Refleksi Satu Fragmen Episode Kehidupan


Ada yang bersejarah di tanggal 22 November. Sejarah yang mungkin takkan pernah kulupa yang kemudian menjadi sesuatu yang terpahat dengan begitu jelas di dinding hati. Tentang apa itu, tidaklah menjadi penting adanya untuk kujelaskan di sini. Hanya saja, kali ini, aku ingin sedikit merenungi kisah 22 november itu… Kisah yang menjadi potongan fragmen dalam setiap episode-episode hidup.

Apa yang akan kutuliskan ini mungkin hanyalah sebuah ikhtisar saja. Sesuatu yang sejatinya sudah kutuliskan berkali-kali sudah pada catatan-catatan sebelumnya. Tapi, entah kenapa, kali ini kembali ingin kutuliskan. Mungkin, sekali saja tidaklah cukup untuk menyangga lemahnya diri ini. Sungguh, betapa aku hanyalah makhluk-Nya yang begitu dhaif, begitu sering tersalah…

Ada satu masa di mana aku begitu ingin menghilang di telan bumi saja. Jika saja ada sebuah lubang besar di hadapanku kala itu, ingin sekali aku melompatinya dengan segera. Mungkin pengecut. Ya, mungkin itu adalah sepengecut-pengecutnya pilihan.  Tapi, hanya ada dua pilihan ketika itu. Lari sejauh-jauhnya, atau berbalik, menghadang dan menghadapinya! Sebagaimana juga ada dua pilihan ketika terperosok, terjatuh dan terjerambab. Bangkit atau tetap berada pada posisi keterjatuhan itu…

Banyak hal yang harus kusyukuri dalam hidup, tetapi juga banyak kebodohan yang kusesali adanya. Begitu banyak… Aku bukan sedang ingin meng-kambinghitam-kan stigma bahwa manusia adalah tempatnya khilaf dan lupa. Juga bukan sedang berselindung dibalik kredo khilaf adalah niscaya. Tapi, begitulah adanya, bahwa aku memang banyak tersalah…

Menyesal? Tentu saja…
Kadang aku tidak habis pikir, mengapa aku bisa begitu bodoh? Mengapa aku bisa melewati barrier yang bahkan terlalu tinggi itu? Lalu, apakah yang mengkatalisnya hingga aku punya energi untuk melewati energi aktivasi itu? Masya Allah…
Dan setelah rentetan peristiwa demi peristiwa itu diungkai dalam sebuah rekaman peristiwa lalu kemudian kembali diputar di hadapanku, hanya satu kata yang kemudian mewakili segenap rasa di hati, “AKU MENYESAL!”

Telah berlalu sekian hitungan masa sesudahnya…
Banyak dari catatan kisah itu yang kemudian meninggalkan pelajaran-pelajaran berharga. Bahwa terkadang kita membutuhkan adanya masalah. Karena dengannya semakin nyata bahwa kita sangat membutuhkan-Nya, bahwa memang kita dan segenap hidup kita amat sangat bergantung pada-Nya. Sebab, di banyak waktu, kesenangan lebih banyak membuat kita lena. Pelajaran lainnya adalah, bahwa tak sepenuhnya salah dengan adanya kesalahan. Kadang, dari kesalahan itulah kita belajar untuk membenarkannya. Kadang, kita perlu tersalah dulu untuk menjadi benar kemudian.  Itu pula sebabnya, Dia, Dzat yang jiwa kita ada dalam genggaman-Nya, menyenangi hamba-hamba-Nya yang bertaubat atas salahnya, lebih dari pada kegembiraan seorang musafir yang menemukan kembali unta dan perbekalannya setelah berkelana kian kemari mencari perbekalan dan unta yang hilang itu.

Dari rentetetan peristiwa itu pula aku belajar banyak, bahwa ada kalanya keterjatuhan, keterjerambaban, dan keterperosokan itu, justru menjadi awal untuk dapat melompat lebih tinggi. Kepada setiap orang yang berhadapan dengan segala keterpurukan, diberikan dua pilihan saja. Berlarut padu dengan keterpurukan, atau memilih untuk bangkit, dan menjulang lebih tinggi. Tidak sedikit kemudian yang perlu berterima kasih pada kegetiran hidup, sebab kegetiran itu yang kemudian mengkatalis kebangkitannya. Sebab juga, kesenangan dan segala yang serba available justru membuat banyak orang terlena dan bahkan lemah! Sebagaimana tangguhnya nakhoda bukan karena ia berhadapan dengan lautan yang tenang melainkan gelombang badai yang besar. Juga sebagaimana pelangi indah yang tidak akan pernah muncul, kecuali setelah hujan dan gelap…

Satu pelajaran yang lebih berharga lagi adalah, rentetan peristiwa itu juga telah mengeluarkanku dari pengharapan pada manusia. Menitipkan sebuah pengharapan pada manusia sama saja dengan menggelindingkan sebuah bola es dari puncak gunung. Semakin menggelinding, semakin membesar pula ia. Hingga pada suatu ketika, pada masa yang mungkin tak pernah terdugakan, bola es yang sudah begitu membesar itu pecah dan justru menimpa diri kita sendiri. Menitipkan sebuah harap pada manusia, sama saja dengan menabung deposit kekecewaan yang kemudian menjadi sebuah wujud nyata ketika potret nyatanya tidaklah sama dengan catatan asa. Maka, cukuplah pada-Nya, hanya pada-Nya segenap harap dilabuhkan… Cukuplah hanya pada-Nya saja segenap harap itu digantungkan, dan dengan demikian, kita tak akan kecewa, tak akan pernah kecewa…

Aku percaya, takdir-Nya atas diri kita adalah sebaik-baiknya takdir. Apapun yang telah Dia tetapkan atas diri kita, adalah sebaik-baiknya catatan, seberat apapun itu… Sebab, Dia jauh lebih mengetahui, apakah yang terbaik untuk diri kita, melebihi diri kita… Sebab, yang dikatakan TERBAIK tidaklah selalu linear dengan KEINGINAN dan KEHENDAK hati kita saja… Kita terlalu dhaif untuk mengetahui apa yang terbaik untuk  diri kita dan DIA mengetahui apa yang terbaik untuk diri kita… Boleh jadi saja, apa yang tidak kita sukai itulah yang justru mendatangkan kebaikan dan keberkahan bagi diri kita. Dan boleh jadi saja, kehendak dan ingin-ingin kita itu, justru mendatangkan keburukan bagi diri kita…
…Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah lebih mengetahui sedangkan kamu sama sekali tidak mengetahuinya.” (QS 2 : 216)

Tak sedikitpun ada yang sia-sia. PASTI Dia sertakan hikmah luar biasa bersama kepahitan dan kegetiran yang kita rasakan. Pasti DIA sertakan kemudahan dan kesenangan di balik segala kepahitan. Mungkin bukan hari ini kita mengetahuinya, sebab dhaifnya diri kita… Mungkin besok, lusa bahkan puluhan tahun kemudian. Kelak, mungkin kita mengetahui, mengapa harus begini jalannya, bukan seperti yang pernah kita inginkan dulunya… Ya, agar kita tidak terlalu bergembira dengan apa yang telah kita peroleh, dan tidak terlalu bersedih dengan apa yang luput dari diri kita. Selalu saja, segala keadaan adalah baik adanya….
Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab Lauh Mahfudz sebelum Kami menciptakannnya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu JANGAN BERDUKA CITA terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu JANGAN TERLALU GEMBIRA terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Qs. 57 : 22-23)

Satu hal yang pasti, bahwa ujian-Nya tetaplah pada range kesanggupan kita… ”Allah tidaklah membebankan seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Qs 2 : 286). Jika saja Allah saja sudah mempercayakan sebuah ujian pada diri kita, lantas alasan apa lagikah yang membuat kita merasa tak sanggup untuk melewatinya? Pastilah karena kita BISA!

Saatnya transformasi, untuk menjadi lebih baik lagi! Percayalah, setiap orang punya kesempatan yang sama untuk menjadi lebih baik! Percayalah bahwa setiap kita, BISA MENJADI LEBIH BAIK LAGI! Meskipun tidak perlu sebuah momentum untuk berubah menjadi lebih baik, akan tetapi di awal tahun Hijriyah ini mungkin saatnya bagi kita untuk kembali menata hidup, membenahi diri, menambali segala rombengan yang pernah ada…
Karena setiap kita punya kesempatan yang sama untuk menjadi lebih baik, maka mengapa kita tak mengambil kesempatan itu?




