan kecelakaan lagi, karena ada kendaraan dari arah berlawanan.
Aaahh…tersadar aku dengan nikmat kesempatan yang Alloh berikan. Alhamdulillaah, Alloh berikan KESEMPATAN lagi untuk memperbaiki diri. Tidak Alloh ambil nyawa itu ketika belum menunaikan sholat.
Sungguh, maut adalah rahasia-Nya yang tidak pernah kita tahu, entah kapan, entah di mana. Sesuatu yang PASTI terjadi namun pada waktu dan tempat yang tak terprediksi. Tak dapat dimajukan sedetikpun, tak pula dapat dimundurkan. Agar kita selalu bersiap dirilah, maka maut itu dirahasiakan-Nya…
Ya Alloh, sungguh belum banyak amalanku… Masih banyak kemaksiatanku…
Ya Alloh, kami memohon kepada-Mu, agar Engkau menjadikan sebaik-baik umur kami pada akhirnya, sebaik-baik amal kami pada penutupannya, sebaik-baik hari-hari kami adalah hari saat bertemu dengan-Mu. Aku mohon kepada-Mu, agar Engkau menjadikan kuburan setelah berpisah dengan dunia adalah sebaik-baik tempat tinggal kami, dan luaskanlah liang lahat kami, dan rahmatilah saat kami menjadi rendah pada waktu menghadap-Mu saat hisab, tetapkanlah kaki-kaki kami di atas shirat, selamatkanlah kami dari kesusahan hari kiamat, putihkan wajah kami di saat hari di mana wajah manusia ada yang putih dan ada yang hitam.
Aku memohon kepada-Mu, kenikmatan yang tak terputus-putus, mata yang sejuk yang tak terputus-putus. Aku memohon kepada-Mu untuk dapat melihat wajah-Mu dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu. Aku mohonkan agar Engkau men-sucikan kerusakan hati kami dengan taubat, dan menyatukan hati kami dalam keadaan takut kepada-Mu, dan memberi kami pemberian besar yang dapat memasukkan kami ke surge, tempat yang aman.
Ya Alloh, Engkaulah Rabb-ku, tiada Tuhan selain Engkau. Telah Engkau ciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu, dengan semampu mungkin aku tepati janji setia pada-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari akibat kejahatan yang telah aku lakukan. Aku selalu menerima nikmat-Mu sedang aku selalu berbuat dosa di hadapan-Mu. Maka ampunilah aku wahai Rabb, sungguh tak ada yang mengampuniku selain Engkau.
Ya Alloh, janganlah Engkau condongkan hati kami pada kesesatan setelah Engkau memberi petunjuk kepada kami dna karuniakanlah Rahmat dari sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkau maha Pemberi Karunia.
Ya Alloh, jangan biarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb, sungguh Engkau Maha Penyantun lagi Penyayang.
Ya Alloh, selamatkanlah kami dalam beragama, sehatkanlah jasad kami, tambahkanlah ilmu kami, berkah-kanlah rizki kami, berilah kesempatan bagi kami untuk bertaubat sebelum maut, berilah rahmat bagi kami ketika maut dan ampunilah kami setelah maut…
Ya Alloh…
Sitinjau Laut, Padang
18 April 2011
Memilih Pilihan
Gemericing Tamburine itu awalnya tak menarik perhatianku. Sudah terlalu biasa telingaku mendengar suara gemericing ini di setiap perempatan jalan dan lampu merah. Apalagi, jika ini bukan aksi para pengamen anak-anak di bawah umur. Tapi, kemudian perhatianku serta-merta dilaihkan pada sumber suara, demi mendengar suara tua nan serak menyanyikan sebuah lagu yang tak kumengerti. Mungkin bahasa Jawa. Masya Alloh, seorang laki-laki tua yang tubuhnya sudah gemetaran.
Aah, laki-laki tua penuh kegetiran, melawan kerasnya hidup di Ibu Kota. Mungkin ia tak punya pilihan selain menghabiskan masa senja dengan mengamen dari satu bus ke bus lainnya. Tanpa sanak family. Tanpa anak dan cucu. Sebab hidup harus terus diarungi. Apakah ia berkehendak untuk memilih pilihan ini? Siapapun tentu tak pernah berharap demikian.
Lain lagi ceritanya dengan gadis belia di belahan bumi Indonesia lainnya. Ketika umurnya baru saja menginjak Sembilan belas atau dua puluh tahun. Gadis itu cantik. Sangat cantik! Siapapun yang pernah berjumpa dengannya, mengatakan kalau gadis itu adalah gadis yang sangat cantik. Bahkan, aku sebagai seorang perempuan saja, ingin selalu mencuri pandang pada wajah ayu nan polos itu. Tapi, apakah ia pernah membayangkan ataupun membuat suatu peta dalam hidupnya bahwa ia akan menjadi istri ketiga dari seorang lelaki konglomerat yang terpaut umur sangat jauh darinya? Ah, tidak. Siapapun gadis, pasti tak ingin menjadi istri ketiga. Tapi—sekali lagi—ini adalah pilihan hidupnya. Yah, pilihan hidupnya.
Ketika itu, aku tanyakan pada beberapa orang gadis. “Bersediakah kamu jadi istri ketiga?” Hampir semua menggeleng kuat dan mengatakan tidak. Dan, mungkin juga itu jawaban sang gadis cantik itu ketika ia ditanya dulunya. Tapi, ada satu jawaban lain yang cukup menggelitik bagiku dari salah seorang gadis yang kutanya. Bahwa, kita tak tahu takdir di hari depan kita akan seperti apa. Jadi, pertanyaan itu adalah pertanyaan yang abstrak untuk dijawab. Begitu katanya. Aku mengangguk, mengiyakan. Sebuah jawaban cerdas.
Yah, tentang pilihan hidup dan takdir. Bahwa kita tak pernah tahu tentang apa yang terjadi di hari esok. Mungkin hari ini kita—terutama aku—begitu idealisnya sehingga lupa dengan hamparan realita yang tak seindah catatan asa. (Kadang, aku sungguh sangat tak ingin selalu berada di ranah idealis ini). Penat sudah bergelut idealisme. Padahal, apa yang menurut diri kita itu baik, belum tentu baik adanya. Alloh lebih tahu. Sungguh, Alloh lebih tau.
Adalah sesuatu yang sangat berat, jika dari banyak pilihan hidup itu, tak satu pun pilihan yang ingin kita pilih. Tapi, who knows? Siapa yang tahu? Entah, berat hari ini, akan mendatangkan kebaikan di hari esok?! Juga adalah berat atas sebuah rasa yang bernama kehilangan—entah itu benda berharga ataupun sahabat. Tapi, bisa jadi saja, ini adalah cara Alloh untuk menghindarkan kita dari kemudharatan jika kita masih membersamainya. Seburuk apapun. Seberat apapun, menurut kaca mata kedhaifan kita. Sekali lagi, Alloh-lah yang lebih tahu.
Mencintai sesuatu justru akan menjadi sebuah siksaan berat, ketika kita terlanjur menggantungkan kebahagiaan atas kebersamaan dengan sesuatu yang kita cinta itu. Kita menderita bukan karena mencintai, tapi menggantungkan kebahagian pada yang dicintai, apakah benda ataupun manusia.
Tentang pilihan, disukai atau tidak, tetap saja kita akan dihadapkan dengan berbagai pilihan itu, berikut rintangan dan kesulitan yang menyertainya. Kadang kala, ada perlunya kita mencoba berdamai dengan segenap realita yang ada. Menggeser sedikit ambang idealism itu, sebatas tak ada aturan krusial yang dilindasnya, apalagi aturan Alloh. Sebab, keburukan yang kita kira hari ini, belum tentu akan berujung pada keburukan! Belum tentu.
Angkuh sekali, jika kita berani mengukur standar orang lain di bawah kita. Siapa yang bisa menjamin. Bahkan, kita tak lebih baik! Sungguh, tak lebih baik! Lalu, apakah ada alasan lagi untuk membuat standardisasi atas orang lain? Demi Alloh—jika bukan karena agama dan kemuliaan Islam—kita tak punya alasan apapun untuk itu.
Maka, kali ini mungkin kita perlu berdamai dengan realita yang ada. Karena kita tak pernah tau, akan seperti apa takdir kita di hari depan. Segala keputusan-keputusan atas pilihan itu, hendaklah telah ‘dikomunikasi’kan kepada Rabb kita, pun pada kondisi ruhiyah terbaik kita. Agar keputusan atas segala pilihan hidup—apapun itu, juga adala keputusan yang berlandaskan iman, bukan hanya karena luapan emosi semata.
Aah, laki-laki tua penuh kegetiran, melawan kerasnya hidup di Ibu Kota. Mungkin ia tak punya pilihan selain menghabiskan masa senja dengan mengamen dari satu bus ke bus lainnya. Tanpa sanak family. Tanpa anak dan cucu. Sebab hidup harus terus diarungi. Apakah ia berkehendak untuk memilih pilihan ini? Siapapun tentu tak pernah berharap demikian.
Lain lagi ceritanya dengan gadis belia di belahan bumi Indonesia lainnya. Ketika umurnya baru saja menginjak Sembilan belas atau dua puluh tahun. Gadis itu cantik. Sangat cantik! Siapapun yang pernah berjumpa dengannya, mengatakan kalau gadis itu adalah gadis yang sangat cantik. Bahkan, aku sebagai seorang perempuan saja, ingin selalu mencuri pandang pada wajah ayu nan polos itu. Tapi, apakah ia pernah membayangkan ataupun membuat suatu peta dalam hidupnya bahwa ia akan menjadi istri ketiga dari seorang lelaki konglomerat yang terpaut umur sangat jauh darinya? Ah, tidak. Siapapun gadis, pasti tak ingin menjadi istri ketiga. Tapi—sekali lagi—ini adalah pilihan hidupnya. Yah, pilihan hidupnya.
Ketika itu, aku tanyakan pada beberapa orang gadis. “Bersediakah kamu jadi istri ketiga?” Hampir semua menggeleng kuat dan mengatakan tidak. Dan, mungkin juga itu jawaban sang gadis cantik itu ketika ia ditanya dulunya. Tapi, ada satu jawaban lain yang cukup menggelitik bagiku dari salah seorang gadis yang kutanya. Bahwa, kita tak tahu takdir di hari depan kita akan seperti apa. Jadi, pertanyaan itu adalah pertanyaan yang abstrak untuk dijawab. Begitu katanya. Aku mengangguk, mengiyakan. Sebuah jawaban cerdas.
Yah, tentang pilihan hidup dan takdir. Bahwa kita tak pernah tahu tentang apa yang terjadi di hari esok. Mungkin hari ini kita—terutama aku—begitu idealisnya sehingga lupa dengan hamparan realita yang tak seindah catatan asa. (Kadang, aku sungguh sangat tak ingin selalu berada di ranah idealis ini). Penat sudah bergelut idealisme. Padahal, apa yang menurut diri kita itu baik, belum tentu baik adanya. Alloh lebih tahu. Sungguh, Alloh lebih tau.
Adalah sesuatu yang sangat berat, jika dari banyak pilihan hidup itu, tak satu pun pilihan yang ingin kita pilih. Tapi, who knows? Siapa yang tahu? Entah, berat hari ini, akan mendatangkan kebaikan di hari esok?! Juga adalah berat atas sebuah rasa yang bernama kehilangan—entah itu benda berharga ataupun sahabat. Tapi, bisa jadi saja, ini adalah cara Alloh untuk menghindarkan kita dari kemudharatan jika kita masih membersamainya. Seburuk apapun. Seberat apapun, menurut kaca mata kedhaifan kita. Sekali lagi, Alloh-lah yang lebih tahu.
Mencintai sesuatu justru akan menjadi sebuah siksaan berat, ketika kita terlanjur menggantungkan kebahagiaan atas kebersamaan dengan sesuatu yang kita cinta itu. Kita menderita bukan karena mencintai, tapi menggantungkan kebahagian pada yang dicintai, apakah benda ataupun manusia.
Tentang pilihan, disukai atau tidak, tetap saja kita akan dihadapkan dengan berbagai pilihan itu, berikut rintangan dan kesulitan yang menyertainya. Kadang kala, ada perlunya kita mencoba berdamai dengan segenap realita yang ada. Menggeser sedikit ambang idealism itu, sebatas tak ada aturan krusial yang dilindasnya, apalagi aturan Alloh. Sebab, keburukan yang kita kira hari ini, belum tentu akan berujung pada keburukan! Belum tentu.
Angkuh sekali, jika kita berani mengukur standar orang lain di bawah kita. Siapa yang bisa menjamin. Bahkan, kita tak lebih baik! Sungguh, tak lebih baik! Lalu, apakah ada alasan lagi untuk membuat standardisasi atas orang lain? Demi Alloh—jika bukan karena agama dan kemuliaan Islam—kita tak punya alasan apapun untuk itu.
Maka, kali ini mungkin kita perlu berdamai dengan realita yang ada. Karena kita tak pernah tau, akan seperti apa takdir kita di hari depan. Segala keputusan-keputusan atas pilihan itu, hendaklah telah ‘dikomunikasi’kan kepada Rabb kita, pun pada kondisi ruhiyah terbaik kita. Agar keputusan atas segala pilihan hidup—apapun itu, juga adala keputusan yang berlandaskan iman, bukan hanya karena luapan emosi semata.
Ba’da Acara Musda II GOW (Gabungan Organisasi Wanita) Solok Selatan,
Padang Aro, 20 April 2011
Pelangi di Langit Jingga
Seindah pelangi, setelah kabuit menyelimut... |
Sore ini, semua ini seperti Alloh tunjukkan potret nyatanya padaku Bloggie. Ketika aku menyambangi kaki gunung kerinci dalam keadaan gerimis, dan puncak-puncaknya yang tertutup oleh kabut tebal. Kebun teh yang dingin. Sendu. Memang sendu. Salah seorang akhwat yang satu rombongan denganku berkata, “Fathel, sekarang lagi kabut tebal di puncak gunungnya. Ntar kalo udah terang, kita main ke sini lagi yaah.” Kuanggukan kepala dengan segera. Tapi, ketika perjalanan dilanjutkan, aku dibuat takjub oleh sebuah lanskap yang begitu indah. Rupanya mentari di sore ini begitu menderang setelah hujan dan kabut tebal yang menyelimut. Dan, subhanalloh, ada pelangi cantik melengkung setengah lingkaran di antara bukit barisan dan gunung kerinci. Aku benar-benar takjub, Bloggie. Bahkan, puncak Kerinci terlihat begitu gagah, biru kemerahan karena tertimpa sinar mentari. Tak ada lagi kabut.
Hari ini, sudah Alloh tunjukkan padaku dengan begitu nyata. Tentang alam yang mengajarkan kepadaku. Alam yang terkembang ini, menjadi guru yang mengajarkanku banyak hal, Bloggie.
Sebab hal ini, aku tak ingin menangis lagi…
Tak ingin sedikitpun ada air mata yang tertumpah lagi…
Aku sungguh tak ingin lagi, Bloggie…
Sekali lagi—biarlah! Biarlah! Biarlah! Karena aku bukan satu-satunya.
Mereka pun, juga pernah menangis dan meneteskan air mata.
Tapi mereka pun kembali tersenyum…merentas asa baru…
Ya, aku terlalu mengerti tentang diriku yang begitu mudah berubah cuaca hatinya… Sebentar kabut, lalu sebentar lagi benderang. Sekali lagi—fluktuatif. Aku ingin menstabilkannya pada benderang saja, Bloggie. Cukuplah pada benderang dan semangat saja. Dan, aku hanya ingin berada pada happiness-sadness windows itu. Tak ingin melebihi ataupun kurang dari itu.
Bloggie, alam telah benderang, setelah kabut. Aku pun begitu! Bukankah setiap kejadian dan penciptaan di alam ini tak lain adalah pelajaran bagi kaum yang berfikir? Sungguh, aku ingin jadikan ini satu catatan pelajaran lagi, Bloggie.
Kaki Gunung Kerinci, Solok Selatan, 19 April 2011
Bermain-Main dengan Nyawa
Jangan palsukan obat lagiii... :'( |
Di suatu perjalanan, seorang laki-laki, bercerita padaku tentang obat-obat yang dipungutnya di tempat-tempat sampah atau lewat para pemulung, lalu dikumpulkannya, dikemas lagi, dan dijual lagi. Jika masih dalam jangka belum expire date dan tak terkontaminasi, itu masih oke. Ini bukan berarti aku setuju dengan hal ini, setidaknya tak sampai menimbulkan kehilangan nyawa. Walaupun, menurut standarpenyimpanan,ini jelas-jelas sudah salah. Tapi, ada yang lebih parah dari itu! Baru-baru ini juga, satu keluarga melakukan hal yang sama. Obat-obat yang (mungkin) sudah expiredate, yang sudah tak memenuhi standar terapi, lalu dikumpulkan. Dia “meracik” obat lagi, dengan menambahkan tepung terigu, atau gerusan kayu yang digiling halus, lalu dikemas lagi di sebuah pabrik—yang entah di mana, yang jelas tak jauh dari ibu kota—sehingga mirip dengan kemasan obat aslinya. Tak banyak yang tahu, apakah itu obat asli atau obat palsu yang sudah ditambahkan gerusan kayu dan tepung terigu. Masya Alloh… Jika ada pabrik besar yang menaunginya, berarti rumah itu bukan satu-satunya. Mungkin ada banyak rumah-rumah lainnya yang juga melakukan hal yang sama. Ya Alloh…miris aku.
Dengan kondisi seperti itu, sungguh aku hanya bisa bungkam. Aku bukan siapa-siapa. Tak memiliki kepentingan apapun dengan orang-orang yang ada di rumah itu. Tapi, akan sampai kapankah ini terus dibiarkan? Bagaimana dengan obat-obatan yang statusnya dibutuhkan emergency yang bisa saja dengan sekejap merenggut nyawa pasien? Ya Alloh…sungguh sedih membayangkan hal itu.
Aiih…entahlah. Sungguh, dunia perobatan di negeri ini masih jauh dari baik. Obat-obat palsu yang tak terkendali. Dan, praktik mafia yang tak semuanya terawasi oleh pemerintah. Banyak! Sungguh banyak. Rasanya, telinga ini sudah bosan terus dipaparkan dengan cerita-cerita mafia ini. Lalu, sampai kapankah? Akan sampai kapan?
Seperti sebuah siklus saja. Dokter meresepkan obat. Tak habis oleh pasien. Lalu, sisanya dibuang ke tong sampah. Pemulung memungutnya, lalu dikumpulkan oleh para mafia (atau orang-orang yang terpaksa jadi mafia karena himpitan ekonomi) untuk “diracik” seperti cerita di atas, dikemas lagi dengan kemasan serupa, lalu dijual dengan harga yang lebih murah. Masyarakat Indonesia yang sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan, hanya sanggup membeli obat harga murah. Lalu, obat itu sampailah pada masyarakat miskin. Dan akhirnya, penyakit bukanya malah sembuh, tapi semakin menjadi-jadi. Begitu terus. Dan berulang terus.
Sungguh miris sekali. Terlalu banyak masalah yang harus diselesaikan negeri ini. Masalah krusial di bidang ekonomi, hukum, hankam, pendidikan. Dan, masalah ini seperti (agak) terabaikan. Sesungguhnya, perlu sekali memberikan edukasi kepada pasien soal obat ini kan yah. (ini kan tugas apoteker….*nguing…nguing!). Aku, kali ini…hanya bisa bungkam. Aku hanya bisa menuliskannya di sini. Semoga suatu saat nanti, dunia perobatan ini menjadi lebih baik, lebih terawasi. Agar tak lebih banyak orang-orang yang bermain-main dengan nyawa orang lain demi segepok rupiah.
Cilodong, 16 April 2011
Sex Education for Children
Ini kali kedua aku ikut di seminar parenting bukan sebagai peserta melainkan sebagai asisten psikolog (wkwkwk, gayaaa cuy!). Yaah, asisten nteu resmina atuh nyak. Pertama di PIAR Padang, lalu kedua ini di SDIT Rahmaniyah, Depok. Yang pertama membahas soal dunia remaja, perkembangannya, karakteristiknya dan bagaimana pola asuh anak remaja. Lalu, yang kedua ini, tentang sex education untuk anak-anak pra remaja. Pra-remaja itu adalah umur 10 hingga 13 tahun. Sekitar kelas 5 SD hingga kelas VII SMP.
Banyak orang mengira, sex education atau pendidikan seks adalah hal yang sangat tabu untuk dibicarakan. Ia cukup menjadi rahasia orang dewasa saja. Anak-anak dibungkam dengan pernyataan, “entar juga ngerti sendiri!” ketika mereka bertanya. Padahal, justru inilah yang ternyata menyebabkan banyaknya penyimpangan sex dan ‘kebobolan’ serta penyelewengan seks yang sama sekali tak terduga. Kenapa? Karena rasa keingintahuan sang anak, membuat ia mencari-cari dari berbagai sumber, apalagi tak didapat pendidikannya oleh orang tuanya. Apalagi di era teknologi informasi yang semakin canggih sehingga memudahkan akses bagi siapa saja yang ingin mencari sesuatu. Maka, jangan heran, jika tiba-tiba tersiar berita tentang anak-anak baik yang kelihatannya patuh-patuh wae, ternyata sudah hamil di luar nikah. Entah sudah berapa pula yang menggugurkan kandungannya, agar tak ketahuan orang tua. Dan yang lebih parahnya lagi, ada pula yang merasa begitu biasa-biasa saja (tak ada rasa malu maupun bersalah) ketika anaknya hamil di luar nikah (astaghfirullaah, Cuma bisa mengurut dada doang. Dan ini kejadiannya tak jauh pula dari rumahku).
Jadi? Ternyata penting yaah? Iya! Penting!
So, seperti apa saja pendidikan yang diberikan pada sang anak?
Baiklah, aku sedikit berbagi tips (halaaah, gaya! Kayak pahaaaaam ajah! Hehe). Enggak ding! Aku pun masih tak berilmu lah. Hanya saja, aku ingin sedikit share tentang apa yang diceritakan dalam seminar tersebut. Mudah-mudahan bermanfaat. (Mungkin agak sedikit vulgar dan blak-blakan. Tapii, sekali lagi, ini PENTING untuk anak-anak. Jika kita ingin generasi selanjutnya adalah lebih baik, insya Alloh. Amiin)
Terhadap anak pra-remaja, seperti apakah pendidikan seks untuk mereka?
