Suatu siang, tak sengaja kucuri dengar (eit, bukan tak sengaja siy, tapi, memang mendengarkan dgn sepenuh hati, karena kebetulan posisinya paling dekat denganku) cerita dua orang ibu-ibu yang profesinya adalah dosen. aku tahu persis beliau berdua adalah dosen karena pembicaraan ini TKP-nya adalah di kampus, hehe. Waaaah…., mulia! Pengajar yang menularkan ilmunya kepada banyak orang. Menjadi ‘amal jariyah nantinya, insya Allah.
Kira-kira, begini bunyi percakapan itu (dengan redaksional yang berbeda tentu saja)
Ibu A : Berapa umur anak Ibu sekarang, yang paling kecil itu lho!?
Ibu B : ng…4 tahun.
Ibu A : waaa..h, empat tahun? Sudah besar juga ya? Tak terasa, baru kemaren rasanya. Udah empat tahun saja ya? sUdah sekolah?
Ibu B : sudah, play group sekarang (dengan wajah cukup sumringah)
Ibu A : waah, sudah sekolah. BERARTI BISA BEBAS DONG? BISA MENINGGALKANNYA UNTUK KE KAMPUS. TIDAK PERLU TERLALU REPOT.
Ibu B : (dengan wajah yang cukup heran) Maksud Bu A?
Ibu A : maksud saya, tidak perlu terlalu repot, githu. Kan sekolah. Ada yang menjaga, pengasuhnya gitu?”
Ibu B : tidak bisa begitu saja tho Bu. Anak kan bagian dari tanggungjawab kita sebagai ibu. Saya siy, menerapkan system perwalian. Yang besar, punya tanggung jawab terhadap adik-adiknya. Begitu seterusnya…”
Ibu A : waaah, bu B pintar juga yah?
Kira-kira begitulah cuplikan percakapannya. Sejujurnya, aku tertarik sekali dengan percakapan kedua Ibu itu. Yaph! Pada dasarnya, aku sepakat dengan apa yang ibu B sampaikan. Subhanallah… ada sebuah metode inovatif yang diterapkannya (bukan berarti aku sepakat kalo’ pengasuhan terhadap adik itu sepenuhnya alias 100 % dilimpahkan ke kakaknya lho). Tetapi, beliau memiliki pola didik yang menurutku bagus, sebagai seorang ibu rumah tangga sejati. Karena system perwalian tanpa meninggalkan pengawasan dan khudwah yg baik, akan menumbuhkan sikap tanggung jawab bagi anak. (halaaah, macam paham saja aku niy…, macam sudah pengalaman saja.hehehe…). Sebaliknya, persepsi bahwasannya, ketika anak sudah sekolah, berarti kewajiban untuk ‘mendidik’ itu terlepas begitu saja menurutku siy cukup keliru. Kata-kata : “berarti bisa bebas dong…dst…” secara tak langsung menyiratkan bahwa anak adalah beban berat yg mengikat,. Aku siy lebih sepakat dgn ‘sebuah tanggung jawab’ yg dilontarkan ibu B.
Kenapa profesi ibu rumah tangga??? Karena, menurutku, ibu rumah tangga itulah sebenarnya profesi yang harus dicita-citakan sebagai PROFESI UTAMA oleh seorang perempuan. Selayaknya sebuah cita-cita, maka mesti ada rancangan strategis untuk mencapainya. Tidak bisa dengan slogan “biarkan saja seperti air mengalir.” Atau, “toh, nanti juga bisa sendiri.” Atau, “udah fitrahnya perempuan, pasti bisa laaah.”
