Itulah Sebabnya Mengapa…

ingatlah hari ituuu...


Itulah mengapa hidup tak pernah mudah untuk kita jalani,
Itulah sebabnya mengapa akan selalu ada ujian yang menyertai,
Itulah sebabnya mengapa selalu ada barier ketika melewati setiap tikungan kehidupan…
Sebab, surga-Nya itu juga tak pernah dapat diperoleh cuma-cuma…
Bahkan, mungkin saat ini, belumlah kita memiliki harga yang pantas untuk menebus tiket menujunya…
Menuju hari-hari yang  tiada lagi barier, tiada lagi kesulitan, melainkan hanyalah kenikmatan yang tak ada kata yang dapat mewakilinya…
Akankah kita menjadi bagian dari itu?
Akankah? Setelah begitu banyak defek pada setiap amalan-amalan kita, yang juga bahkan masih sedikit!
Astaghfirullaah…

Ya, memang!
Memanglah demikian adanya…
Bukan hanya dari luar, bahkan dari diri kita sendiri…
Setiap amstrong langkah, pasti akan ada ujiannya…
Bukan mudah untuk bertahan,
Bukan mudah untuk tetap senantiasa berada pada satu jalan setapak menuju-Nya…
Sebab, selalu ada godaan pada persimpangannya…selalu ada godaannya…

Ah, tidak!
Lebih mengerikan jika kita menyerah pada kehidupan.
Sebab, Allah telah menakar kadar kesanggupan kita…
Sebab, PASTI ujian akan selalu berada pada range antara titik minimum dan maksimum kadar kesanggupan itu saja, takkan pernah melebihi…
Maka, mengapa di banyak waktu, kita sering menyerah, jika Allah saja telah mempercayakan ujian itu pada diri kita? Mengapa hanya berhenti pada titik ini jika Allah telah menakar kesanggupan kita untuk melewatinya?
Bukankah sudah sama-sama kita tahu bahwa memang bukan mudah untuk meraih tempat penuh kenikmatan yang tiada berujung yang di sana tiada lagi kesengsaraan itu? Bukankah, memang tak mudah?

Ah, kesulitan itu hanya sebentar, wahai diri…
Bahkan perbandingannya mencapai satu berbanding tak berhingga, jika disandingkan dengan hari yang tiada lagi tawar-menawar itu…
Apakah akan kita biarkan diri kita bersenang-senang pada masa yang sesaat, jika pada akhirnya ujungnya adalah kesengsaraan pada tempat yang tak lagi mengenal dimensi masa?
Na’udzubillaah…
Maka, bertahanlah, dan mendekatlah pada-Nya selalu, wahai diri…Agar kita tak tergelincir pada licin dan terjalnya jalan….
Karena hanya milik-Nya sajalah segala kekuatan…
Jika kita telah bergantung pada Sang Maha Pemilik Kekuatan, lalu alasan apa lagi yang membuat kita lemah dan menyerah?

Percayalah, ini hanyalah sebentar dan sementara…
Selalu ada dimensi waktu, dan PASTI ada akhir!
Tapi, ke-sebentar-an inilah yang kemudian menjadi PENENTU,
Akan bagaimanakah nasib kita pada tempat yang tiada lagi mengenal dimensi waktu dan TIADA AKHIR itu?

Ingat-ingatlah, tentang hari yang akan memutus kita dengan segala dimensi waktu itu…
Ingat-ingatlah, wahai diri kita…
Semoga penutup kesejenakan ini adalah benar-benar dengan prestasi dan amalan terbaik kita di hadapan-Nya (hanya di hadapan-Nya, bukan d hadapan manusia!)
Allahumma aamiiin…

Maka, peganglah aku, sahabat, ketika aku mulai terjatuh….
Kokohkan aku, ketika aku mulai gamang menapaki hidup ini…
Sanggalah pundakku, ketika aku mulai oleng,
Karena aku tak ingin sendiri,
Aku ingin, kita bersama-sama saling mengokohkan…
Karena, kesendirian dan infirodi, hanya akan membuat diri kita begitu mudah diterkam keterjatuhan…
Karena kita memang tak pernah bisa sendiri…
Juga karena, cita-citaku adalah…kita bersama-sama memasuki tempat penuh kenikmatan itu.
Sekali lagi, bersama-sama!
Bukan sendiri!

Senandung Rindu

SEnandung Rindu



Di dalam kegelapan,
Kumencari cahaya-Mu yang hilang sirna tak bersisa…
Semakin kuterlena,
Semakin terbawa arah hina dan ternoda…

Kurindukan sinar suci-Mu yang mulia
Dan kuharapkan belai kasih-Mu
Agar musnah semua keangkuhan diriku
Dan kulepaskan dari sifatku…

Semakin kuterlena,
Semakin kuterbawa arah hina dan ternoda

Kurindukan sinar suci-Mu yang mulia,
Dan kuharapkan belai kasih-Mu
Agar musnah semua, keangkuhan diriku
Dan kulepaskan dari sifatku…
_____________________


Ini adalah nasyid pertama yang membuatku begitu tersentuh…
Ya, Senandung Rindu
Bahkan aku tidak tahu, milik grup nasyid apakah ini?
Telah berlalu 8 tahun…
Dahulu, ketika aku tertatih-tatih mencari jati diri,
Ketika aku dibalut dangkalnya persepsi dunia remaja penuh warna…
Dan sudah 8 tahun berlalu semenjak itu… Semenjak masa-masa SMA yang penuh warna itu…
Ketika aku dihadapkan pada transisi yang penuh ke-fluktuatif-an…
Hari ini, kembali kuterkenang…dengan masa-masa di mana persepsiku mulai berubah tentang din-ku sendiri…
Ketika aku mulai mencoba memaknai hidup lebih dari sekedar euphoria dunia ke-remaja-an kala itu…
Ya, ketika aku merasakan indahnya, indahnya dan sungguh betapa indahnya dunia melintasi apa yang para remaja pikirkan…
Inilah masa transisi paling indah semasa hidupku…