Pagi  Muharram 1433 H yang cerah…. Saat dikejar-kejar tugas dan ujian… ^__^

Full Supressi

Hmm....hanya sedikit berbagi cerita saja. (Heuu... sempet-sempetnyaaa...., padahal lagi numpuk beut iniiih tugas dan ujian). Yaa, itu karena aku masi teteup cintaaa sama yang namanya dunia per-blogging-an. Walau jika dilihat range postingannya, memang mengalami penurunan drastis. Kalo dulu, aku bisa nulis hampir tiap hari atau minimal satu dalam dua hari, sekarang....ndak bisa gitu. Paling banter yaah, 10-15 postingan per bulannya. Untukku (yang suka curhat di blog, hihi), ini adalah angka yang sedikit Bukannya apah-apah sih, hanya sedang belajar memenej hal-hal yang perlu diprioritaskan dalam hidup. Hee.... Karena aku spontaneous, aku kadang lebih senang mengerjakan sesuatu yang DISENANGI, bukan yang PRIORITAS, hehe... (semoga bukan lagi berdalih dan mencoba mencari-cari alasan pembenaran. hehe)

Hari ini sebenarnya ada jadwal di RSCM, dan aku sudah bela-belain berangkat pagi-pagi banget (ketika matahari masi malu-malu mengintip di ufuk timur) dan juga harus empet-empetan di kereta, plus bawa infocus yang beratnya lumayaaan (keliyatannya ajah aku tuh rajiiiin banget bawa sansel segitu gede, padahal bukunya cuma satu buku tulis doang, hehe), akan tetapi, ternyata tiba-tiba kuliahnya dibatalkan. Uhmm.... Ya sudah, tidak apa-apa... PASTI ada hikmahnya --> mencoba menenangkan hati, hee....
#Jadi ingat, dulu waktu SMA maupun S-1, KULIAH DIBATALKAN itu adalah hal yang sangat menyenangkan. Kalo kata iklan go*d day, "Serasa naik paus akrobatik" saking senengnya. hehe. Tapi kali ini terasa berbezza. Kuliah dibatalkan itu adalah hal yang (agak) mengecewakan. Karena, butuh usaha yang (cukup) keras untuk bisa mencapai lokasi belajarnya (dan juga butuh cost lebih banyak tentunya), namun kemudian hanyalah berujung pada kesia-kesiaan (eitttss, ndak ada sesuatu yang sia-sia, Fatheeel. Sekali lagi, semua pati ada hikmahnya! --> lagi-lagi mencoba menenangkan diri, hehe).

Lalu, ketika sampai di stasiun Cikini pas baliknya, kita udah berusaha lari-lari mengejar kereta Depok, ternyata pintu cummuternya udah tutup waktu kita nyampe di lantai 3 dengan ngos-ngosan, huuuffttt.... Dan akhirnya, harus menunggu kereta berikutnyaaa... Hee... Lagi-lagi, PASTI ADA HIKMAHNYA!

Kejadian kali ini kemudian meninggalkan sebuah pelajaran yang mungkin perlu kupetik. Lagi-lagi soal hidup. Ya, dalam hidup ini, tak selalu ingin-ingin kita saja yang berlaku. Banyak dari realita hidup yang kadang membuat kita harus berdamai dengan segala kepahitan, kesusahan, dan berpeluh payah. Sebab kita tetap akan selalu berada di antara dua range itu, seperti halnya zona terapeutic windows. Range kebahagiaan dan range kesedihan. Maka, cukuplah seperti yang Rasulullaah wasiatkan, bersabar dalam kesusahan maupun kesedihan dan bersyukur dalam kegembiraan...

Minggu-minggu ini hingga penghujung Desember (insya Allah), adalah hari-hari yang berat. Hari-hari full Supressi. Ahh, jikalah waktu itu punya kalkulasi lebih dari 24 jam dalam sehari.... Ahh, jikalah aku bisa merapel semua waktu dahulu yang pernah begitu banyak terbuang percuma.... Ahh, jikalah aku bisa membeli waktu orang-orang putus asa yang ingin berhenti hidup.... Tapi, TIDAK BOLEH ADA KATA "JIKALAH"....
Hari ini, dan seterusnya, cukuplah optimalkan saja waktu yang tersisa... dengan sebaik-baiknnya ikhtiar... Memperbaiki segala rombengan yang pernah ada tetap saja lebih baik dari pada menyesali dan meratapi yang telah lalu tanpa ada aksi nyata. Itu hanya akan membuang lebih banyak waktu...

Full Suppresi...
Uhm...ada dua hal menarik ketika satu anak manusia berada dalam kondisi full suppresi (penuh tekanan), dan setiap kita boleh saja memilih, apa yang ingin dipilih.... Pertama, seperti tape, kedua seperti per. Katika tape jatoh, maka alamat akan hancurlah ia. Tak lagi bisa direstorasi, bahkan tak sedikitpun bisa dimanfaatkan lagi. Jatuah tapai, begitu istilah kami orang Minang. Tak lagi bisa apa-apa. Kondisi full supressi seperti ini bisa saja membuat seseorang sangat down, dan akan begitu sulit untuk bangkit. Lalu kedua, seperti per. Ketika tertekan, justru ia malah memberikan sebuah tekanan yang lebih besar. Adanya tekanan bukannnya membuat dia jatuh, tapi malah membuat ia melejit lebih tinggi.
Nah, sekarang hanya tinggal memilih saja, ingin seperti tape kah, atau ingin seperti per kah?