Sebelum berbincang lebih lanjut (haduu…h, emangnya lagi bincang-bincang yah?), maka ingin kutekan dulu di sini, bahwa yang kumaksud dengan ibu rumah tangga (untuk selanjutnya kusingkat dengan IRT saja yah. Cape’ nulisnya, hehehe) sebagai PROFESI UTAMA YANG HARUS DICITA-CITAKAN bukan berarti aku menganjurkan agar setiap perempuan ‘membiarkan’ begitu saja ilmu yg dia peroleh selama di kampus, misalnya, terbuang percuma. Bukan! Sama sekali bukan! (sayang banget kan, misalnya, dokter, masa’ siy ga’ diaplikasikan ilmunya. Kan sayang bangeeet). Maksudku, menjadikan IRT SEBAGAI PROFESI UTAMA! Yang namanya utama, tentulah yang prioritas bukan? Boleh saja ko’, perempuan mau jadi dokter, mau jadi guru, dosen, mau jadi arsitek, psikolog, menejer, ekonom, teknisi, praktisi,polisi, politisi, (dan berjenis-jenis ‘si’ lainnya),asalkan tidak meninggalkan pekerjaan utamanya sebagai IRT. Sebab, semua itu, hanyalah sebuah ‘pekerjaan sampingan’ bagi mereka (para IRT). Kan, kebanyakan persepsinya adalah semua hal diatas sebagai pekerjaan utama, lalu IRT, hanyalah sisa-sisa tenaganya yg lelah saja. Kan kasiaaaan anaknya. (Emm…, mungkin aku lebih focus ke anaknya dan pendidikan anaknya sekarang niy, bukan ke ortunya). Banyakan kan, perempuan bekerja di luar, lalu nitipin anak ke pengasuh or pembantu. Ntar, pulangnya dah malam. Jadilah, seorang anak yg dibesarkan oleh pembantu. Itu artinya: perempuan bekerja untuk menggaji pembantu. Logika sederhananya kan gitu. So, mana yg lebih baik, pendidikan anak dari ortu (khususnya ibu sebagai madrasatul ‘ula), atau bekerja di luar untuk menggaji pembantu? Itung-itungnya, cost yg dikeluarkan akan sama saja, bukan? (ngerti kan maksudku??)
Okeh…okeh…back to topic. Mengenai IRT tadi. Menurutku siy, penting sekali pemaknaan dan sebuah persepsi mengenai IRT itu. Jika persepsi kebanyakan kita, seperti kita kebanyakan, IRT itu hanya sebatas pekerjaan rumah saja, maka perputaran roda kehidupan dan warnanya hanya berada ‘di sana’ saja alias seolah-olah seperti baku standar saja. Jika kita memaknai dari sisi yg berbeda, tentu, akan berbeda pulak pola pencapaiannya, sejauh cita-cita dan harapan kita…(halah, ribet kali bahasanya…)
Tulisan ini hadir (ini kelanjutan dari Tulisan di blog-ku dgn tag : “IRT???”) adalah karena sesuatu yang bernama kemirisan yg hadir di hatiku. Aku bukan orang yg faqih dan faham soal ini. Tapi, aku hanya ingin menyampaikan pengamatanku saja. Apa yg selama ini aku lihat di sekelilingku.
Hmm…, begini, banyak diantara teman2ku, saudara2ku dan adik2 kelasku yg sudah menikah (terutama yg di kampungku, homeSweet home). Bervariasi! Tamat SMP, tamat SD, tamat SMA. Rata2 siy tamat SMA. Namun, seolah-olah seperti putaran siklus saja. Tamat SMA, nikah, lalu punya anak. Pendidikan anaknya diterapkan pola seperti yg diperoleh orang tuanya, nenek buyutnyaterdahulu kala. Tanpa ada visi, dan misi yg ingin dibangun. Begitu seterusnya, seterusnya…dan seterusnya. Maka, seperti apapun hebatnya in-putnya, jika processing-nya amburadul dan jadul, tetap saja out-putnya tidak bagus. Bayangkan jika itu telah menjadi siklus kehidupan, yang mengakar, dan membudaya???
Nah, bagiku, pentingnya itu adalah bagaimana pendidikan seorang perempuan dulu. How to prepare the first school. Jika ingin memperbaiki suatu Negara, yg mesti diperbaiki dulu tuh, yaaa…kaum perempuannya. Emm….begini, Di satu sisi, dengan pola pikir konvensional (atau konservatif yah,hehehe??), ala kampungku (mungkin juga kampungmu,hehehe) nikah,..punya anak…, sebuah siklus berulang yg sama, without innovation and increasing atau di sisi lain pola pikir ala jaman sekarang oleh perempuan terdidik yg kata orang modern yg menuntut perempuan untuk bekerja ekstra di luar,jam terbang yang sangat tinggi.. akan memiliki out put yg tak jauh berbeda. Yang satunya konservatif, yg lainnya modern yang berdilatasi. Nah, bagiku, kita ambil jalan tengah. Apapun asalnya, apapun polanya, maka semestinya untuk menghadirkan generasi rabbani, diperlukan perempuan2 tangguh yang memiliki bekal, visi, dan misi.
(haddduuuu…h, kok susah kali membahasakannya yah??)
