Tetangga Terbaik

Di perantauan, tiadalah yang lebih baik dari pada tetangga yang baik. Tetangga yang sudah seperti saudara sendiri. Ma shaa Allah tabaarakallaaah.
Sungguh hari ini kami dapat limpahan kebaikan dari tetangga terbaik kami, mba Tyas sekeluarga. Ma shaa Allah tabaarakallaah. Pagi jum'at yang gerimis dengan aroma petrichor. Pagi jum'at terakhir di tahun 2021. Sebentar lagi, 2022 menjelang. Berganti tahun masehi bukanlah sesuatu perayaan spesial bagi kami. Tapi tetap saja, berganti hari, berganti bulan, berganti tahun ... berarti jatah hidup semakin berkurang.

Beberapa hari ini kondisi kami memang lagi not feeling well sehabis safar. Memang musimnya juga. Meskipun deg-degan dengan omicron, kami berharap ini bukanlah seperti yang kami pikirkan. Kadang, pandemi bikin kita banyak overthinking ya, hehe.

Ma shaa Allah tabarakallaah, mba Tyas datang pagi-pagi bawain dua goodie bag besar isinya macam-macam. Ma shaa Allah. Lima porsi bubur ayam, 2 pack bakso frozen, 3 pack kaldu daging siap pakai, tauge, 1 tray jeruk, lemon, 1 botol besar madu (750 gr), 1 botol bawang putih goreng. Plus juga buku anak-anak. Ma shaa Allah.. terharuu. Sungguh sangat baik sekali. Semoga Allah membalas begitu banyaaaak kebaikan mba Tyas sekeluarga.

Ini bukan kali pertama. Sering kali tiba² mba Fyas bawain makanan, snack atau apa saja. Membantu kami dalam banyaak haal. Dulu, waktu aku lahiran Aasiya, nitip Aafiya yang masih 2 tahun juga ke mba Tyas sekeluarga. Pas lahiran Maryam, ada dua anak yang dititip ke mba Tyas lagi. Ma shaa Allah tabaarakallaaah. Begitu banyak kebaikan yang mba Tyas sekeluarga berikan. Hanya kepada Allah kami memohon, agar kebaikan-kebaikan beliau dibalasnya dengan balasan yang lebih baik di sisi-Nya. Aamiin yaa Rabb ...

Memiliki tetangga yang baik itu adalah rezeki dari Allah. Alhamdulillaah di sini kami memiliki beberapa tetangga orang Indonesia dan alhamdulillah dapat tetangga yang baik. Dan mba Tyaas adalah tetangga yang paling dekat (paling dekat secara pertemanan). Juga paling lama bertetangga. Kami sudah bertetangga sejak pertama kali datang ke Riyadh (8 tahun). Tetangg terbaik kami, ma shaa Allah tabaarakallaah.

Barakallaahu fiik mba Tyaaas sekeluarga ❤❤😘😘
Atas segala kebaikannya ... ❤❤❤

Royal Suite Room; Kamar Hotel Mewah dengan Fasilitas Super

Dalam vacation kami kemarin, kebetulan salah satu teman suami pernah menjadi asisten direktur di hotel yang kami booking. Alhamdulillaah sempat bersilaturrahim dengan keluarga beliau. Aku ngobrol banyak dengan istrinya. Dan anak kami benar-benar seumuran sehingga mereka pun asyik bermain bersama. Senang rasanya bisa bertemu dan bersilaturrahim setelah 3 tahun tak berjumpa. (Kalau suami sering ketemu karena sama-sama punya hobi yang sama yaitu badminton dan ketemu di lapangan).
(note: gambar ini hanya ilustrasi saja. Bukan kamar royal suite room)

Nah, dalam kesempatan silaturrahim tersebut, kami diajak melihat salah satu kamar Royal Suite room (note: cuma lihat saja tidak menginap di sana). Kamar paling mewah di hotel tersebut. Begitu masuk, kakak Nasamah langsung komentar "Woooww.. ma shaa Allah!". Iya, hotel dengan fasilitas lengkap dan sangat mewah. Harga sewa semalamnya adalah sekitar up to 50juta rupiah. Itu semalam ajaa. Subhanallaaah sangat mahal yaa... Dan itu lebih mahal dari sewa rumah kontrakan kami di Riyadh buat setahun. Heuheuheu .... 


Jadi refleksi tersendiri buatku. Untuk menikmati fasilitas kemewahan dunia yang hanya semalam saja, amat mahal bayaran yang harus dikeluarkan seseorang. Padahal hanya dinikmati tidak sampai 24 jam. Check in jam 4 sore dan jam 12 pagi esoknya sudah harus check out. 

Lalu bagaimana dengan fasilitas surga? Yang kenikmatannya berjuta kali lebih nikmat dari pada kenikmatan hotel berbintang lima kamar royal suite? Tentu saja kita "membayar" dengan lebih banyak lagi. Bukan soal berapa uangnya, akan tetapi sebesar apa upaya kita. Meskipun, segala amalan kita tidak akan mampu membayar surga karena surga itu adalah diperoleh oleh seorang hamba Allah dengan rahmat-Nya, tapi tiket untuk mendapatkan rahmat Allah tak terlepas dari seberapa pahala dan amal kebaikan yang kita lakukan. Tak ada yang bisa masuk surga dengan amalannya. 

Dengan uang seharga 1 kamar hotel royal suite tersebut, mungkin sudah banyak yang bisa terbantu. Uang 50 juta bisa memberi paket makan 1000-2000 fakir miskin dan anak terlantar. Atau digunakan untuk memberi wakaf yang selama digunakan akan tetap memberikan pahala jariyah meski si pemberi sudah tiada. Kita tidak pernah tau amalan apa yang membuat kita memperoleh tiket surga. Dan kita juga tidak pernah tau, bisa jadi keburukan kita yang tidak kita sadari, menjadi penahan kita memasuki surga--na'udzubillaah.

Refleksi kedua adalah tentang sebentarnya dunia. Ibarat menginap di hotel mewah, tak akan menetap selamanya. Hanya sebentar saja kemudian harus check out. Paling hanya beberapa hitungan hari saja. Begitu pula seseorang yang dikaruniakan Allah harta berlimpah, tapi ternyata masa di dunia ini hanyalah sementara saja. Jika tak pandai mempergunakan pemberian Allah tersebut untuk berinvestasi di rumah masa depan (akhirat), maka hanya kesenangan dunia yang sejenak saja yang bisa diraih. Sementara. Sebentar. Dan tidak 100% selalu senang. Ada masa sulit, ada masa cemas, ada masa gelisah dan sebagainya. Jika tidak dihabiskan dalam kebaikan, bisa jadi harta tersebut hanyalah sesuatu yang dihambur-hamburkan atau menjadi rebutan ahli waris saja. 

Ini pelajaran berharga untukku tentunya. Tentang dunia yang menyilaukan, semerbak tapi menipu. Apakah kita bisa lulus dari fitnahnya atau terlena. Semoga kita menjadi orang-orang yang menjadikan dunia sebagai tujuan terbesar dan puncak ilmu tertinggi. Aamiin yaa Rabb.

Do'a, Harapan, dan Kelegaan

Alhamdulillaah, vacation kami berjalan lancar. Vacation kali ini benar-benar anugrah banget rasanya. Karena jika dilihat-lihat dari awal, rasanya hampir ga mungkin kami dapat vacation di Desember 2021 ini. Pertama, "antrian" cuti teman se tim suami yang pada "numpuk" di akhir tahun. Semua pada pengen cuti. Dan syaratnya tidak boleh 2 orang cuti sekaligus. Jadi, peluang kami buat cuti lebih kecil karena sebagian cuti sudah diambil di pertengahan tahun lalu. Kedua; resident permit kami yang belum renewal. Rasa-rasa hampir tak mungkin. Tapi, bagi Allah, sesuatu yang tidak mungkin dalam pandangan manusia, sangat bisa menjadi WUJUD NYATA jika Allah berkehendak. Dan itulah yang terjadi. Alhamdulillaah tsumma alhamdulillaah.


Perjalanan kami kali ini ga cuma pakek mobil di mana suami nyetir seperti biasa, tapi kami mencoba pengalaman baru dengan naik kereta cepat (highspeed railway) dan juga bus express. Berhubung dua moda transportasi ini tidak begitu common bagi anak-anak, maka kami ingin "mengenalkan" pengalaman ini kepada mereka. Dan alhamdulillaah mereka excited dengan pengalaman ini. Meskipun sempat harus sekolah sambil jalan hehe (alhamdulillaah anak-anak masih sekolah online).

Di perjalanan kali ini juga diumumkan hasil tes CPNS tahun 2021 yang mana hasilnya alhamdulillaaah, aku ndak lulus. Berarti do'a kakak Nasamah terkabul hehehe. Ini tidak lulus yang paling melegakan kayaknya. Alhamdulillaaah. 

Apa yang dilakukan seseorang ketika menginginkan sesuatu? Seseorang biasanya akan berikhtiar. Ikhtiar itu dalam bentuk usaha secara fisik (misal belajar, dll) dan berdo'a tentunya. Ada berbagai keinginan yang aku "langitkan" semenjak dahulu. Di antaranya, ada yang diijabah-Nya, dan sebagian lainnya digantikan-Nya dengan sesuatu yang lebih baik. Sebagainnya, mungkin tidak diijabah-Nya karena menghindarkan dari keburukan dan aku sangat berharap tidak diijabahnya sebagian do'a itu menjadi simpanan yang kelak diperlihatkan dan dibalaskan di akhirat sana. Untuk CPNS kali ini aku tak pernah memohon kepada Allah untuk diluluskan sebagai dosen CPNS di tahun 2021 ini. Aku hanya meminta agar Allah memberikan yang terbaik untukku dan keluarga serta untuk akhirat dan dunia kami. Jika memang dengan menjadi dosen itu lebih baik untuk akhirat dan dunia kami, maka aku memohon agar dimudahkan. Jika memang bukan sesuatu yang baik untuk kami, maka aku memohon untuk dihindarkan dari segala keburukannya. Itu saja yang aku pinta pada-Nya terkait CPNS kali ini. Beberapa kali Nasamah dan Rumaisha bilang "Kakak ga mau bunda luluus." demikian juga si Uni. Dan jawabanku selalu sama untuk mereka, "Kakak, Uni ... do'a sama Allah." 


Sepanjang beberapa masa hitungan tahun berlalu. Dahulu aku ingin kuliah di luar Sum-Bar (sebagaimana teman-temanku banyak yang lulus di ITB, UI, UGM, Unpad dll) tapi, hanya diijinkan di Sum-Bar. Ada kesedihan? Tentu. Dulu pernah memilih FK. Tapi lulus di Farmasi. Sedih. Iya, lumayan sedih. Dulu, pernah ikut tes CPNS (2010) dan berharap lulus, tapi tidak lulus. Sedih? Iya, waktu itu sedih, meskipun sekarang malah senang ketika sudah tau apa hikmahnya. CPNS 2021, tidak lulus ... apakah sedih juga? Ketidaklulusan di tahun ini beda penyikapannya. Jika dipersentasekan, sedihnya paling cuma 1-5% aja. hehe.. Sedih kenapa nilai microteaching dan wawancara koq rendah amat. Hehehe. Apa aku seburuk itu dalam wawancara dan mengajar? Rasanya aku senang mengajar. Meskipun tidak selalu mengajar mahasiswa, tapi aku pernah mengajar anak SMP dan SMA. Sekarang aku juga "me-mentoring" beberapa mahasiswa dan anak SMA. Tapi ternyata, di tes CPNS ini nilai mengajarku rendah banget. Jadi sedih dan auto evaluasi diri  jangan-jangan mereka selama ini tidak mengerti yang aku ajarkan sampai nilaiku serendah itu?! Hehehehe.... 


Sedihnya hanya 1-5%, sementara legaaa nya adalah 95-99%. Kenapa lega? Karena ... alhamdulillaaah nothing change setidaknya dalam setahun ke depan in shaa Allah. Aku malah sangat galaaauu rasanya bila lulus CPNS kali ini. Pertama, aku kayaknya beraaat banget harus LDR (apalagi beda negara dan berpisah sejarak 6000 an kilometer) dengan suami. Kedua, aku ga kebayang gimana bawa anak-anak mondar mandir ngurus berkas, dan bertempat tinggal di daerah yang sama sekali asing dan belum pernah aku kunjungi dan tak pula ada saudara dan kerabat yang tinggal di sana. Anak-anak nanti sama siapa. Di mana aku tinggal? Sekolahnya  anak-anak gimana? Bagaimana mereka adaptasi dengan lingkungan yang sama sekali berbeda sementara emaknya harus ngampus dan tidak bisa mendampingin full setiap hari. Dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan tak terjawab yang muncul di benakku jika aku lulus. Tapi, jika sekiranya lulus, maka segala tantangan ini memang harus aku hadapi. Ketika tau tidak lulus, ada kelegaan yang benar-benar lega. Segala pertanyaan-pertanyaan yang tadi ada di benak, tidak membutuhkan jawaban lagi dan aku tidak perlu memikirkan apa jawabannya.


Ada banyak cerita tentang CPNS tahun ini (dan mungkin di tahun sebelumnya juga). Sebagian (aku katakan SEBAGIAN lho yaa enggak semua) merasa "dicurangi" terutama ketika kampus yang mewawancarai dan menilai microteaching "membuat SETTINGAN" agar dosen tetap non PNS, dosen kontrak atau pun dosen luar biasa di kampus tersebut diluluskan. Microteaching dan wawancara memiliki total Bobot 40% dari SKB. Nilai ini tentu sangat signifikan mempengaruhi hasil akhir. Jika ada yang yang memang disengaja untuk diluluskan, maka diberikan nilai sempurna, sementara saingannya nilainya dijatuhkan sejatuh-jatuhnya. Aku mendengar sendiri kesaksian langsung dari peserta dari beberapa universitas (kebetulan tergabung di suatu grup WA) yang nilainya di SKD maupun CBT itu tinggi (dan kebanyakan paling tinggi), tapi sengaja diberikan nilai dibawah passing grade ketika di wawancara dan MT (microteaching), sehingga "hak" yang seharusnya ada pada orang yang mememiliki CBT dan SKD yang tinggi itu seolah "dicekal". Makin jelas "settingannya" ketika "orang dalam alias dosen yang memang sudah mengajar di kampus tersebut diberikan nilai sempurna yaitu 90-100. Ada yang sudah memiliki pengalaman mengajar 7 tahun di kampus swasta, sudah memiliki jabatan fungsional di kampusnya, dan juga sudah memiliki sertifikasi dosen; bisa-bisanya wawancara (yang notabene seputar dunia perkampusan, alasan menjadi dosen dll) yang pasti sudah khatam sama dia, plus pengalaman mengajar selama 7 tahun yang pasti udah melakukan teaching ratusan kali, dapat nilai hanya 50-an saja. Jadi, selama ini dia ngajar ga becus gitu? Atau emangnya dia lagi stand up comedy? Enggak kaan yaa. Naaah kaaaan, kelihatan bangeeettt yaak "kecurangan" dan "settingannya" hehehe. 


Tapi, ini bukan berarti semua yang mendapat nilai sempurna sampai 100 itu adalah settingan. Sebagian memang mendapat nilai tersebut karena they deserve to get it. Memang mereka berhak mendapat nilai tersebut. karena kemampuan mereka. Selain itu, penilaian wawancara dan MT ini sifatnya sangat subjektif menurutku karena penilainya manusia, yang dipengaruhi berbagai faktor. Bisa jadi mood pengujinya sedang buruk, bisa jadi lagi kesel, bisa jadi sedang lapar, lagi cape dan jenuh karena harus menguji dari pagi atau ada "titipan" dari atasan. Berbeda dengan CBT (tes yang berbasis komputer) yang menurutku nilainya murni. Tak ada unsur pengaruh manusia.


Dalam penilaian beberapa kampus yang kadang terlihat seolah seperti "settingan" itu adalah kejomplangan yang amat sangat antara satu peserta dengan seperta lainnya. Satu peserta (yang diunggulkan dan diplot untuk diluluskan) mendapat nilai sempurna 90-100. Sementara peserta lainnya mendapat nilai sangat rendah (40-60). Dulu (tahun sebelum-sebelumnya) malah nilai wawancara dan microteaching dikasi cuma 10-20 aja. Apakah memang "sebodoh" itu peserta yang mendapat nilai rendah? Bukankah mereka yang diuji itu adalah orang-orang yang berpendidikan minimal S2 yang notabene sudah sering melakukan presentasi?! 

Di sebagaian kampus lainnya penilaiannya terlihat lebih fair menurutku. Salah satunya di almamater S-1 ku. Penilaiannya menurutku sangat wajar tanpa settingan di mana nilai peserta sebarannya hampir sama yaitu sekitar 70-80 an rata-rata. Dan tidak jomplang yang sangat antara pesertanya. Tidak jomplang banget laaah. Enggak yang satu orang menjulang tinggi sementara yang lain nilainya rendah gitu.

Di formasi yang aku pilih sendiri, memang yang lulus adalah dosen kontrak di kampus tersebut. Meskipun alhamdulillah nilai CBT-ku (dari 4 mata ujian yaitu etika dan tridarma perguruan tinggi, literasi bahasa inggris, penalaran dan pemecahan masalah, dan dimensi psikologi) jika ditotal nilaiku paling tinggi di antara tiga peserta SKB (alhamdulillaah, senang juga saingan sama anak muda di mana emak-emak bisa mengungguli, dan bukan karena emak-emak ini hebat melainkan haadzaa min fadhli Rabbi), tapi wawancara dan microteaching nilaiku rendah dan ini sangat menentukan hasil akhir kelulusan. Yang lulus di formasiku itu (dosen kontrak di kampus tersebut) nilai wawancaranya 100 dan microteachingnya 90. Sementara nilaiku masing-masing 68 dan 66. Hihihi. Jadi lumayan jomplang laah yaaa. Heuheu... Jika nilai MT dan wawancara kami berkisar di nilai yang sama, bisa jadi aku dan dia memiliki nilai akhir yang hampir sama. Karena utk SKD sendiri, nilai kami kalau ditotalkan pun selisihnya hanya 1 poin saja (aku 30 dia 31). Sementara di SKB utk CBT nilaiku lebih unggul 3 poin. Nilai 60% dari 3 poin adalah 2 poin. Tapi, mungkin memang dia memiliki kemampuan sangat hebat dalam wawancara dan microteaching sehingga dapat nilai sempurna. Dan aku mungkin memang ga pinter wawancara dan microteaching sehingga dapat nilai rendah. Hehehe. Rasanya pas microteaching aku sudah menginputkan semua yang diminta dalam microteaching seperti tujuan pembelajaran, penggunaan multimedia, quiz interaktif dan juga resume pembelajaran. Aku juga menggunakan slide berbahasa inggris walaupun dalam penyampaiannya berbahasa Indonesia. Karena kampus yang dituju prodi farmasinya masih baru, dalam pikiranku belum akan memiliki kelas internasional. Jadi tidak masalah presentasi dengan bahasa Indonesia. Tapi mungkin itu tidak memenuhi espektasi penguji. Qadarallaaha ma shaa a fa'al.

Kadang aku jadi penasaran juga, sehebat apa sih wawancaranya sampai dapat nilai 100? Xixixi. Mungkin memang sangat-sangat hebat dan sempurna jawabannya. Disclaimer: Aku sama sekali tidak menuduh di formasiku itu ada "kecurangan" atau "pesanan" untuk meluluskan seseorang lho yaa. Barangkali memang begitu adanya. Hehehehe.... Sudah menjadi rezekinya dia. Khair in shaa Allah. Sangat khair... Sangat baik.

Nilai Akhir yang lulus CPNS di formasi yang aku pilih. CBT 38.72, Wawancara 100, MT 90

Nilai akhirku (CBT 41,65; wawancara 68, Microteaching 66)


Alhamdulillaah 'ala kulli haal. Senang rasanya sudah melewati serangkaian tes CPNS kali ini. Punya pengalaman baru. Punya teman baru juga. Punya insight baru. Apalagi tes di luar negeri yang pesertanya dapat jamuan makan siang dan dapat perlakuan istimewa ma shaa Allah. Kalau di SKD aku dapat burgerking, di SKB (CBT) aku dapat McD yang super jumbo paket lengkap. Enaaak banget deeh tes CPNS di luar negeri khususnya Riyadh hehehehehehe. Dan in shaa Allah tidak menjadi penyesalan kelak, karena aku sudah mencoba di kesempatan terakhir untukku ikut tes CPNS. Jika memang ada "hak-hak" nilai yang dikurangi (cases teman yang mendapat kecurangan di atas), kalau aku prinsipnya apa yang menjadi hak kita, pasti akan kembali kepada kita. Enggak di dunia, pasti di akhirat. Seseorang yang "mendzalimi" orang lain, mencekal nilainya, memberikan nilai yang tidak seharusnya, PASTI harus mengembalikan "hak" orang yang terdzalimi di pengadilan Allah kelak. Sayangnya di sana sudah ga ada mata uang lagi untuk membayar. Bayarnya pakai pahala atau dosa. Seorang hakim/juri/penilai, setengah kakinya di neraka. Apabila ia memberikan nilai dengan seadil-adilnya, maka ia mendapat pahala in shaa Allah. Tapi, jika dia tidak memberikan nilai dengan adil, maka Allah pasti akan mengadili ketidakadilannya itu di akhirat kelak. Jadiii, tak perlu bersedih bagi teman-teman yang sengaja dicurangi. Hak teman-teman akan kembali koq in shaa Allah. Di sisi lain, teman-teman sudah "diselamatkan" dari instansi yang "memfasiitasi" kecurangan tersebut. Meskipun maksudnya adalah "mengapresiasi" jasa dosen kontrak/dostap di suatu perguruan tinggi dengan memplot kelulusan, perbuatan mencurangi nilai orang lain tetap adalah suatu tindakan yang tidak punya integritas. Note: jika memang kecurangan itu terjadi.


Sekian cerita panjang kali ini. Alhamdulillaaah, Alhamdulillaaaah. Aku menuliskan ini pun penuh dengan kelegaan atas ketetapan terbaik yang Allah gariskan untukku dan keluarga.

Kesulitan dan Kemudahan

Desember.
Dingin mulai terasa di kota Riyadh. Suhu berkisar antara 8-9° C di pagi hari. Tapi musim dingin kali ini sebenarnya sudah cukup "hangat" dibanding musim-musim dingin tahun sebelumnya. Dulu, di 2 Desember (kalau tidak salah tahun 2017 atau 2018) suhunya 2° C. Sekarang masih di 8-9 an.
Desember ini adalah Desember yang sangat berkesan bagi kami. Tentang kesulitan dan kemudahan. Di Desember ini adalah bulan pengeluaran yang bertubi-tubi. Hehe. Mulai dari renewal sewa rumah, bayar pajak dependent fee hingga uang sekolah (tuition fee) anak-anak. Tapi yang paling menjadi highlight itu adalah tentang perpanjangan resident permit/iqoma.
Pada tahun-tahun sebelumnya, renewal untuk resident permit sudah bisa dilakukan sebulan sebelum expire date. Tapi, tahun ini ada kesulitan di mana agency suami di hold sama pemerintah. Alasannya adalah agency tersebut statusnya merah. Jadi, di sini agency atau suatu perusahaan akan diberikan nilai green, yellow dan red. Red jika citizen yang nasionality nya adalah negara ini (KSA) alias penduduk lokal lebih sedikit yang menjadi karyawan di perusahaan tersebut dibanding expatriate. Yellow untuk citizen dan expatriate yang sebanding. Dan green untuk citizen yang lebih banyak dari pada expatriate yang tercatat sebagai karyawan perusahaan tersebut. Kebetulan agency suami statusnya kemarin itu red jadi untuk resident permit renewal akhirnya di-hold.

Ini cukup membuat kami resah. Karena hingga iqoma/resident permit kami melewati tanggal expire, belum ada tanda-tanda renewal. Bahkan belum disarankan untuk membayar dependent fee (yang jumlahnya juga ga sedikit yaitu sekitar 400 SAR per kepala per bulan dan diakumulasi selama setahun. Dan 1 SAR nya sekitar Rp3,8K). Sementara cuti tahun ini yang tersisa 2 minggu rasanya sayang sekali untuk dilewatkan jika hanya di Riyadh saja. Sebab kami agak sedikit khawatir melakukan vacation di kondisi resident permit yang sudah expire. Selain itu, kami sudah plan sejak 2 bulan yang lalu akan vacation ke Haramain in shaa Allah.

Hanya kepada Allah segala urusan ini kami serahkan. Ma shaa Allah tabaarakallaaah. Sungguh Allah MAHA BAIK. Jika DIA berkehendak memudahkan, maka tak ada satu pun yang sulit. Dan sungguh, Dia-lah yang telah memudahkan untuk kami segala kesulitan-kesulitan ini.

Setelah kesulitan-kesulitan itu, lalu datang bertubi-tubi kemudahan. Ma shaa Allah. Alhamdulillaah binni'matiHi tatimmushalihaat. Ibarat kesulitan itu hanya 1 lalu Allah datangkan 10 kemudahan. Sungguh beserta kesulitan itu ada kemudahan. Sungguh...

Kemarin tanggal 15 Desember, alhamdulillaah kami dapat notifikasi dari Ministry of Interior bahwasannya resident permit/iqoma kami sudah diperbarui. Alhamdulillaaaah tsumma alhamdulillaah. Ini adalah satu dari sekiaaaaaaan banyaak kemudahan yang Allah berikan. Allahu akbar.

Pelajaran berharga:
Sungguh tentang apapun itu, senantiasalah minta pertolongan kepada-Nya. Meski hal yang kita pandang kecil. Jangan pernah merasa bahwa capaian-capaian yang kita peroleh adalah oleh sebab kemampuan diri kita. Sungguh, itu semua adalah pertolongan... sekali lagi pertolongan dari Allah. Dulu para sahabat dan tabi'in, hanya untuk perkara yang remeh seperti tali sendal yang putus, mereka meminta pertolongan kepada Allah, mengangkat tangannya dan berdo'a. Lalu, kita? Yang tiada seujung kuku pun dibanding generasi hebat tersebut, beranikah menyandarkan pada kemampuan diri yang amat sangat lemah dan tiada berdaya ini?!

Salah satu do'a yang diajarkan Rasulullaah pada dzikir pagi dan petang (semoga Allah mudahkan aku mengamalkannya dan diselamatkan dari kelalaian yang persistent):


يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، أَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ

Ya hayyu yaa qoyyumu birohmatika astaghiitsu, ashlih lii sya'nii kullahu walaa takilnii ilaa nafsii thorfata 'ain.

Artinya : “Wahai Tuhan Yang Maha Hidup, wahai Tuhan Yang Maha Tegak, dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan-Mu, perbaikilah segala urusanku dan jangan Engkau limpahkan aku kepada diriku walau sekejap mata.” (1)


Catatan Kaki
(1) HR. An-Nasa’i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no.575, al-Hakim dalam Mustadrak(1/545), dan dishahihkan oleh Al-Albani, lihat Shahih At-Targhib wa Tarhib no.661

Kandungannya :
(Wahai Tuhan Yang Maha Hidup), yaitu Allah kehidupannya azali dan abadi, berbeda dengan makhluk yang kehidupannya diawali dengan ketiadaan, atau sebagian makhluk (seperti penghuni surga dan neraka) mereka hidup kekal abadi akan tetapi keabadian mereka tidak dengan sendirinya melainkan karena diabadikan oleh Allah dengan kekuasaanNya.
(wahai Tuhan Yang Maha Tegak) yaitu Allah Maha Tegak berdiri sendiri dan tidak membutuhkan sama sekali kepada makhluknya, dan sekaligus Allah menegakkan yang lainnya. Yaitu makhluk hanya bisa tegak berdiri apabila ditegakkan oleh Allah, dan mereka tidak bisa berdiri sendiri.
Dua nama ini Al-Hayyu al-Qoyyuum merupakan ismullah al-a’dzom (nama Allah yang termulia). Karena nama Al-Hayyu mencakup seluruh sifat-sifat sempurna Allah, karena seluruh sifat-sifat sempurna Allah merupakan konsekuensi dari sifat Maha Hidup.  Tidak ada kelemahan pada suatu dzat kecuali karena lemahnya dan tidak sempurnanya sifat hayat (hidup)nya. Adapun Al-Qoyyum maka ini mengandung kesempurnaan sifat Maha Kaya Allah, Maha tidak perlunya Allah kepada yang lain, dan menunjukan Maha Kuasa nya Allah, karena tidak ada makhluk yang bisa berdiri kecuali jika ditegakkan/diberdirikan oleh Allah (Lihat Badaai’ul Fawaaid 2/184)
(dengan rahmat-Mu) yang meliputi segala sesuatu (aku minta pertolongan-Mu)
(perbaikilah segala urusanku) yaitu umum mencakup urusan dunia maupun akhirat. (jangan Engkau limpahkan aku kepada diriku walau sekejap mata) karena (1) diriku lemah tidak mampu untuk memenuhi kebutuhanku, (2) bahkan jiwaku terkadang menjadi musuh terbesar dibandingkan musuh-musuhku yang lain, dan (3) diriku tidak mengetahui apa yang baik bagiku dan apa yang buruk. Bisa jadi aku menerjang suatu perkara yang aku sangka baik ternyata justru mendatangkan kemudorotan. (Mirqootul Mafaatiih 4/1697)
(Dikutip dari applikasi Bekal Islam, Dzikir Pagi dan Petang UFA)

Dua Sisi

Kamis lalu aku diajak teman untuk kumpul emak-emak plus anak-anak playdate di rumah salah satu teman kami. Aku senang banget dengan undangan tersebut karena anak-anak bisa ketemu teman-temannya. Karena masih sekolah online, anak-anak butuh ketemu teman-temannya secara langsung dan emak juga bisa me time ngobrol bareng, ngeteh bareng, makan camilan bareng. Alhamdulillaah. 

Dulu waktu masih umur sekitar 4 tahunan, kakak agak sulit adaptasi dengan lingkungan baru. Dengan teman-teman baru. Lamaaa banget pemanasannya biar bisa akrab dan gabung sama temannya ikut main. Pas udah mulai blend dengan temannya, eehh udah waktunya pulang. Aku rada khawatir dulunya. Disarankan sama teman yang psikolog untuk menyekolahkan kakak agar dia "kecebur" di lingkungan yang bukan hanya kekuarga inti. Di usia 4 tahun 11 bulan kakak masuk sekolah dan alhamdulillah sekarang kakak tidak khawatir lagi dengan lingkungan baru. Begitu ketemu temannya, emaknya udah ditinggal begitu aja, asyik main sama temannya.

Rumah teman kami itu adalah salah satu compound/semacam komplek perumahan yang luxury dilengkapi berbagai fasilitas seperti playground, lapangan olahraga, kolam renang, sistem security yang sangat ketat dan banyak fasilitas lainnya. Masuk ke compound itu kita harus meninggalkan/mencatatkan ID kita (semacam KTP) dan harus ada resident di compound teesebut yang invite atau yang kita tuju. Jadi kita ga bisa sembarangan masuk ke compound. Sistem pengamanannya sangat ketat ma shaa Allah.
Sewa rumah setahun di compound bisa buat beli rumah di Indonesia. Kebayang kaan mahaalnya. Harga sewa rumah di sana berkisar antara 285jt- 500jt rupiah setahun. Kaan kayak beli rumah di Indonesia kaan. Itu sewa padahal. Belum lagi tuition fee sekolah anak-anak (umumnya mereka sekolah di British Int. School) yang setahunnya per anak bisa lebih dari 300jt. Kalau anak 3, berarti setahun yang dihabiskan hanya untuk 2 jenis kebutuhan yaitu sewa rumah dan sekolah (belum include biaya hidup, biaya makan, biaya shopping, biaya vacation, biaya asuransi kesehatan, dsb) ditotal adalah sekitar 1,2 M. Ma shaa Allah. Rasanya aku belum pernah lihat uang sebanyak itu secara langsung hehehe 😂.

Di sisi lain, saat aku berada di compound yang sama, bertemu dengan ibu-ibu Indonesia yang bekerja sebagai asisten rumah tangga yang sedang momong anak majikannya. Sempat bercerita sambil menemani anak-anak di playground tentang bagaimana kehidupan mereka, apakah dapat majikan yang baik atau enggak dan sebagainya.

Ah itulah kehidupan. Yang sejatinya adalah sebagai ujian. Diberi harta kekayaan; adalah ujian apakah kita termasuk hamba-Nya yang bersyukur. Diberi kekurangan harta; juga adalah ujian apakah bisa bersabar. Banyaknya harta, bukanlah maksud Allah untuk memuliakan. Karena mulia itu standar penilaiannya bukan harta melainkan taqwa. Bisa jadi, ibu-ibu yang bekerja sehari-hari momong anak majikan, jauh lebih panjang sujudnya di sepertiga malam, jauh lebih tinggi tawakkalnya kepada Allah dari pada kita yang--alhamdulillaah--Allah berikan banyak kemudahan dalam hidup dan kelapangan dalam harta. Bisa jadi pula, teman yang diberikan kelebihan harta oleh Allah tersebut, ternyata sedekahnya tersebar di mana-mana. Sudahlah diberi harta, taqwanya pun luar biasa. Iya, karena sejatinya semua adalah ujian saja.

Ujian di atas bumi yang masanya hanya sebentar ini. Apalah artinya 60-70 tahun dibanding 50.000 tahun di Masyar apalagi dibanding unlimited time di surga atau neraka. Kalau perbandingannya tentang waktu, maka kehidupan dunia ini memang tiada apa-apanya, sampai-sampai di akhirat kelak manusia mengira tinggal di muka bumi hanya sesore atau sepagi saja. Tapi, waktu yang singkat ini pula adalah waktu yang amat sangat menentukan, tentang bagaimana nasib di akhirat kelak. Itu yang harus aku ingat selalu. Apalagi, manisntya dunia ini sering banget membuat lena. Astaghfirullaah.

Sangat benar, bahwasannya ketika kita melihat ke atas tentang orang-orang yang diberi kelebihan harta, sangat mungkin dapat menggerus rasa syukur kita atas banyaknya karunia yang Allah berikan. Maka menyoal harta, kita mesti menunduk ke bawah. Melihat banyaknya orang yang tidak seberuntung kita sehingga kita lebih banyak syukurnya. 

#sekelumitkisah
#menasihatidiri
#NtMS

Guru oh Guru

Beberapa pekan ini, anak-anak punya kegiatan baru yaitu belajar berenang. Belajar berenang mengikut dari kegiatan extrakulikuker di al Faris International School. Suami paling bersemangat mengajak anak-anak ikut kelas renang ini yang 'hanya' 2x sepekan yaitu pas week end (jum'at dan sabtu). Sebenernya, ada opsi weekday juga tapi agak susah karena selain anak-anak sekolah, ayahnya juga udah ngantor.
Di kelas renang ini, anak-anak benar-benar diajarkan dari basicnya. Dasar-dasarnya banget. Dari 0. Aku melihat, kelebihan belajar dengan guru professional itu adalah ketika belajar dari hal yang benar-benar prinsip dasar itu sangat besar dibanding hanya berlatih begitu saja, yang hanya sekedar nyemplung-nyemplung kolam aja. Jadi, dengan basic yang kuat dan pemahaman yang benar-benar OK, in shaa Allah ke depan akan melekat di mereka. Berbeda dengan yang hanya belajar begitu saja, tanpa tutor yang profesional, maka hasilny tidak semaksimal ketika ketika tutornya benar-benar mengerti prinsip dasar dan dari mana hendak memulai mengajarkan.

Bukan hanya dalam hal belajar berenang. Tapi dalam banyak hal di kehidupan. Contohnya aku. Aku suka menjahit (meski awalnya karena pengen bikin gamis anak-anak aja). Tapi aku hanya bisa belajar otodidag di yutub dari 0. Bisakah aku? Alhamdulillaah bisa. Tapi tidak sebaik yang benar-benar sekolah menjahit atau sekolah mode gitu.

Orang-orang yang hobi olah raga, misal badminton atau futsal ataupun basket. Mereka hobi dan suka. Enjoy memainkannya. Tapi, tetap saja--meskipun mereka menyukainya hingga high end sekalipun--takkan bisa menjadi atlit tanpa pelatih profesional. Meskipun, tak bisa dinafikan bahwasannya melakukan karena hobi dan belajar otodidag itu juga bukan berarti enggak bisa sama sekali. Tapi enggak bisa kayak atlit profesional. Bisa jadi mereka melakukannya hanya sekedar hobi tanpa mengetahui tekniknya dari basic banget.

Mungkin berlaku juga buat orang yang belajar menyetir. Orang yang bisa menyetir lalu mengajarkannya kepada orang lain, mungkin dalam hal mengajarkan tidak akan sebaik orang yang mengajarkannsecara profesional. Ketika mendengarkan cerita teman yang sekolah menyetir di sini, mereka mengatakan bahwa diajarkan dari hal yang sangat basic yang mana ketika suami² mereka yang mengajarkan, tidak seperti itu. 

Aku juga ingin mengajarkan anak-anak bagaimana menggunakan photoshop, corel, painttool sai dan software desain lainnya tapi kadang aku bingung memulai dari mana untuk mengajarkannya. Karena, aku sendiri kuga belajarnya autodidag. Tidak mengetahui basic-basicnya dan bagaimana cara mengajarkannya.

Aku masih ingat bagaimana aku benar-benar kesulitan mengajarkan si kakak (anak pertama kami) membaca dulunya. Gimana biar kata Ba-du dibacanya Badu. Berulang mengajarkan tapi anaknya ga ngerti-ngerti. Bukan karena aku ga pinter membaca. Bukan karena kakak tidak pinter menangkap pelajaran. Tapi, satu-satunya alasan adalah karena aku yang TIDAK PANDAI MENGAJARKAN. Aku tidak mengerti basic-basic BAGAIMANA CARA mengajarkan membaca. Ketika kakak belajar dengan gurunya di mana ngajarinnya bukan bahasa indonesia melainkan english yang lebih susah dari pada bahasa Indonesia, kakak alhamdulillah termasuk di antara yang tercepat bisa membaca di kelasnya. ((Karena kebetulan memamg kakak sekolah di sekolah internasional yang bahasa pengantarnya adalah english dan juga arabic tanpa ada bahasa indonesia sama sekali di sekolah)). Bahasa indonesia lebih mudah karena hanya membaca yang tertulis. Sementara bahasa inggris berbeda antara yang tertulis dan yang dibaca. Misal kenapa B-U-S dibaca BAS bukan BUS. Kenapa L-I-K-E dibaca LAIK bukan LIK atau LIKI atau LIKE. Itu kan sebenernya lebih complicated dibanding bahasa indonesia. Aku bisa frustate ngajarin kakak reading sedangkan yang bahasa Indonesia aja ga bisa ngajarin. Apalagi english. Tapi, beda dengan para guru di sekolah. Karena gurunya kakak di Sekolah adalah oramg BISA DAN MENGERTI CARA MENGAJARKAN MEMBACA, maka anak-anaknya kemudian bisa membaca. Metode membaca dengan phoenic (yang diajarkan guru kakak di sekolah) kemudian dia impelentasikan ke bahasa Indonesia jadi si kakak bisa belajar bahasa Indonesia sekaligus alhamdulillah ma shaa Allah tabaarakallah.. Jadi, kakak sekarang alhamdulillaah bisa membaca 3 bahasa sekaligus yaitu English, Bahasa Indonesia dan Arrabic. Di kelas kakak juga belajar bahasa Prancis. Tapi masih yang dasaaaarr bangeeett. Belum dituntut untuk bisa baca.

Sampai di sini aku berkesimpulan bahwasannya betapa besar peran seorang guru dalam mengajarkan kita (dalam hal apapun itu!). Guru di sekolah, guru renang, guru menyetir, guru les jahit, coach atlit professional, tentor, dan sebagainya; mereka adalah guru-guru yang telah berbagi ilmu kepada kita dan memiliki jasa yang amat sangat besaaar. Dan sungguh jasa guru itu tak ternilai. Beruntungnya --meski tidak semua guru sejahtera secara ekonomi--mereka memiliki banyak tabungan akhirat. Ilmu-ilmu bermanfaat yang mereka ajarkan (dengan ikhlas) akan menjadi investasintak ternilai di hari di mana manusia sangat butuh dengan segenap kebaikan yang dia kerjakan di dunia. Agar selamat. Agar timbangan di yaumil mizan tidak bergeser ke kiri. 

⚫⚪⚫⚪⚫⚪⚫⚪

Sungguh, dalam urusan dunia saja, kita butuh belajar. Kita butuh guru. Lalu bagaimana dengan urusan akhirat yang menjadi bekal panjang kita? Kita takkan pernah bisa mengerti (apalagi mengerjakan amalnya) kalau kita tidak berilmu dan tidak pula mau mengikuti majlis ilmu. Kita tidak akan pernah bisa baca al Qur'an dengan baik dan benar jika kita tidak belajar dari seorang guru. Semoga kita tetap bersemangat mencari ilmu untuk keselamatan kita terutama di akhirat sana dan juga di dunia 💕💕❤.

Buku DiPiro

Sebulan yang lalu, di agenda kami ke toko buku Jarir (semacam "gramed" nya Indo), aku melihat buku pharmacotherapy handbook edisi 10 mejeng dengan manisnya plus diskon nya. Karena yang terbaru adalah edisi 11. Jadi, yang edisi 10 nya dapat diskon sekitar 67% yak. Diskon dari 275 SAR ke 89 SAR. Kalau dirupiahkan sekitar 1jt an ke 330rb an.

Melihat ini, mata emak² modis (a.k.a modal diskon wkwkwk) langsung berbinar-binar. Ekekekeke... Tapi, enggak beli sih kala itu.

Aku punya "kenangan" dengan buku Pharmacotheraphy handbook ini. Buku ini adalah buku rujukan ketika kami kuliah plus ketika bolak balik Depok ke RSCM. Salah satu teman kami menyebutnya buku DiPiro. Akhirnya, teman seangkatan kami lebih familiar dengan nama buku DiPiro dibanding judul buku aslinya (pharmacotherapy handbook). 

Nah, ketika di Riyadh, aku melihat buku Dipiro mejeng cantik. Jadi mbatin, "Oo.. ternyata ini bentuk asli buku dipiro itu" ahahahaha... look like ndeso banget deh akunya. Tapi, dulu-dulu memang aku belum tertarik untuk memasukkan buku itu ke keranjang dan membelinya.

Nah, pas lihat diskon itu apakah aku membelinya? Jawabannya enggak! Karena memang aku merasa belum membutuhkan buku itu. Tapi bukunya jadi mengingatkan aku kembali ke masa-masa dulu.

Nah, beberapa hari ini, aku agak membutuhkan referensi di bidang kefarmasian lagi. Akhirnya, aku memutuskan untuk membawa pulang (bayar dulu di kasir tentunya kekeke) buku itu (dan juga buku farmakologi). Tapi, butuh mikir agak panjang sejujurnya sebelum aku memutuskan untuk membelinya. Karena aku ingin mepertanyakan "what the puropose ketika aku beli?", "apakah aku akan membaca keseluruhannya?", dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
○●○●○●○●
Di rumah kami, alhamdulillaah ada perpustakaan mini yang kami sebut sebagai "Our Library". Tempat baca, nulis, menggambar dan juga si Uni sekolah online. Sedangkan kakak, sekolah online di meja kerja Ayah di ruang lain karena Ayah sudah WFO lagi. Ya, meskipun case di Saudi sudah turun (dibawah 50 cases sehari) alhamdulillah ma shaa Allah tabarakallah dan vaksinasi sudah tinggi (lebih dari 60%) tapi pemerintah masih belum mengijinkan anak-anak yang dibawah 12 tahun yang belum vaksin untuk sekolah tatap muka. Jadi, anak-anak masih sekolah onlen. Dan di library adalah tempat sekolah uni. Sebenernya ruang library ini adalah 1 ruangan keluarga. Namun, aku partisi dengan rak buku anak² jadi setengah untuk library dan setengahnya lagi untuk ruang keluarga plus tempat makan lesehan bareng. Salah satu pojoknya adalah tempat bunda berkreasi (aka menjahit). Eh, jadi cerita panjang lebar kemana-mana lagi ehehe. Ah, back to topik lagi deh.

Kadang menatap buku-buku di rak itu membuat aku evaluasi diri. Sudah % berapakah buku-buku ini aku baca? Berapa persentase baca buku dibanding melihat HP? Sungguh, saat ini membaca terkalahkan dengan henpon pinter. Tetap baca sih. Tapi malah baca status atau baca timeline sosmed. Akhirnya, buku-buku jadi malah terabaikan. Astaghfirullaah. Padahal buku-buku ini akan menjadi hisab kelak di yaumil akhir. Untuk apa dibeli? Dari mana dibeli? Dan seterusnya. Lalu, apa jawabanku? 🤧🤧😰😰

Semoga ini menjadi reminder buatku terutama untuk kembali baca buku dan dapat mempertanggungjawabkan buku-buku yang aku beli dengan menuntaskan membacanya. Semoga Allah memudahkan. Aamiin yaa Rabb.

Manusia dan "Kabad"nya (another story)

{لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي كَبَدٍ} 
4:البلد 

Sungguh Allah telah menciptakan manusia dengan kesusahannya. Apa pun yang ditempuh, kebaikan maupun keburukan, perkara dunia maupun akhirat, semua memiliki "kabad" nya masing-masing.

Seperti yang aku ceritakan sebelumnya (di tulisan yang berjudul sama hehe), bahwasannya sering kali kita melihat posisi orang lain itu kayaknya "koq enak banget dia yaa...". Padahal, orang lain tersebut memiliki "kabad"nya tersendiri dan bisa jadi jika kita di posisi tersebut belumlah tentu kita bisa memikulnya. Yang tampak ke permukaan biasanya hanyalah yang manis-manisnya saja.


Ini adalah kelanjutan dari kisah cpns luar negeri yang aku post beberapa waktu lalu. Setelah pengumuman hasil SKD keluar, aku ditakdirkan Allah menjadi salah satu peserta yang lulus ke SKB. Alhamdulillaaah. 
Hasil SKD CPNS 2021


Sejujurnya, aku tidak bisa mendefinisikan perasaanku. Senangkah? Sedihkah? Entahlah. Mungkin lebih tepatnya adalah masih bingung. Hehe.

Sebelas tahun yang lalu, aku yang bersemangat untuk bisa lulus CPNS ternyata ditakdirkan Allah tidak lulus dan amat besar hikmahnya. Justru saat ini, aku bersyukur ketika Allah takdirkan tidak lulus kala itu. Sekarang, ketika aku tidak begitu berharap untuk lulus, lalu Allah takdirkan untuk lanjut ke tahap selanjutnya walaupun ini tentu saja belum final. Pasti. Pasti ada hikmah yang besar pula, mengapa Allah menggerakkan hatiku untuk sampai ke tahap ini.

Sebagai peserta, kemungkinan besar masing-masing akan stalking saingannya. "Siapa sih yang akan bersaing denganku di SKB nanti?". Aku yang memang pada dasarnya memiliki kekepoan dengan kadar yang cukup tinggi 🤣🤣🤣 tentu saja stalking 2 peserta lain yang lulus. Aku berada di peringkat ke-3 dari 3 peserta. Ahahaha. Paling belakang. Dua orang lainnya adalah alumni universitas top di Indonesia. ITB dan UGM. Masih muda muda pula. Punya hasil riset yang udah dipublikasikan. Dan aku? Banyak sih yang dipublikasikan yaitu tulisan-tulisan blog aku ini yang tentu sajaaaa sama sekali gak terindeks scopus dan scimagojr. Wkwkwkwkw. Dan salah satu dari mereka adalah dosen yang memang mengajar di kampus yang aku tuju. Lengkap sudah. Aku yang sudah 8 tahun meninggalkan dunia kampus tentu saja tak berbanding dengan mereka yang memang sudah in-touch dengan dunia perkampusan. Usia kalah. Pengetahuan tentang dunia perdosenan udah kalah. Pengalaman dan praktek mengajar kalah. Publikasi kalah. So, jika dilihat dari berbagai  hal, maka probabilitas aku tentu saja kalah jauh dibanding mereka berdua ini.

Oke secara tak langsung aku menyebutkan apa formasi yang aku pilih di CPNS tahun ini. Hehe. Iyaap. Aku memang memgambil formasi dosen. Kenapa dosen? Ya, karena aku memang senang mengajar. Aku senang, apa yang aku ketahui dari secuil ilmu, bisa di share ke yang lain. Dan aku ingin ilmu itu menjadi ilmu yang bermanfaat. Sebagai mana aku pernah cerita sebelumnya, bahwa menjadi dosen adalah salah satu cita-citaku sejak dulu. Tapi, dulu aku memang pernah menolak kesempatan menjadi dosen (meskipun menjadi cita-citaku) karena lebih memilih ikut suami merantau ke negeri orang. Sebuah keputusan yang tidak pernah aku sesali sama sekali dan aku selalu bersyukur dengan keputusan itu. Dan sekarang case nya, suami 100% support aku untuk mencoba kembali kesempatan dosen ini (dengan format yang berbeda tentunya), di saat aku tak terpikirkan untuk mencoba "bertarung" di bursa CPNS. Sungguh, jika bukan dosen, aku mungkin tidak begitu tertarik untuk ikut tes CPNS.

Tapi, lagi-lagi aku mengikutinya dengan kondisi hati yang sangat netral. No preference. Jika Allah takdirkan lulus, berarti new challange, new journey. Jika tidak, berarti Allah lebih menginginkan aku untuk stay lebih lama di Riyadh in shaa Allah. Dan tentu saja; jangan lupa untuk melibatkan Allah dalam setiap keputusan yang kita ambil, dengan istikharah; memohon kepadanya pilihan yang terbaik. Dicondongkan hati kepada yang terbaik menurut-Nya. Bukan menurut kita, manusia yang sangat dhaif dan lemah.
(((Dan kalau boleh jujur, inilah tanah rantau yang sangat berat untuk kutinggalkan. Sudah seperti kampung kedua. Riyadh; dengan segenap zona nyaman di dalamnya, ma shaa Allah tabarakallaah. Tapi, jika harus kembali ke Indonesia, maka itu pastilah ketetapan terbaik dari Allah.)))

Anak-anak sendiri (mereka bertiga lahir dan dibesarkan di Riyadh) sepertinya sudah menganggap negeri ini sebagai kampung mereka sendiri. Justru Indonesia menjadi negeri yang asing bagi mereka meskipun mereka tercatat sebagai WNI. Culture dan habitnya sudah seperti anak sini. Teman-teman mereka pun anak-anak sini. Jikapun mereka bertemu dengan teman sesama indonesia, mereka tidak bercakap dengan bahasa Indonesia. Alhamdulillaah mereka masih menggunakan bahasa Indonesia di rumah. Sebagian teman-temab lain malah anak-anak mereka tidak bisa berbahasa Indonesia. Dan ketika anak-anak tau bahwa bundanya lanjut ke SKB, mereka menunjukkan reaksi penolakan (terutama Kakak yang memang sudah paham konsekuensi ketika bundanya lulus). Mereka berkata dengan terus terang bahwasannya mereka mendo'akan bundanya enggak lulus CPNS. 🥲🥲🥲. Tapi kalo bundanya, berdo'a yang terbaik saja. Tidak berdo'a untuk diluluskan atau diperpanjang oleh Allah masa stay di Riyadh. Tapi berdo'a semoga Allah memberikan yang terbaik untuk dunia dan terutama akhirat.


Kembali ke judul tulisan; sesungguhnya manusia diciptakan dengan kepayahan. Bahwasannya, jalan  apapun yang kita tempuh, pasti ada kabad nya. Pasti ada kepayahannya. Jika memang setiap pilihan memiliki kepayahan, maka seyogyanya setiap jalan yang telah Allah pilihkan itu pastilah yang terbaik yang sama kadarnya; sama-sama memiliki kesusahan dan kemudahan. Tugas kita hanyalah berupaya untuk melakukan yang terbaik. Ya, terbaik yang bisa kita lakukan.


Sungguh jika kita mendapat kelebihan dari sesuatu di dunia ini, yang kita dapatkan hanyalah setetes saja. Pun, jika kehilangan sesuatu dari perkara dunia, yang luput pun hanyalah setetes saja. Bukankah dunia ini di banding akhirat hanyalah setetes air berbanding luasnya samudra? Apapun itu, selamat di akhiratlah yang lebih utama. Kelak, ketika kita telah selesai masa di dunia yang singkat ini, kita akan mengetahui dengan jelas bahwasannya 2 rakaat shalat sunnah fajar itu jauh lebih utama dari pada dunia dan seisinya. Dan kelulusan CPNS itu hanyalah secuil kecil dari bagian perkara dunia yang memang pada dasarnya sudah sangat kecil juga.

Wahai Diriku yang Menuliskan Ini

JANGAN TERBUANG SIA-SIA

Sadarilah bahwa masa hidup kita sungguh terbatas. Nafas kita hanya sesaat. 

Setiap tarikan dan hembusan nafas tak lebih dari sebuah pertanda bahwa usia kita di dunia telah berkurang.

Sungguh sangat singkat usia duniawi kita ini. 

Karenanya, setiap saat yang ditinggalkan bahkan setiap bagian terkecilnya adalah permata yang tak ternilai dan tiada bandingnya. 

Karenanya jangan sia-siakan permata umurmu tanpa melakukan suatu amalan.

Jangan engkau biarkan ia pergi tanpa mendapatkan balasan yang setimpal.

Bersungguh-sungguhlah agar setiap tarikan nafasmu tak pernah kosong dari kesolehan dan taqarrub padaNya. 

Sebab jika engkau kehilangan sebutir permata duniamu, betapa sedihnya hatimu diakhirat nanti dihadapan Allah nanti…

Bagaimana jika yang hilang adalah permata akhiratmu? 

Bagaimana mungkin engkau bisa menyiakan dan membuang detik-detikmu begitu saja? 

Bagaimana mungkin engkau ‘tenang-tenang’ saja, padahal semakin banyak jejak-jejak usiamu di dunia ini yang terhapus?

Janganlah tertipu dengan banyaknya Amal ibadah yang telah di lakukan, karena sesungguhnya kita tidak mengetahui apakah ALLAH ﷻ menerima amalan itu atau tidak.

islamituindah
#oasefajar

=======
(Cuplikan tulisan di atas di share dan sampai kepadaku dalam kondisi anonim. Jadi, untuk penulisnya, aku mohon maaf sudah mempublish nya di blog ini tanpa menyertakan narasumbernya. Semoga penulis berkenan dan menjadi ilmu yang bermanfaat, tausyiah yang menggugah, menjadi penambah timbangan amal kebaikan di akhirat kelak. Aamiin)

Tausyiahnya bagiku sangat-sangat "menampar" dan mengingatkan. Makanya ingin sekali aku share kembali.

Ya, tentang waktu. Waktu yang kita miliki di dunia--sebagai tempat ujian--ini adalah sebentar saja. Dulu, ketika tes SPMB (SBMPTN mungkin yaa namanya sekarang), waktu yang diberikan dengan sekian banyak soal sangatlah singkat. Dapatkah kita bermain-main ketika melakukan ujian SPMB? Membuang-buangnya dengan main-main, tidur, bermenung, bengong? Ah tidak! Pasti tidak. Kita fokus mempersiapkannya. Bahkan juga strategi-strateginya bagaimana cara menjawab soalnya agar waktu tidak terbuang sia-sia. Biar apa? Biar bisa lulus SPMB.

Dunia ini ... ibarat tempat ujian SPMB di atas, hanyalah tempat ujian yang sebentar. Tidak menetap lama. Tidak selamanya. Tidak abadi. Ujian selesai, berakhirlah masanya. Tidak mungkin kita akan terus menerus berada di ruang ujian sampai tinggal menetap di sana. Pasti kita meninggalkan ruangan tersebut begitu ujian selesai. Semestinya, yang ada di pikiran kita sebagai pesertanya adalah bagaimana kita lulus setelahnya. Tapi, begitulah. Amat sering kita (diriku terutama) terlalaikan dengan dunia ini. Lena dengan waktu. Kurang mempersiapkan "kelulusan" di akhirat kelak. Padahal, tidak lulus SPMB in shaa Allah masih ada opsi mengulang di tahun berikutnya. Tapi, tidak lulus ujian di dunia menuju "kelulusan" di akhirat? Apakah kita dapat mengulangnya atau kembali lagi ke dunia? Tentu tidak!!! Tetapi, kenapa masih saja lengah? Kenapa masih saja lupa? Kenapa masih saja lalai?
Wahai diriku yang menulis ini; setiap kesempatan kebaikan yang telah engkau lewatkan padahal engkau bisa melakukannya, setiap waktu yang telah engkau buang sia-sia, PASTI kelak akan engkau sangat sesali! Sekali lagi, Pasti kelak akan sangat engkau SESALKAN! Karena tidak pernah engkau bisa menjemput kesempatan dan waktu yang berlalu tersebut.

Wahai diriku yang menulis ini; mumpung engkau masih berada di atas tanah, maka perbaikilah yang tersisa. Agar tidak bertambah penyesalan tersebut. Sebab, jika engkau telah berada di bawah tanah; maka waktumu telah habis. Time is over. Dan takkan dapat bertambah lagi perbekalanmu, kecuali amal jariyah yang engkau persiapkan sebelum dimasukkan ke dalam tanah. Apakah sudah engkau persiapkan?

Wahai diriku yang menulis ini; hanya di dunia (yang amat sebentar ini) tempatnya beramal. Tempat engkau menanam. Kelak, ketika engkau sudah sampai di akhirat, tak ada lagi tempat menanam. Ia adalah tempat menuai apa yang telah engkau tanam. Surga dan neraka adalah alam di akhirat sana. Tapi, kuncinya ada di dunia. Jika baik amalmu, berat timbangan kebaikanmu, maka engkau akan mendapatkan kebahagiaan. Dan sebaliknya, jika amal burukmulah yang berat (na'udzubillaah, semoga Allah lindungi), maka itulah kerugian yang amat nyata.

Wahai diriku yang menuliskan ini; di dunia ini tidak ada kebahagiaan yang abadi, maupun kesengsaraan yang berketerusan. Kebahagiaan, pasti diwarnai dengan kesusahan dan kesedihan. Kesengsaraan pun, juga diselingin dengan kesenangan dan kemudahan. Tapi, di akhirat kelak, hanya ada 2 pilihan; kenikmatan tertinggi yang tiada kesudahannya atau kesengsaraan terburuk yang tiada akhirnya. Tentang bagaimana endingnya; di dunia inilah tempat mempersiapkannya.

Wahai diriku yang menuliskan ini; tiadalah engkau dapat menempuh jalan yang benar, kecuali dengan pertolongan Allah. Tiadalah engkau dapat menapaki jalan yang lurus, kecuali atas hidayah taufik-Nya. Maka, sandarkan dan senantiasalah meminta pertolongan-Nya saja. Atas setiap detik-detik yang engkau miliki, agar senantiasa berada di koridor yang DIA Ridha saja. Cukup DIA saja.

#menasihati diri
#pengingat
#dunia ini singkat

Pengalaman Ikut Tes CPNS di Luar Negeri

Hehehe.
(Malah ketawa duluan).

Baiklah. Aku share pengalaman ini hanya sebagai kenang-kenangan aja. Jika masih ada umur, ini yg in shaa Allah akan dikenang di tahun-tahun mendatang in shaa Allah. Mudah²an bukan sekedar cerita yang tidak bermanfaat.

Jadi, info-info cpns ini ga begitu heboh di grup-grup WA yang aku ikuti. Apalagi karena berdomisili di luar negeri. Paling, suami yang dapat info dari grup angkatan di SMA.

Nah, pas dapat info itu, suami bilang, "coba ikutan yuk." Aku rada kaget juga, secaraaaa, kamus PNS ga ada dalam pikiran kami sebelumnya. Hehehe. Tapi, karena ini tahun terakhir yang eligible untuk kami ikut cpns maka terbersitlah niatan untuk mencoba ikutan. Aku dan suami meskipun beda tahun kelahiran tapi aslinya kami beda 1 bulan aja hehehe. Beda 1 bulan (desember vs januari), beda 1 angkatan (2004 vs 2005), beda 1 tahun secara angka tahun lahir (1986 vs 1987), beda 1 angka tanggal kelahiran (tanggal 29 vs tanggal 30) 😂. Tapi beda kampusnya jauh banget. Dia di kampus TOP di Indo (ITB) dan aku di Unand di Sumbar jee. Hehehe. Beda hobi hampir 100%. Beda preferensi hemisfer otak juga (dia otak kiri dan aku otak kanan). Lho.. lho.. malah bahas ini.. kekeke.

Jadi, secara umur, ini tahun terakhir kesempatan kami untuk ikut tes cpns. Daan, di tahun ini bisa ikut ujian tes cpns nya di luar negeri. Enggak mesti pulang ke Indo. Meskipun ini tahun terakhir kesempatan ikut cpns, tapi jika harus pulang ke Indonesia untuk ikut tes cpns, maka kami pasti tidak akan mengambil kesempatan terakhir ini tentunya. Jadiii, intinya tes ini cuma nothing to lose aja buat aku dan suami.

11 tahun yang lalu, ketika pertama kali aku eligible untuk ikut test cpns, sangat berbeda dengan tes cpns yang aku ikuti sekarang. Tes di kala itu masih pakai kertas Abo yanh dibulatkan dengan pensil 2B. Tes diselenggarakan oleh BKD setempat bukan terpusat. Daaan tidak transparan sama sekali. Jadi, peluang nepotismenya sangat tinggi. Allahu'alam.

Sebelas tahun yang lalu, aku ikut tes cpns dengan antusias yang cukup tinggi. Karena berharap bisa pulang kampung, mengabdi untuk negeri. Heuheu... Peluang di kampung halaman cukup besar kala itu (ada 3 slot). Selain itu, aku cukup well prepared ketika mengikuti tes tersebut. Beli 2 buku latihan cpns, dan dua-duanya tuntas dibahas. Aku masih menyimpan dokumentasi foto-foto buku latihan cpns yang penuh coretan itu kalo tidak salah. Hehe.

Ketika menjawab soal pun, aku merasa cukup puas ketika selesai ujian. Tapi, qadarallaha ma shaa a fa'al. Allah tidak luluskan aku. Dan alhamdulillaah, itu adalah ketetapan terbaik dari Allah. Jika lulus, ga kebayang harus LDR dengan suami. Hehe.

Di tahun-tahun berikutnya, aku tidak lagi mengambil kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam test sejuta umat yang bernama test cpns ini. Bahkan, di tahun 2013 di mana formasi untuk apoteker paling banyak (4 orang) untuk kabupaten Solok Selatan, aku melewatkannya. Karena masa itu, aku lagi nunggu istiqdam untuk berangkat ke Riyadh.

Nah, di tahun 2021 ini, di mana ini adalah kesempatan terakhir aku dan suami ikut, akhirnya kami mencoba ikutan juga. Meskipun dalam mengumpulkan berkas-berkasnya, aku kadang merasa maju mundur. Beberapa kali membatin, "Apa ga usah aja ya." Heuheu. Karena, aku merasa sekarang berbeda dengan 11 tahun lalu. Baik itu animo, semangat, antusiasme dan orientasinya. Meng-upload berkas pun udah injury time. Di akhir-akhir batas pemberkasan.

Beberapa alasan kenapa aku tidak seantusias 11 tahun yang lalu adalah:
1. Karena formasi yang tersedia untuk pilihan yang aku pilih cuma ada di 2 lokasi. Di antaranya; Kalimantan dan Semarang. Pilihanku adalah Semarang. Karena di Semarang, lebih dekat ke kampung halaman dibanding di Kalimantan.
2. Karena mungkin sekarang itu aku berada di zona nyaman. Rasanya udah nyaman di posisi di rumah aja. Jadi full IRT. Rasanya, agak susah untuk move on untuk saat ini hehe.
3. Aku masih berharap bisa stay lebih lama di KSA karena lebih dekat dengan masjidil Haram dan Masjid Nabawi dibanding dari Indonesia.
4. Jika pun pada akhirnya mau ga mau harus final exit dari KSA, aku masih pengen "berpetualang" di negara lain dulu baru pulang ke Indonesia.

Dan 3 alasan mengapa aku ikut adalah:
1. Ini kesempatan terakhir secara usia dimana tes cpns maximum usia 35. Sedangkan aku sekarang di usia 34.
2. Tes bisa diselenggarakan di luar negeri dan KBRI Riyadh adalah salah satu titik lokasi yang available.
3. Biar ga ada "penyesalan" di kemudian hari dan setidaknya sudah mencoba. Perkara lulus atau enggak, itu adalah urusan Allah.

Jadi, aku tes CPNS kali ini dengan kondisi hati yang sangat netral. Jika Allah takdirkan lulus, alhamdulillaah. Jika Allah tidak takdirkan lulus, juga Alhamdulillaah.

Pas pengumuman kelulusan seleksi administrasi alhamdulillah lulus. Aku awalnya ragu karena ada syarat sertifikat profesi untuk peserta yang profesi (dokter, apoteker, ners, akuntan dll). Aku tidak mengerti maksud sertifikat profesi itu apa. Karena di Farmasi sendiri, juga ada sertifikat kompetensi apoteker di mana serkom itu udah expire sejak 6 tahun yang lalu 😂😂. Jika harus mengurusnya, gak mungkin dalam waktu 3 hari karena harus ikut ujian OSCE atau OSPE dulu. Untuk ikut ujian OSCE, harus terdaftar dulu di IAI (ikatan apoteker indonesia) cabang tempat kita domisili. Daan, aku ga terdaftar di IAI daerah mana pun karena domisili luar negeri. Jadi, kalo yang dimaksud sertifikat profesi itu adalah sertifikat kompetensi profesi, maka wassalam. Aku end up. Hehe. Tapi, akhirnya aku search lagi bahkan menurut undang-undangnya gimana. Apa maksudnya.
merujuk ke permenristekdikti nomor 69 tahun 2018 ini maka pengertian sertifikat profesi adalah sebagai berikut:
jadi sertifikat/ijazah profesi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi gitu. Naah, berarti itu artinya ijazah profesi kan. Akhirnya berkas yang aku aplod di opsi sertifikat profesi adalah ijazah apoteker. Dan alhamdulillah ternyata ketika seleksi administrasi, berkasnya lulus.

Berikutnya adalah tes SKD. Sistem yang sekarang kan sudah pakai sistem CAT kan yaa. Jadi sangat transparant. Really appreciate dengan sistem CAT yang sangat transparant dari BKN ini. Ma shaa Allah. Bahkan livescore pun dapat dilihat.

Hampir seluruh instansi telah melaksanakan SKD tapi untuk tilok luar negeri masih belum ada pengumumannya. Sehingga hampir saja aku lupa kalau aku udah daftar ikut Cpns. Xixixi. 😅
Alih-alih belajar dan persiapan, aku malah santai aja. Enggak kepikiran 

Akhirnya keluar pengumuman tentang pelaksanaan tes cpns tilok luar negeri. Aku mendapat jadwal tanggal 27 oktober 2021 di KBRI Riyadh. Qadarullaah, suami juga mendapatkan jadwal yang sama. Sama-sama tanggal 27 oktober. Ketika jadwal keluar, aku galau lagi. Jarak ke KBRI dari rumah itu sekitar 31 km. Pagi-pagi sampai jam 9 itu jam macet. Jadi setidaknya kami harus meninggalkan anak-anak selama 5 jam. Kami belum pernah meninggalkan anak-anak selama itu hanya bertiga saja. Beraaat banget rasanya. Maju mundur rasanya apakah aku lanjut atau enggak tes cpns nya. Karena ga tega meninggalkan anak selama itu.

Aku mencoba menghubungi seorang yang bisa dipanggil untuk bekerja paruh waktu sekaligus jagain anak-anak, tapi ternyata di hari itu dia sudah booked di rumah orang lain. Nitip ke tetangga (sesama indonesia dengan jarak 2-3 km an dari rumah)? Aku ga enak juga nitipin anak karena pasti akan memberatkan mereka. Kalo tetangga persis di bawah gedungku? Lebih ga bisa lagi karena aku ga begitu kenal fan beda negara juga. Makanya aku bingung apakah aku akan lanjut atau tidak cpns nya. Tapi suami meyakinkan kalau anak-anak sudah bisa ditinggal dan mereka sudah cukup besar. Sekaligus juga latihan kemandirian buat mereka.

Akhirnya, aku memutuskan untuk lanjut. Tapi, 2 hari sebelum tes aku coba try out. Ternyata nilaiku rendah banget. 🤣🤣
TWK cuma dapat nilai 45. TIU 76 an. Dan TKP juga cuma 45. Ahahaha. Kalo nilai segini sudah pasti ga lulus kaaan. Try out berikutnya H-1 bareng sama suami. Aku tes simulasi dari cat.bkn.go.id (langsung dari situs BKN nya 😅). Walhasil nilai TWK malah turun jadi 40 🤣🤣 nilai TIU dan TKP aku lupa. Jumlah totalnya cuma 283. Sementara passing grade adalah 311. Ga lulus kaan. Try out selanjutnya pas sorenya, TWK naik jadi 60. Hahaha. Bener-bener udah lupa ama pelajaran sejarah akunya. Namanya juga ga belajar kan yaa. Subhanallaah. Sementara suami, 2x try out nilainya selalu di atas ambang batas. Padahal kami sama-sama ga belajar dan sama-sama ga persiapan untuk ikut tes CPNS ini.

Malam sebelum tes, aku bilang sama suami; bahwa aku merasa pengen mundur aja tes besok. Karena 3x TO, aku ga pernah lulus. Rasanya terlalu mahal harga yang harus dibayarkan yaitu meninggalkan anak-anak bertiga aja tapi ternyata pada akhirnya enggak lulus juga. Mending ga usah ikut sekalian. Tapi suami meyakinkan bahwa khair in shaa Allah. Bismillaah aja akhirnya. Di sisi lain, I wish we have different schedule. Tapi, kami tidak tau siapa peserta lain karena yang dari bidang yang aku pilih, cuma aku satu-satunya di KBRI Riyadh dan suami juga demikian. Sampai kita nyeletuk, "jangan-jangan cuma kita berdua doang nih yang okutan tes cpns besok." 😂😂
Pas sampai di KBRI, ternyata benar sodara-sodara. Cuma kami berdua aja yang ikut tes di sesi itu. Di KBRI Riyadh, ada 10 peserta yang ikut. Dibagi 3 hari. Tanggal 26-28 oktober. Satu sesinya 2 orang. Dan qadarullaah jadwal kami sama. Padahal ada peluang di hari berbeda atau jam berbeda kan yaa. 

Aku acungkan jempol yang banyak untuk panitia di Riyadh yang sangat baik, ramah dan well managed. Kalo di Indo ikut tes, ga akan dijamu sedemikian rupa kayaknya. Di KBRI kami dijamu oleh panitia ma shaa Allah. Disediakan ruang tunggu yang nyaman pula. Kami berdua, panitianya sekitar 7 orang 😂. Banyakan panitianya. Panitianya baik dan ramah. Bahkan setelah selesai ujian pun, kami disediakan lunch juga berupa Burger King 2 porsi besar. Ma shaa Allah tabarakallaah. Barakallahu fiihum untuk tim dari KBRI Riyadh. Kalau tes di Indo mana ada disediakan lunch kan yaa. Hehehe. 

Tapi, yang namanya emak² yang ninggalin anak, tetap aja pikiranku itu bercabang-cabang. Ga bisa 100% fokus ngerjain ujian kecuali untuk soal TIU. Xixixi.. Waktunya 100 menit. Jumlah soal 110. Ketika mengerjakan soal-soal TKP (bagian pertama yang aku kerjakan terlebih dahulu) aku agak kurang fokus. Soalnya juga agak panjang. Tapi ketika soal TIU yang butuh konsentrasi, aku lumayan bisa fokus. Selain itu, aku juga diburu waktu karena aku mengerjakan TIU terakhir kali. Kedua adalah TWK. Ketika mengerjakan TIU itu waktu tersisa adalah 40 an menit. Padahal soalnya 35 dan hitung-hitungan serta logika pulak.

Finally ujian berakhir alhamdulillaah. Nilai yang aku peroleh itu alhamdulillaah lulus passing grade yaitu dengan total 416 (85 TWK, 140 TIU, 191 TKP). Nilai ini tidak termasuk tinggi sebenernya. Mungkin standar lah yaa. Sekitar 75% yang benar. Tapi, nilai ini membahagiakan bagiku yang tes nyaris tanpa persiapan dan try out yang selalu gagal di H-1 hehehe. Alhamdulillaah. Ini adalah pertolongan Allah. Hadza min fadhli Rabbi. Bukan karena aku hebat apalagi merasa mampu. Sungguh kalau bukan karena pertolongan Allah, aku takkan bisa.

Apakah aku lulus ke tahap selanjutnya yaitu SKB? Allahu'alam. Meskipun lulus SKD tapi kalau diurutkan secara nilai, hanya 3x quota yang akan dipilih untuk maju ke test berikutnya (SKB). Pilihan yang aku pilih itu quotanya hanya 2 orang. Jadi, yang berhak ikut SKB tentu hanya 6 orang. Jika ada 10 orang aja selain aku yang memilih opsi yang sama dan mereka semua di atas 416, sudah barang tentu aku ga maju ke seleksi SKB. 

Sekarang tergantung takdir Allah saja bagaimananya. Allah yang Maha Tahu apa yang terbaik buat diriku dan keluarga. Jadi, aku pasrahkan pada-Nya saja. Jika lanjut, alhamdulillaah. Jika tidak lanjut juga Alhamdulillaah. Allah lah sebaik-baik perencana. Segela ketetapan-Nya, adalah yang terbaik.

Demikian sekelumit ceritaku tentang cpns. Hanya sharing aja sebagai kenang-kenangan. Semoga Allah berkahi setiap langkah kita. Aamiin ya Rabb.


WFO dan Dilema yang Menyertainya

Tiba² tadi sore suami ditelpon oleh menejer di kantor untuk start WFO (work from office) alias kerja yang kayak normal seperti sebelum pandemi alias ngantor mulai besok pagi (in shaa Allah). Mungkin pekerja dari sektor lain sudah lama mulai WFO bahkan sejak lockdown sudah dibuka dulu. Tapi untuk kerjaan suami yang masih bisa remote, terhitung sejak maret 2020 hingga hari ini 17 Oktober 2021 masih WFH. Kecuali jika harus ke site/server.

Per 17 oktober ini, seiring case di Saudi yang sudah menurun (sekitar 40 an cases per hari) dan meningkatnya persentase vaksinasi, maka Social distancing sudah tidak wajib lagi. Selain itu di luar atau udara terbuka sudah tidak wajib pakai masker lagi. Karena kelonggaran ini, maka dari kantor pun sudah mulai WFO.

Di satu sisi, di masjid al Haram itu adalah berita baik karena shalat sudah bisa full capacity. Tapi, kalau untuk urusan kerjaan, kayaknya enakan WFH deh. Hehehe... 
Lebih dari 1.5 tahun WFH, rasanya sudah nyaman dengan kondisi ini. Sudah terbiasa dengan kerja dari rumah. Lalu, tiba² diharuskan ngantor lagi, bukan hanya suami yang kagok dan merasa tidak siap. Aku pun juga. Rasanya tidak ready untuk kembali WFO apalagi mendadak kayak gini. Rasanya agak deg-degan dan juga ... galau. Allahu musta'an.

Dengan WFO berarti totally berubah juga daily-activity sekeluarga. Harus pagi-pagi remvong nyiapin bekal, nyiapin segala sesuatu buat ngantor yang selama ini nyantai pas WFH. Ga harus buru² nyetrika karena cuma WFH. Hehehe. Ga perlu remvong² nyiapin bekal juga. Belum lagi anak² yang udah lengket ama ayahnya selama WFH yang kalo nangis pasti nyari ayah. Klo ayah WFO, kan susah mau ke ayah. Heuheu. That's life... Alhamdulillaaah...

🌱🌱🌱🌱🌱🌱
Pelajaran berharga:
WFO mendadak itu ketika kita tidak ready, sudah cukup untuk membuat kita panik, deg-degan dan kagok. Lalu, bagaimana dengan kematian? Ia datang kepada kita dengan tiba-tiba. Tak menunggu ready. Tak menunggu kita siap-siap. Tak menunggu taubat kita dulu. Sejatinya, hendaknya kita senantiasa dalam kondisi bersiap. Tapi, diri ini masih banyak lalainya dan sering lupa bahwasannya waktu pulang itu adalah pasti. Dan waktunya adalah tanpa pengumuman alias tiba-tiba. Semoga Allah berikan kita kesempatan untuk bertaubat sebelum maut dan diberikan hidayah-Nya untuk mempersiapkan perbekalan untuk perjalanan panjang setelah dunia. Aamiin yaa Rabb.

Manusia dan "Kabad"nya

Kemarin habis mendengar cerita dari seorang ummahat yang sedang mengantarkan anaknya sekolah di luar negeri lalu setelah itu melihat (qadarullah sampai ke sini aku browsingnya padahal tadinya ga niat mau searching²) ada teman-teman kuliah dulu yang menjadi dosen di Farmasi UI (ada 3 orang yang aku kenal menjadi dosen di sana). Sebagai orang yang pernah bercita-cita jadi dosen, aku surprise daan mbatin "waaah.. ma shaa Allah yaaa ...". Apalagi kalau semisal dosen kita sendiri bilang "sayang yaah Fathel, akhirnya ga 'mengabdikan' ilmunya (cuma di rumah aja jadi ibu rumah tangga-red)."
Sebagai manusia yang memang sunnatullaahnya memiliki banyak keinginan, ada semacam rasa kepengen juga menjadi seperti teman-teman tersebut. Apalagi misalnya ... pernah punya kesempatan untuk itu namun kemudian memilih untuk melepas kesempatan tersebut.

Bukan. Bukan menyesali keputusan untuk tidak mengambil kesempatan tersebut karena keputusan itu adalah demi kebaikan lain yang ingin dikejar. Dan aku sama sekali tidak pernah menyesal telah memilih untuk peran yang sedang aku jalani saat ini, alhamdulillaaah. Tapi, kadang, ketika melihat ada teman yang berada di posisi tersebut (yang dulu pernah kita inginkan) muncullah rasa-rasa seperti ingin juga. Ya, yang namanya qalbu adalah sesuatu yang memang berbolak-balik dan tidak menetap kan yaah.

Tapi, pada akhirnya setelah itu aku merenungi bahwasannya betapa Maha Baik-nya Allah yang telah memilihkan jalan dan peran terbaik ini untukku. Aku bersyukur dengan catatan takdir-Nya yang sungguh sangat Indah. Dia-lah Dzat yang Maha Sempurna dalam memberi ketetapan. Alhamdulillaah, tsumma alhamdulillaah.

Setiap kita, hanyalah pengembara di dunia ini dan PASTI akan kembali pada kehidupan yang sesungguhnya yaitu akhirat. Tiadalah tujuan kita melainkan kebaikan yang tak berujung di akhirat yaitu surga-Nya. Tak ada orang yang ingin "pulang" ke neraka. Pasti semuanya ingin ke surga. Sekelumit dari dunia ini hanyalah ujian-ujian saja, apakah akan mengantarkan kita pada rumah yang sesungguhnya di surga atau malah sebaliknya--nasalullahu al 'aafiyah.

Sejatinya, apapun jalan yang telah dipilih, yang terpenting adalah ia mengantarkan pada surga-Nya. Apakah dengan menjadi dosen dan atau berkontribusi lebih banyak di luaran sana. Atau dengan menetap di rumah. Semuanya sama saja selama itu adalah jalan yang Allah ridha. Yang berada di luar, in shaa Allah bisa memberikan banyak kontribusi untuk ummat. Tapi, bukan berarti yang menetap di rumah tak memiliki kontribusi apa-apa. Boleh jadi, diam di rumah tapi justru banyak kebaikan yang bisa dilakukan. Dan aku termasuk orang yang sangat bersyukur saat ini Allah tetapkan berada di rumah, tidak di luar sana. Meskipun, diri ini masih sangat jauh, masih berjuang untuk berbenah, dan masih tertatih memperbaiki diri.

Allah Maha Mengetahui. Aku dengan tipikal orang yang tidak bisa multitasking, maka Allah tetapkan untuk fokus di satu hal saja. Bisa jadi ketika aku memilih kerja di luar, bisa jadi anak-anak jadi terabaikan, na'udzubillaah. Dan sekali lagi, aku sama sekali tidak menyesal untuk melepas kesempatan demi hanya untuk di rumah saja. Setidaknya sampai saat ini. Mungkin akan berbeda kedapan kalau Allah mentakdirkan lain. Bisa jadi suatu saat Allah takdirkan aku juga berada di luar sana. Allah yang lebih mengetahui.

Sesungguhnya Allah telah menciptakan segala sesuatu dengan "kabad" nya masing-masing. Dengan kesusahannya masing-masing. Sesuatu yang dimiliki oleh orang lain mungkin tampak indah dan menarik di mata kita. Tapi, sejatinya di dunia tidak ada kesenangan yang abadi. Pasti segala sesuatu memiliki kesusahan dan obstacle masing-masing. Apalagi, ketika yang Allah beri kepada adalah banyaaak kenikamatan. Banyaknya kemudahan-kemudahan. Curahan nikmat-Nya yang tak terhitung. Tidakkah kita bersyukur?! Bisa jadi pula banyak orang yang menginginkan posisi kita saat ini. Maka, selalulah syukur ... syukur ... syukur...
Apapun itu, yang terpenting adalah bagaimana agar kita selamat di akhirat. Dunia ini ..., memang sangat indah, melenakan, namun cepat layu. Keindahan dan kemolekannya sering memperdaya, dan justru di sinilah ujiannya. Selain ia terlihat manis, kita pun dibekali dengan hawa nafsu untuk menginginkannya dan bisikan dari syaithan yang punya misi mencegah anak cucu Adam dari surga. Berat. Sangat berat ujiannya. Hanya kepada Allah kita meminta pertolongan agar dalat selamat dari fitnah-fitnah dunia ini (dan juga fitnah setelah kematian). Selama kita masih menyandarkan pada diri kita sendiri, sungguh itu adalah sandaran yang sangat lemah. Ibarat bersandar pada kain lapuk atau bersandar pada angin. Maka, hanya kepada-Nya lah kita bersandar, meminta pertolongan agar Dia selamatkan kita di akhirat dan di dunia. Semoga kita tidak menjadikan dunia ini sebagai tujuan, puncak cita,  sehingga lupa jalan pulang ke akhirat. Aamiin yaa Rabb


#Refleksi
#Merenung

Surprise

Beberapa waktu lalu, sepulang dari embassy (untuk renewal passport anak kedua kami), aku merasa sedikit khawatir. Kenapa koq suami lama banget nyampe di rumah. Perjalanan ke embassy kalo macet butuh 1 jam lebih. Tapi kalo ga macet harusnya 30-40 menit sudah sampai rumah. Tapi ini sudah 1 jam lebih. Mana mau telpon juga HPku mati. Akhirnya pakai HP jadul yang ga bisa nelpon, kucoba nelpon dengan googleduo.

Ternyataa ... begitu pulang, aku dapat surprise. Ma shaa Allah. Ini tentu bukan surprise pertama. Tapi ... seneng banget rasanya dapat surprise kali ini. My favourite; steak dari TGI friday.
Dulu sebelum pandemi, lumayan sering ngadate di sini. Hampir tiap bulan. Tapi sejak pandemi kita nyaris ga pernah dine in lagi. Karena "default" nya kita dine in di TGI, jadi kita ga pernah ke sini lagi sejak pandemi. Pas ngelewatin branch yang biasa jadi tempat kita ngedate, aku nyeletuk "duh kangen deh ngedate di sini lagi. Udah lama ga ke sini yah kitah."

Karena kita mostly pakek delivery order aja klo makanan, bahkan grocery dan pharmacy, makanya Ma shaa Allah, really surprise pas dibawain ini sama suami. Barakallahu fiik yaaa Cinta. ❤🤩🥰 Jazakallaahu khair katsir atas surprise nya dan buanyaaaak surprise² sebelumnya (dan sesudahnya juga) karena kejadian ini beberapa waktu yang lalu.
He knows me so well. Ma shaa Allah.. Alhamdulillaah tabarakallaaah. Istrinya yang steak lover inih. Hehehe..

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Aku merasa menjadi istri paling beruntung di dunia dikaruniakan belahan jiwa yang ma shaa Allah sangaaat baik, memahamiku dengan sangat. Mungkin aku tidak punya diksi yang bisa mewakili betapa aku sangat bersyukur menjadi istrinya. Dia yang Allah karuniakan menjadi soulmate-ku, adalah sosok yang ibarat aku minta 10 sama Allah tapi Allah yang Maha Baik ngasih aku 100 bahkan lebih. Alhamdulillaah binni'matiHi tatimmushalihaat.

Rememori ke masa-masa yang telah berlalu. Sekitar 5 bulan sebelum akhirnya kami berada pada ikatan mitsaqan ghaliidza. Pada masa di mana aku menyerahkan kepada Allah, siapa pun jodoh terbaik yang Dia tetapkan. Cukuplah pada-Nya saja. Terserah Dia saja. Oleh sebab, sebesar apapun upaya untuk berjodoh dengan seseorang, walaupun seluruh dunia mengupayakan dan menyetujuinya, takkan pernah bisa jika bukan seseorang itu yang menjadi catatan-Nya untuk kita. Allah Maha Baik. Allah Maha Sempurna dalam memberi ketetapan. Dan aku termasuk orang yang sangat bersyukur dengan ketetapan-Nya itu. Ketika Dia memberiku jodoh yang jauuuh lebih baik dari apa yang aku harapkan. Seperti yang aku bilang sebelumnya, aku hanya meminta 10 tapi Allah memberiku lebih dari 100. Allahu akbar. Ma shaa Allah tabaarakallah.

Pada titik itu, aku benar-benar berserah. Berserah dengan ketetap-Nya saja. "Cukup Cara-Mu saja ya Rabb" yang senantiasa aku gaungkan. Dan benar. Allah memberikan jalan jodoh yang sama sekali tak pernah aku duga. Bahkan tak pernah terpikirkan olehku akan begitu jalan yang Allah pilihkan. 

Aku ingin menceritakannya lebih jauh sebenernya. Tapi sudah aku ketik panjang lebar di sini, tapi kuhapus lagi 😁. Aku simpan sebagai kenang-kenangan buat kami berdua saja. Karena sekarang aku sudah more introvert kayaknya 😂🤭.

Tapi, aku merasakan dengan sangat bahwa dialah sosok yang sangat bersesuian secara jiwa. Aku merasakannya sejak hari pertama kami berada dalam ikatan halal. Bersamanya, meski hanya ngobrol saja, tapi sekian jam tak terasa waktu berlalu. Menertawakan hal-hal kecil bersama. Sering kali, ketika aku baru membatin saja (hanya terlintas dalam hati) ternyata ia juga memikirkan hal yang sama persis. Ma shaa Allah tabaarakallaah. Kadang kami sampai heran sendiri, koq kayak bisa nebak pikiran gitu saking samanya apa yang kami pikirkan. Ma shaa Allah. TabarakarRahmaan.

Tidak cukup kata dan space di blog ini untuk menceritakan begitu banyaak kebaikan-kebaikannya. Meskipun kadang aku ingin menceritakannya. Tapi, kemudian aku berpikir, tak perlulah aku ceritakan pada khalayak. Bersyukur. Bersyukur. Dan bersyukur. Itulah diksi yang paling tepat untuk menggambarkannya. Dan tentang kebaikan-kebaikannya, cukuplah Allah yang memberikan balasan dengan yang lebih baik.

Semoga Allah mengumpulkan dan menjodohkan aku dan dirinya tidak hanya di atas dunia yang sangat sebentar ini. Tapi, di tempat terbaik yang tiada kesudahannya yaitu Jannah. Aamiin yaa Rabb. Sebuah cita² semua pasangan tentunya

Bahasa Arab

Hampir 8 tahun tinggal di Arab Saudi, sayangnya kemampuan bahasa Arabku bisa dibilang not too good. Hiks. Padahal Bahasa Arab adalah bahasa Al Qur'an. Bahasa yang Allah pilih untuk kalam-Nya yang mulia. Dan bahasa para penduduk surga.

Orang mengira, dengan tinggal di arab saudi, otomatis aku akan bisa berbahasa arab. Tapi sayangnya pada kenyataannya tidak demikian. Kultur masyarakat di sini ketika aku datang mungkin masih cukup tertutup untuk bisa belajar bahasa arab dengan lingkungan sekitar. Karena wanita pada umumnya berada di rumah. Pergi belanja pun juga hanya mengandalkan suami. Tidak bepergian sendiri (walaupun sekarang perempuan sudah bisa naik uber ke mana-mana dan sudah boleh menyetir juga. Tapi aku sendiri belum berani naik uber sendiri kalo tidak dalam kondisi sangat-sangat terpaksa dan belum bisa nyetir juga plus ga berani nyetir di sini. Soalnya orang-orang pada bawa mobilnya ngeri-ngeri. Kencang banget speednya karena jalannya lebaaar dan lurus. Kecuali di jalan² yang ada saheer atau radarnya. Hehe). Pagar rumah sangat tinggi dan sangat menjaga privacy perempuan. Jadinya aku tidak banyak berinteraksi dengan masyarakat lokal. Ketemunya yaa orang Indonesia lagi. Ga ada perkembangan bahasa yang berarti.

Kemudian setelah anak kedua kami Rumaisha masuk sekolah (level kindergarten/KG) di mana ada grup WA untuk para ibu, aku kesulitan mengikuti percakapan karena tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Ketika si Kakak dulu masuk sekolah, sama sekali tak ada grup para ibu. Komunikasi dengan guru menggunakan applikasi ClasaDojo
TIdak mudah untuk menggunakan google translate selalu kan yaa. Mungkin untuk ngomong sepatah dua kata masih bisa. Tapi kalau merangkai kalimat, aku kesulitan. Bahkan sekarang aku banyak bertanya kepada si Kakak tentang bahasa Arab. Anaknya lebih expert dari emaknya. Hehe. Ma shaa Allah.

Pasalnya pelajaran Bahasa Arab di sekolah Kakak dan Uni diajarkan dengan bahasa arab juga. Begitu pula pelajaran Al Qur'an dan Islamic Study. Full berbahasa Arab. Jadi, pas ada yang anaknya ga ngerti, emaknya enggak bisa ngajarin. Huhuhu. 

Sungguh, aku sangat ingin bisa belajar bahasa Arab juga. Semoga Allah memudahkan aku dan sesiapa pun yang ingin belajar bahasa Arab. Aamiin yaa Rabb.

Di Tempat dan Posisi Terbaik

Kadang kala ketika asa dan do'a yang belum/tidak Allah kabulkan itu tak kita ketahui hikmah dibaliknya pada saat itu juga (pada saat kejadian). Tapi, bertahun-tahun kemudian kita akan mengerti dan akan bersyukur kepada Allah, tentang tak terkabulnya asa tersebut. Allah, Dzat yang Maha Khabir (Maha Mengetahui dengan amat sangat detil tentang ciptaan-Nya) pasti selalu memilihkan untuk hamba-Nya sesuatu yang terbaik. Meskipun kadang tak bersesuaian dengan ingin kita. Tak memenuhi asa kita. Kehendak-Nya lah yang pasti berlaku. Karena pilihan-Nya pastilah pilihan yang terbaik. Pasti Dia menghendaki yang apa yang paling tepat untuk hamba-Nya. Ini adalah bagaimana kita ridha dengan takdir dan segala ketetapan-Nya.

Kita--dengan segenap kedhaifan diri--sama sekali tak mengetahui yang terbaik untuk diri kita sendiri. Bahkan apa yang akan terjadi dalam hitungan detik ke depan pun kita tak pernah tau.

Mungkin banyak dari episode-episode hidup kita yang kita ketahui mengapa Allah posisi seperti ini, bukan seperti yang itu setelah sekian masa berlalu. Dan kemudian kita syukuri, mengapa Allah pilihkan posisi ini meskipun pada saat itu adalah sesuatu yang tak sesuai dengan harapan dan do'a kita. Sungguh, Dia-lah Dzat yang Maha Khabir. Maha Mengetahui dengan amat sangat detil.

Aku mengenali diriku sebagai sosok yang sangat extrovert beberapa tahun silam. Blog ini menjadi saksinya 😅. Betapa dulu, apapun kejadiannya ... terdokumentasi di blog ini dan sosial media. Membacanya kembali, kadang membuat aku malu sendiri. Jika tak ada hikmah yang ingin dibagi, ingin kuhapus saja postingan-postingan itu. Satu kata: memalukan. Hehe. Tapi, meski demikian aku berharap ada hikmah yang bisa dipetik. Meskipun kata hikmah itu hanyalah sepenggal kalimat saja. Itulah sebabnya, aku memilih membiarkannya. 

Sekian masa berlalu. Menikah dengan sosok yang introvert, kini sepertinya kami sudah "bertukar karakter" 😂. Begitulah sepasang jiwa. Saling mempengaruhi dan saling "mencuri tabiat". Kini kudapati, beliau lebih extrovert dan aku sendiri jadi introvert ehehehe. Tapi, aku menikmatinya. Dulu, aku dijuluki "the most lebayer un the world" sama si doi. Tapi sekarang kayaknya "gelar" ini sudah berpindah deh. Hihi. Aku lebih cendrung untuk tidak men-share segala sesuatu atau memberi tahu segala sesuatu sekarang dan berpikir puluhan kali untuk men-share nya di sosial media. Paling, hanya di blog ini aku lebih banyak share di mana aku yakin ga banyak yang sengaja berkunjung ke sini. Sebagai sosok "new introvert" (haha adaa yaa istilah ini?), aku merasa nyaman men-share di sini yang sepi untuk dilihat, tak ramai untuk di-like. Ekekeke. Biarlah "peselancar dunia maya yang kesasar" saja yang berkunjung ke sini. Tapi, yang paling terpenting (siapapun yang berkunjung ke rumah mayaku ini) dapat memperoleh manfaat meskipun kecil seperti hanya sebutir pasir saja. Aku khawatir jika ada yang mampir ke sini, tapi tidak membawa kebaikan apapun. Dan yang terpenting lagi adalah ... aku menulis di blog ini juga sebenarnya dalam rangka menasihati sekaligus mengingatkan diri sendiri.

Beberapa saat lalu aku "menyelami" profil IG seorang yang kutau shalihah dan terkenal di sejagat maya dengan segenap prestasi-prestasinya. Follwernya banyak. Lebih dari 100K. Pun, banyak hikmah yang dia share yang dapat diambil pelajarannya--in shaa Allah--dan menjadi pemantik semangat bagi yang lain, biidznillah. Ia meraih gelar PhD dari universitas terkenal dan terbaik di luar negeri di usia yang relatif sangat muda dan segenap penghargaan lainnya. Ia juga menulis beberapa buku, memiliki re-search yang banyak, diwawancarai di beberapa stasiun televisi, dan segudang prestasi lainnya. Aku jarang men-stalking akun seseorang begitu dalam kecuali ia sangat menarik perhatianku. Selain itu, aku juga termasuk yang jarang mengakses instagramku.

Apa pelajaran yang ingin aku petik? Ya, tentang posisi yang Allah tempatkan. Sebagaimana aku memberi judul tulisan ini. Menjadi terkenal adalah salah satu anugrah dari Allah ketika keterkenalam itu dapat memberi banyak manfaat dan memantik semangat serta menebar kebaikan bagi banyak orang. Barakallah. Aku mendo'akan semoga keberkahan senantiasa meliputi ia dan keluarganya. Sungguh, diperlukan sosok-sosok hebat seperti ini lahir dari sosok muslim atau muslimah. Inilah kemanfaatan yang besar. Semoga, di keluarga muslim lainnya, bermunculan pula sosok-sosok hebat seperti ini. Di sisi lain, keterkenalan itu memiliki "kelezatan jiwa" tersendiri tentunya. Tapi, ini sangat membuka peluang-peluang untuk terjerumus pada sesuatu yang menggelincirkan.

Mengapa Allah tidak memilih yang lain (misalnya aku, hehehe 😁) untuk berada di posisi itu? Oleh sebab Allah lebih tau maslahatnya untukku (ataupun orang lain) yang tidak Allah tempatkan di posisi tersebut. Bisa jadi, jika aku yang berada di sana; aku menjadi lebih sulit menata niat, sulit berlepas diri dari kesombongan dan merasa diri lebih baik, ataupun merasa ujub dengan kehebatan diri. Sedangkan berada di posisi yang "remah-remah rengginang" saja masih banyak peluang untuk semua hal tersebut. Dan meskipun bukan sosok hebat dan terkenal, aku tetaplah seseorang yang jungkir balik dan tertatih-tatih dalam membenahi niat. Sungguh banyaaaak sangat salah dan alfanya. Apalagi jika berada di posisi muslimah hebat tersebut. Mungkin aku jauh lebih buruk. Mengapa dia yang Allah pilih? Karena Allah Maha Mengetahui bahwa ketika posisi itu berada di tangannya, maka ia mungkin dapat memenej hatinya jauh lebih baik, ia mungkin lebih selamat dari ujub dan ketika berada di posisinya tersebut, ia memberikan mashlahat yang jauh lebih banyak. Sedangkan aku, mungkin tak selamat dari itu semua jika aku berada di sana.

Di sisi yang lain, kadang ada rasa inferior juga. Maksudnya, tetiba merasa ... "waah dia itu kontribusinya banyaak yaaa untuk ummat. Apalah aku ini, udah cuma 'gini-gini aja', ga banyak kontribusinya."
Ups! Alert ⚠️⚠️⚠️. Segala keadaan adalah baik adanya. Allah tempatkan kita pada posisi ini, pastilah ini yang terbaik untuk kita! Adalah lebih baik mendo'akan orang yang Allah beri banyak anugrah tersebut agar mendapat anugrah lebih lagi.
Tak perlu inferior, oleh sebab Allah-lah yang telah menempatkan kita di sini.
Betapa banyak amalan kecil, menjadi besar oleh karena niat. Jangan meremehkan hal kecil yang kita anggap bukan apa-apa yang ternyata memiliki nilai besar di sisi-Nya (baik hal yang merupakan kebaikan maupun keburukan). Bukankah sebaris ucapan dzikir "Subhanallah wa bihamdiHi, subhanallah al Adziim" sesuatu yang sangat ringan tapi ternyata berat di timbangan mizan? Bukankah meremehkan (maaf) cebok yang tidak proper dapat berakibat azab kubur--na'udzubillah. Maka, lakukan yang terbaik yang bisa dilakukan dengan pertolongan-Nya. Sebagaimana Rasulullah mewasiatkan untuk menyelamatkan diri dari api neraka meski hanya dengan setengah butir kurma. Cukupkan berbuat (meski hal kecil sekalipun) hanya karena-Nya dan untuk-Nya. Ini adalah nasihat yang ditujukan untukku yang menulis terutama.

Back to introvert. Meskipun menjadi terkenal adalah suatu "kelezatan jiwa" tersendiri, ternyata bagi orang introvert tidak sepenuhnya begitu juga. Kadang, menjadi tersembunyi itu jauh lebih menentramkan. Tidak dikenali itu ternyata lebih nyaman untuk hati. Tidak menceritakan ke khalayak tentang apa pun (baik nikmat yang Allah berikan apalagi aib atau sesuatu yang buruk) ternyata juga punya kelezatan di sisi yang lain. Meskipun aku tidak bisa mengatakan bahwa itu lebih baik juga. Karena orang yang terkenal kemudian dia membawa banyak kemashalatan dan memberi contoh kebaikan tentulah lebih utama dan lebih baik. Tapi, terkadang pada kondisi tertentu, menjadi tersembunyi adalah lebih baik. Jika mampu untuk menjadi tak terkenal (tidak banyak share tentang segala apa yang kita punya, nikmat yang Allah anugrahkan, anak-anak yang begitu membanggakan, dan segenap kelebihan lainnya), maka lakukanlah. Karena nikmat yang kita share pada orang lain (bisa jadi sampai pada orang yang tidak tepat), boleh jadi menimbulkan pandangan mata yang hasad dan ini sebenarnya membahayakan diri kita sendiri juga. Ini juga pengingat bagi diriku sendiri, agar tak bermudah-mudah untuk share segala sesuatu apalagi berpotensi menimbulkan hasad. #NoteToMySelf

Selain itu, dunia bukanlah tujuan kita yang sebenarnya. Ini adalah tempat mampir yang sebentar. Cantik, indah, dan melenakan memang dunia ini. Tapi sangat cepat layu. Hanya sekejap saja. Jadi, tidak perlu terlalu fokus untuk mengejar banyaknya gelimang dunia dan segenap gemerlapnya. Utamakan keselamatan kita di akhirat sana. Oleh sebab, di sanalah hari-hari yang berat. Dan oleh sebab, di sanalah tempat keabadian. Untuk hal ini, kita mesti harus berlomba mencapai yang terbaik. Lagi-lagi, nasihat untuk diri sendiri. Diri yang masih sangat jauh dari baik ini.

Semoga Allah selamatkan kita di akhirat sana. Di perjalanan panjang dan berat itu.