Sebagai orang tua maupun pendidik, yang mesti kita lakukan adalah…sharing dengan mereka. Bahwa, sebentar lagi mereka akan menghadapi masa yang disebut masa remaja. Lalu, bagaimana kah ciri-cirinyaaa? Perlu dijelaskan pada anak, bahwa di masa ini, mereka akan menghadapi banyak sekali perubahan-perubahan. Pertama di segi fisik. Bagi yang perempuan, akan mengalami perubahan fisik di berbagai hal. Dan, akan mengalami yang namanya menstruasi. Jelaskan juga pada mereka, bahwa setelah itu terjadi, mereka akan menanggung dosanya sendiri. Lalu, jelaskan pula perubahan psikologis yang akan terjadi. Seperti, rasa dan kecendrungan pada lawan jenis, yang kemudian harus di-cover dengan bingkai agama, agar tidak terjadi salah pergaulan. Bahkan, perlu dijelaskan pula kepada mereka, bahwa setelah mengalami masa menstruasi, mereka bisa saja hamil, jika terlibat pergaulan bebas. (baru-baru ini, tak jauh dari rumahku, anak kelas 1 SMP, hamil di luar nikah! Sungguh, membahayakan, bukan!?)
Juga pada anak laki-laki. Jelaskan pula pada mereka bahwa mereka juga akan mengalami perubahan-perubahan di segi fisik, maupun psikis. Mulai dari suara yang berubah. Lalu, adanya perubahan pada tubuh mereka. Lalu, fantasi-fantasi dan mimpi. Adanya kecendrungan pada anak perempuan yang perlu discover dalam bingkai diin. Ini perlu dijelaskan pada mereka, agar mereka tidak salah dalam menyikapinya dan memuaskan rasa ingin tahu dengan mencari-carinya di berbagai sumber. Sama seperti anak perempuan, perlu dijelaskan juga bahwa setelah ini mereka akan menanggung dosa mereka sendiri.
Sedikit banyaknya, hal tersebutlah yang perlu disampaikan pada anak-anak kita. Apalagi sebagai orang tua. Jangan sampai sungkan untuk membicarakan ini dengan anak di masa pra-remaja mereka. Sebab dengan begini, insya Alloh, orang tua membantu anak dalam mematangkan pribadi mereka. Banyak orang tua yang menganggap “entar si anak tahu sendiri.” Ternyata, pemahaman ini SALAH! Sebab, bukankah anak-anak kita tak pernah diberikan arahan dan petunjuk tentang ini? Dan, banyak pula orang tua yang menganggap anak-anak remaja itu sudah besar. “Ah, biarlah, dia kan sudah besar.” Padahal, arahan orang tua itu adalah sangat penting ketika mereka sedang mencari jati diri mereka.
Yaaah… Barang kali orang tua, juga perlu membekali diri dengan ilmu untuk disampaikan pada sang anak. Yah, intinya, jadi orang tua cerdas lah! Hee… Banyak koq buku-buku islami yang mengajarkan tentang ini. Boleh minjam, tapi kalo bisa punya sendiri. Hehe. Perlu anggaran tiap bulan kali yaah, buat beli buku yang dibutuhkan, bagi si orang tua, maupun si anak. (hehe, macam paham kalilah aku nii. Tapi, tak lah, aku pun masih sikit sangat ilmunya, dan masih sedang belajar pun! Jadi, tak paham-paham lah!)
Banyak orang mengira, sex education atau pendidikan seks adalah hal yang sangat tabu untuk dibicarakan. Ia cukup menjadi rahasia orang dewasa saja. Anak-anak dibungkam dengan pernyataan, “entar juga ngerti sendiri!” ketika mereka bertanya. Padahal, justru inilah yang ternyata menyebabkan banyaknya penyimpangan sex dan ‘kebobolan’ serta penyelewengan seks yang sama sekali tak terduga. Kenapa? Karena rasa keingintahuan sang anak, membuat ia mencari-cari dari berbagai sumber, apalagi tak didapat pendidikannya oleh orang tuanya. Apalagi di era teknologi informasi yang semakin canggih sehingga memudahkan akses bagi siapa saja yang ingin mencari sesuatu. Maka, jangan heran, jika tiba-tiba tersiar berita tentang anak-anak baik yang kelihatannya patuh-patuh wae, ternyata sudah hamil di luar nikah. Entah sudah berapa pula yang menggugurkan kandungannya, agar tak ketahuan orang tua. Dan yang lebih parahnya lagi, ada pula yang merasa begitu biasa-biasa saja (tak ada rasa malu maupun bersalah) ketika anaknya hamil di luar nikah (astaghfirullaah, Cuma bisa mengurut dada doang. Dan ini kejadiannya tak jauh pula dari rumahku).
Jadi? Ternyata penting yaah? Iya! Penting!
So, seperti apa saja pendidikan yang diberikan pada sang anak?
Baiklah, aku sedikit berbagi tips (halaaah, gaya! Kayak pahaaaaam ajah! Hehe). Enggak ding! Aku pun masih tak berilmu lah. Hanya saja, aku ingin sedikit share tentang apa yang diceritakan dalam seminar tersebut. Mudah-mudahan bermanfaat. (Mungkin agak sedikit vulgar dan blak-blakan. Tapii, sekali lagi, ini PENTING untuk anak-anak. Jika kita ingin generasi selanjutnya adalah lebih baik, insya Alloh. Amiin)
Terhadap anak pra-remaja, seperti apakah pendidikan seks untuk mereka?
Sebagai orang tua maupun pendidik, yang mesti kita lakukan adalah…sharing dengan mereka. Bahwa, sebentar lagi mereka akan menghadapi masa yang disebut masa remaja. Lalu, bagaimana kah ciri-cirinyaaa? Perlu dijelaskan pada anak, bahwa di masa ini, mereka akan menghadapi banyak sekali perubahan-perubahan. Pertama di segi fisik. Bagi yang perempuan, akan mengalami perubahan fisik di berbagai hal. Dan, akan mengalami yang namanya menstruasi. Jelaskan juga pada mereka, bahwa setelah itu terjadi, mereka akan menanggung dosanya sendiri. Lalu, jelaskan pula perubahan psikologis yang akan terjadi. Seperti, rasa dan kecendrungan pada lawan jenis, yang kemudian harus di-cover dengan bingkai agama, agar tidak terjadi salah pergaulan. Bahkan, perlu dijelaskan pula kepada mereka, bahwa setelah mengalami masa menstruasi, mereka bisa saja hamil, jika terlibat pergaulan bebas. (baru-baru ini, tak jauh dari rumahku, anak kelas 1 SMP, hamil di luar nikah! Sungguh, membahayakan, bukan!?)
Juga pada anak laki-laki. Jelaskan pula pada mereka bahwa mereka juga akan mengalami perubahan-perubahan di segi fisik, maupun psikis. Mulai dari suara yang berubah. Lalu, adanya perubahan pada tubuh mereka. Lalu, fantasi-fantasi dan mimpi. Adanya kecendrungan pada anak perempuan yang perlu discover dalam bingkai diin. Ini perlu dijelaskan pada mereka, agar mereka tidak salah dalam menyikapinya dan memuaskan rasa ingin tahu dengan mencari-carinya di berbagai sumber. Sama seperti anak perempuan, perlu dijelaskan juga bahwa setelah ini mereka akan menanggung dosa mereka sendiri.
