Living in Riyadh [part 24]: Tentang Sekolah TK

Kakak Aafiya and her letter book
Masih soal cerita si kakak. Maklum lagi hits di ImoreFamily... Ekekekeke.

Pada awalnya, aku sedikit 'suudzan' dengan sekolah-sekolah di sini. Di mana, anak TK aja bawa tas ke sekolah itu udah kayak bawa koper. Pakek roda itu tas sekolah. Ga kuat anaknya harus ngangkut banyaaak buku. Aku aja bawain tas Aafiya serasa miring bahuku sebelah saking beratnya tas sekolah kakak. Jadi, mesti kayak koper gitu tas sekolahnya. Anak TK, tapi pelajarannya segitunya! Udah belajar Sains (belajar IPA kalau di kita) dan Bahasa Asing segala (bahasa Prancis) karena bahasa pengantarnya sendiri adalah bahasa Inggris dan juga masih dominan bahasa Arabnya apalagi kalau kakak main sama temannya. 'Suudzan' nya aku adalah ... kenapa soal akademis doang yang dikejar dan anak yang masih dalam tahap bermain itu dibebankan segitu banyak mata pelajaran? Harusnya TK kan masanya hepi-hepi. Masa pembentukan karakter.

Tapiii, suudzan aku ini terbantahkan 100% ketika ada parent meeting kemarin. Jika ada istilah parent meeting, dalam bayanganku yaa nanti para ortu duduk di aula gitu trus dengerin gurunya cuap-cuap. Di Indonesia dulu kalau ada pertemuan wali murid juga gitu kan yaa. Wali murid dengerin gurunya ngomong tapi rame-rame gituh. Komunikasi berjalan 1 arah. Tapii, ternyata parent meeting di sini berbeda sangat! Yang dimaksud parent meeting adalah guru dan walimurid ngomong 4 mata. Jadi, ada antrian gitu buat ngomong dengan gurunya, walikelasnya. Pertemuannya yaa pertemuan untuk melaporkan perkembangan anak, apa masalah yang dihadapi dan apa solusinya. Personal. Fokus ke anak kita saja. Hanya berdua antara walimurid dan guru. Aku sungguh terkesan. Gurunya ramah ma shaa Allah. Bahkan walimurid dijamu dengan minuman dan makanan, ma shaa Allah...

Jadiii, ternyata bukan soal akademis saja yang diutamakan. Banyak pengembangan karakter yang juga digenjot. Poin penilaian guru bukan saja soal anak bisa nangkep pelajaran atau enggak tapi dalam banyak hal. Misal, apakah anak mau membantu temannya. Apakah anak mau sharing dengan temannya. Apakah anak mau belajar untuk rapi dan bersih di tempat duduknya. Apakah anak bisa mengikuti rule yang sudah dibuat. Bagaimana anak bisa lebih PD. Dan lain sebagainya. Anak juga diajarkan do'a, menghafal al Qur'an yang dimulai dari al fatihah terus ke juz 30 (dari belakang). Gurunya juga banyak. Untuk pelajaran agama-hafalan-bahasa Arab lain gurunya. Olahraga lain gurunya. Bahasa prancis lain gurunya. Tapii tetap ada homeroom teacher. Kalau di kita wali kelas kayaknya yaa...

"I'm her mommy in the school. So, the problem that's happen or something need to encourage, it's our task. Both side. Parent and teacher. Not only me. But also parent." Kata gurunya. Mengayomi banget gurunya ma shaa Allah. Bu gurunya menjelaskan pentingnya sinergi antara guru dan orang tua karena ini tugas bersama. Ga bisa sertamerta diserahkan 100% ke gurunya saja. Totally true, bu Guru! Can't agree anymore.

Bu gurunya juga sangat welcome. "Apapun yang menjadi masalah, please ceritakan ke saya. Jangan ragu dan malu untuk menceritakan masalah sekecil apapun." Waah ma shaa Allah... Senang banget gurunya sangat terbuka begitu. Dalam pertemuan tersebut bu Guru menyampaikan apa saja capaian Aafiya dan juga apa yang mesti digenjot lagi. Apa yang mesti disupport orang tua di rumah. Dan terakhir ditawarin teh dan juga camilan. Enak banget, hehehehe.

Kalau di Indonesia, guru dan murid berjilbab. Tapi di sini tidak lho. Guru-gurunya ga berjilbab lho kalau ngajar. Begitu juga dengan muridnya. Ini perbedaan kultur antara di Indo dengan di sini. Murid-muridnya juga ga berjilbab deh. Hehehe. Tapi, sekali keluar ... langsung semuanya serba tertutup.
Kadang orang berpikir, masak di negara Arab sendiri malah ga berjilbab ke sekolah. Sedangkan di Indo saja anak TK banyak yang sudah pakai jilbab ke sekolah. Aafiya sendiri juga kalau ke sekolah ga pakek jilbab. Kalau di luar sekolah (misal ke mall, ke supermarket, ke taman dll) baru deh belajar pakai jilbab lagi.