Ah, begini saja. Andaikan setiap perempuan (siapapun itu, mau tamat SMA, mau bergelar professor), jika cita-cita utamanya adalah IRT yg terbaik, maka, insya Allah, negeri ini akan madani. Kenapa?? Karena setiap wanita memiliki, visi, misi, pola pikir untuk pencapaian yang sama, yaitu generasi rabbani. Untuk mencapai itu, perlu langkah-langkah. Langkah-langkah itu hadir, karena adanya pendidikan bagi perempuan. Dan pendidikan itu hadir, karena adanya kesadaran, dan keimanan. Nah, hal yg pertama yg mesti dibenahi itu, yaah, ruh nya… Jika para pendidik sebagai madrasatul ‘ula itu baik di segi ruh, mapun fikry, maka, insya Allah, out putnya adalah baik jugah. Yaitu pribadi-pribadi yang akan mewarisi peradaban negeri ini. Bayangkan jika semua orang dibesarkan dengan bi’ah yg demikian…, insya Allah tidak akan ada lagi praktik KKN. Nah, bukan mustahil kan, terbentuknya Negara madani itu dimulai dengan membaikkan kaum perempuannya??? Iya tho?? Kamu sepakat??? (fiuff…tersampaikan jua akhirnya. Sebenarnya inti yg pengen aku sampaikan itu, yah ini!!! Habiss, berbelit-belit kali siy dari tadi)
Nah, nah, nah…, menurutku, bagaimana kalo’ ada “sekolah pra-madrasatul ‘ula”. Semacam kajian kelompok (intensive class), or micro teaching gitu, di manapun itu. Mau di kampus kek. Mau di PKK kek. Mau di arisan kek. Atau, kelompancapir kek(halah..ini mah jadul banget). Intinya, ‘sekolah pendidikan anak’ gitu for everywoman. Apalagi kalo’ pemerintah mau bekerja sama, memfasilitasi ini semua. Apalagi, khususiyah, untuk teman-teman yang di kampong. Intinya sekolah tuh, pendidikan untuk memberikan pemahaman dan kesadaran kepada calon madrasatul ‘ula, bahwasannya pendidikan anak itu, tidak bisa “learning by doing” begitu saja, “seperti air mengalir” begitu saja, atau “ntar juga bisa sendiri” begitu saja, tapi, butuh pemahaman dulu, sekalian step-stepnya seperti apa. Tentu saja mesti dibarengi dengan iman. Sebab, jika tidak dibarengi dengan iman, membentuk pribadi-pribadi demikian, sama saja dengan membentuk pohon besar yang gersang dan tandus. Mereka yang punya cita-cita besar, punya mimpi-mimpi besar, tapi, secular… Yah, pokoknya gitu deeeeh. Ringkasnya gini. Kan nantinya seorang ibu, mau jadi madrasatul ‘ula niy, bagi anak-anaknya. Makanya, untuk membentuk madrasah ‘ula yg baik, dibutuhkan madrasah dulu sebelumnya. Ini ga’ bakal terwujud, jika yg berada di ranah pemerintahan, bukan orang yg kooperatif, bukan orang-orang yang memperjuangkan nasib rakyat. Ini akan terwujud insya Allah, kalo’ yg berada di ‘atas’ sana, adalah orang-orang yang memang benar-benarlah…, makanya, jangan lupa nyontreng yang bener tgl 9 april besok. (hehehe, kok nyampainya ke sini yah?? Udah ke mana-mana tuh topic!)
Intinya, corenya, yah begitu lah!!! Sekolah, bagi calon madrasatul ‘ula, untuk membentuk Neggeri yang madani. Sepakatkah kamu???
>>Sungguh, tulisan yang kutulis ini bukan apa-apa, bukan pula bermaksud mencela, dan bukan pula merasa serba tahu. Tidak. Sama sekali tidak. Mungkin, ini semua hanyalah pernyataan idealis sebagai seorang mahasiswa (emm…mumpung masiy mahasiswa, bolehlah idealis sikit tak???), yang aku sendiri jika berada di posisi mereka(para IRT), belum tentu bisa menerapkannya secara ideal. Sebab, seringkali realita tak sama dengan idealita. Teorinya memang banyak, tapi, praktiknya sering tak sama dengan teori. Apalagi, ini semua adalah Sesuatu yg aku belum pernah terjun ke dunia itu. Allahu’alam kehidupanku nantinya akan seperti apa? Namun, setidaknya, ini semua insya Allah akan menjadi lecutan bagi kita semua. Insya Allah, panjang pendeknya nafas perjalanan kita tergantung sejauh mana cita-cita kita. Ya kan??? Tolong ingatkan aku yah, bila salah<<
homeSWEET Syakuro, Rabi’ul Awwal 1430 H
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked