The Month of Sharing

Salah satu pemandangan yang sangat menakjubkan di bulan Ramadhan di Masjidil Haram adalah... pada saat menjelang berbuka puasa. Inilah the month of sharing di mana ratusan (mungkin sampai lebih dari seribu orang) berlomba-lomba memberi... baik itu kurma, air minum, teh, dan berbagai menu ta'jil lainnya. Dari makanan berat hingga hal sederhana seperti mengambilkan air zam-zam untuk minum, menyediakan tissue dan sufrah, hingga memberesi sampahnya. Benar-benar perlombaan kebaikan yang mengagumkan di mana orang-orang berlomba-lomba menawarkan kebaikannya... Yang memberi kadang justru berterima kasih karena yang diberi bersedia mengambil pemberiannya... Ma Syaa Allah...

*just a short sharing
*no pict bukan berarti hoax :P

No "Warung" Available

Setelah hari sebelumnya (hari ke-8 Ramadhan) aku "kalap" masak berbagai jenis makanan yang diidamkan sejak lama, di hari ke-9 nya, hari ini... sebaliknya... aku diserang rasa malas memasak yang amat sangat. Akhirnya aku dan suami memutuskan untuk berbuka dan makan di luar saja. Yes! Ngedate sambil buka berdua di luar! Kedengarannya romantis banget yah? Hihihi... emang siih.. :P

Akhirnya sekitar jam 5.30 pm kita berangkat menuju Khurais Mall. Sebenarnya opsi utama ke warung Indonesia, tapi pada tutup di bulan Ramadhan ini. Pada mudik ke indonesiaah. Jadinya kita akhirnya memutuskan ke resto khas China di Khu-mall dan menu yang dituju adalah Peking. Selain itu, kita berdua juga pengen beli donat karena aku yang lagi kepengen banget donat. Hehe...  Pas nyampe di Khu-mall... parkiran terlihat sangat sepi dibanding biasanya. Daaaaan... tarraaa... food court nya gelap euy... belum pada buka! Padahal sejam lebih dikit lagi saatnya berbuka.

Sambil pulang kita liat-liat kiri kanan kali aja ada resto yang buka. Ehh ga taunya, nihil! Belum pada buka. Mampir di House of Donut dan Dairy Queen prince Amir Bandar jadi sia-sia aja karena kita nda mendapatkan apapun. Hiks...

Kalap Nih :D

Sate Padang Ala Akuuu :))
Menu Ramadhan hari ke-8 bener-bener komplit. Entah ini karena apa yah, kalap atau gimana, tetiba ngidam yang belum terpenuhi ingin segera dituntaskan hajatnya. Sesegara mungkin! Jadilah sejak jam 2 sampai jam 10 malam (jeda berbuka, shalat ashar, maghrib, isya dan tarawih) aku berjibaku di dapur. Hehe... niat banget yak? Padahal malam begitu singkat (jam 2 udah bangun lagi untuk sahur) sehingga tak mungkin menghabiskannya semua dalam waktu semalam.

Dua jenis ngidam yang belum terpenuhi adalah kue bawang ala ibuku dan sate padang. Mungkin efek sate padang ga ada di bazar pemilu kemarin jadinya kangennya makin menjadi-jadi. Hari ke-8 Ramadhan... pengen banget deh semuanya dan harus bikin saat itu juga! ^--^

First Trial : Onde-Onde

Onde-Onde ala Akuuuu :))
Puasa plus hamil kadang membuat ngidam menjadi kuadrat alias dua kali lipat. Hehe...
Kemarin, tetiba pengen banget yang namanya "Onde-Onde" (baca : klepon).
Jika dulu ketika kepengen, cukup ambil kunci motor,tancap gas ke pasar. Tak cukup setengah jam, sebungkus onde-onde hangat pun siap disantap (ehh... masi puasa yak? Pas buka maksudnya. Hehe...).
Sekarang tentu sangat sangat sangat tidak mungkin mempraktekkan hal yang sama. Mau cari di mana itu onde-onde? Hanya momen-momen tertentu saja ada bazar makanan indonesia. Itu pun belum tentu si onde-ondenya ikutan bazar. Paling pas pilpres misalnya atau kalau ada komunitas tertentu yang ngadain acara. Yah, alhamdulillaah... pada akhirnya memang tidak punya pilihan lain selain : bikin sendiri. Ya... alhamdulillaah... kalau tidak begini, aku rasanya tidak akan pernah belajar bikin onde-onde sendiri. :)

Salah satu hal yang disyukuri dengan kondisi yang membuat "inspirasi dalam keterpaksaan" ini adalah bahwa mau ga mau, kita jadi harus banyak belajar untuk berkreasi. Terpaksa harus jika memang ingin!
Dulu, ahh mana mungkin aku kepikiran mau bikin sendiri yang namanya bakwan, martabak, klepon, soto, lotek, daaaaaan banyak lagi. Boro-boro, masak yang penting-penting aja kaga. Apalagi cemilan. Mumpung masi bisa beli, kenapa harus bikin? <-- males banget yak? Ahaha...

Bangsaku Bangsa Pembantu?

Sebagai salah satu ekspatriat yang berada di negeri gurun, Saudi, saya punya pengalaman menarik sekaligus memilukan soal anggapan masyarakat lokal terhadap bangsa Indonesia. Suatu ketika di toilet rumah sakit, saya berjumpa dengan seorang wanita yang sepertinya adalah penduduk asli Saudi. Wanita itu mengajak bercakap-cakap. Dia bertanya, "Philipino?" Maksudnya "orang Philiphine?" Saya Jawab, "Ana Indonesi." Maksudnya saya orang Indonesia. Tapi, percakapan selanjutnya sungguh saya tidak mengerti apa yang sedang dibicarakannya. Saya coba bertanya apa maksudnya dengan bahasa Inggris, gantian dia yang tidak mengerti. Dan akhirnya--karena kesulitan berbahasa verbal oleh sebab kita saling tidak mengerti--wanita itu kemudian menggunakan bahasa 'pantomim', melakukan gerakan tertentu agar saya memahami maksudnya. Wanita itu menirukan gerakan membersihkan westafel. Kemudian saya menyadari maksudnya adalah, "Apakah kamu pekerja domestik (pembantu)?" atau "Apakah kamu bisa mencarikan saya pembantu?"

Kejadian serupa tidak hanya terjadi kali itu. Tapi di banyak kesempatan lainnya, di pusat perbelanjaan, di perumahan, begitu melihat wajah kami (saya dan suami) yang Indonesia banget, hal yang paling sering mereka tanyakan adalah apakah saya pembantu atau mereka tengah mencari seorang pembantu dan minta tolong dicarikan pembantu. Dan kejadian ini tidak terjadi sekali dua kali, tapi cukup sering.


Kenyataan ini membuat saya menjadi sangat sedih. Saya sedih bukan karena dibilang pekerja domestik (pembantu). Bukan! Sama sekali bukan. Saya juga tidak mengatakan bahwa saya lebih baik dari pembantu karena kemuliaan seseorang bukanlah terletak pada jenis profesinya, melainkan ketakwaannya. Saya sedih karena ternyata pandangan penduduk lokal sini terhadap Indonesiaku tercinta terlalu merendahkan (bukan merendahkan profesi pekerja domestik tapi mereka menganggap Indonesia hanyalah bangsa pembantu, bangsa babu). Walaupun seperti yang saya bilang sebelumnya, derajat seseorang adalah berdasar taqwa bukan profesi, akan tetapi anggapan yang sudah jamak di masyarakat sini itu tetap saja sangat menyakitkan bagiku bahwa : ekspatriat yang datang dari Indonesia itu, profesinya adalah pembantu. Walaupun sebenarnya di Saudi juga banyak ekspatriat yang bekerja di sektor formal, akan tetapi pekerja di bidang domestik tetap jauh lebih banyak. Sehingga, anggapan itu sepertinya sudah "mendarah daging". Menyedihkan, bukan?





Siapa yang rela, bangsanya dinilai serendah itu? Saya sungguh tidak rela. Bagaimana solusinya? Ah, memang ini adalah urusan pemerintah yang memiliki wewenang. Akan tetapi, sebagai salah satu rakyat yang mencintai negerinya, Indonesia, setidaknya ada tiga hal yang ingin saya suarakan (meskipun saat ini saya tidak tahu apakah suara saya akan didengar atau tidak). Saya menyuarakan ini sebab semata kecintaan saya pada negeri Indonesia.
Pertama, jika memang pekerja sektor domestik tetap dipertahankan, harus ada ketegasan dari pemerintah baik secara eksternal dalam bentuk kerjasama bilateral antar kedua negara maupun internal dengan melakukan regulasi yang mumpuni dan menindak tegas calo-calo buruh migran yang nakal. Harus ada penjaminan keamanan, kesehatan dan kejelasan soal gaji serta dokumen yang resmi (tanpa melewati calo-calo). Jangan sampai ada yang masuk lewat "pintu belakang" yang nantinya akan merugikan TKI sendiri. Ketegasan pemerintah di sini benar-benar sangat diperlukan.

Kedua, moratorium pengiriman pekerja sektor domestik ke negeri gurun ini sebaiknya memang tetap dipertahankan. Sungguh, alangkah lebih baiknya, pekerja yang dikirim adalah pekerja yang memang memiliki skills atau pekerja-pekerja di sektor formal, agar bangsa ini tidak selalu di cap sebagai bangsa pembantu. Percayalah, adanya kesan bahwa bangsa ini adalah 'bangsa pembantu' bukan muncul begitu saja. Tak mungkin ada asap tanpa api. Pasti karena mereka melihat begitulah fakta yang ada di lapangan. Apalagi kebijakan di negara ini jauh berbeda dengan negara kita sendiri. Banyak dari kebijakan itu yang menyulitkan pekerja-pekerja sektor domestik. Pada tahun 2013 lalu, ribuan TKI overstay dipulangkan ke Indonesia karena tidak memiliki dokumen yang lengkap. Lalu, setelah rentetan masalah tersebut, apakah kita akan kembali mengirimkan pekerja domestik lalu kembali akan dihadapkan pada masalah yang sama?


Ketiga, penyediaan lapangan kerja dan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar di negeri sendiri, Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, terkadang kita tidak punya pilihan di negeri sendiri dan kesempatan bekerja di negeri orang terlihat sangat menggiurkan, maka pilihan kita jatuh pada opsi kedua dengan segala konsekuensinya. Hal ini mungkin dapat direduksi jika di negeri sendiri tersedia lapangan kerja yang memadai. Lagi-lagi tugas pemerintah untuk menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat. Tapi bukan berarti kita harus menyalahkan pemerintah, melainkan menyokong pemerintah untuk melakukan yang terbaik bagi rakyatnya. Semoga pemimpin dan pemerintah yang nantinya terpilih adalah pemimpin terbaik yang benar-benar berjuang dan mengayomi rakyatnya (termasuk salah satunya masalah tenaga kerja Indonesia yang berada di luar negeri).


Mungkin ketiga solusi itu terdengar sangat klise. Akan tetapi, jika semuanya benar-benar terwujud, saya yakin menjadi sedikit jalan keluar bagi pekerja-pekerja sektor domestik, in syaa Allah...