Mengapa begitu? Jadii, kalau di sini area untuk perempuan itu benar-benar private. Tidak boleh satupun laki-laki masuk. Segala urusan sekolah harus diurus oleh ibu. Makanya di dalam kelas para guru bebas ga berjilbab. Bahkan modis² dan cantik-cantik, pada make up an deh, tetapi tetap sopan (mengenakan rok panjang dan kemeja panjang). Kalau di Indonesia, fungsi gamis yaa buat pakaian ke manapun kan yaa. Dalemnya ya langsung daleman atau kaos pendek. Kalau di sini, Abaya cuma pakaian luar, sebagai penutup. Plus tarha dan cadarnya. Tapiii, ketika sudah di area khusus perempuan, abayanya dilepas. Terjawab sudah keherananku kenapa rok dan juga kemeja perempuan laku terjual. Kalau dipikir-pikir toh mereka keluar rumah pakai abaya juga koq, apa gunanya beli kemeja dan rok lagi. Begitu pikirku sebelum ini. Tapi, selama ini aku hanya melihat dari sisi terluar saja. Hehe.

Cerita ini hanya sekedar sharing. Hanya sekedar berbagi cerita sajaa. Yang jelas setiap pendidikan di tiap negara punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bukan berarti di sini jauh lebih baik. Tidak. Sama sekali tidak. Dan bukan berarti pula di Indonesia juga jauh lebih baik. Masing-masing punya plus dan minusnya. Kayak di Indonesia misalnya. Anak-anak TK memang masanya happy-happy an, ga dibebankan pelajaran yang macam-macam. Aku setuju banget yang begini niiih. Kalau di sini, pelajarannya udah banyak. Emaknya aja kadang sampai pusing ga ngerti PR anak TK, instruksinya apa nih. Hehe. Tapi, mungkin saja dikemas dengan cara yang menarik sehingga bagi anak-anak TK itu bukan pelajaran yang berat. Di Australia malah anak kelas 5 SD ga dibebankan PR sama sekali. TK nya aja cuma main-main doang, ga ada pelajaran beratnya. Entahlaah mana yang terbaik, aku juga tidak tau karena aku bukan pakar pendidikan anak usia dini. Hehehehe...


(In shaa Allah bersambung ke postingan berikutnya).

Ketika Memutuskan untuk Menyekolahkan Anak (4)

Kakak lagi bikin PR

Kakak pulang sekolah
Lanjuutan dari postingan sebelumnya (tanpa banyak mukaddimah lagi... Trus seseorang bilang, "tumbeeen ga banyak mukaddimah.. wkwkwkwkwk πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚").


Sekolah internasional di sini itu juga bermacam-macam. Ada yang "murni" sekolah internasional tanpa pelajaran Arabnya. Seperti British Int School, American International School, Multi International School dll. Sekolah ini biasanya mendatangkan native, tak ada pelajaran agama dan tidak mengikuti aturan sekolah arab pada umumnya (eg. pemisahan kelas laki-laki dan perempuan). Kebanyakan yang sekolah di sini biasanya expat yang dari British juga atau dari Amrik juga sih yaa. Daaan, bayar uang sekolahnya sangat mahaaal... πŸ˜†πŸ˜†. Teman yang menyekolahkan 3 anaknya di Sekolah British, uang sekolahnya bisa buat beli rumah di Indonesia! Woow... ma shaa Allah. Dia ga kurang dari sekitaran Rp 600jt/tahun bayarnya. Kalo dialihkan ke uang rumah, itu dia udah punya rumah berapa tuh yaaa. Kekeke... Semakin tinggi kelas, semakin mahal bayarannya. Dan harga segitu buat 1 anak setingkat SD, 1 anak setingkat SMP dan 1 anak setingkat SMA.


Setiap orang memiliki alasan tentang di mana mereka menyekolahkan anak. Di sekolah yang aku sebut di atas, memiliki kelebihan seperti aksesnya ke universitas-universitas udah level internasional jadi lebih mudah. Gurunya native yang memang khusus didatangkan dari negara asal. Bisa jadi juga di segi fasilitas, sangat mumpuni. Dan teman yang menyekolahkan anaknya di sana pada hari weekend mendatangkan guru agama sebagai replacement untuk pelajaran agama yang missing di sekolah. Tapii, ada juga yanh tidak setuju untuk memilih sekolah tersebut. Seperti teman lainnya yang udah citizen Kanada (mengikuti kewarganegaraan suaminya) kemudian mendapatkan pekerjaan di sini. Ketika ditanya kenapa tak menyekolahkan anaknya di sekolah semacam multi atau british gitu? Dia bilang, "waktu aku masih di Kanada aja aku ogah nyekolahin anak di sekolah umum (yang notabene kurikulumnya sama dengan multi, atau american int school). Aku lebih memilih sekolah islamic yang kayak sekolah lebanon gitu. Pilihannya cuma itu. Apalagi di sinii... Udah di Saudi ini."


Ya, Everyone have their own reason. Sama seperti alasan kami menyekolahkan Aafiya di sekolah yang sekarang. Justru kami lebih ingin di sekolahnya tak melupakan pelajaran agama dan Al Qur'an nya tentunya. Dan di sekolah ini, selain masih ada kurikulum pelajaran agama dan hafalan Qur'an, juga masih berlaku aturan di mana setelah kelas 3 ke atas, dipisahkan antara anak laki-laki dan perempuan. Jadi semacam sekolah international+islamic terpadu laah gituh. Hehehe. Cocok dengan kriteria kami dalam memilih sekolah. Walaupun secara pelajaran, jadinya lebih banyak kaan yaaa. As long as Aafiya enjoy dan merasa tak terbebani, it's ok in shaa Allah.

Jadi gimana Aafiya setelah sekolah? Dua hari pertama begitu ketemu aku, matanya langsung berkaca-kaca. "Kangen sama Bunda." Kata Aafiya. Tapii ketika ditanya senang gak sekolah, Aafiya menjawab "Senang." Di hari ke-3 dans seterusnya ketika dijemput, Aafiya terlihat happy alhamdulillah tsumma alhamdulillaah.

Pelajaran di sekolahnya memang (menurutku) agak berat. Aku saja sering mengernyitkan dahi ketika membaca instruksi soal-soal untuk PR nya. "Ini maksud pertanyaannya apa sih?" Ekekeke. Duuh, PR anak sekolah TK sukses bikin emaknya puyeeng. Dan lagi, masih TK tapi sudah ada PR... ini niih kekurangannya. Jadi, waktu bermainnya lebih sedikit.

Ketika ditanya apakah Aafiya bisa ngikutin pelajaran dari gurunya. Aafiya menjawab, "bisa (alhamdulillaah)..." kata kakak Aafiya. "Apa yang paling kakak suka?", "main ke playground, belajar math sama belajar huruf."
"Apa yang kakak paling ga suka di sekolah?"
"Duduk di kelasnya lama banget" jawab kakak.
Memang sih, belajarnya bisa dibilang sangat lama. Dari jam 6.30 (berbaris di halaman), 6.45 mulai masuk kelas... dan baru selesai jam 12.15 siang. Waktu yang cukup panjang untuk anak TK.

Ala kulli haal, alhamdulillaah. Kakak terlihat enjoy dengan sekolahnya. Semoga selalu enjoy yaa Kak. Having fun. Main sama teman. Bikin karya. Dan juga mendapat ilmu in shaa Allah...

Sekolah di sini ga ada perkumpulan emak-emak yang nungguin anaknya sekolah kayak di Indo πŸ˜‚. Begitu sampai di sekolah, nganterin depan gerbang abis itu emak dilarang masuk. Anaknya harus survive sendiri. Hehe... Pun, ga ada grup WA para emak karena segala sesuatu terkait sekolah, interaksinya dan komunikasinya melalui aplikasi ClassDojo. Cukup nyaman menurutku, alhamdulillaah.

Semoga Kakak senantiasa dalam penjagaan-Nya karena ayah dan bunda yang tak bisa mengawasi 24 jam. Apalagi di sekolah. Ga bisa lihat kaan. Dan semoga beroleh ilmu yang bermanfaat, teman yang baik, dan lingkungan yang baik. Aamiin yaa Allah...

Ketika Memutuskan untuk Menyekolahkan Anak (3)

Buku sekolah si kakak, masih kurang 5 pcs lagi ga ikut difoto. Kekeke...
Baeqlaaah... mumpung weekend, emak bisa sedikit selonjoran. Ga gedebak-gedebuk pagi-pagi. Xixixi... Baru kali ini weekend terasa begitu nikmaaat. Biasanya selalu berasa weekend tiap hari, jadiii berasa biasa aja. Naah, karena 5 hari belakangan pagi hari ribut nyiapin sekolah kakak, pas weekend jadi terasa nikmaat. Xixixixi...

Setelah memutuskan untuk menyekolahkan kakak di sekolah internasional, kami survey juga ke sekolahnya dong yaa. Mencoba ngajakin kakak ke sana. Cuma ada 2 sekolah yang kami survey yang sekiranya masih dalam jarak jangkauan. Tapi lebih cenderung ke sekolah yang pertama karena ada 3 orang teman kami yang menyekolahkan anaknya di sana di berbagai grade. Teman dekat Aafiya juga sekolah di sana, meskipun dia ada di kelas 1 bukan di TK. Sekolah yang kedua, kakak kurang sreg dan aku juga tak begitu sreg karena kurikulumnya pakai kurikulum India-Pakistan. Jadi opsi itu kami coret. Pilihan otomatis jatuh ke sekolah pertama yang kami kunjungi yaitu al Motaqadima International School.

Alhamdulillah karena ada teman-teman yang menyekolahkan anaknya di sana, aku bisa ditanya² segala urusan terkait administrasi maupun proses belajar. Apalagi salah satunya ada yang seumuran Aafiya anaknya (lahir beda 1 bulan doang) yang nanti kami harapkan bisa jadi teman sekelas Aafiya.


Finally, tepat di minggu ke-6 sekolah berjalan, bismillaah... kami mendaftarkan Aafiya. Enaknya di sini, uang sekolah ga banyak macamnya. Ehehe. Jadi cuma 1 jenis pembayaran saja. Ga ada istilah SPP, uang pangkal, dll... Jadi 1 jenis pembayaran itu sudah all in. Sementara untuk buku, seragam dan school supplies itu kita beli sendiri ke tempat yang ditunjuk sekolah atau di mana aja yang penting bukunya sesuai dengan yang di-list dari sekolah. Uang sekolah pun boleh dibayar per 3 bulan. Hanya saja, kalau kita membayar full untuk setahun kita bisa dapat diskon.


Pas proses pendaftaran, aku harus menemani Aafiya dulu buat assasement ke gurunya, Aafiya mau dimasukkan ke KG (kindergarten) level berapa. Di sekolah ini ada 3 level KG. Kalau di Indonesia, KG 1 kayak selevel PAUD, KG 2 itu selevel TK A, dan KG 3 itu selevel TK B. Aku dari awal, mindsetnya Aafiya bakalan di KG 2 karena menginat usianya yang baru mau 5 tahun. Di Indonesia, TK A kan memang usia 5-6 tahun, TK B usia 6-7 tahun, kelas 1 usia 7-8 tahun, dan seterusnya. Tapii, ternyata di sini usia untuk TK A Itu ternyata adalah usia 4-5, dan TK B itu usia 5-6. Sedangkan Kelas 1 itu usia 6 tahun ke atas. Jadi, Aafiya menurut acuan dari kementrian pendidikan di sini harus sudah masuk KG 3 alias TK B. Lalu aku tanya, bisakah Aafiya di KG 2 aja karena awalnya aku berpikir Aafiya nanti masuk SD nya pas usia 6 tahun 9 bulan aja. Jadi menurut umurnya sekarang mestinya masih level TK A. Koordinator KG nya menjawab, bahwasannya aku harus bikin surat pernyataan yang ditandatangani bahwa Aafiya ditaruh di level KG 2 adalah berdasarkan permintaan orang tua.

Bu Gurunya nanya, "Udah bisa pegang pensil belum? Udah biasa nulis belum?" Aku jawab dia udah biasa pegang pensil (bukan hanya pensil sih, spidol, krayon, pulpeen suka² anaknya aja ahahahaha tapi tentu saja gak aku jawab kayak gini dongs kekeke...). Trus Aafiya disuruh menulis beberapa angka dan huruf. Dan alhamdulillah dia bisa menuliskan hampir semua huruf dan angka yang disuruh oleh bu guru. Trus aku disuruh nunggu lagi.


Setelah itu, bu guru memutuskan sebaiknya Aafiya di KG 3 aja. Aku call ayahnya. Karena di sini, level KG itu masuknya ke girl-section. Jadi bapak-bapak ga boleh masuk. Segala administrasi di bagian kelas (bukan di bagian pembayaran) harus diurus oleh ibu. Aku tanya ayahnya minta pendapat bagusnya masukin KG 2 apa KG 3 dengan konsekuensi kalau KG 2 aku harus tanda tangan pernyataan. Ndilalahnya, segala surat itu semuanya berbahasa arab dan aku ga ngerti sama sekali isi surat-suratnya... πŸ˜†
Ayahnya bilang, ga masalah kalau memang di KG 3. Akhirnya aku ngikut yang ayahnya bilang. Meskipun dalam hati koq kayak agak sedikit berat (dan rasa² agak berat ini sudah aku sampaikan pada ayahnya). Beratnya adalah karena bahasa pengantarnya English dan Aafiya belum dibiasakan english di rumah. Paling intensif cuma 2 minggu belakangan saja dan aku pikir not enough kalau praktek cakap² english cuma dalam 2 minggu aja. Udah gitu (dari buku KG 2) pelajarannya udah lumayan. Mengenal huruf, angka dan juga ada matematikanya.

Ketika sudah sampai di rumah, Aafiya sudah masuk kelas, aku ditelpon oleh teman yang anaknya seumuran Aafiya. Dia menanyakan jadinya Aafiya di kelas yang mana. Dan aku ceritakanlah kronologisnya bahwa akhirnya Aafiya di kelas KG 3. Temanku kaget. Lha kenapa KG3? KG3 itu udah disiapin buat anak-anak masuk grade 1. Pelajarannya sulit. Ini juga anak-anak udah berjalan 5 minggu. Aku sejujurnya agak goyah juga waktu itu. Apalagi teman menawarkan untuk menemani mengurus kepindahan ke kelas KG2 berhubung aku yg ga bisa bahasa arab dan teman tersebut suaminya adalah orang arab jadi sudah familiar dengan bahasa arab. Tapi lagi-lagi suami menguatkan dan meminta untuk support kakak dan mendoakan agar kakak bisa adaptasi, having fun, bisa berteman dan juga beroleh ilmu yang bermanfaat.

Pas udah beli buku yang diminta sekolah, aku sedikit shock. Bukunya buanyaak bangeet, ya salam. Ini anak TK lho. πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†...
Anak TK judulnya, tapi buku matematikanya aja lebih tebal dari buku SMA emaknya. Untung sih belum setebal martindale atau farmakope sih. Wkwkwkwk... Selain belajar huruf, angka, membaca, menulis... kakak juga belajar pelajaran agama, hafalan Qur'an, matematika, sains, dan juga bahasa Prancis. Ya Allah... emaknya sama sekali ga ngerti itu buku bahasa prancis. Dulu emaknya, udah lah TK kaga ada bukunya, pengantarnya pakai bahasa Indo pulak. Belajar bahasa inggris juga baru kelas 6 SD. Ini si kakak, udahlah pelajarannya bahasa pengantarnya berbahasa inggris, belajar juga bahasa lain (bahasa Arab dan Bahasa Prancis) plus buku yang segambreng-gambreng. Dan jugaaaaa, ada PR setiap hari! PR nya enggak 1 aja. Ada 3 matpel yang selalu jadi PR rutin. Ini anak TK apa anak SMA sih? πŸ™ˆ


Bukannya apa-apa. Emaknya hanya rada khawatir jika sekiranya ini terlalu berat buat Aafiya. Emaknya rada khawatir kalau anaknya justru ga merasa fun dan malah terbebani dengan segitu banyak pelajaran. Apalagiii, pas ngajakin kakak ngerjain PR... baca buku pelajarannya aja emaknya udah puyeng. Ini instruksinya apaaa yaa?! Aaaak.. emak ga ngerti pelajaran anak TK. Sering kali harus buka kamus dulu untuk bantu si kakak bikin PR. Ya salaaam...


Di sinilah aku rada maju mundur. Apakah diturunin jadi KG 2 lagi aja. Setidaknya di KG 2 ini ga ada pelajaran sains dan bahasa prancisnya. Bukunya juga cuma setengah buku KG3 jumlahnya. Tapi, tetaap ayahnya Aafiya menguatkan... untuk mendo'akan agar kakak bisa. Karena akademis bukan main purpose kita menyekolahkan Aafiya saat ini. Jadi, kita ga usah maksain Aafiya belajar kalau anaknya lagi ga mau. Main purpose kita adalah membuat Aafiya mengenal lingkungan, mau berteman dan juga lebih berani! Jadi, kalau ga ngerjain PR ya sudah, tak apa-apa.

Ya udah, bismillaah... Go on kakak! πŸ’ͺπŸ’ͺπŸ’ͺπŸ’ͺ


Gimana kakak di sekolah? Gimana hari pertama sekolah? Bisa gak kakak mengikuti pelajaran yang segambreng itu yang bahasa pengantarnya bukan bahasa ibu (bahasa sehari-harinya). In shaa Allah aku post di next postingan...

Ketika Memutuskan untuk Menyekolahkan Anak (2)

Calon sekolah si Kakak ketika itu... yang kini jadi sekolahnya
Lanjutan dari cerita kemarin. Hehe.

Ketika memutuskan untuk sekolah, akhirnya kami berusaha untuk collect informasi sebanyak-banyaknya terkait calon sekolah Aafiya. Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan tentunya dalam memilih sekolah. Pertama, kurikulumnya. Kedua, Jarak tempuh dari rumah. Ketiga, biaya.

Soal kurikulum tentu jadi pertimbangan, meskipun memang sulit untuk mencari kurikulum seperti sekolah di Indonesia semisal TK IT begitu. Setiap negara, tentu memiliki ciri khas pendidikan masing-masing. Tapi, untuk anak TK sepertinya tidak begitu 'mandatory' ya. Namanya juga masih TK. Masih main-main. Hehehe... Tapiii.. (ada tapinya, nanti aku ceritakan yaa lebih detil in shaa Allah di next postingan).

Kedua, pertimbangan yang paling utama sebenarnya buat kami; jarak tempuh dari rumah. Ini berkaitan dengan antar jemput anak ke sekolah. Di sini, ga semudah di Indonesia untuk bepergian kan ya. Meskipun sekarang ada fasilitas uber dan careem (semacam g*jek/gr*b kalo di Indonesia), tapii buat aku emak beranak 3 ini cukup sulit. Kalau terpaksa mungkin bisa. Karena harus angkut 3 anak, 1 masih bayi. Rempoong cyyyn. Hehehe... Jadi, jarak tempuh yang masih dalam taraf bisa diantar jemput suami adalah opsi yang paling utama.

Ketiga, biaya. Tentu saja, menyekolahkan anak butuh biaya. Perlu dong kita kalkulasi, kira-kira biaya sekolahnya masuk budget atau tidak. Meskipun, tiada yang sia-sia dalam menuntut ilmu. Segala biaya yang dikeluarkan dalam menuntut ilmu dan kemudian anak yang menuntut ilmu itu menjadi anak yang ilmunya bermanfaat bagi banyak orang, bukankah itu adalah amal jariyah? Meski sekarang masih TK. Tapi itu bukankah salah satu jenjang menuju pendidikan yang lebih tinggi nantinya? Makanya di sini, banyak banget orang yang berlomba-lomba jadi muhsinin untuk oara mahasiswa, mulai dari menyediakan rumah, memberi makanan (sembako) dan banyak lagi. Ma shaa Allah.
Meski demikian, kita ga bisa naif juga kaan. Ga mungkin kita memilih sekolah yang super-super over budget. Itu naif namanya. Hehehe...


Ada beberapa opsi sekolah.
1. Sekolah Indonesia di sini (SIR)
Sebenarnya, untuk target kami menyekolahkannya biar kecebur ke lingkungan baru, sekolah Indonesia adalah pilihan yang tepat. Sekolahnya menggunakan kurikulum Indonesia. Bahasanya adalah bahasa Indonesia. Tidak ada kecanggungan bahasa. Pun, jika kita kembali ke Indonesia suatu saat, tidak ribet pindah dengan berbeda kurikulum gitu kan. Bisa masuk sekolah negeri. Kayak pindah sekolah aja sama seperti di Indonesia pindah sekolah dari suatu dareah ke daerah lain. Di segi biaya pun, SIR sendiri biayanya bisa dibilang tidak terlalu mahal jika berdomisili di dekat lokasi sekolah (daerah Ummul Hamam dan sekitarnya). Masalahnya, SIR berlokasi jauh dari tempat tinggal kami. Jarak 30 km-an. Bolak-balik 60 km. Waktu anak selesai sekolah dengan jam istirahat ayahnya juga tidak matching sehingga tidak mungkin ayahnya anak-anak menjemput. Dan kami belum bisa mempercayakan Aafiya kepada orang asing untuk diantar jemput. Maka opsi sekolah di SIR terpaksa tidak kami ambil.

2. DAR (Sekolah Arab).
Sekolah Arab untuk level tamhidi (setingkat TK) di sini sebenarnya gratis. Buku juga disediakan. Sekolahnya sore.Tapi, terkendala dengan persyaratan bahwa ibunya harus sekolah juga di sana untuk kelas bahasa Arab atau tahfidz Al Qur'an. Dan tetap menyaratkan antar jemput juga walaupun berjarak 5 km-an maximal dari rumah karena setiap Hayy (district) itu menyediakan DAR. Aku tidak bisa meninggalkan Bayi dan Si Uni Aasiya untuk ikut sekolah bersama Kakak Aafiya tentunya. Bahasa pengantar adalah bahasa Arab. Masalah bahasa sebenarnya tidak begitu masalah untuk Anak, karena Anak biasanya menyerap lebih cepat dan bisa memahami bahasa tanpa mesti "ditranslate" dulu di otaknya. Gak kayak kita orang dewasa yang ketika berbahasa asing, otak kita mesti mentranslate dulu ke bahasa kita, diproses, lalu direspon dan ditranslate lagi ke bahasa asingπŸ˜†πŸ˜‚. Kalau anak, memahami bahasa sama seperti mereka memahami bahasa ibu (bahasa utamanya). Tapi, karena waktunya tidak match dan juga tidak ada yang bisa jagain Maryam dan Aasiya, tentu opsi ini tidak bisa dipilih. Sebenarnya, opsi ini benar-benar opsi terakhir dan tidak kami masukkan ke list sih. Hehehe...

Ada juga DAR yang pagi dan menyediakan hadonah (nursery) untuk anak dan bayi. Ini juga ibunya harus sekolah juga di sini. Dan menyediakan kelas tamhidi untuk anak. Opsi ini sempat kami sebut pada awalnya. Tapi, aku sulit meninggalkan Maryam dan Aasiya di Hadhonah. Lokasinya juga sangat jauh dari rumah. Lagi-lagi terkendala jarak kan. Tapi, karena jam berangkat dan jam pulangnya matching dengan waktu istirahat Suami, sebenarnya masalah transport masih bisa disiasati. Kendala utama karena aku tidak bisa meninggalkan Maryam terutama. Si Bayi ini sangat sulit diasuh/dipegang orang lain. Aku tak ingin meninggalkan 'trauma' dan luka di hatinya karena ditinggal ibunya sekolah. Lain cerita kalau sekiranya usia Maryam sekarang sudah 3 tahun dan sudah bisa dikenalkan dengan tempat baru. Mungkin opsi ini akan aku pilih.

3. Sekolah Internasional
Sekolah internasional masuknya sama dengan sekolah pagi pada umumnya. Jam pulangnya juga sama dengan jam istirahat siang suami sehingga bisa antar jemput. Soal jarak juga tidak masalah karena hanya 5-10 menitan dari rumah. Soal biaya juga sebenarnya akan sama dengan SIR jika kami menggunakan jasa transport. Karena kalau memilih opsi SIR, 80% total biaya adalah untuk transportasi. Jadi, tentang biaya sebenarnya bisa dikatakan masuk budget. Kekurangannya, adalah kurikulumnya bukan kurikulum Indonesia. Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum amerika. Tapii, alhamdulillaah tetap ada kurikulum agamanya. Meskipun sekolah internasional, ada kurikulum agama yang belajar tentang iman, menulis huruf hijaiyah, dan juga menghafal Al Qur'an. Jadi, kayak mix antara kurikulum amerika dan kurikulum arab gituh. Bahasa pengantar adalah bahasa inggris. Kekurangannya, jika nanti sekiranya pulang ke Indonesia, sulit menyesuaikan kurikulum karena ketika pulang ke Indonesia, kemungkinan besar kami tidak akan menyekolahkan anak di sekolah Internasional. Opsi yang kami pilih kemungkinan besar adalah sekolah semacam SDIT, SMPIT dan SMAIT. Tapii, masih bisa disiasati. Di SIR sendiri setiap weekend ada paket khusus untuk yang anak-anak non-SIR. Jadi untuk memperoleh NIS (nokor induk siswa) ada semacam paket khusus gitu. Anak sekolah hanya di hari libur (weekend) di SIR.

Bagaimana jika anak belum lulus SD tapi udah pulang ke Indonesia misalnya. Ada opsi untuk mengikuti jejak teman-teman yang homeschooling di sini tapi memakai kurikulum di Indonesia. Mereka nanti ikut ujian, bayar semacam lisensi gitu (aku belum tanya detil gimananya) dan bisa mendapatkan NIS.


Dari sekian opsi di atas, opsi yang paling memungkinkan yang kami pilih adalah... menyekolahkan Aafiya di sekolah internasional. Dan finally, setelah sekolah berjalan 5 minggu, Aafiya kami daftarkan di sebuah sekolah internasional yang cukup dekat dengan rumah kami.


Bersambung ke postingan berikutnya... in shaa Allah.

Ketika Memutuskan untuk Menyekolahkan Anak (1)

Setelah lamaa tak corat-coret blog, akhirnya pada blog jua aku kembali. Hehe. Oleh sebab blog adalah 'selokan' buat mengalirkan apa yang terlintas tanpa harus 'bersinggungan' dengan orang lain. Xixixi. Berbeda dengan media sosial di mana status kita bisa saja nyantol di beranda orang lain, maka blog hanyalah bagi yang benar-benar serius ingin berkunjung. Paling tidak, mesti transit di search engine dulu untuk sampai ke sini kan. Kekeke... Makanya buat aku ..., blog adalah tempat ternyaman untuk berbagi. Bukan media sosial. Hehe. Smoga blog ini ga sepi lagi yaaa. Heuheu... Doakan istiqomaaah.

Kali ini aku ingin menceritakan kenapa akhirnya memutuskan untuk menyekolahkan Aafiya tahun ini. Aaaak... ma shaa Allah... tak sangka waktu berlalu begitu cepat. Our first born udah sekolah ajaaaa. Time flies fast. Super fast. Aaakk.. my little baby now using a uniform, bring big bag and luch box. Rasanya... aahh nano-nano. Terharuu 😭... Excited ... Senang ... Sedih juga karena berpisah benerapa jam ... dan juga terselip sedikit khawatir. Namanya juga melepas anak pertama kali ke sekolah yaaa.

Aafiya in shaa Allah 6 hari lagi genap 5 tahun. Kata orang-orang, anak yang lahir september-desember itu umurnya nanggung-nanggung kalo mau disekolahkan. Heuu... Mau dibulatkan ke atas (dianggap 5 maksudnya) masi agak kekecilan. Kalau digabung ke usia di bawahnya, ehh anaknya rada ketuaan juga dibanding temannya yang sekolah nantinya yang rerata lahirnya di tahun berikutnya. Bingung kan? Heuu...

Nah, pada awalnya plan kami menyekolahkan Aafiya itu tahun depan (usia 5 tahun 11 bulan--karena tahun ajaran baru di sini dimulai september dan Aafiya lahir oktober) langsung ke TK B. Karena kami termasuk penganut 'aliran' yang tidak menyekolahkan anak terlalu dini (misal dari usia 2-3 tahun). Selain itu, biaya sekolah di sini bisa dibilang mahaaaal kalau memilih sekolah swasta. Ehehehehe. Tapiii... (ada tapinya) akhirnya jadinya kami masukkan ke sekolah tahun ini, plan nya TK A dulu.

Ada panjaaaaang pertimbangan dan mikir-mikirnya sampai kami akhirnya memutuskan dan bermuara di satu kata: sekolah.

Aafiya sebenarnya kalau ditimbang secara akademis, udah cukup siap untuk sekolah, in shaa Allah. Melihat ketertarikannya mengenal huruf dan angka. Aku sendiri sebagai ibu, tidak mengajarkan secara serius calistung (apalagi sampai les² segala) buat Aafiya di usianya di bawah 5 tahun ini. Tapi, karena anaknya terlihat interest akhirnya dia belajar sendiri mengenali angka dan huruf ini. Cukup surprise ma shaa Allah ketika Aafiya menulis semua huruf tanpa contekan di papan tulis suatu hari. Sebagai emak yang rempong dengan 3 balita dan nyaris ga sempat ngajarin Aafiya, aku surprise ketika dia bisa, ma shaa Allah... 🤩🤩 Tapii.. tentu ini bukan alasan mengapa aku menyegerakan sekolahnya.

Jadi, Aafiya ini anaknya memang agak pemalu. Sulit untuk berjumpa dengan lingkungan baru dan orang asing. Tidak mau ngomong dan terlihat sedikit cemas. Oleh sebab kultur di sini memang jarang main ke luar kayaknya yaa. Tapii, pemalunya Aafiya agak banyak dosisnya. Dalam kata lain, sebutlah 'insecure'. Heu... Nah, ketika dia berada di lingkungan yang bikin dia merasa 'secure' secara psikisnya, dia akan menjadi confidence dan sifat pemalu dan kecemasannya dengan lingkungan baru itu jadi hilang.

Ada banyak opsi yang kami list pada awalnya. Apakah dengan mengenalkannya ke grup kecil dulu. Alhamdulillah di masjid dekat rumah ada grup tahfidz anak-anak yang bisa didampingi oleh orang tua karena disediakan juga grup tahfidz buat orang tua. Sempat berpikir membawa Aafiya ke sana dulu. Atau, mengajaknya dan encourage dia untuk berani ngomong di baqala atau tukang es cream misalnya. Membawanya selalu ke lingkungan yang banyak orang semisal pengajian ibu-ibu di sini. Tapii, semuanya tetap saja masih ada emaknya di sana. Lalu kapan Aafiya berani? Padahal, pas di lingkungan yang dia merasa secure karena ada teman yang nyambung, dia berhasil ngomong banyak dan bercerita dengan PD. Tidak ngelendot aja di bawah ketiak emaknya. Hehehe...

Ketika ditanya ke teman yang kebetulan psikolog, dia juga menyarankan untuk sekolah (bukan homeschooling lah intinya). Barang kali di sekolah dia menemukan teman yang membuat dia secure di lingkungan baru. Jadi, aafiya lebih PD lah yaa... tidak malu-malu dan cemas lagi dengan lingkungan baru yang banyak orang karena sudah terbiasa dengan sekolah yang rame.

Akhirnya kami memutuskan untuk menyekolahkannya. Keputusan yang diambil bahkan ketika sekolah untuk Saudi sudah berjalan 1 bulan lamanya. Sementara kalau menurut kalender pendidikan indonesia, sudah masanya PTS malah. Sudah berlalu setengah semester. Tapii, namanya anak TK... kayaknya juga ga papa ketinggalan. Apa sih yang dipejari anak TK? Ya kan?

Awalnya begituu... hehehehe...

In shaa Allah lanjut ke part berikutnya...