Sedikit banyaknya, hal tersebutlah yang perlu disampaikan pada anak-anak kita. Apalagi sebagai orang tua. Jangan sampai sungkan untuk membicarakan ini dengan anak di masa pra-remaja mereka. Sebab dengan begini, insya Alloh, orang tua membantu anak dalam mematangkan pribadi mereka. Banyak orang tua yang menganggap “entar si anak tahu sendiri.” Ternyata, pemahaman ini SALAH! Sebab, bukankah anak-anak kita tak pernah diberikan arahan dan petunjuk tentang ini? Dan, banyak pula orang tua yang menganggap anak-anak remaja itu sudah besar. “Ah, biarlah, dia kan sudah besar.” Padahal, arahan orang tua itu adalah sangat penting ketika mereka sedang mencari jati diri mereka.
Yaaah… Barang kali orang tua, juga perlu membekali diri dengan ilmu untuk disampaikan pada sang anak. Yah, intinya, jadi orang tua cerdas lah! Hee… Banyak koq buku-buku islami yang mengajarkan tentang ini. Boleh minjam, tapi kalo bisa punya sendiri. Hehe. Perlu anggaran tiap bulan kali yaah, buat beli buku yang dibutuhkan, bagi si orang tua, maupun si anak. (hehe, macam paham kalilah aku nii. Tapi, tak lah, aku pun masih sikit sangat ilmunya, dan masih sedang belajar pun! Jadi, tak paham-paham lah!)
SDIT Rahmaniyah Depok, 16 April 2011
With Anggi Lagi^^
Di sinilah kita bertemu...^^ |
Ini pertemuan kedua dengan Ang. Jika tahun lalu, kami bertemu di FKUI lalu berpisah di FISIP. Kali ini kami bertemu di FISIP dan berpisah di parkiran Fisip juga, setelah main dulu ke danau dekat rektorat. Dan jika tahun lalu kami hanya berdua saja. Maka tahun ini, kami berempat. Aku dan uni psikologku. Lalu, Ang dan Gema.
Selalu ada euphoria tersendiri setiap pertemuan kami. Pelukan erat. Cipika-cipiki. Kangen-kangenan. Hee…
Aku sampai di Depok siangnya. Sorenya langsung janjian dengan Ang. Awalnya kami mau janjian di stasiun UI. Tapi, karena Anggi di FT dan aku di Fisip, akhirnya kami putuskan untuk ketemuan di Fisip saja. Tepatnya di depan resto Korea. Hee…
Waaah, masya Alloh…
Sungguh bahagiaaaaaa…tak terlukiskan kata…
Sebab ruh-ruh kami telah berjumpa sebelumnya di alam jiwa, sehingga nikmat ukhuwah ini semakin manis terasa. Serasa sudah mengenal sangaaaat lama.
Aku dan Ang berkenalan hanya lewat Blog saja. Waah… Sungguh, tak terpikirkan sebelumnya, bahwa aku akan punya teman, sahabat yang deket banget malah sampai kami saling curhat-curhatan, hanya lewat dunia maya. Aku dari dulu emang sukaaa sekali berteman dengan banyak orang. Tapi, lewat dunia maya? Tak terbayangkan sebelumnya. Lewat Anggi juga, akhirnya aku kenal lagi dengan banyak sahabat lainnya. Sungguh, hal yang sangat membahagiakan.
Sungguh, begitu berasa, bahwa salah satu nikmat terindah yang Alloh limpahkan itu adalah nikmatnya berukhuwah. Subhanalloh… Ya Alloh, tetaplah satukan hati-hati kami dalam naungan ukhuwah di jalan-Mu. Amiiin. Allohumma amiiin.
Special buat Ang dan Gema…
Trima kasih yah Ang…^^
Bahagia sangaaaattt….
Sayang kamuuuu, Anggi….^^
::Luv U cz Alloh:: >>Kata ini sudah cukup mewakilkan semuanya<<
Depok, 15 April 2011
Saya Orang Sunda??
Depan Gerbang Tol Citereup 1, di bawah tol Jagorawi. Persimpangan Citereup-Bogor.
“Mba teh mau kemana nyak?” seseorang menyapaku dengan logat sundanya yang kental. Perempuan berambut cepak. Blous bercorak hitam putih dan celana jeans sempit.
“Saya mau ke Depok, Mba.”
“Loh, ke Depok ko di Sini yah Mba?” ia heran.
“Saya teh janjian di sini, Mba.” Kataku. Ahayy, kebawa-bawa deh logat sundanya.
“Ohhh…”
“Mba mau ke mana yah?” tanyaku.
“Saya teh dari Bandung, lagi nungguin suami, ngejemput saya. Mau ke Rumah Sakit. Mba sendiri?”
“Iya nih Mba, saya juga lagi nunggu kaka saya di sini.”
“Oooh. Emangnya si Mba dari mana tadinya?”
“Saya dari Padang, Mba.”
“Ohhh…Padang?! Ko ngga mirip bahasa Padang yah. Saya kira teh dari Ciamis atau Purwakarta tadinya. Engga keliyatan bahasa Padangnya. Saya pikir asli sunda.”
Dalam hati, aku langsung ngakak abis. Aihhhh….bener yah, kaga keliyatan bahasa Padangnya? Cihuuuuyy!
Teringat dahulu pertama kali aku pindah ke kota, setelah sebelumnya tinggal di pelosok kampung yang semua penduduknya berbahasa Mualab. Bahasa Mualab itu beda bet sama bahasa Minang. Banyak orang Minang yang gak ngerti bahasa Mualab. Itu pula sebabnya, banyak juga orang Mualab yang sulit merubah logat, meskipun ke logat berbahasa Minang sekali pun. Nah, ceritanya kala itu, di SD-ku yang baru harus berbahasa Indonesia Raya. Aah, jelas sudah, bahasa Indonesiaku adalah bahasa Indonesia made in Mualab. Hee… Bahasa Indonesia yang logatnya Mualab banget. Ditertawakan teman-teman. Ihihi. Hingga awal-awal kuliah pun, rasa-rasanya aku berbahasa Indonesia yang begitu “Padang banget”. Keliyatan bet dah “Padangnya”. Sering kata-kata “Bukan begitu do”, “Ada kamu sehat-sehat saja”, “Belikanlah saya satu haa.” (kalau diingat-ingat, jadi ketawa sendiri. Hehe).
Tapi, dari dulu sih, aku cukup bisa menyesuaikan logat, kalo sudah beberapa waktu yang agak lama berada di suatu daerah. Juga, kalau mayoritas bahasa indonesianya di suatu daerah adalah bahasa Indonesia yang “padang banget”, aku pun ikut-ikutan “padang banget”. Waktu di sawahlunto dulu, aku bisa logat sawahlunto yang nyampur-nyampur bahasa Jawa itu. Waktu praktik di RSSN di Bukittinggi (kan kebanyakan yang berobat dari Agam), aku suka dan sedikit bisa bahasa agam yang pake-pake “ooo…mantuuun” dan “aa tuh garan” itu. Hee… Aku juga sedikit bisa logat Payakumbuh, “golak-golak godang nyeh”, setelah ayah pindah ke Payakumbuh, sampai-sampai ketika tilpun2an sama temen2 SMA di asrama dulu, mereka pada heran kenapa logatku jadi “Payakumbuh banget”. Waktu di Bandung pun, aku juga sikit-sikit logat Sunda. Walau tak terlalu mahir. Hee…
Nah, kembali ke cerita Tol Citereup di atas. Kenapa aku bahagia sangat, gak keliyatan Padangnya, coba!? Bukan karena aku gak bangga jadi orang Padang. Aku bangga banget malah jadi orang Padang. (Katanya orang-orang Padang dan Minang itu, tokoh-tokohnya banyak yang berpengaruh di tataran nasional. Coba lagi deh, bukak lembaran sejarah perjuangan bangsa. Jiaaahhh…). Juga bukan karena aku seneng bisa logat sunda (walau emang sedikit terobsesi untuk bisa bahasa Sunda dan bahasa Makassar). Ini hanya karena aku berhasil memenangkan ‘pertarungan pronunciation’. Yak, soal pronunciation.
Aku terlanjur dicap “pronunciation jelek” dalam bahsa Inggris (seperti yang sudah kuceritakan sebelumnya). Nah loh, jika memang aku bisa pronunciation sunda, sehingga orang sunda sendiri sampai mengira aku bener-bener orang sunda, yah, kenapa tidak dengan Bahasa Inggris, tho?! Insya Alloh, aku pun bisa! Aku akan hapuskan labeling itu dari diriku. Harus! Insya Alloh, BISA! Aku yakin itu! (cihaaa….semangat menggebu-gebu niih yee!). Kalo kali ini orang Sunda asli mengira aku bener-bener orang sunda beneran, maka besok, orang Inggris akan mengira aku beneran orang inggris! Haha, mimpi kali yeeee. Wong wajahnya Indonesia begitu. Hihihi. Just kidding. Yaah, yang penting semangat lagi dah buat blajarnya! Hayuuk…hayuukk…
“Mba teh mau kemana nyak?” seseorang menyapaku dengan logat sundanya yang kental. Perempuan berambut cepak. Blous bercorak hitam putih dan celana jeans sempit.
“Saya mau ke Depok, Mba.”
“Loh, ke Depok ko di Sini yah Mba?” ia heran.
“Saya teh janjian di sini, Mba.” Kataku. Ahayy, kebawa-bawa deh logat sundanya.
“Ohhh…”
“Mba mau ke mana yah?” tanyaku.
“Saya teh dari Bandung, lagi nungguin suami, ngejemput saya. Mau ke Rumah Sakit. Mba sendiri?”
“Iya nih Mba, saya juga lagi nunggu kaka saya di sini.”
“Oooh. Emangnya si Mba dari mana tadinya?”
“Saya dari Padang, Mba.”
“Ohhh…Padang?! Ko ngga mirip bahasa Padang yah. Saya kira teh dari Ciamis atau Purwakarta tadinya. Engga keliyatan bahasa Padangnya. Saya pikir asli sunda.”
Dalam hati, aku langsung ngakak abis. Aihhhh….bener yah, kaga keliyatan bahasa Padangnya? Cihuuuuyy!
Teringat dahulu pertama kali aku pindah ke kota, setelah sebelumnya tinggal di pelosok kampung yang semua penduduknya berbahasa Mualab. Bahasa Mualab itu beda bet sama bahasa Minang. Banyak orang Minang yang gak ngerti bahasa Mualab. Itu pula sebabnya, banyak juga orang Mualab yang sulit merubah logat, meskipun ke logat berbahasa Minang sekali pun. Nah, ceritanya kala itu, di SD-ku yang baru harus berbahasa Indonesia Raya. Aah, jelas sudah, bahasa Indonesiaku adalah bahasa Indonesia made in Mualab. Hee… Bahasa Indonesia yang logatnya Mualab banget. Ditertawakan teman-teman. Ihihi. Hingga awal-awal kuliah pun, rasa-rasanya aku berbahasa Indonesia yang begitu “Padang banget”. Keliyatan bet dah “Padangnya”. Sering kata-kata “Bukan begitu do”, “Ada kamu sehat-sehat saja”, “Belikanlah saya satu haa.” (kalau diingat-ingat, jadi ketawa sendiri. Hehe).
Tapi, dari dulu sih, aku cukup bisa menyesuaikan logat, kalo sudah beberapa waktu yang agak lama berada di suatu daerah. Juga, kalau mayoritas bahasa indonesianya di suatu daerah adalah bahasa Indonesia yang “padang banget”, aku pun ikut-ikutan “padang banget”. Waktu di sawahlunto dulu, aku bisa logat sawahlunto yang nyampur-nyampur bahasa Jawa itu. Waktu praktik di RSSN di Bukittinggi (kan kebanyakan yang berobat dari Agam), aku suka dan sedikit bisa bahasa agam yang pake-pake “ooo…mantuuun” dan “aa tuh garan” itu. Hee… Aku juga sedikit bisa logat Payakumbuh, “golak-golak godang nyeh”, setelah ayah pindah ke Payakumbuh, sampai-sampai ketika tilpun2an sama temen2 SMA di asrama dulu, mereka pada heran kenapa logatku jadi “Payakumbuh banget”. Waktu di Bandung pun, aku juga sikit-sikit logat Sunda. Walau tak terlalu mahir. Hee…
Nah, kembali ke cerita Tol Citereup di atas. Kenapa aku bahagia sangat, gak keliyatan Padangnya, coba!? Bukan karena aku gak bangga jadi orang Padang. Aku bangga banget malah jadi orang Padang. (Katanya orang-orang Padang dan Minang itu, tokoh-tokohnya banyak yang berpengaruh di tataran nasional. Coba lagi deh, bukak lembaran sejarah perjuangan bangsa. Jiaaahhh…). Juga bukan karena aku seneng bisa logat sunda (walau emang sedikit terobsesi untuk bisa bahasa Sunda dan bahasa Makassar). Ini hanya karena aku berhasil memenangkan ‘pertarungan pronunciation’. Yak, soal pronunciation.
Aku terlanjur dicap “pronunciation jelek” dalam bahsa Inggris (seperti yang sudah kuceritakan sebelumnya). Nah loh, jika memang aku bisa pronunciation sunda, sehingga orang sunda sendiri sampai mengira aku bener-bener orang sunda, yah, kenapa tidak dengan Bahasa Inggris, tho?! Insya Alloh, aku pun bisa! Aku akan hapuskan labeling itu dari diriku. Harus! Insya Alloh, BISA! Aku yakin itu! (cihaaa….semangat menggebu-gebu niih yee!). Kalo kali ini orang Sunda asli mengira aku bener-bener orang sunda beneran, maka besok, orang Inggris akan mengira aku beneran orang inggris! Haha, mimpi kali yeeee. Wong wajahnya Indonesia begitu. Hihihi. Just kidding. Yaah, yang penting semangat lagi dah buat blajarnya! Hayuuk…hayuukk…
Citereup, Bogor, 15 April 2011
Setiap Orang BISA Berprestasi
Peserta Mapres Unand 2009 |
Kata-kata yang sering terlontar di lisanku adalah, “Aku ingin kembali ke SMA.” Kadang, balasannya adalah guyonan, “Yo wess, pake ajah lagi seragam SMA, pasti kagak ada nyang nyangka kalo udah tamat kuliah.” Hehe, maklum, hemat wajah. Hihi.
Sebenarnya, bukan itu esensinya. Aku ingin kembali ke SMA, bukan sebab romansa-romansa sweetseventeen layaknya anak muda jaman kini (macam udah tua sahaja saye nii, hehe). Tapi, hanya ingin menjemput sesuatu yang kuabaikan, dan baru kusadari setelah sekian lama waktu berlalu.
Sesuatu yang ingin kujemput itu adalah…PRESTASI. Okelah, kali ini kita definisikan prestasi itu adalah prestasi dalam banyak kompetisi. Walau sebenarnya, banyak prestasi-prestasi yang tak perlu didapat lewat kompetisi, seperti prestasi sebab seseorang sebagai anak yang santun, prestasi sebab seseorang yang disiplin, prestasi sebab seseorang bisa sekolah sambil bekerja paruh waktu de es be, prestasi menjadi anak yang shalih-shalihah (ini mah lebi utama yah?). Tapi, kali ini kita batasi definisi prestasi yang kita maksud itu pada sesuatu yang kongkrit lewat banyak kompetisi, bukan abstrak yang tak memiliki standardisasi nilai.
Di SMA, walau terkesan (sok) study oriented (saaelaaaah), padahal aselinya gaya belajarku itu kacaw pisan cuy! Kacaw abiz dah. Jika boleh, sesungguhnya aku menyesal. Sebab, setiap siswa punya peluang yang sama untuk berprestasi, asalkan dia mau. Dulu, waktu SMA, aku adalah orang generic alias biasa-biasa sahaja. Diriku bukanlah termasuk orang yang tersohor karena prestasi akademis. Rasa-rasanya, aku tak begitu dikenali oleh level manapun. Aku hanya akan dipanggil, kalo-kalo ada sesuatu yang berbau karya tulis, ataupun pembuatan naskah drama. (Aye anak IPA macem apah nih ya? otak kanannya lebih sering berfungsi ketimbang otak kiri. Hee). Bahkan, sebagai anak asrama pun, itu bukanlah sesuatu yang prestisius kurasa, meski untuk bisa memasuki kelas yang diasramakan, itu perlu daya upaya dua kali lipat lebih besar. Ketika masuk pun, aku hanya menempati urutan ke-34 dari 60 orang yang diluluskan di kelas berasrama. Tapi, itu sudah cukup membuatku sujud syukur ketika tahu lulus, sebab, jika tidak, pasti aku sudah bersekolah di pelosok kampung sono (soalnya, Cuma mendaftar di dua sekolah). #bukan bermaksud mearginalkan sekolah perkampungan nih ya, hehe. Buktinya SD PM Muhammadiyah di Laskar Pelangi yang termarginalkan malah memiliki anak-anak cerdas semacam Ikal, Mahar, Lintang. Tapi, harus kuakui kenyataan, sekolah tempatku mendaftar itu dulunya selalu menerima murid cadangan atau yang kagak keterima di SMA di sana. Jadi, nilai tertinggi yang diterima di sekolah itu adalah nilai cadangan atau terendah di SMA di kampung itu. Itu dulu, 9 tahun silam. Mungkin sekarang sudah berbeda.#
Satu hal yang harus aku sesali adalah, aku tak pernah mengambil peluang itu. Padahal, sesungguhnya setiap orang punya peluang untuk lebih berprestasi secara akademis maupun non akademis. Ya! setiap orang memiliki peluang yang sama! Man jadda wa jadda! Dan selama tiga tahun, banyak peluang pun terlewatkan sudah…
Masa kuliah pun datang. Sesungguhnya besar keinginan untuk bisa melanjutkan kuliah ke pulau Jawa, yang konon kabarnya pendidikan di sana lebih bermutu. Apalagi, banyak di antara teman-teman asramaku yang melanjutkan kuliah ke kampus impian di seberang pulau sana. Lagi-lagi, sesungguhnya, kita punya PELUANG yang sama! Dari 55 orang teman-teman asramaku, hanya 5 orang saja (termasuk aku salah satunya) yang kuliah di Unand ateh (maksudnya Unand selain fakultas kedokteran), 11 orang di FK, 2 orang di Pendidikan Matematika UNP, dan 2 orang di akademi kebidanan, sisanya, mengisi bangku di kampus-kampus besar di pulau Jawa sana.
Masa kuliah, kukira bukan masanya lagi untuk mengikuti banyak kompetisi. Aku yang sibuk membuat jatuh cinta pada jurusanku sendiri, jadi lupa, bahwa sesungguhnya ada banyak PELUANG untuk menciptakan banyak prestasi. Tapi, aku tak melihat banyak peluang itu. Aku terlalu disibukkan dengan keterkungkungan pikiranku sendiri, terlalu disibukkan dengan bagaimana membuatku jatuh cinta sama dunia yang tengah kuhadapi. Ada banyak peluang berprestasi yang kulewatkan begitu saja. Bahkan aku ogah untuk ikut momen-momen PKM dan PIMNAS yang sebenarnya lagi-lagi PELUANG-nya juga adalah sangat besar. Bahkan, aku tak mentargetkan tamat dengan IPK tinggi. Cukup tiga koma lebih sedikit saja. Belakangan, aku baru menyadari, bahwa aku telah melewatkan banyak PELUANG itu. Meski nilai bukan segalanya, meski sukses tak ditentukan dengan seberapa banyak sertifkat dan piagam penghargaan atas prestasi-prestasi, tapi ber-IPK cumlaude dan memiliki banyak prestasi bukanlah sesuatu yang buruk. Dengannya, mungkin kita memiliki peluang lebih banyak, dari pada harus menjadi biasa-biasa saja. Dan, lima tahun berlalu, aku bahkan merasa tak memiliki apapun prestasi. [Ini menjadi berasa sekali, ketika aku mencari peluang untuk beasiswa. Ada beasiswa yang menggiurkan, dengan syarat yang tak berbelit-belit (jika dapat, waah…manteb pisan bisa S2 dengan tenang tanpa mikir cost yang mesti dikeluarkan). Hanya satu syarat saja, tak banyak, yaitu…minimal ber-IPK 3,51. Wah, lagi-lagi harus menyesal.]
Penyesalan itu semakin berasa sudah, ketika di semester 8 dulu, pada suatu momen. Sesungguhnya malu untuk menyebutkannya, sebab, kadang aku merasa tidak begitu PD harus berada di deretan mereka yang berprestasi. Kala itu fakultasku baru dinobatkan sebagai fakultas tersendiri, setelah sebelumnya bergabung dengan fakultas MIPA. Nah, pas sekitaran pertengahan semester delapan itu, ada agenda rektorat untuk melakukan pemilihan mahasiswa berprestasi (selanjutnya disebut mapres ajah yah). Karena masih fakultas baru, belom ada pemilihan mahasiswa berprestasi tingkat fakultas, dan karena waktunya mepet sangat, fakultas melimpahkan pada HIMA (yang baru akan menjadi cikal bakal BEM fakultas) untuk memilih salah satu teman yang akan diutus ke mapres tingkat universitas. Entah angin dari mana, hima malah memilihku. Sama sekali tak terpikirkan olehku bahwa aku akan mengikuti momen mapres itu. Rasanya-rasanya, aku bukan orang yang pantas untuk ikut momen begituan. Apa sih prestasi yang kupunya? Nyaris nothing! Organisasi pun, tak pula begitu banyak. Bahasa inggris apalagi! Sudah kubilang berkali-kali, bahasa Inggrisku minta ampuuun kacaunya! Hadeuuuh…. Tapi, tak ada pilihan lain. Dan tak bisa memilih orang lain dalam waktu mepet, sebab tak ada mahasiswa lain yang bersedia menyelesaikan karya ilmiah dalam waktu tiga jam. Sebab, naifnya, deadline pengumpulan karya ilmiahnya adalah 3 jam kemudian.
Akhirnya, seperti pesakitan harus kuselesaikan karya ilmiah itu. Itu pun sudah berkali-kali ditelfon oleh pihak rektorat karna hanya fakultasku yang belum menyerahkan syarat berupa CV dan karya ilmiah. Tiga jam saja, untuk sebuah karya ilmiah yang superr kacaunya. Beruntung waktu itu aku akan melakukan seminar proposal penelitianku 3 hari sesudahnya, jadi sedikit banyaknya karya ilmiahku disadur dari proposal penelitianku. Ya, dari pada tidak! CV pun juga tak banyak. Seperti pesakitan lah aku ikuti momen itu. Malam sebelum presentasi, aku mati-matian membuat presentasi dengan bantuan ulead (maunya mmf tapi, tak mahir aku mmf). Setidaknya, jika pun tak ada yang membanggakan dari karya ilmiah, CV dan sertifikat yang dilampirkan, maupun bahasa inggris (tiga poin penilaian penting), setidaknya presentasiku tak jelek-jelek amat. Hehe.
Hehe, benar saja. Presentasiku cukup membuat ‘terpesona’ para tim penilai yang terdiri dari seluruh pembantu dekan III semua fakultas. Terpesona bukan karena paham, bahkan mereka sama sekali tak mengerti dengan presentasiku itu. Hanya dokter dari PD III FK saja yang sedikit memberikan pertanyaan sebab karya ilmiahnya berkaitan dengan gen. Mereka ‘terpesona’ hanya karena presentasiku itu adalah filem documenter yang kubuat semalaman dengan begadang di ulead video studio. Hehe. Paling tidak, aku punya sesuatu yang berbeda dari yang lain, yang hanya pake power poin standar. Itu saja pikirku. Meski sedari awal aku sudah yakin bahwa aku takkan menang!
Di ruang interview bahasa inggris yang lebih parah lagi. Salah satu pembantu dekan suatu fakultas dengan terang-terangan mengatakan “Your pronunciation is so bad!” (sebenarnya pernyataan ‘membunuh’ ini adalah salah satu factor mengapa aku kurang begitu PD dgn bahasa Inggrisku saat ini. Padahal, dulu aku pernah berada di masa di mana bahasa inggrisku gak jelek2 amat koq pronunciation nya. Hihi). Aku disuruh menceritakan, “give us the reason that will make us chose you as a best student” [bener gak yah, grammernya --> tuh kan, ndak PD lagiii…]. Kala itu aku menjawab, “I don’t have anything, sir. I don’t have prestigious things. I cannot speak English well. I don’t have high IPK. Nothing can be proud of me.” (maklum ajah yah, keknya grammernya lagi2 gak bener nih -->dan lagi2 gak PD). Sang penguji Cuma bisa geleng-geleng doang liyat aku. “So, what things that making us being proud of you?” mungkin dewan jurinya hampir putus asa melihatku yang tak punya apa-apa. “Hmm…I have happy family, and I’m proud to being of them.” Haha, jawaban yang sama sekali tak qualified dan tak nyambung yang membuat dewan juri ketawa miris. “anythings other?”. Mungkin hampir frustasi dewan jurinya melihatku yang sama sekali tak membanggakan ini. “yeah, I has written four novels and more than 300 shorts story, and more than 50 articles.” (haha, berani juga pamer nih saia). “Oh yaaa??” salah satu pembantu dekan III di suatu fakultas cukup tertarik. “All of them were published?”. “No, just a five short story were published.” (haha, sejujurnya aku tak begitu ingin kembali mengenang masa-masa ini. Dan maaf sekali, grammernya kacau banget!).
Para tim penguji.... |
Telak, aku tentu takkan memenangkan posisi prestiusius itu. Memang tak ada satu pun yang membanggakan rasanya. Alhamdulillaah, pulangnya, mengantongi 150 ribu, buat uang lelah (haa…uang apasih namanya). Lumayan, buat beli sampel penelitian (kala itu lagi riwueh2 nya penelitian di lab). Hehe.
Meski hari itu aku kalah telak. Ya, tentu saja kalah telak. Tapi, ada pelajaran berharga yang kubawa pulang setelah mapres itu. Bahwa, aku telah melewatkan hampir 4 tahun masa, nyaris tanpa prestasi apapun. Jika saja, sedari dulu aku sudah mentargetkan bahwa suatu saat aku akan menjadi mapres, bukan saja Unand, tapi juga nasional, tentu akan berbeda upayaku. Sejak itulah lahir sebuah tekad, “panjang pendeknya nafas perjalananku tergantu sejauh mana cita-citaku”. Aku memang kalah, tapi…ada kemenangan lain yang kubawa pulang, yakni aku menyadari banyak hal sesudah itu. Hanya saja, aku sudah di semester akhir, semester delapan. Rasanya, untuk tataran kampus, aku sudah kehilangan banyak peluang. Tapi, gak ada kata terlambat kan yah?
Belakangan, momen mapres lagi hangat-hangatnya. Aku membaca profil orang2 yang berprestasi di sekitarku. Mulai dari yang di Unand, hingga yang terakhir kudengar, Rully Prasetya, adik kelasku di SMP dan di SMA yang jadi mapres di FE UI (baca jugak di sini). Big Zaman di Fasilkom UI (big adalah Runner Up-nya, pemenangnya adalah Jay, teman karibnya [nyang ini, aku baca di blognya ba’da blogwalking tanpa sepengetahuan di empunya blog, hehe]). Ada lagi Dewina dari FKM UI yang berprestasi di tingkat internasional dengan risetnya di momen World Imagine Cup, Egypt, Cairo. Tak jauh-jauh, uni Rini Lestari, kakak sewismaku sekaligus seniorku di Farmasi juga adalah peraih medali emas di momen PIMNAS bidang kewirausahaan di Malang. Da Yori Yuliandra, temannya ni Rini, juga meraih medali emas untuk kategori desain poster di momen PIMNAS Lampung. Dan, sungguh tak jauh-jauh dari itu. Teman sekelasku di SMA, Ihsan Tria Pramanda, dua kali ikut momen olimpiade internasional di Shanghai dan Aussie dan meraih medali perak. Teman SMA-ku lagi, Fino Agustinus juga adalah pemenang lomba debat dan cas-cis-cus English di tingkat nasional. Adik kelasku Habiburrahman, juga adalah peraih medali emas di pertarungan olimpiade sains tingkat nasional. Tika Afriani dan kawan-kawannya, yang juga adalah adik kelasku di SMA, meraih gelar prestisius sebagai pemenang lomba seni (yang ditampilkan adalah randai) di tingkat Internasional. Teman sekelasku di SMA dulunya, Rizki Mardian, selain drummer, pernah exchange student ke NTU, tamat dengan cumlaude di fasilkom UI dan tengah melanjutkan S2 dan S3-nya di negeri Sakura juga sudah memiliki prestasi membanggakan dengan robot-robot yang dibuatnya. Teman sekelasku di SMA dulunya, Wahyu Ramdhani (design grafis ITB) adalah pemenang desain lepi Axioo yang dilombakan skala nasional juga (kalo tak salah). Uni Sisri Dona, sosok akhwat yang kukenal penuh semangat dan amat sangat mencintai Al Qur’an, adalah pemenang dalam pemilihan Muslimah Teladan tingkat Nasional tahun 2009. Ada banyak lagi orang-orang berprestasi yang kujumpai di sekelilingku. Semakin berasa semangat di hati, “Yah, empat tahun, boleh saja sia-sia. Tapi, SETIAP ORANG BERHAK UNTUK BERPRESTASI. SETIAP ORANG pun SAMA-SAMA PUNYA PELUANG UNTUK ITU! Dan, meskipun peluang-peluang masa itu sudah berlalu di bangku universitas, tapi TAK ADA KATA TERLAMBAT UNTUK LEBIH BERPRESTASI! Sebab, setiap orang BISA berprestasi!”
Semangaaaaaattt…!!!
-------------------------------
PS :
> semoga bahasa inggrisku lebih baik di hari depan. Amiiin. Hehehe. Ini nih, sudah jungkir balik belajarnyaaa….
>Tulisan ini bener-bener terinfluence setelah blogwalking dan membaca cerita-cerita tentang orang-orang berprestasi…Aku suka orang2 berprestasi....^^