Desember Full Supressi...
Tapii, HARUS TETAP SEMANGAT!
Lakukan yang terbaik yang dapat kita lakukan...

Hayuuuu, tetap semangattttt!



__________________
@Labkom, setelah Searching HIV-AIDS
Hehe, maaf yah Bloggie, hari ini aku nulisnya berantakan banget, acakadut dan juga nda melalui proses quality assurance dulu...hehe... Ini adalah sesuatu yang spontaneous banget... Jadiii, benar-benar apa adanya saja.... Setidaknya aku tidak sedang meninggalkamnu, Bloggie... Tenaaang, insya Allah aku masih tetap setia nge-blogging.... Hehehe...

Unpredictable

Ceritera kali ini hanyalah GeJe belaka. Jadii, ndak usah dibaca yaaahhh… hehe…

Jum’at ini, aku sudah pasang “nawaitu” buat belajar di Perpus pusat. Ceritanya, karena aku memang sedang mencoba menurunkan ambang internet addict-ku di mana aku sudah begitu ‘kecanduan’ semenjak masi pengangguran dulunya. Oleh sebab itulah aku bela-belain tidak menggunakan modem dan koneksi sejenisnya. Hanya mengandalkan akses gratisan kampus atau warnet. Dan karena bahasan untuk ujian ini memang mengharuskanku untuk mencari beberapa literature di dunia maya, akhirnya kuputuskan untuk ke perpus pusat saja. Nyari yang gratisan. Maklum, mahasiswaaaa. Hehe. Baru beberapa saat saja di perpus pusat, tiba-tiba “No Server Proxy” begitulah yang terpampang di layar computer yang menggunakan OS Mac itu. Setelah berkelana kian kemari mencari kompi yang ada koneksinya, aku tak menemukan apapun. Akhirnya, pilihan terakhir adalah pulang ke kosan.

Tiba-tiba langkahku jadi tersurut demi mendengarkan gemuruh sorak-sorai di Balairung. “Ah, iyaaaa… bukankah sea games ke-26  juga bertempat di kampus ini?” pikirku. Apalagi didukung dengan banyaknya bus-bus AC yang bertuliskan kontingen Singapore, Malaysia, dan seterusnya. Akhirnya, kuputuskan untuk menonton sea games saja. Jarang-jarang aku bisa menyaksikan Sea Games secara langsung begini. Kan aku orang dusun, yang kampungnya terpelosok. Hihi… Mana ada Seagames akan sampai ke kampungku. Boro-boro! Kayaknya lapangan bola standar juga kagak ada. GOR aja kagak ada! Ck…ck..ck… Pertandingannya adalah Anggar. Sejujurnya, ini kali pertamanya aku melihat permainan Anggar secara kasat mata. Maklum, itu kan tak pernah ada di kampungku yang terpelosok itu. Selama ini aku hanya bisa menyaksikannya lewat televisi saja.

Luka-Luka Lalu


Mungkin belumlah sesempurna itu sembuhnya luka,
Tapi, luka-luka haruslah segera tertutup rapat…
Inginku adalah menutup mata, menutup celah, dan menutup segala kisi…
Inginku begitu,
Tapi, kusadari itu adalah sesuatu yang paling pengecut yang pernah ada dalam potongan fragmen hidup…

Sepahit apapun itu, tetap saja takdir-Nya adalah takdir terindah…
Sebab Dia lebih tau apa yang terbaik,
Karena baik tidak selalu linear dengan jalan yang penuh wewangi bunga…
Dalam banyak hal, baik itu juga dikitari berbagai duri dan kepahitan…
Karena begitulah sunnatullahnya sebuah kebaikan, akan selalu punya penyulit dan perintang…

Ketika sembuhnya hampir sempurna,
Kadang ada perih yang muncul tiba-tiba…
Mungkin saja sequelenya…
Tapi begitulah adanya, sebab ‘kebodohan’ senantiasa punya konsekuensi…

