Masalahkah Membawa Bayi Usia 1 Bulan Terbang?
Ini juga adalah pertanyaanku ketika membawa Baby Aasiya mudik ke Indonesia dengan jarak penerbangan lebih dari 6000 km (sekitar 10 jam penerbangan) dan dua kali transit! Artinya, kami berganti pesawat 3 kali!
Ketika ayahku sakit, keinginan untuk pulang menggebu-gebu sekali. Tapi, kendalanya adalah aku dalam kondisi hamil besar. Dan jika aku pulang dengan kondisi begitu, mostly penerbangan sudah melarangku untuk terbang. Karena mereka khawatir juga kaan kalo ada yang lahiran di ketinggian lebih dari 30.000 kaki😃? Akhirnya, aku dan suami memutuskan untuk mudik ke Indonesia setelah lahiran. Nah, Pertanyaannya, di usia berapa kah bayi boleh terbang?
Sebelum memutuskan untuk membeli tiket, kami check up dulu ke dokter terkait kondisi Aasiya yang masi baby merah. Apalagi penerbangannya juga ga jarak dekat. Riyadh-Jakarta, lalu Jakarta-Padang. Seperti yang sebelumnya aku ceritakan, semua dokter spesialis anak yang kami kunjungi mengatakan "No problem!" Dengan syarat baby harus disusui ketika take off dan landing. Kami pun meminta medical report Aasiya sebagai jaga-jaga jika sekiranya nanti pas di pesawat diminta. Apalagi pas mau booking pesawat domestik Jakarta-Padang. Ya salaaam, susahnya nge booking karena situs pembelian online ticket mostly hanya menerima bayi yang berusia 3 bulan ke atas. Sebagian maskapai juga tidak bisa dibooking dengan usia bayi yang masi 1 bulan. Malah lebih enakan nge booking pesawat jarak jauh, ga ada syarat baby nya mesti 3 bulan.
Akhirnya, bayi merah Aasiya terbang di usia 1 bulannya. Persis 1 bulan usisnys waktu itu. Alhamdulillah semuanya baik. Alhamdulillah tsumma alhamdulillah. Yang agak berat buat aku adalah karena harus 3x take off dan 3x landing. Baby Aasiya tidak selalu dalam kondisi bangun dan ingin menyusu pas take off atau landing. Susah juga kaan, maksain anaknya nenen. Apalagi, total perjalanan kami memakan waktu 32 jam. Jadi, anaknya juga kayaknya pengin bobo karena cape' terutama di penerbangan Jakarta-Padang. Kasian kalo dibangunin. Aafiya (2 tahun 1 bulan) pas terbang dari Jakarta ke Padang pun ga melek. Dari masuk pesawat (belum take off padahal) sampai landing dan masuk gedung terminal untuk nungguin bagasi, anaknya masiii aja bobo. 😀
Alhamdulillah, over all baby Aasiya ga rewel pas di perjalanan. Ga banyak nangisnya, alhamdulillah. Sesampainya di Padang pun, alhamdulillah masi sama kayak di Riyadh. Emaknya yang tepaaar apalagi kita ga bawa stroller, jadi mesti digendong terus. Pegel juga ya sehari semalam gendong baby 4 kg. Hihi.. Pas di Jakarta, alhamdulillah sempat beberapa kali digantiin nge gendong. Tapi, mostly kan emaknya yang gendong. Hehe.... Jadi, buat kamu yang bepergian jarak jauh dengan baby, worth it laah bawa stroller. Lumayan, bisa mengistirahatkan tangan emaknya kalo anaknya lagi bobo. Emaknya juga bisa leyeh-leyeh beberapa saat. Apalagi yang pakek transitnya lamaa. Sebenarnya kita sempat diskusiin soal bawa stroller ini sebelum berangkat. Tapi, akhirnya diputuskan untuk ga bawa stroller karena mikir ribetnya apalagi dengan barang bawaan yang buanyaaaak. Tapi setelah dijalani, ternyata malah kayaknya enakan dan lebih simple bawa stroller deh. Kita bisa istirahat. Barang bawaan yang handbag pun bisa ditaruh di bagasi stroller. Kalo anaknya kebetulan lagi digendong, strollernya bisa dipakek jadi trolley barang jugak... 😆. Tapi, 'ala kulli haal, alhamdulillaah. Ga papa. Jadi pengalaman untuk bawa baby lagi nanti in shaa Allah.
Jadi, kesimpulannya; membawa bayi di usia 1 bulan untuk terbang in shaa Allah tidak masalah! Tapi ada syaratnya.
Syarat pertama, bayi harus dalam kondisi FIT. Tidak dalam kondisi lagi ga enak badan, demam misalnya. Karena, sebenarnya yang dikahwatirkan dari penerbangan membawa bayi bukanlah kondisi telinga yang 'budeg' atau sakit karena tekanan udara di kabin. Ini sifatnya hanyalah temporelaly. Yang dikhawatirkan adalah penyebaran infeksi, karena sirkulasi udara di kabin yang bersifat tertutup. Jadi, virus dan bakteri gampang banget menyebarnya dengan sirkulasi udara yang begitu. Bayi dengan imunitas yang masih rendah, rentan terhadap kondisi ini. Syarat kedua, seperti yang sudah aku bilang, mesti ngenyot anaknya pas take off dan landing untuk mengurangi tekanan di telinga. Tekanan di telinga yang bikin telinga budeg dan sakit ini pasti bikin bayi ga nyaman, kan ya.
Sepanjang perjalanan di bandara, banyak yang ngeliatin baby Aasiya. Mungkin heran, kenapa bawa bayi merah naik pesawat. Ada juga sih satu dua yang komen langsung atau bergumam yang kedengeran sama aku, "ih ga kasian apa, bawa baby merah gitu.", "emang boleh yaa bawa baby masi kecil gini?", "masi kecil bangeeet yaaa..." Ya, kadang memang kita (aku sendiri terutama) sangat cepat men-judge mengapa seseorang melakukan begini dan begitu tanpa mengetahui latar belakang apa orang melakukan itu. Jika hanya buat berlibur atau tamasya, aku juga mikir-mikir kalii bawa bayi 1 bulan untuk terbang. Aku hanya ingin segera bertemu ayahku--semoga Allah rahmati beliau dan lapangkan kubur beliau--ketika ayah sedang sakit. Tapi, aku ga baper juga sih ketika ditatap begitu atau ditanya begitu. We are not what people think. Dan lagian, fokusku juga ga kesitu sih waktu mudik itu. Jadi, ga mikirin gimana tatapan atau komen orang lain.
Okeh, finally, sebagai penutup, bagi kamu yang misalnya pada kondisi mengharuskan membawa baby usia 1 bulan terbang, jangan terlalu khawatir, moms. Selama kondisi bayi nya fit, in shaa Allah biidznillah, semuanya akan baik-baik saja. Jangan lupa berdo'a dan mohon kekuatan sama Allah tentunya selama di perjalanan... 😊
Ma'assalamah 😘
Bilingual Programme for Aafiya
Judulnya sih pakek bahasa inggrih... tapii isinya masi teteeup endonesia.. kekeke...😅
Baiklah.
No problem. Mari mixed bahasa aja deh. Heuu.. 😃
Ceritanya, alhamdulillah sudah hampir 2,5 bulan kami di Indonesia, di Padang kota tercinta kujaga dan kubela. Daan itu artinya, ini adalah LDR ketiga kalinya dengan Abu Aafiya. Big thanks to Skype, Line, dan Imo yang udah connecting people in LDR stage. Hihi... Ya, LDR pertama kami masi menggunakan skype. Pas LDR kedua, skype diblokir, tapi alhamdulillah ada line. Naah, pas LDR ketiga ini awalnya kita bingung mau pakek apkikasi apa lagi yaaa, karena pada diblokir euy termasuk line jugak😣. Akhirnya berlabuhlah di IMO. Imooo, you save us alhamdulillah... 💕.
Alhamdulillaah, Allah beri kesempatan untuk bertemu Ayah--semoga Allah merahmati beliau--sebelum ayah berpulang kepada-Nya. Rasanya, udah nda sabaran banget segera pulang setelah Aasiya lahir begitu mendengar berita tentang Ayah. Kami nanya dokternya Aasiya apakah boleh terbang bayi mungil gitu. Alhamdulillah, kata dokternya no problem as long as she suction when take off and landing. Jadilah akhirnya baby merah Aasiya terbang di usianya yang masi 1 bulan.