Refleksi Molekular

Hari ini belajar Biologi Molekuler paling menyenangkan yang pernah kujalani selama kuliah. Biologi molekuler sendiri adalah  sebuah ilmu yang sebenarnya cukup mutaakhir dan mempelajarinya juga tak kalah riweuhnya dengan aljabar dan algoritma serta pemograman. Hehe. Dan entah mengapa, setelah belajar biomol, kami selalu menyatakan bahwa ini adalah saatnya weekend. Hihi… Mungkin karena biomol adalah pelajaran yang cukup berat. Jadi setelah menyelesaikan sesuatu yang berat, kami menyebutnya weekend. Hee…

Belajar biomol (biologi molekuler) memanglah hal yang berat (karena ujung-ujungnya ntar ke terapi gen yang sedang popular banget di dunia medis), tapi kemudian menjadi sesuatu yang amat menarik serta menantang untuk dipelajari bagiku. Hal yang lebih menarik dari itu semua adalah karena dengan belajar biomol, kita bisa merasakan betapa Maha Agungnya Allah yang menciptakan diri kita dengan sebegitu luar biasanya. Dengan penciptaan yang maha sempurna. Belajar biomol kemudian juga mengantarkan kita pada penyadaran bahwa diri kita sebagai manusia benar-benar hanyalah makhluk dhaif yang memang amat sangat bergantung pada-Nya. Jadi, apakah yang patut manusia sombongkan—apalagi di hadapan Rabb-nya—jika diri kita ini sungguhlah amat-amat sangat kecil. Bahkan, tubuh kita saja jauh lebih cerdas dari pada diri kita. Ah, jikalah segala regulasi tubuh kita ini diatur oleh diri kita sendiri, maka aku YAKIN 100 % (bahkan jika boleh satu triliun persen) takkan ada manusia yang dapat bertahan hidup. Allahu akbar! Maha agung Allah yang menciptkan manusia dengan segenap penciptaan yang begitu sempurna. Tak ada sedikitpun kesalahan dalam penciptaan-Nya…

Ah, sungguh…
Betapa Maha Agungnya Allah…
Maka biarkanlah diri kita tersungkur seraya bersujud di hadapan-Nya, Rabb yang jiwa-jiwa kita di dalam genggaman-Nya…
Subhanallaahu…
Allahuakbar!

Kebodohan

Jika terkenang dengan banyak kebodohan di masa lalu, selalu aku ingin bertanya pada diriku sendiri, “Mengapa begitu dulunya? Mengapa? Tidakkah aku bisa melakukan hal-hal yang lebih baik dari pada kebodohan itu?”
Itulah pertanyaan yang sering bergaung di dinding hati…
Ya, mengapa begitu bodoh?

Tapi kemudian, sungguh aku ingin berterima kasih pada kebodohan itu sendiri…
Kebodohan yang dengan amat sangat dalam aku sesali itu…
Bahwa aku telah belajar banyak dari kebodohan itu, agar tak lagi pernah terulang di masa sesudahnya…
Maka, cukuplah kebodohan itu sebagai cell-T memory yang akan segera memberikan reaksi immunologis ketika kebodohan yang sama hampir saja terulang di hari-hari setelahnya…
Ya, karena dengan kebodohan itu pada akhirnya memberikanku banyak pelajaran kehidupan…


Meski aku melakukan pembiaran atas kebodohan itu,
Tapi aku tidak sedang berdalih dan berselindung dibalik dogma tentang kedhaifan manusia, yang tak pernah alpa dari segala kekhilafan…
Aku juga bukan sedang mentolerir diri atas sebuah kesalahan maupun kebodohan yang pernah ada…
Tapi, aku hanya mencoba melihat dari sudut angel yang berbeda, bahwa selain menyesalinya, aku juga ingin kesalahan dan kebodohan itu menjadi sebuah pelajaran bagiku, itu saja…

Sekarang, segalanya berlalu sudah…
Aku sungguh tak ingin membiarkan lagi ada luka, baik lukaku maupun melukai siapa saja…
Aku ingin, hari-hariku sesudah ini, adalah hari-hari yang bermakna…
Karena bagiku, tidaklah penting menjadi ‘orang penting’, dan yang lebih penting adalah bagaimana kita bisa memberikan kemanfaatan bagi diri kita, bagi orang lain, dan terlebih bagi diin ini…

Tetap bersemangat!
Semoga Allah jadikan penutup hari-hari kita adalah dengan amalan terbaik kita,
Oleh sebab waktunya tak pernah kita prediksi, maka perlulah kita bersiap setiap saat, agar cita-cita itu terwujud, cita-cita untuk menutup hari-hari kita dengan amalan terbaik kita…
Semoga Allah jadikan kita istiqomah di jalan-Nya…
Allahumma aamiin…

Aku Kalah

Hari ini.... AKU KALAH....
Hari ini.... AKU MENYERAH!


Maafkan aku, hari ini aku benar-benar menyerah....

Anker

Commuter Jabodetabek

Kaya'nya aku bener-bener sudah jadi anker deh...
Anker = Anak Kereta
Hehehe....
Karena mesti naik kereta hampir 6 kali dalam sepekan...

Jadi, jika hari ini kau tanya, apa kendaraan umum paling favorit? Maka dengan segera kujawab "keretaaaaa..." (lebay!). Sebab kereta (meskipun harus empet-empetan) tetap saja bebas macet...Hehe.....
 Sebab lain mengapa aku suka kereta adalah,
Karena kereta selalu punya cerita...

Maka, kali ini, aku pun ingin berbagi cerita tentang kereta....
Tentang pelajaran yang kupetik dari perjalanan kereta....

Seperti halnya kereta yang hanya berhenti sejenaaak saja di setiap stasiun,
Mungkin begitu pula halnya hidup kita...
Perjalanan kita di dunia ini laiknya perhentian di stasiun yang hanya sesaat saja...
Alangkah meruginya kita, jika kita hanya menjadikan stasiun sebagai tujuan akhir, padahal akan ada perjalanan panjang yang akan kita lewati sesudahnya....
Sebab, ianya hanyalah terminasi yang sementara...
Akan ada lanjutannya kemudian....

Sungguh, akan berbeda pada akhirnya, jika tujuan kita bukanlah stasiun yang sesaat...
Karena kita punya cita-cita untuk masa yang lebih panjang dari pada stasiun, maka PASTI KITA MELINTASI stasiun itu sendiri....
Ya, ketika yang menjadi tujuan kita adalah akhirat, dunia pastilah menjadi ikutannya....
Sementara, ketika yang menjadi cita-cita kita hanyalah dunia belaka, maka sungguh kita telah merugi...Amat merugi...
Padahal, ianya hanyalah sesaat saja...

Tapi juga akan berbeda pada akhirnya, jika kita hanya memikirkan tujuan saja, jika tidak melewati statiun terlebih dahulu.... Karena ia adalah tempat kita melakukan transit untuk perjalanan selanjutnya....

Pelajaran yang dapat kita petik kali ini adalah.... bahwa dunia hanyalah stasiun yang akan menentukan akan ke manakah kita pada masa sesudahnya....
Smoga ini semua menjadi reminders bagiku terutama, dan juga bagimu....

__________________
Labkom FKUI, Salemba... Oktober 2011
Saat menunggu jam-jamnya kuliah Psikiatri dan Neurologi...
Tetap semangaaaatttt!

PS : Sumber Gambar di sini

Antara Dramaga dan Laladon

Jatah liburan satu hari adalah hal yang sangaaaatt menyenangkan. hehe...
Kamis ini, alhamdulillaah...jarang-jarang kita punya jatah libur begini. Hee...
Bukannya mengerjakan tugas yang menumpuk, malah kelayapan dan 'malala' niih. Hihihi....
Ah, tugas biarin deh. Sesekali refreshing dulu, boleee kan? (hoho, jangan-jangan kebanyakan refreshing malah!)

Finally, akhirnya kamis ini kita 'malala' deh. Aku dan Dewi (wizokure) berangkat dari kosan jam 10.30 pagi. Sebenernya sudah ada (sedikit) niat mw belajarrr (syaaaelaaaah...) tapi karena lepi lagi bermasalah, akhirnya diputuskan untuk malala sahajaaa, dari pada bengong bin frustate bin desperadoo...hehe. Kami 'malala' hampir-hampir tak punya navigasi. Hanya bermodalkan nekad bin iseng sahaja. Dari Pocin naek KRL Bogor (padahal belom pernah nyoba, tapiii nekad ajah. hee...). Karena judulnya adalah jalan2 irit (makluuum, mahasiswaaaa..hehe), kami cuma beli tiket yang ekonomi ajah. Lumayan kan ke Bogor cuma dua ribu doang.. Alhamdulillaaah, sepiii. Ndak sepi juga sih, tapi bisa duduk...
Setelah skitar 40 menit perjalanan, nyampe di Bogor.

Di Bogor, kami bingung nih, critanya mau kemanaaa, gituh? Berjalan tanpa arah dan tujuan. Hee...
Pelajaran Pertama : Begitulah hidup jika tak punya tujuan. Di perjalanan, kita pasti kebingungan, hendak ke mana? Hendak dibawa kemana hidup kita ini. Jadiii, pelajaran yang dapat kita ambil kali ini adalah, TETAPKAN TUJUAN HIDUP KITA itu MAU KEMANA. Jadiii, kita gak ngeloyor and nyasar ke mana-mana ntar. Kalo ndak punya tujuan hidup, hadeuuuhhh...masya Allah, betapa tidak terarahnya hidup kita. jadii, tetapkan tujuan hidup, visi dan misi kita. Siiippp???

Akhirnya, Dewi ngusul, gimana kalo kita ke IPB ajah? (ehem..sedikit crita, aku sesungguhnya lebih suka wisata kampus ketimbang wisata ke tempat2 wisata. Wisata kampus atau wisata ke sekolah-sekolah sedari dulu memang hal yang begitu menariiiiik bagiku. Jadi, jangan heran jika hampir semua sekolah-sekolah tinggi dan kampus-kampus yang ada di Kota Padang sudah kujelajahi hampir semuanya. hehe...). Modal ke IPB nekad plus tanya sana-sini. Kami naek angkot 02 sampai terminal Laladon. Dari Laladon nyambung angkot KAMPUS DALAM. Heuu... Nyasarrr? Iya sih, tapiii kan jalan-jalan. Hee.. (malu bertanya jalan-jalan, bukan sesat di jalan. hihi).

Jadiii, sebenarnya apa sih esensinya  kali ini? hoho, belooom. Masi mukaddimah niih. (ko panjang bener yak, mukaddimahnya? hihi...). Sebenarnya hal yang paling menarik untuk kuceritakan itu adalah tentang percakapan 3 orang ibu-ibu yang masih muda (sekitar 30-an) dari kampus IPB hingga Bubulak. Kami menumpangi angkot yang sama dari kampus IPB hingga Bubulak. Dan yang membuat cerita semakin seru adalah karena adanya kemacetan yang panjang sehingga perjalanan yang seharusnya ditempuh selama 10 menit, justru menghabiskan waktu sekitar 1 jam sehingga ceritanya lebih komplet kudengarkan. He....
Sebenarnya, aku aku mengeluarkan beberapa copy-an slide mata kuliah Farter tetang Psikiatri. Critanya (sok) rajin nih. Hee... Tapiiii, dari awal buka itu copy-an, halamannya kaga pindah2 tuh. Sebab, ternyata mendengarkan percakapan ibu2 muda itu lebih menarik dari pada membaca tentang depresi. hee...

JASSO in Memoriam

Pada mulanya pengin bahas Obgyn, eehh…malah nyasar di sini. Hee… Maklumlah, sudah lama tidak berjumpa ‘dunia tanpa tepi’ bernama internet. (Tinggal di manaaa, neng? Hutan belantara yak? Hihi…). Hmm…meski di dunia secanggih dan penuh kemasakinian ini, koneksi ke ‘dunia tak bertepi’ hampir-hampir menjadi kebutuhan hampir setiap orang hampir di berbagai tempat, tapi, aku juga hampir mencoba mengurangi ketergantungan terhadapnya. Hoho, internet addict nih critanya? Hihi… Padahal sedang butuh-butuhnya yak? Ko malah memilih mengurangi? Yaoouu, karena ujiannya lebih sulit ternyata. Hee… (heiii, ngaur neng!).

Cerita apah yak? Hmm…cerita yang udah basi ajah deh. Mana tau setelah diangetin, masi bisa dikonsumsi (hihi, dasar anak kos!). Kurang dari 2 pekan lalu, aku dan dua temanku mengunjungi pemarena JASSO di JCC. Nah, JASSO itu sendiri aku tak tau kepanjangannya apah, hehe. Tapiiii, yang jelas tema besar yang diangkat di sana adalah : PAMERAN (plus seminar kayaknya) tentang PENDIDIKAN DI JEPANG. Jadiii, ada beberapa stand-stand universitas di negeri sakura itu mulai yang negeri hingga yang swasta, bahkan juga lembaga bahasanya.

Aku berada di antara 2 teman yang memang memiliki animo yang begitu tinggi untuk melanjutkan studi ke negeri Sakura. Selain mengkoleksi berbagai informasi mengenai beasiswa, universitas, dan tetek bengeknya, mereka ini juga udah pinter bahasa Jepang. Aku?? Haha, paling juga tau beberapa kata, Arigatou gozaimasu, ganbatte kudasai, sugoi, ogenki desuka, daaaaan watashiwa anatawa aishiteru (haha, yang terakhir iniiiiiih….cepeeett deh….hihi). Katakana-Hiragana apalagi! Adekku yang masi SMP lebih jago dari aku dalam hal tulis menulis hurup Jepang. Aku mah kaga tau sama sekali. Sama sekali!


Apel Sepuluh Ribu

Sedari dulu, aku menginginkan apel sepuluh ribu itu.
Tapi, aku hanya bisa memandanginya jadi kejauhan.
Apel itu berada di etalase yang tinggi, bagus, dan tak sembarang orang dapat membelinya.
Hanya mereka yang punya duit sepuluh ribu atau lebih yang dapat bisa mengantonginya untuk dibawa pulang.

Hingga kemudian, ketika aku benar-benar menginginkan apel sepuluh ribu.
Kulirik di tangan, hanya ada seribu. Tapi, apelnya sepuluh ribu!
Meski aku tau, aku mungkin takkan dapat membelinya, tetap kucoba menawar.
Tapi, apa?
“Maaf ya, duitmu hanya seribu dan apel ini harganya sepuluh ribu.” Itulah yang kudengar jawabannya.
Dan di saat yang bersamaan, seseorang melenggang dengan anggunnya. Mengeluarkan lembar seratus ribu dari dompetnya, dan segera memboyong si apel sepuluh ribu.
Tinggallah aku yang terbengong, menatap kepergian si pelenggang anggun dengan apel sepuluh ribu(ku).
Aku sedih. Terasa begitu pilu.
Mungkin karena aku hanya punya seribu, tidak sepuluh ribu… Dan pembeli itu, dia bahkan punya lebih dari seratus ribu!

Pelajaran Kehidupan

Begitulah kehidupan mengajarkan kita…, bahwa ada begitu banyak hal yang tak dapat kita prediksi sebelumnya, lalu fase kehidupanlah yang mengantarkan kita padanya… Memang benarlah sudah, bahwa hidup ini begitu kehilangan makna jika hanya diisi dengan banyak kesiaan. Karena ia terlalu wonderful untuk itu…

Mungkin, kita pernah bertanya-tanya, “Ya Tuhan, mengapa Engkau berikan takdir begini dan begitu untukku, padahal aku tak menyukainya, padahal aku tak sanggup untuk menjalaninya…”
Tapi, sekali lagi, ALLAH lah YANG LEBIH TAHU MANA YANG TERBAIK UNTUK DIRI KITA, jauh melintasi ingin-ingin kita yang sederhana itu…
Mungkin tidak saat ini kita diberi tahu-Nya tentang hikmah luar biasa yang Dia sertakan pada setiap kesulitan, hal-hal yang tidak menyenangkan, maupun tantangan hidup yang kita lewati… Tapi, pada satuan waktu yang tak dapat kita tara kemudian, kita mungkin akan berkata, “Masya Allah…sungguh luar biasa catatan-Nya atas diri kita… Mengertilah aku, mengapa begini skenario dari-Nya, bukan seperti yang kukehendaki dulunya.”


Ya, sebab, berkali-kali sudah Dia sadarkan kita, agar kita lebih aware, bahwa TAK SELALU KEHENDAK KITA SAJA yang BERLAKU dalam HIDUP INI… Dan, cukup ingin-Nya sajalah yang berlaku… Ini bukan berarti kita berpasrah tanpa ikhtiar dan tanpa munajah. Ini adalah setelah ikhtiar terbaik kita… Lalu kemudian, cukuplah Dia saja yang memberikan keputusan finalnya…

Jika sudah demikian, maka mari kita focus kembali dengan apa yang menjadi tujuan dari kehidupan yang singkat ini. Cukupkah hanya sampai terminasi dunia belaka kah? Ataukah untuk masa yang lebih panjang dari itu. Jika hanya sampai pada terminasi kehidupan dunia saja, maka bersenang-senanglah dan lakukan semau kita! Kesenangan yang singkat kemudian menjadi tiket untuk kesengsaraan yang tiada berkesudahan. Na’udzubillah… Akan tetapi, kita hidup bukan untuk jangka waktu yang singkat. Ada cita-cita besar pada jangka yang tak lagi terhitung dengan dimensi waktu dunia, yang untuknya kita tentu tak bisa hanya dengan duduk-duduk saja. Karena harganya mahal itulah, maka perlu berpeluh payah mencapainya. Jadi, apakah kita akan memilih untuk bersenang-senang sesaat akan tetapi dengan berujung pada kesengsaraan yang tiada taranya. Ataukah berpeluh payah, akan tetapi untuk sesuatu yang kenikmatannya juga tak dapat dilukiskan dengan kata-kata? Logika manusia PASTI akan memilih yang kedua. Tentu saja…

Dan sudah sunnatullahnya, bahwa setiap jenak waktu yang kita habiskan menuju cita-cita besar itu, dan setiap amstrong langkah kita menujunya, pasti memiliki barrier. Pasti akan selalu memiliki rintangan. Maka, niscayanya, juga butuh energy lebih besar. Dan sungguh, hanya dengan kedekatan dengan-Nya sajalah yang dapat memberikan energi aktivasi untuk dapat melintasi segala barrier itu. Ah, sesungguhnya ada ketakutan besar bagiku ketika menuliskan ini. Sebab, aku pun bahkan sering lemah, sering terjerambab, sering terjatuh… Maka dari itu, mohon ingatkanlah aku, ketika langkah ini tersalah…ketika bukan lagi pada koridor-Nya…

Jangan pernah berpikir bahwa kita akan selalu bisa sempurna dalam melewati segalanya. Sebab manusia adalah tempatnya khilaf. Lantas, mengapa Allah memberikan kita sedikit ruang pembiaran atas kesalahan? Seperti halnya Dia yang membentangkan keampunan di siang hari untuk hamba-Nya yang bermaksiat di malam hari, dan Dia juga membentangkan keampunan di malam hari untuk kemaksiatan di malamnya? Sekali lagi, sebab khilaf adalah sifat manusia. Agar kita belajar memperbaikinya. Agar kita belajar membenarkan diri atas kesalahan-kesalahan itu… Dan, mari kita (terutama diriku) bersegera mengejar bentangan maghfiroh itu… Sebelum segalanya berakhir… Sebelum kita menyesal pada penyesalan panjang di mana segalanya tak lagi dapat kita kembalikan, pada masa tak ada lagi tawar menawar…

Seharusnya Sedari Dulu…

Jaga Hati yaaah diriku^^

Seharusnya sedari dulu memang…
Tapi aku terus dan selalu mentolerir segalanya…
Tanpa ada terminasi, tanpa akhir…
Sebab  aku selalu percaya, bahwa segalanya akan baik-baik saja…
Aku selalu yakin, segalanya tidak akan mengapa…
Sebab aku yakin, bahwa aku begitu resisten…
Dan mungkin saja, adalah karena kau bagiku adalah kawan yang begitu berharga…

Apoteker Galau

Dahulu, aku pernah cerita tentang dokter yang emosional habis, kala aku menanyakan resepnya kan yah? Ternyata, hal ini juga dialami oleh banyak farmasis lainnya. Kesiaaaann…
Farmasis dianggap sebagai “corpus alien” (baca : benda asing) dalam tubuh medis sehingga sel fagositosis segera mengejarnya lalu membentuk magrofag dalam rangka pertahanan diri. Waaahh….ck..ck..ck… kesiaaan. Tapi, beginilah kenyataan bicara. Bahwa farmasis Indonesia masih dianggap benda asing yang keberadaannya di bangsal (bukan di depo loh ya) dianggap sebagai pelengkap penderita saja. Tak berguna! Sia-sia!
Kasarnya begini, “Heh lu, farmasis. Lu cukup ngurusin distribusi dan pengadaan obat ajah tuh. Masalah bener atau tidaknya obat, biarin deh jadi urusan kami. Emang lu tau apa?”
Deuhhh…kasian bener tuh…

Terjadinya hal seperti ini, bukan tanpa sebab. Oleh karena farmasis itu sendiri yang sebenarnya tak mengusai farmakoterapi. Padahal, farmakoterapi ini adalah sesuatu yang bener-bener amat sangat penting untuk dikuasai untuk bisa ‘protes’ eehh…intervensi maksudnya. Kan gak lucu tuh, farmasisnya intervensi tapi ESO ajah kaga ngerti. Barabeee banget tuuhhhh…

Kalo dulu, dokter itu marah-marah, kurasa juga hal yang amat sangat wajar. Sebab, dia berhadapan dengan seorang farmasis (ecek-ecek) sepertiku yang ilmu farmakoterapinya masih jauuuhhh dari baik. Yaah…boleh saja dia marah. Tapiii, ini semua jadi tantangan tersendiri bagiku untuk membuktikan kalo farmasis juga manusia (ya iyalaaaah manusia, cuy! Hihi…). Maksudnya, membuktikan kalo farmasis BUKANLAH corpus aliance yang keberadaannya hanyalah jadi sampah medis saja. Aku kepingin buktiin pada dunia, bahwa farmasis klinis juga semestinya berkontribusi dalam penanganan pengobatan untuk kualitas hidup pasien yang lebih baik lagi, insya Allah… Bukan gaya-gayaan. Bukan pula karena ingin eksistensi kita diakui. Bukan juga karena nunjukin kalo kita ndak bego-bego amat. Tapi, ini lebih ke patient oriented. Kebahagiaan seorang farmasis klinis adalah equivalen dengan seberapa banyak pasien yang dapat dia atasi masalah obatnya atau DRUG RELATED PROBLEMNYA… Sebab, kita juga ndak perlu menutup mata kan yah? Bahwasannya tingkat DRP (drug related problem) di Indonesia masiiiiih sangat tinggi (ini menarik buat dijadiin tesis keknya…hihi). Kita juga ndak perlu menutup mata kan yah, dengan adanya pola peresepan yang bukan EBM (evidence base medicine) akan tetapi  ‘base on pharmaceutical industries’, ‘base on tawar menawar antara si dokter sama perusahaan obat tertentu’ yang hanya karena mengejar tiket PP Amerika-Indonesia, resepnya jadi tak rasional. Meski ndak semua dokter begitu, tapiii…ini bukan berarti tak ada. Apalagi pasien yang lugu-lugu dan telah menggantungkan kepercayaah sepenuhnya pada si dokter. Ini paling gampang deh buat ‘dikibulin’. Vitaminnya ajah bejibun. Mahal-mahal pulak. Padahal, indikasinya mungkin saja ndak ada, tho? Meskipun banyak dokter yang baek-baek juga, tapi yang beginian bukan pula tidak ada, kan yah? Intinya, peran kita di sini adalah menyoal PHARMACEUTICAL CARE, yang di Amrik sono ajah udah mulai taon 1950’an. Lah, kita?? Ini niiih, baru mulai era 2000-an. Yaah, walau telat, tapi emang harus dimulai! Hup! Hayuuu semangaaaattt yuuuk…

Jadi, bagaimana doooong?!
Kita tak punya pilihan lain selain  HARUS MENG-UPGRADE DIRI, meng-upgrade pengetahuan kita, tentang farmakoterapi terutama… Mulai dari patofisiologinya hingga ke terapinya. Mau tak mau, HARUS! Jika tidak, yaah…kita bakalan terus-terusan begini, tho?! Jadi, MAU tak MAU, harus MAU! Satu lagi yang mesti dicatet, ini juga tak mesti kita dapatin dengan kuliah, tho? Selama kita mauuuu belajarrrr, kita bisaaaa belajar dengan sarana apapun. Lagian, internet sekarang mah sudah ada di mana-mana, kan yak? Jadiii, tak ada yang sulit selagi kita mau!!

Selain mengusai farmakoterapi, kita juga mesti jago dalam hal komunikasi. Ya, bagaimana membangun komunikasi interdisciplinary…. Karena, sepinter-pinternya kita, kalo ndak bisa bangun komunikasi yang baik, juga gak bakalan berguna. Tetep ajah deh, dianggap sebagai corpus alience (kali ini ditambah dengan ‘sok tau’) hihi… Jadiii, membangun komunikasi itu sangat pentiiiiiing! Jangan maen intervensi ajah dong, tapi caranya kurang ahsan (kurang baik). Sebab, penerimaan terhadap kita pasti juga kurang, kan yah? Paling juga bakal dicibir ‘halaaah, lu ngomong ajah sendiri. Gw tetep gak bakalan ngikutin’. Hihi. Nah, selain komunikasi yang baek, juga dibutuhkan rasa percaya diri yang tinggi. Eh, ini beda dengan ke-PD-an dong yah. Iya! Beda! Percaya diri berarti kita ndak perlu minder dengan apa yang kita punya. Selagi kita benar, sungguh tidak ada orang yang akan menolak kita. Selagi kita menunjukan profesionalisme kita, insya Allah tidak akan ada yang meremehkan. Intinya, ketika kita menjadi yang terbaik, gak bakalan ada yang menolak kok. Hee…

Selain itu, bagi aku pribadi, ada tambahannya juga niih. Mesti bisa bahasa inggris juga. Hee… maklumlah, bahasa inggrisku masi dong-dong banget. Jadiii, aku mesti banyak belajar niih… Soalnya, kiblatnya farmasis itu masi di negeri Paman Sam sana, jadiii…mau tak mau, aku juga HARUS BISA BAHASA INGGRIS, sama seperti ke-harus bisa-an aku dalam bidang farmakoterapi.

Jadii, hayuuuu semangat belajar yuuuuk….

Tiga Kereta

Pagi Selasa, ada kejadian yang sesungguhnya cukup menggelikan dan semoga bisa diambil pelajarannya. hee...
Ini tentang perjalanan menuju RSCM yang seharusnya bisa dengan sekali kereta saja. Akan tetapi, aku harus tiga kali ganti kereta untuk ke RSCM doang. Dan tahukah kamu, sebenarnya penyebabnya? Masya Allah....ternyata, hanya karena MISCOMMUNICATION!

Pagi itu, aku janjian dengan dua temanku untuk berangkat bareng ke RSCM. Kami janjian di stasiun Pocin. Biasanya, kalo kami janjian, nunggguinnya ndak di peron melainkan di deket tempat pembelian tiket. Tapi, karena pagi itu aku agak telat datangnya, temenku nungguinnya di peron. Nah, aku tanya, "udah beli tiket, Mba?" si Mba menjawab, "Udaah..." Dan aku pun langsung caw ke Peron tanpa beli tiket lagi. Tetapi, ternyata terjadi miscommunication antara aku dan temenku itu. Maksudku tadinya bertanya, "apakah sudah beli tiket sekalian untukku?" ternyata temenku itu menangkap maksduku, "sudah beli tiket, untuk dirinya sendiri..."
Akhirnya, ketika di kereta, kutanyakan, "Mba, mana tiketnya?"
"Loh? tadi kan aku cuma beli satu. Aku ndak beliin buat kamu."
"Yaaaaahhh....gubrak! Hadeuuh, gimana yak?"
"haduuuuh, maaf, kayaknya kita miscom deh."
"iya nih mba... Ya udah, aku turun di stasiun Ui ajah deh mba. aku naek kereta berikutnya ajah"

Di stasiun Ui, aku beli tiket lagi. Dan masya Allah, rupanya aku salah naik kereta. Aku bukannya naik yang ke Jakarta Kota melainkan naik kereta Tanah Abang. Hadeuuuhhh.... tuing..tuing...
Aku di kereta udah deg-deg-an banget nih. Gimana ntar yah kalo diperiksa? Ntar aku diturunin sebelum aku nyampe Manggarai. Di St. Cawang sebenernya aku sudah mau turun, nungguin KRL Jakarta Kota. Tapiii, "Aahh, santai ajah dah, paling kalo ditanya petugas, juga bakal disuruh turun di Cawang." Pikirku. Hehe.... Aku pake aksi cuek-cuek ajah. Santaaiiii...hihi...
Sesampai di St. Tebet, aku bernapas legaaaaa... Aahh, syukurlah, Alhamdulillaah udah nyampe Tebet. Lagian, gak mungkin juga kan yah, aku dituruinin di jalan? Pastinya aku diturunin di stasiun berikutnya. Dan stasiun berikutnya adalah Manggarai. Kan aku juga bakalan turun di Manggarai. Hehe....

Akhirnyaaa, "Hup!" turun di Manggarai. Dan, tinggal nunggu kereta berikutnya ke Cikini...
Alhamdulillaah, akhirnya jam 7 pagi aku sudah nyampe Cikini. Hee...

Coba deh kalo kita telik lagi dari awal. Kesalahan kecil itu sebenarnya hanya ada pada MISCOMMUNIKASI saja. Tapiiii, dampaknyaaaa.....Masya Allah...ribet kan ya?

Ini baru kereta...
Palagi yang miscom itu adalah GEN. coba bayangin deh, kalo gen kita miscom. DNA templetnya miscom sama kodonnya, masya Allah, dampaknya luarrrr biasaaaaaa besssuaaarrrnya (lebay!). Tapi, beneran loh! Contoh saja, anemia sel sabit. Cuma gara-gara ketuker satu basa nukleotidanya ajah (bukan asam aminonya loh, tapi basanya ajah....yang cuma satu huruf genetik), tapi dampaknya sudah luar biasa. Sel darah merah jadi kayak bulan sabit. Contoh lainnya, di hemofili. Satuuuuu ajah yang ketuker atau ter-insersi, ternyata bisa berakibat fatal. Pendarahan hebatt yang sulit untuk dihentikan. Kalo ndak dikasi cairan rumatan faktor pembekuan darah, bisa meninggal tuh. Dan ada banyaaaaaaaaaakkkk sekali penyakit yang diakibatkan ke-miscom-an informasi itu...

Pelajaran yang dapat kita petik kali ini adalah, sungguh betapa PENTINGNYA KOMINKASI itu... Betapa pentingnya menyampaikan informasi itu dengan sebenar-benarnya informasi. Makanya, kata RAsulullaah (kalo ndak salah di Riyadhusshalihin, aku lupa redaksinya gimana, ntar tulung dikoreksi yaah, jika salah), intinya, termasuk dikatakan pembohong seseorang jika ia menceritakan sesuatu yang dia sendiri sebenarnya masih ragu atau ndak yakin akan kebenarannya. Allahu'alam....

Kisah ini juga memberiku pelajaran tentang PENTINGNYA MENG-KOMUNIKASIKAN setiap keputusan-keputusan di kehidupan kita pada Allah. Yaah, libatkan Allah pada setiap pengambilan keputusan dalam hidup kita, menyoal apa saja itu... Semoga ini jadi reminder buat diriku terutama.... Dan semoga juga buat dirimu...

Dicukupkan segini dulu ajah deeeh...
Sebenernya aku masih punya banyak kisah yang ingin aku bagi...Hee...
Tapiii, kayaknya aku lagi 'pelit waktu' nihh... Keknya, aku butuh waktu lebih dari 24 jam sehari...(haha...gayaaaa cuy!)
Dikejar-kejar tugasss...hehe...
Ini juga aku pake fasilitas kampus yang gratisan...hihi...

tetap Semangaaaaaaaaaaaatttt!

Galau [part 2]

Sekali lagi, wahai diriku, tak perlulah kau menakar harga sebuah kepantasan itu…
Bukankah sudah berkali-kali, kau dihadapkan pada ke-homologus-an ini…
Jadi, tidakkah kau belajar?
Tidakkah kau belajar dari itu semua?

Galau [part 1]

Setelah bersusah payah mengeluarkan diri dari jejaring perangkap itu, akankah aku biarkan kembali perangkap baru menjejaliku hingga sulit untukku berlepas diri darinya?
Ah, tidak! Sungguh, tak ingin kubiarkan diriku kembali terperangkap pada jejaring lagi, apapun itu…
Aku sungguh tak rela menjadikan diriku bagaikan keledai dungu yang berkali-kali terjatuh di lubang yang sama…
Sama seperti aku tak ingin membodohi diri dengan harapan yang sama yang pernah ada…
Aku tak ingin, sungguh…

Jangan Bersedih, Oh Kawanku...

Dunia ini masih seluas yang kau impikan
Tak perlu kau simpan luka itu sedalam yang kau rasa
Memang ada waktu agar kau bisa kembali semula…
Percayalah padaku, kita kan bisa melewatinya
          
Jangan bersedih,oh kawanku
Aku masih ada di sini
Semua pasti, kan berlalu
Aku kan selalu bersamamu
Jangan bersedih oh kawanku
Aku masih ada di sini
Semua pasti kan beralalu
Aku kan selalu bersamamu

Jalan hidup tak selama indah
Ada suka ada duka
Jalani semua yang kau rasakan
Kita pasti bisaaa

Jangan bersedih oh kawanku,
Aku masih ada di sini
Semua pasti kan berlalu
Aku kan selalu bersamamu
Aku masih ada di sini
Semua pasti kan berlalu
Jangan bersediiiih….
Aku masih ada di sini
Semua pasti kan berlalu
Aku kan selalu bersamamu…


Belajar dan Berbagi

Ikatlah ilmu dengan menuliskannyabegitu Nasihat Ali bin Abi Thalib, ra.

Nasihat Ali ini selalu teringat olehku, terutama di saat-saat belajar seperti ini. Sering kali, dulu setelah belajar, paling banter aku Cuma review doang. Itupun, jika sudah detik-detik menjelang ujian. Hee…
Kebiasaan belajarku dari semenjak SMP dulu (kalo SD mah aku sudah lupa, gimana yah cara belajarku dulu? Hihi…), aku sering me-review pemahamanku tentang suatu pelajaran dengan cara MENULISKANNYA KEMBALI di sebuah kertas corat coret. Ketika kuliah, bahkan aku menyengajakan membeli kertas Koran (yang warnanya buram dengan lebar 100 x 100 cm) jika musim ujian datang. Gunanya adalah untuk mencorat-coretkan hafalan atau pemahamanku atas sesuatu materi yang sedang aku pelajari. Walhasil, dinding-dinding dipenuhi kertas corat-coret… Hehe…

Mungkin karena aku memang memiliki tendensi yang tinggi terhadap spasial-visual sehingga cara belajar yang paling ampuh bagiku itu memang dengan cara demikian. Melihat dan menggambarkannya kembali. Makanya, aku paling kalang kabut jika mengikuti suatu pelajaran atau pun seminar dengan TIDAK MELIHAT si pemateri, dosen ataupun gurunya. Sebab, aku mengingat dengan banyak melihat. Hee… (woiii…godhul bashor doooong  à pemahaman godul bashor yang salah, wkwkwkwk…)

Aku paling ndak demen sama yang namanya HAFALAN MATI. Ngerti ndak dengan HAFALAN MATI yang kumaksud? Hafalan mati menurut Fathelvi’s definition (cieee elaaaah!) adalah HAFALAN yang MESTI DIHAFAL, tapi TAK PERNAH BISA DILOGIKAKAN! Apa contoh yang paling ampuh? Menghafal nama obat atau menghafal nama latin tumbuhan obat ataupun nama bakteri. Hayooo, gimana coba, me-logika-kan Meropenem? Bingung kan yak? Atau, gimana cara meng-logika-kan Vibrio parahaemolyticus? Gimana? Gimana? Ada yang mau kasi model logikanya? Hee… Jika sudah begini, biasanya cari trik ampuh deh. Tapi, kebanyakan sih short memory doang yang kemudian bakalan lenyap segera sesaat setelah ujian selesai. Hihi… Pernah suatu kali (beberapa kali malah! Hee…) aku menghafal suatu hafalan mati nama-nama latin tumbuhan obat berdasarkan golongannya dengan membuat desain rumah. Ndak nyambung yah? Hehe… memang ndak nyambung sih! Apa hubungannya antara desain rumah sama nama latin obat, coba? Tapi, cara nya begini, aku bikin desain rumah lalu, golongan I aku taruh di ruang tamu, golongan II di ruang makan, golongan III di kamar tidur dan (yang paling kasian a.k.a yang paling sulit dihapal, aku taruh di kamar mandi). Jadiii, ketika ujian, aku Cuma mengingat-ingat, “TUmbuhan obat yang aku taruh di kamar mandi apa-apa ajah yah?” hehe…Ini karena aku orang visual yang sangat menyukai desain bangunan atau ruangan. Mungkin akan berbeda caranya bagi orang auditory, yang lebih express menggunakan nyanyian dalam menghafalkan suatu hafalan mati.

Okeh, back to laptop deh! Hoho…
Ikatlah ilmu dengan menuliskannya… Benar! Ini benar-benar sangat ampuh ternyata.
Maka dari itu kawan, aku hanya ingin berbagi wacana denganmu semua tentang hal ini. Semoga bisa jadi wacana tersendiri bagimu. Jika ada yang kemudian terinspirasi karenanya, maka aku sangat berbahagia deeeh. Poko’na mah nyang penting BERMANFAAT bagi kita semua.

Jika kamu termasuk orang yang sering belajar dengan cara menuliskannya kembali, maka aku punya sebuah ide untukmu. Hee…
Biasanya, orang-orang yang belajar dengan cara menuliskannya kembali, akan mencorat-coreti selembar atau lebih kertas untuk me-review kembali pemahamannya. Maka, kali ini aku punya ide tentang cara yang jauuuuuuhhh lebih PAPERLESS dan juga LEBIH BERMANFAAT karena bukan hanya kamu yang bisa menikmati ilmunya, tapi juga banyak orang!

Cara tersebut adalah…..DENGAN BLOGGING!
Haa? Mungkin bingung yak?!
Hee….

Begini, Beib…
Jika kamu demen menuliskan kembali hafalan atau pemahamanmu mengenai sesuatu, maka tak perlu susah-susah kau tuliskan di kertas. Cukup engkau KETIKKAN saja di lepimu. Ini lebih paperless dan kamu juga berkontribusi dalam upaya menurunkan global warming… Lalu, kedua, kamu gabung di dunia per-blogging-an (terseraaah deh mau Wordpress, Multiply, Blogspot, Blogsome, atau apapun itu yang paling kamu suka dan nyaman) dan UPLOAD kan pemahaman dan hafalan kamu itu di blog tersebut. Sehingga, selain kamu, ada banyak orang yang juga merasakan MANFAATnya, insya Allah…

Ini Untukmu, Wahai Diriku

Mengapa masih bertanya tentang kesejenakkan dunia, wahai diri? Tidak cukupkah penjelasan Rabb-mu tentang dunia yang hanyalah permainan dan senda gurau belaka? Tidak cukupkah bagimu penjelasan-Nya tentang waktu di dunia hanyalah satu kedipan mata jika harus disandingkan dengan hari keabadian itu? Tidakkah kau hitung seberapa besar bandingannya antara satu hari akhirat dan seribu tahun dunia? Sungguh, kesejenakan ini juga PASTI akan berakhir dengan terpisahnya antara ruh dan raga. PASTI terjadi pada tempat dan waktu yang takkan pernah dapat kau duga…
                              
Jika hanya dunia yang menjadi tujuanmu, maka sungguh betapa sederhananya dan singkatnya cita-citamu itu. Sementara, segalanya sudah PASTi akan berakhir. Lantas, apakah kau masih punya alasan untuk itu semua? Tentu tidak bukan? Tidakkah kau rindui kebahagiaan yang tak pernah berkesudahan itu? Tentu engkau pasti merinduinya, bukan? Lalu, mengapa masih terpaku?

Wahai diri, satu hal yang perlu engkau sadarkan, bahkan berulang kali, bahwa tak selamanya ingin-inginmu saja yang berlaku atas hidupmu. Karena, bahkan engkau sendiri tak mengetahui apa yang terbaik untuk dirimu! Tapi, Dia-lah, Rabb-mu, yang Maha Memiliki segala Keputusan. Dia lebih mengetahui apa yang terbaik untukmu lebih dari pada apa yang engkau inginkan belaka…

Wahai diri, jangan pernah bersedia untuk diiming-imingi dengan kebahagiaan semu yang dijadikan terasa begitu indah oleh setan la’natullaahi ‘alaih… Karena belum tentu sesuatu yang engkau sangka bahagia itu akan mendatangkan kebahagiaan yang sesungguhnya bagi hatimu. Tapi satu hal yang pasti adalah, kebahagiaan yang sesungguhnya adalah ketika kau menjalani apa yang telah Rabb-mu tetapkan dengan penuh keikhlasan dan menerima segala keputusan-Nya, meski mungkin terasa berat bagimu…
Jika kau sudah sangat yakin bahwa segala keputusan terbaik ada di tangan Rabb-mu, lantas apakah kau akan mencari-cari alasan lain untuk itu? Tak ada manusia yang tak menginginkan yang terbaik, bukan?!

Itulah sebabnya mengapa perjuangan ini adalah sulit, wahai diri. Sebab, harga surga itu tak murah. Maka, biarlah dirimu berpeluh payah saat ini, karena ini adalah untuk kebahagiaan abadi itu. Apalah gunanya engkau membiarkan kesenangan semu membersamaimu saat ini, jika pada akhirnya adalah sebuah kesengsaraan yang tiada lagi taranya. Na’udzubillaah…

Sekali lagi, biarkanlah kehendak-Nya saja yang berlaku atas dirimu, wahai diri… Biarlah kehendak-Nya saja… Karena, tak semua apa yang kau inginkan itu menjadi wujud nyata. Bukankah sudah berkali-kali kau menghadapinya? Biarlah Dia saja yang menjadi penentu segala keputusan itu, wahai diri… Dan bukankah kau juga telah pancangkan dengan kukuh dalam hatimu bahwa tiada lagi pengharapan pada makhluk? Tiada lagi pengharapan pada manusia. Cukuplah Allah…Cukuplah Allah….dan Cukuplah Allah saja tempat engkau menyandarkan harap! Cukuplah Dia saja… tiada selain itu…

Jagalah Allah di hatimu, maka Dia pun akan terus menjagamu… Jangan biarkan dirimu berlepas diri dari-Nya… Sebab kau tak pernah tau, akan seperti apa terminasi hidupmu… Di manakah, dengan cara bagaimanakah, dan pada waktu apakah, kau tak pernah tau… Karena kau tak pernah tau, maka kau perlu bersiap diri….


______________________
Di saat segalanya terasa begitu berat….
Depok, 5 Dzulqo’dah 1432 H