Mungkin, ini menyoal bagaimana kita mempersepsi sandungan dan luka saja,
Sandungan dan luka, memang membuat terjerambab pada ketiadaberdayaan, pada putusnya harapan, pada masa-masa mendatang yang terlihat suram…
Tapi, jika saja kita bersedia memandang dari sudut yang berbeda,
Sandungan dan luka  justru jadi sebuah LOMPATAN TINGGI!
Sebuah katalis yang akan memberikan suplay untuk melewati energi aktivasi.
Maka, di sini letaknya kepahitan yang indah itu…
Karena kepahitan, sandungan dan luka, tidak selalu berujung pada kenestapaan…
Kadang, justru ialah yang jadi pintu pembuka, menuju puncak-puncak kemenangan, yang ingin kita raih…

Tak perlulah sama, apalagi ingin persis seperti ‘mereka’…
Sebab, jalan kita pasti berbeda, tak pernah sama…
Jika pun sama, itu hanya sebuah irisan saja, yang di satu titik pastilah akan terpisah…

Pada segenap luka-luka lama,--meski perih sekali pun—aku tetap saja ingin berterima kasih…
Sebab,  sequele nya itu kemudian telah teraktivasi dan terkonversikan, menjadi sebuah energi baru…
Tak perlu muluk-muluk mungkin,
Hanya sebuah hal yang sederhana, untuk sebuah kemenangan besar…
Sesuatu yang sederhana itu adalah; AKU INGIN MENJADI LEBIH BAIK DARI AKU YANG PERNAH ADA!
Bukan menjadi lebih baik dari kau, dia, mereka, ataupun siapa saja. Aku hanya ingin menjadi lebih baik, dari aku yang dulu… Dari setiap episode hidup yang pernah kujalani…
Itu saja…



Dalam Teriknya Mentari Sepenggalah, 13 November 2011
--Tetap semangat wahai diriku, yakinlah bahwa takdir-Nya untukmu selalu indah!—

Immunologic Reaction of My Heart and It’s Recovery

Maha Agung Allah yang telah menciptakan manusia dengan begitu sempurna. Tubuh yang begitu cerdas, dan tentu saja melebihi jauh melebihi kemampuan  berpikir kita. Seperti yang telah kuulang-ulang sebelumnya, jikalah segala mekanisme biologi dan biokimia tubuh ini diatur oleh diri kita, oleh perintah dari diri kita, maka, sungguh tak satu pun manusia dapat hidup di dunia ini. Akan tetapi, Allah menciptakan mekanisme biokimia tubuh dengan maha sempurna, hingga akan selalu ada mekanisme umpan balik, mekanisme imunologis, mekanisme pertahanan, dan segenap reaksi-reaksi lainnya… Maha Besar Allah…

Lantas, mengapa tidak mengambil pelajaran dari ini semua? Dari diri kita sendiri? Bukankah segala ciptaan-Nya bukanlah sesuatu yang sia-sia? Bukankah Dia senantiasa menyertakan hikmah luar biasa pada setiap penciptaan-Nya? Ya, begitu banyak pelajaran yang semestinya kita petik. Tak perlu jauh-jauh, cukup dengan melihat diri kita sendiri saja…

Ketika diri kita terpapar suatu benda asing, maka dengan segera tubuh melakukan pertahanan diri dengan begitu canggih dan luar biasa! Setelah system pertahanan itu membentengi dengan begitu jor-joran, lalu akan ada salah satu chip memory untuk mengidentifikasi si musuh besar itu. Sel T-memory! Chip ini akan bertindak untuk mengenali jikalau suatu saat nanti ‘musuh’ yang sama mencoba membobol pertahanan tubuh kembali. Allahu akbar! Betapa luar biasanya ini semua…

Lantas, mengapa kau tak mengambil pelajaran dari ini semua, wahai diriku?
Bukankah kau pernah begitu terkapar, ketika di hadapkan dengan sesuatu yang menghadang mekanisme pertahanan hatimu?
Bukankah kau pernah terkapar, bahkan nyaris tak lagi bisa bertahan?
Dan, ketika kau telah melewati itu semua, bukankah sel T-memory sudah sangat mengenali jenis penyerang ini?
Ah, tidak!
Bukankah kau tak ingin lagi terkapar?
Bukankah kau benar-benar tak lagi ingin menghadapi serangan itu?
Duhai diriku, jika memang kau tak pernah ingin lagi menghadapinya dan terkapar kembali, maka segeralah kau perkuat benteng pertahananmu… Mungkin kau juga perlu meningkatkan sensitifitas sel T-memory-mu, agar lebih peka mengenali corpus alliance itu…
Sekali lagi, kembalilah pada asholah itu…
Sederhana saja, cukup dengan meletakan fitrah pada lokusnya saja…
Tak lebih dari itu…

Ketahuilah wahai diriku, bahwa sehalus-halusnya kehinaan di sisi-Nya, adalah tercerabutnya kedekatan dengan-Nya…
Astaghfirullaah…
Lalu, apakah kau akan membiarkan dirimu memasuki ranah ini?
Tidak! Tidak boleh!
Sulit memang, karena begitulah sunnatullahnya…
Tapi bukan berarti tak bisa…
Telah banyak yang melewatinya…

Ketahuilah wahai diriku, dunia ini hanyalah sejenak saja…
Akan ada hari-hari panjang yang kua lewati sesudahnya…
Relakah kau menukar kenikmatan yang sedikit dengan kesengsaraan yang panjang?
Tidaak! Tentu takkan pernah rela!
Maka, biarlah kau berpeluh payah hari ini, untuk kenikmatan yang tiada taranya esok, setelah masa yang sejenak ini berlalu…
Semoga kau adalah bagian dari itu…
Allahumma aamiin…

Aku dan Bocah Penjual Koran

Hari ini ada kisah yang cukup menarik bagiku. Siang menjelang sore ini, sehabis diskusi kelompok, aku dan Bu Roma menyengajakan diri untuk ke kober. Soalnya Bu Roma mau beli At Glance Farmakologi Medik. Sebenarnya aku juga pengin beli bukunya, tapiii… (hee, ada tapinya ternyata…hihi). Karena bukunya ndak ada, akhirnya Bu Roma Cuma beli At Glance Hematologi doang, dan aku tak membeli buku apapun. Hanya membeli flashdisk (paraaah yah, aku bahkan ndak punya flashdisk. Jadilah MP4 jadi korban. Hee…) dan beli tinta printer. Di stasiun kami berpisah. Aku nunggu bus kampus dan bu Roma nungguin kereta.

Tiba-tiba, seorang anak belasan tahun menghampiri dan di tangannya ada segepok Koran.
“Kak, do you want to buy the newspaper?” tanyanya. Awalnya aku ndak begitu percaya dengan pendengaranku. He? Anak ini? Berbahasa Inggriskah? “Apah, Dek?” aku mencoba meyakinkan. “Do you want to buy the newspaper?” ulangnya.
Masya Allah… dia tidak berpenampilan rapih dan elegan, sama dengan penjual Koran lainnya, tapii…dia mengucapkan sesuatu yang bahkan mahasiswa saja (meski tau), tapi begitu jarang mau bercakap-cakap dengan bahasa inggris.
Aku kagok. Spechless. Dan akhirnya, aku hanya menyahutnya dengan bahasa Indonesia. Aku jauhh lebih kalah PD dibandingkan dengan bocah penjual Koran itu. Masya Allah…
Sebenarnya aku tidak sedang tertarik dengan Koran (heuu…ketahuan banget nih jarang banget baca Koran!), tapi cerita tentang si penjualnya yang berbahasa Inggris, walaupun ia hanyalah penjual Koran yang masi ingusan itu jauh lebih menarik bagiku sehingga Koran itu jadi saksi. (halah, lebay!).
Ketika kuserahkan uang lima ribuan dan bertanya, “ada kembaliannya ga De’?”
“I don’t have the change, kak…” jawabnya. Bahkan, ketika aku berbahasa Indonesia pun, dia tetep kekeuh berbahasa Inggris… Masya Allah…

Allah Knows

When you feel all alone in this world
And there’s nobody to count your tears
Just remember no matter where you are
Allah knows, Allah knows.

When you’re carrying a monster load
And you wonder how far you can go
With every step on that road you take
Allah knows, Allah knows.

No matter what, inside or out
There’s one thing of which there’s no doubt
Allah knows, Allah knows.

And whatever lies in the heavens and the Earth
Every star in this whole universe
Allah knows, Allah knows.

When you find that special someone
Feel your whole life has barely begun
You can walk on the moon shout it to everyone
Allah knows, Allah knows.

When you gaze with love in your eyes
Catch your glimpse of paradise
And you see your child take the first breath of life
Allah knows, Allah knows.

When you lose someone close to your heart
See your whole world fall apart
And you try to go on but it seems so hard
Allah knows, Allah knows.

See we all have a path to choose
Through the valleys and hills we go
With the ups and the downs never fret never frown
Allah knows, Allah knows.