Aafiya, alhamdulillah di usianya belum genap 2 tahun, sudah mulai belajar bercerita, satu dua kalimat singkat, ma shaa Allah. Dan di usianya Membuat paragraf singkat yang dia sendiri alhamdulillah sudah memahami maknanya.
"Bunda, aafiya naik angkot. Angkot wana (warna) meyah (merah). Penuuh angkotnya. Aafiya pegi (pergi) ke pasan (pasar) sama ayah. Beli susu, beli pempes (pampers). Aafiya senaang banget. Aafiya jatuh, pegang sama oyang (orang)."
Ini salah satu contoh cerita Aafiya lengkap dengan mimiknya 😍😘. Aafiya memang belum bisa menyebut dua huruf yaitu R dan L. Hehe...
Setelah 2 bulanan di kampung, ternyata Aafiya sudah mulai mengerti bahasa kampuang. Ma shaa Allah. Semisal,
"Bunda, Aasiya jagooo." Begitu Aafiya memberi tahu aku kalo adiknya terbangun dari tidur. Atau, "iko apa ini?" 😁. Dan beberapa bahasa minang lainnya yang dia pahami. Padahal tidak diajarkan. Padahal ngomong sama Aafiya juga pakek bahasa indonesia. Sama seperti anak lain pada umumnya, Aafiya belajar dari mendengar!
Maka benarlah kata Eriks Levy, Ph.D, seorang asisten profesor yang menangani masalah patologi di bidang speech dan language dari universitas Columbia, NYC, "Kids this age (2-3 yo. Ed) are developing language skills rapidly, and they quickly absorb whatever they hear.They can learn to understand new words in two different languages at an incredibly fast rate."
Dulu, aku sempat meragukannya. Apakah dengan belajar dwibahasa, anak akan mengalami kebingungan bahasa bahkan bisa jadi terlambat bicara? Ternyata tidak juga. Ya, aku sendiri sudah menyaksikannya. Baru 2 bulan, sudah lumayan banyak bahasa minang yang diserap oleh Aafiya. Itu baru mendengarkan saja. Apalagi kalau benar-benar diajarkan. Jadi, rasanya tak ragu lagi untuk memulai bilingual programme buat Aafiya. Apalagi Usia bayi, usia toddler, adalah usia yang sangat bagus untuk memulai billingual, in shaa Allah... Setidaknya, untuk bahasa ibu (baca: bahasa negara asalnya) Aafiya alhamdulillah sudah mengerti dan sudah berkomunikasi. Sekarang, tinggal bagaimana membuat program untuk second language nya lagi, in shaa Allah.
Dulu, aku tidak terlalu aware dengan pentingnya mengenal berbagai bahasa asing. Jika ada brosur atau apapun itu, aku pasti nyari yang bahasa indonesianya aja 😆. Kecuali textbook farmasi klinis dan jurnal, rasanya dulu malas sekali membaca artikel berbahasa inggris. (Emak aafiya parah yak 😌). Naaah, ketika sudah keluar dari tempurung (baca: keluar negeri), mau ga mau mesti interaksi kaan sama orang dan mesti baca petunjuk ini itu kaan kalo beli sesuatu, misal buku petunjuk penggunaan suatu barang elektronik. Segala penunjuk arah, instruksi, apapun itu mesti deh ga ada bahasa indonesianya. Yaiyalah! Mau ga mau harus baca yang english kan (since my arabic not too good enough to understand an instruction 😶). Lama-lama akhirnya terbiasa juga. Meski pun, untuk ngomong, cuap2--kalo ga dalam kondisi terpaksa, misalnya lagi ga bareng suami dan mau nanya sesuatu ama SPG mall misalnya 😀 atau ngobrol sama dokter misalnya, masi kadang kurang confident 😣.
Soalnya, aku punya pengalaman buruk tentang ketidak-PD-an ku ini. Daan, susah payah banget force my self to wake up from less confident. Terlalu banyak ketakutan. Takut grammernya ga pas. Takut orang lain ga ngerti apa yang aku omongin. Takut pronounciation nya gaje dan malah bikin orang berkerut dahi 7 lipat 😂 dan sederet ketakutan lainnya. Ketakutan yang menyeretku pada pusaran ketidakpercayaan diri yang luar biasa yang aku bersusah payah sekali untuk bangkit dari lubang gelap tersebut. Aku lupa dengan hakikat bahasa yang sesungguhnya. Bahasa buatku (baca: sebagai orang umum, bukan dari sudut pandang seorang ahli sastra) bukanlah ilmu pengetahuan. Tapi bahasa adalah alat komunikasi. Selama komunikasi berlangsung dua arah, saling mengerti, maka that's all! Meski bukan berarti harus menafikan grammer juga! Alhamdulillah, sekarang much better lah aku dibanding aku yang sebelumnya. Selain memang mau ga mau aku mesti komunikasi sama orang, terutama sekali sebenarnya support dari suami yang memberikan great influance bagaimana aku keluar dari mindset ketidakpercayaan diriku. Toh, kalau soal pronounciation--sebagaimana kata suamiku--no problem at all jika logatnya masi kecampur sama logat bahasa ibu--heritage language. Toh kita bukanlah native. Wajar doong, logatnya ga persis sama kayak bule. Toh kalo bule ngomong bahasa indonesia dengan logat english bikin kita punya alasan buat ngetawain? Enggak kaaan? Dan, setelah berbincang-bincang dengan orang dari Ind*a, P*kistan, Ph*lipine, mereka juga sangat-sangat kental logat heritage language mereka. Jadi, ga ada alasan sebenarnya aku untuk tidak PD sih. #edisimenyemangatidiri 😉.
Buat Aafiya (dan Aasiya next in shaa Allah), akan sangat berguna sekali (apalagi dengan kondisi kita tinggal di negara asing, bukan negara sendiri). Dia punya teman-teman, ketemu dan bertegur sapa dengan orang di sekeliling, even cuma yang ketemu di jalan, di mall, taman, hingga ketemu sama dokter misalnya, she needs to communicate with others. Since i know bilingual for baby and toddler is totally no problem, i and my husband have programme to realize it, in shaa Allah.
For the first step, second language nya masi english. Aku dan suami masi punya cita-cita mengajarkan anak-anak berbahasa arab. Saat ini, kemampuan bahasa arabku masi sekedar bertanya berapa harga, mafi, la ba'sa, dan beberapa kosakata umum lainnya wkwkwkwk 😂. Jika ada yang ngomong bahasa arab, aku mulai ngerti sedikit. Ya, baru sedikit. Pengennya sih belajar bahasa arab fushah, di mana kalo yang di dengar di jalan kan yang amiyah. Emak Aafiya in shaa Allah mau lanjut sekolah lagi. Mudah-mudahan bisa sampai level 5 atau 6 dan bisa ngajarin anak-anak juga. Sekarang baru lulus level 2. Waah, jadi semangat lagi nih buat ngelanjutin sekolah di Daar Adh-DHIKR. In shaa Allah, next time...
Ingin tau bagaimana program menciptakan lingkungan bilingual di IMoreFamily? Nantikan kisah selanjutnya yaa. In shaa Allah aku posting di sini.
=====
Sebagai referensi, sila baca beberapa artikel berikut tentang bilingual pada anak.
[1: http://www.asha.org/public/speech/development/BilingualChildren/
[2: http://www.parents.com/toddlers-preschoolers/development/language/teaching-second-language/
[3: http://www.babycenter.com/0_raising-a-bilingual-child-the-top-five-myths_10340869.bc
[4: http://www.parenting.com/article/raising-bilingual-children
Baiklah.
No problem. Mari mixed bahasa aja deh. Heuu.. 😃
Ceritanya, alhamdulillah sudah hampir 2,5 bulan kami di Indonesia, di Padang kota tercinta kujaga dan kubela. Daan itu artinya, ini adalah LDR ketiga kalinya dengan Abu Aafiya. Big thanks to Skype, Line, dan Imo yang udah connecting people in LDR stage. Hihi... Ya, LDR pertama kami masi menggunakan skype. Pas LDR kedua, skype diblokir, tapi alhamdulillah ada line. Naah, pas LDR ketiga ini awalnya kita bingung mau pakek apkikasi apa lagi yaaa, karena pada diblokir euy termasuk line jugak😣. Akhirnya berlabuhlah di IMO. Imooo, you save us alhamdulillah... 💕.
Alhamdulillaah, Allah beri kesempatan untuk bertemu Ayah--semoga Allah merahmati beliau--sebelum ayah berpulang kepada-Nya. Rasanya, udah nda sabaran banget segera pulang setelah Aasiya lahir begitu mendengar berita tentang Ayah. Kami nanya dokternya Aasiya apakah boleh terbang bayi mungil gitu. Alhamdulillah, kata dokternya no problem as long as she suction when take off and landing. Jadilah akhirnya baby merah Aasiya terbang di usianya yang masi 1 bulan.
Aafiya, alhamdulillah di usianya belum genap 2 tahun, sudah mulai belajar bercerita, satu dua kalimat singkat, ma shaa Allah. Dan di usianya Membuat paragraf singkat yang dia sendiri alhamdulillah sudah memahami maknanya.
"Bunda, aafiya naik angkot. Angkot wana (warna) meyah (merah). Penuuh angkotnya. Aafiya pegi (pergi) ke pasan (pasar) sama ayah. Beli susu, beli pempes (pampers). Aafiya senaang banget. Aafiya jatuh, pegang sama oyang (orang)."
Ini salah satu contoh cerita Aafiya lengkap dengan mimiknya 😍😘. Aafiya memang belum bisa menyebut dua huruf yaitu R dan L. Hehe...
Setelah 2 bulanan di kampung, ternyata Aafiya sudah mulai mengerti bahasa kampuang. Ma shaa Allah. Semisal,
"Bunda, Aasiya jagooo." Begitu Aafiya memberi tahu aku kalo adiknya terbangun dari tidur. Atau, "iko apa ini?" 😁. Dan beberapa bahasa minang lainnya yang dia pahami. Padahal tidak diajarkan. Padahal ngomong sama Aafiya juga pakek bahasa indonesia. Sama seperti anak lain pada umumnya, Aafiya belajar dari mendengar!
Maka benarlah kata Eriks Levy, Ph.D, seorang asisten profesor yang menangani masalah patologi di bidang speech dan language dari universitas Columbia, NYC, "Kids this age (2-3 yo. Ed) are developing language skills rapidly, and they quickly absorb whatever they hear.They can learn to understand new words in two different languages at an incredibly fast rate."
Dulu, aku sempat meragukannya. Apakah dengan belajar dwibahasa, anak akan mengalami kebingungan bahasa bahkan bisa jadi terlambat bicara? Ternyata tidak juga. Ya, aku sendiri sudah menyaksikannya. Baru 2 bulan, sudah lumayan banyak bahasa minang yang diserap oleh Aafiya. Itu baru mendengarkan saja. Apalagi kalau benar-benar diajarkan. Jadi, rasanya tak ragu lagi untuk memulai bilingual programme buat Aafiya. Apalagi Usia bayi, usia toddler, adalah usia yang sangat bagus untuk memulai billingual, in shaa Allah... Setidaknya, untuk bahasa ibu (baca: bahasa negara asalnya) Aafiya alhamdulillah sudah mengerti dan sudah berkomunikasi. Sekarang, tinggal bagaimana membuat program untuk second language nya lagi, in shaa Allah.
Dulu, aku tidak terlalu aware dengan pentingnya mengenal berbagai bahasa asing. Jika ada brosur atau apapun itu, aku pasti nyari yang bahasa indonesianya aja 😆. Kecuali textbook farmasi klinis dan jurnal, rasanya dulu malas sekali membaca artikel berbahasa inggris. (Emak aafiya parah yak 😌). Naaah, ketika sudah keluar dari tempurung (baca: keluar negeri), mau ga mau mesti interaksi kaan sama orang dan mesti baca petunjuk ini itu kaan kalo beli sesuatu, misal buku petunjuk penggunaan suatu barang elektronik. Segala penunjuk arah, instruksi, apapun itu mesti deh ga ada bahasa indonesianya. Yaiyalah! Mau ga mau harus baca yang english kan (since my arabic not too good enough to understand an instruction 😶). Lama-lama akhirnya terbiasa juga. Meski pun, untuk ngomong, cuap2--kalo ga dalam kondisi terpaksa, misalnya lagi ga bareng suami dan mau nanya sesuatu ama SPG mall misalnya 😀 atau ngobrol sama dokter misalnya, masi kadang kurang confident 😣.
Soalnya, aku punya pengalaman buruk tentang ketidak-PD-an ku ini. Daan, susah payah banget force my self to wake up from less confident. Terlalu banyak ketakutan. Takut grammernya ga pas. Takut orang lain ga ngerti apa yang aku omongin. Takut pronounciation nya gaje dan malah bikin orang berkerut dahi 7 lipat 😂 dan sederet ketakutan lainnya. Ketakutan yang menyeretku pada pusaran ketidakpercayaan diri yang luar biasa yang aku bersusah payah sekali untuk bangkit dari lubang gelap tersebut. Aku lupa dengan hakikat bahasa yang sesungguhnya. Bahasa buatku (baca: sebagai orang umum, bukan dari sudut pandang seorang ahli sastra) bukanlah ilmu pengetahuan. Tapi bahasa adalah alat komunikasi. Selama komunikasi berlangsung dua arah, saling mengerti, maka that's all! Meski bukan berarti harus menafikan grammer juga! Alhamdulillah, sekarang much better lah aku dibanding aku yang sebelumnya. Selain memang mau ga mau aku mesti komunikasi sama orang, terutama sekali sebenarnya support dari suami yang memberikan great influance bagaimana aku keluar dari mindset ketidakpercayaan diriku. Toh, kalau soal pronounciation--sebagaimana kata suamiku--no problem at all jika logatnya masi kecampur sama logat bahasa ibu--heritage language. Toh kita bukanlah native. Wajar doong, logatnya ga persis sama kayak bule. Toh kalo bule ngomong bahasa indonesia dengan logat english bikin kita punya alasan buat ngetawain? Enggak kaaan? Dan, setelah berbincang-bincang dengan orang dari Ind*a, P*kistan, Ph*lipine, mereka juga sangat-sangat kental logat heritage language mereka. Jadi, ga ada alasan sebenarnya aku untuk tidak PD sih. #edisimenyemangatidiri 😉.
Buat Aafiya (dan Aasiya next in shaa Allah), akan sangat berguna sekali (apalagi dengan kondisi kita tinggal di negara asing, bukan negara sendiri). Dia punya teman-teman, ketemu dan bertegur sapa dengan orang di sekeliling, even cuma yang ketemu di jalan, di mall, taman, hingga ketemu sama dokter misalnya, she needs to communicate with others. Since i know bilingual for baby and toddler is totally no problem, i and my husband have programme to realize it, in shaa Allah.
For the first step, second language nya masi english. Aku dan suami masi punya cita-cita mengajarkan anak-anak berbahasa arab. Saat ini, kemampuan bahasa arabku masi sekedar bertanya berapa harga, mafi, la ba'sa, dan beberapa kosakata umum lainnya wkwkwkwk 😂. Jika ada yang ngomong bahasa arab, aku mulai ngerti sedikit. Ya, baru sedikit. Pengennya sih belajar bahasa arab fushah, di mana kalo yang di dengar di jalan kan yang amiyah. Emak Aafiya in shaa Allah mau lanjut sekolah lagi. Mudah-mudahan bisa sampai level 5 atau 6 dan bisa ngajarin anak-anak juga. Sekarang baru lulus level 2. Waah, jadi semangat lagi nih buat ngelanjutin sekolah di Daar Adh-DHIKR. In shaa Allah, next time...
Ingin tau bagaimana program menciptakan lingkungan bilingual di IMoreFamily? Nantikan kisah selanjutnya yaa. In shaa Allah aku posting di sini.
=====
Sebagai referensi, sila baca beberapa artikel berikut tentang bilingual pada anak.
[1: http://www.asha.org/public/speech/development/BilingualChildren/
[2: http://www.parents.com/toddlers-preschoolers/development/language/teaching-second-language/
[3: http://www.babycenter.com/0_raising-a-bilingual-child-the-top-five-myths_10340869.bc
[4: http://www.parenting.com/article/raising-bilingual-children