Every grain of sands in every desert plants
He knows…
Every sheet of palm, every closed hand
He knows…
Every sparkling tear on every eye lash
He knows…
Every thought I had and every word I share
He knows…
Allah knows… 

Ndak Tau Mau Kasi Judul Apaan ^^

Sudah lama ndak nulis yah? Hee… Seminggu ini jadwalnya bener-bener bikin cape’. Mesti bolak-balik ke RSCM dan RSKD (Rumah Sakit Kanker Dharmais). Yang bikin cape itu justru perjalanannya plus polusinya jugak. Sebelum-sebelumnya  jugak bolak-balik begono. Cuma ada jeda. Senin, Slasa, Kamis, dan Sabtu, ini jadwalnya ke RSCM atau RSKD. Tapii, dari Kamis-Slasa kemarin, bener-bener full di sono. Kecuali pas idul Adha doang. Itu pun diisi dengan silaturrahim hingga maghrib. Dan, akibat dari ‘jalan-jalan’ melulu begitu, akhirnya teparrr banget. Huuftt… Jadiii, sesampainya di kosan, hal yang paling ingin dilakukan itu adalah sesegera mungkin bertemu bantal dan kasur. Hee… Rabu ini alhamdulillaah Allah kasi jatah libur (libur sih libur, tapi banyak PR yang mesti dikerjain. Mulai dari ‘pekerjaan rumah’ beneran semisal nyuci, beres-beres kosan dan masak, hingga ‘Pekerjaan Rumah’  yang dikasi dosen. Hee…). Dan hari ini (kamis), lagi-lagi ‘jalan-jalan’ ke RSCM dan harus berangkat dari jam 5.15 dari kosan, karena kuliahnya jam 7.00 atau jam 07.30. Jum’at dan Sabtu ndak kalah ‘seru’, hanya saja, alhamdulillaah di kampus. Ndak harus jalan-jalan naek KRL ataupun bus way lagi. Hehe…

Hmm…, aku mau crita apah yah?
Uhm….sebenernya banyak kisah yang pengin aku ceritakan. Tentang kisah sepanjang perjalanan kali ini. Tentang nenek-nenek di KRL, tentang kisah ketabahan seorang ibu yang anaknya sejak umur 9 tahun mengidap leukemia yang hampir saja bikin aku nangis, dan banyak kisah lainnya. Tapiii, sepertinya aku mesti men-skip atau setidaknya mem-pending segala sesuatunya. Kali ini, 24 jam terasa ndak cukup. Terasa kurang. Masya Allah… Betapa berharganya waktu.

Semakin belajar, semakin berasa betapa kurangnya ilmu. Semakin terasa, bahwa yang dimiliki belumlah apa-apa. Terkadang, aku jadi tersenyum (miris) sendiri dengan segala idealism (saklek) yang selama ini mungkin ter-salahkaprah-kan olehku. Aku jadi mengangguk-angguk sendiri mengingat pesan dari Professorku dulunya. “Hati-hati dalam menerapkan idealism itu, Fathel.” Ya, karena di banyak hal, ternyata kita benar-benar harus berdamai dengan realism. Tidak melulu mengedepankan idealism. Sebab, potret nyata sering kali berbeda. Sebab kita hidup di lingkungan yang variablenya sangat variatif. Dan benar-benar individualize (beda dengan indivisualis loh yaah). Maksudnya individualize itu adalah ternyata perlu perlakuan berbeda dan penyikapan berbeda terhadap masing-masing individu. Karena manusia tidaklah sama dengan robot. Iya tho, sepakat kan yah?! (hehe, maksa!).

Hepatitis vs Memasak

Akhir-akhir ini, Hepatitis A lagi mewabah di Kota Depok. Bahkan kejadian di SMKN 2 Depok sudah termasuk KLB (kejadian luar biasa), masya Allah…

Lalu, apa hubungannya dengan memasak? Jelassss adaaah dong!
Dari semula, kami (aku dan Dewi) sudah bertekad untuk memindahkan Wisma Syakuro ke Depok. Hee… Jangan sampai membayangkan kalo wisma Syakuro yang di Kampung Dalam tiba-tiba di pindahkan ke Pocin yah. Hihi… Ndak mungkin tuh, kecuali Jin Ifrit yang memindahkan Istana Balqis bersedia memindahkannya. Hehe… Tapi, kami hanya sedang mencoba mengkondisikan dan meng-asimilasi-kan system Wisma ke Kosan kami. Hehe… Jadilah kami menyebut kosan kami sebagai “Wisma Syakuro II”, walaupun kosan kami namanya kosan Ar-Rijal. (hehe, kayak nama kosan cowo’ yah? Jangan cuujon dulu. Kosan Ar-Rijal itu karena nama si empunya kosannya). Jadiii, tetep deeh ada tradisi masak memasak, dan Rohis yang dimodifikasi. Sebab kami ndak singkron waktunya, jadi Rohisnya agak sering tertunda. Tapi kalo masak, secape’ apapun, HARUSSS ternyata.
Apa pasal?
Pertama, empat penjual makanan yang jauh (apalagi nasi Padang, lebih jauh lagi! 30 menit bolak-balik jalan kaki), lebih hemat kalau tenaganya digunakan buat masak. Kedua, lebih irit, insya Allah. Dengan lima ribu rupiah, bisa buat makan pagi dan makan siang dua orang. Hehe. Ketiga, insya Allah lebih sehat dan hygien. Ini adalah poin penting sesungguhnya. Karena, kita ndak bisa jamin juga, gimana sih kebersihannya di luar sana. Aku sempet diare karena makanan. Sejak itu, kapok deh! Ya, setidaknya kalo ngolah sendiri, kita bisa lebih menjaga. Makanya, secape-cape’ apapun, meskipun sudah ingin segera bertemu kasurr, tetap saja (dipaksakan) memasak..

Refleksi Molekular [Part 2]

Hmm… Molecular Biology (meski pun agak sedikit berat dan sulit) kemudian menjadi salah satu pelajaran paling favorit untuk kupelajari. Bukan karena beratnya, tapi karena mekanisme regulasi yang begitu luar biasa untuk dipelajari. Regulasi yang hanya dapat dilakukan oleh Rabb yang Maha Sempurna ciptaan-Nya… Dan, manusia, sehebat apapun, takkan pernah dapat membuat regulasi itu kecuali pada tingkat-tingkat yang sangat sederhana. Itu pun harus melewati banyak barier dan cenderung tak stabil. Tidak seperti ciptaan-Nya yang begitu sempurna…

Hari ini ujian Biologi Molekular. Sesungguhnya, banyak dari soal-soalnya yang tidak terjawab olehku. Samar-samar di pikiran, dan banyak yang lupa waktu mengerjakannya. Apakah mengecewakan jika kemudian hanya sebagian saja yang terjawab olehku? Tidak juga. Sebab, bagiku yang terpenting adalah aku memahami konsepnya secara mengglobal. Dan di sinilah letak menariknya, sebenarnya. Sebuah pemahaman yang kemudian menyadarkan kita akan kesempurnaan dan betapa maha agungnya Allah…

Sebuah pelajaran lain yang ingin kupetik sebenarnya adalah juga tentang prinsip tawakkal. Menyerahkan segala hasilnya pada Allah setelah ikhtiar paling optimal dan terbaik yang kulakukan. Dahulu, ketika di S-1, aku kelebihan tawakkal, tapi kurang ikhtiar. Hehe. Hampir semua ujian (ndak semua juga sih, tapi kebanyakan ujian) kujalankan dengan cara begitu ‘easy going’ dan slenge’an. Tidak belajar dengan sungguh-sungguh, dan tidak pula dengan ikhtiar paling optimal dan terbaik. Kebanyakan ‘pasrahnya’ saja. Sehingga, ujung-ujungnya yang kudapat hanyalah pemahaman yang sangat parsial, dan itu pun juga adalah short memory yang sekeluarnya dari ruang ujian, ilmunya pun ikut menguap.

Kali ini, aku hanya sedang belajar untuk melakukan dilatasi konsep belajar. Bahwa orientasiku sesungguhnya adalah ilmu. Ya, ILMU! Bukan nilai (semata), meski pun tak pula bisa dinafikan bahwa nilai juga adalah bukti empiric tentang ilmu yang kita plajari itu sendiri. Tapi, memahami sebuah konsep ilmu, sesungguhnya adalah lebih penting! Karena dengannya, kemudian mengantarkan kita pada sebuah penyadaran BETAPA MAHA AGUNGNYA ALLAH yang telah Menitipkan Segenap hikmah di luasnya semesta… Karena setiap angstrom spasial yang ada di luasnya semesta selalu punya hikmah, punya pelajaran yang takkan pernah kering untuk digali…

Sebab diri kita adalah sesempurna-sempurnanya ciptaan-Nya, maka tiada lagi alasan yang membuat kita menyerah, mengeluh dan tidak bersyukur dengan segala apa yang ada. Sebab, masa di dunia ini singkatlah, maka seharusnya tidak boleh ada gap filling  kesia-siaan di setiap detik yang telah Allah pinjamkan. Sebab, nikmat waktu yang Allah pinjamkan ini, terlalu berharga jika hanya untuk sebuah hal-hal yang demikian…

Hayuu, bersemangatlah wahai diri!



Depok, Rabu, 2 November 2011