Ehm, tulisan ini special bwt adek2 yang sekarang lagi sibuk UAN dan yang insya Allah mau bertarung di SMNPTN, dan yang lebih special lagi buat yang berniat mau kuliah di Unand alias Universitas Andalas, Padang, Kujaga dan Kubela. Cee elaaaah… Tapi, yang laen juga boleh baca koq. Okeh? Ah, iya, bagi angkatan ’08 yg mau ‘cabut’ dari asrama bulan Juli ini insya juga boleh tuh. Kami siap menampung . ehm..,Tidak tertutup utk 07 ke atas.
Nah…nah…, soal wisma. Ehm…., sebelumnya,di kenalin dulu dong, apa itu wisma. Siap?! Baiklah! Wisma sebenernya adalah sebuah rumah tinggal biasa khusus bagi mahasiswa yang dihuni oleh beberapa orang. Systemnya bukan kos-kosan yg bayarannya perbulan, melainkan kontrakan. Okeh, udah pada paham kan?
Tapi…tapi…, kenapa wisma? Aha! Itu dia, yg pengen dijelasin. Kenapa perlu dipromoin? Itu karena, insya Allah ada hal istimewa yang dipunya sebuah wisma. Yuuuk, qta kenalan sejenak.
Pertama, soal itung-itungan bayaran. Wisma sesungguhnya lebih murah costnya. Rata-rata sekitar 600-800 ribu setahun. Hmm…, coba itung bulanannya,. Sekitar 50-70 ribu sebulan. Cukup murah kan? Sip! Insya Allah cheaper. Paling nambah duit bayaran listrik sekitar 10rb per bulan. Klu wismanya agak elit sikit, bolehlah pake tilpun. Soal bayaran tilpun, eh…telpon, tergantung pemakaian wisma masing2. Mau pake speedy juga boleh, kalau mau.
Kedua, soal lokasi. Ga’ jauh-jauh amat koq dari lokasi bus kampus. Masiy sekitar Pasar Baru. Tinggal jalan sikit, skitar 200-500an meter (itung-itung sekalian riyadhoh), nyampee deeh di pemberhentian pertama Bus Kampus (yang bakalan mengantarkan qta medaki Bukik Karangmuntiang).
Ketiga, soal fasilitas. Rata-rata dan sebagian besar kos-kosan di kawasan Pasar Baru dan sekitarnya (Limau Manis, Kapalo Koto, Kampuang Dalam, Cupak Tangah), hingga ke Pasar Ambacang, Jalan Tunggang, by Pass, Ketaping, Anduring, rata-rata menyediakan kamar kosong saja. So, biasanya penghuni baru mesti menyiapkan segala macam perabotan, mulai dari kasur beserta perangkatnya, lemari, rak buku,magicjar, strikaan, hmm…apa lagi yah? Tape, emm…pokok’e benda sejenis lah. Bagi sebagian orang, TV juga termasuk barang penting. Juga benda2 penting seperti rak piring beserta perangkatnya, kuali, kompor, apa lagi? (silakan dilanjutkan). Nah…nah…,insya Allah, di wisma, sebagian besar sudah ditalangi. Adek2 baru tinggal bawa kasur, lemari (isinya juga dong, masa’ ga ada bajunya, hehehe). Soal magigjar, strikaan, piring dan seperangkat alat memasak lainnya, ga’ usah dipikirin deeeh. Okeh?
Keempat, aha!! Ini bagian terpenting sebenarnya yg ingin disampaikan yang membuat wisma itu berbezza. Klw tiga point di atas adalah hal yang biasa, maka poin yg satu ini lebih istimewa. Wisma bukan sekedar tempat tinggal biasa, yang disambangi sepulang kampus saja. Ada program-program istimewa di sini.
Apa saja program wisma?
Wisma insya Allah sebagai media untuk meng-up grade ‘ilmu keislaman qta. Programnya kami sebut : ROHIS alias program ROHANI ISLAM. Di wisma, qta ga’ Cuma jadi mahasiswa farmasi misalnya, cieee…, atau mhs Teknik, mhs ekonomi, mhs MIPA, tapi, qta juga bisa blajar Fiqh, Siroh, Tafsir Qur’an, Siroh Sahabat, Riyadhusshalihiin. Di kegiatan rohis, juga ada sesi khusus taujih (kaya’ ngasi kajian gitu, sekalian blajar nomong didepan orang banyak). Trus,program Tahfidz. Ada hari khusus untuk setoran hafalan.
Selain Rohis, program wisma juga Riyadhoh bareng. Biasanya ahad. Di wisma, juga ada program Ta’lim. Acaranya insya Allah bulanan. Ngundang ustadz. Dalam acara ta’lim, qta juga ngundang ibu-ibu tetangga, kiri kanan, depan belakang, trus, juga jamaah mesjid sekitar wisma untuk datang.
Selain itu, di wisma, insya Allah blajar menej sebuah rumah tangga jugah. Hehe. Soalnya, qta kan ngatur segala sesuatunya sendiri. Ada amir/amirohnya juga, trus, pj2 masing2 (kaya’ pj kebersihan, pj listrik, yang disesuaikan dengan wisma masing2)
Apa lagi yah? Ah iya! Soal kebutuhan sumatera tengah. Klo’ ngekos, kadang2 males masak. Seringnya kan beli ajah di ampere sebelah. Hehe. Klw di wisma, diterapkan system piket masak. Lebih irit loh. Cuma Rp. 3rb per hari, qta udah bisa makan lauk pauk lengkap, empat sehat (lima sempurnanya beli sendiri, hehehe). Cuma 5 liter beras per bulan. Huaaa, hemat kagak??
Ehmm…, jangan dipikir piket masak itu berat dulu. Asyik koq. Bisa bikin innovasi masakan sendiri. Itung2 eksperimen sekalian latihan persiapan. Hihi. Menunya suka-suka. Asalkan ada lauknya dan sayurnya. Eh…, percaya ga’, ada yang dulunya kaga’ bisa masak sama sekali, setelah masuk wisma, sampai pintar bikin gulai kalio Ayam. Bisa ngalahin lapau One looh. Hebuaaat kagak?? Hehe
Dalam periode tertentu, juga ada Wisma Award nya, yang diadakan oleh BPW (badan pengelola wisma). Ada lomba-lomba juga, kaya’ lomba hafidz Qur’an, lomba wisma terbaik, wisma dengan innovasi program paling menarik, wisma yang paling bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Nah loh, wisma Ada badan pengelolanya jugah? Ooohhh…, tentu dong! Ini kan bukan sekedar tempat tinggal biasa. Insya Allah, semua tersusun secara rapid an terkoordinir.
Hal yang terpenting dari sebuah wisma itu adalah Ni’mat Ukhuwwahnya. Kalo’ yang ini mah tak terbeli dengan apapun. Cerita soal indahnya ukhuwwah ini, hmmm…ga’ cukup puluhan lembar. Kalo’ dinovelin, ada berapa lembar novelnya yah?? Hehe. So, insya Allah akan ada sesi berikutnya, mengenai wisma niy. Sing penting, rajin2 bahas soal yah…., persiapan bwt SMNPTN nya. Mana tau, ada yang ‘nyasar’ ke Bukik Karangmuntiang and berguru di sana. Kalau memang baitu ajaknyo, haaa…., rancak masuak wisma lai!!! Dan, catet yaaa, kalau tertarik dengan wisma, tinggal contact diriku saja… Okeh?? Okeh??? (nanti, kusampaikan ke BPW nya, insya Allah)
Ini sedikit prolog dan perkenalan awal soal wisma. Tunggu info selanjutnya!!!
(hehe, kaya’ tukang iklan saja)
homeSWEET Syakuro, 23 April 2009
GERBONG KERETA PERJALANAN INI
Kuingin bertanya, adakah kedinamisan itu adalah sebuah keniscayaan? Adakah? Apakah kita boleh terhenyak dengan sebuah perubahan? Dan apakah perubahan itu adalah sesuatu yang nisbi? Bolehkah kita terperangah pada keterasingan itu? Pada sesuatu yang sama sekali tidak lagi sama, tidak lagi linear dan bersisian. Pada kenyataan yang menghentak-hentak di bilik jiwa. Ah…, bolehkah aku menangisi itu semua?
Sungguh, terlalu dalam luka itu tertoreh di hati ini. Perih sekali ketika dihadapkan pada kenyataan yang menyakitkan bahwa jiwa-jiwa sahaja yang dulu dari lisan mereka kudengar nasehat-nasehat yang menyejukkan hati, kini seperti sangat…sangat….jauh. Ketika rangkulan itu begitu jauh dari saudara-saudari yang telah ‘pergi’. Begitu jauh, meninggalkan ‘gerbong’ ini. Ke manakah perginya jiwa-jiwa penuh ghiroh itu, yang setiap teriakannya adalah lecutan semangat? Yang setiap kata-katanya adalah butiran makna. Yang setiap jenak-jenak kehidupannya adalah dalam rangka satu per satu menyusun batu bata peradaban itu. Ke manakah?
Salah seorang sahabat pernah berkata padaku dengan teramat lirih, “Sudahlah. Tidaklah pantas bagi kita untuk kecewa.” Penggal-penggal kata itu hanya cukup sampai di sana, namun, dengan suatu kedalaman makna. Ah, sungguh ada yang tercekat dikerongkongan ini, setiap mengingat satu-persatu kenangan itu. Aku sangat tahu, tidaklah boleh kita kecewa, dengan semua itu. Tidaklah boleh…!! Tapi, bolehkah aku sedih?
Jika boleh bernostalgia, dahulu, dulu sekali, ketika di sebuah ‘stasiun’, aku tersesat tak tentu arah. Lalu, mereka mengulurkan tangan untuk ikut dalam gerbong itu dengan tiket yang Cuma-cuma. Gerbong yang telah memberikan begitu banyak warna hidup. Seperti pelangi, bahkan lebih banyak dari mejikuhibiniu. Ada keterombang-ambingan. Ada tikungan. Ada terowongan gelap. Namun, juga jalan mulus yang di pinggir relnya ada wewangian bunga cerah merekah. Yah, kita melaju bersama. Pada rel yang sama, gerbong yang sama.
Lalu, ketika kereta itu berhenti di stasiun berikutnya, satu per satu mulai turun, berhenti di stasiun itu saja. Ada yang menaiki gerbong ini, ada pula yang turun. Mereka, yang dulu mengulurkan tangan kepadaku, sebagian juga ikut turun. Dan, betapa bodohnya aku ketika baru menyadari bahwa mereka yang dahulu dengan jiwa sahajanya telah turun, ketika peluit kereta telah dibunyikan dan perlahan-lahan kereta kembali berangkat. Betapa naifnya aku baru menyadari, ternyata mereka telah menaiki gerbong dari kereta yang berbeda, bukan lagi dengan arah dan tujuan yang sama. Padahal, aku masih ingat, bagaimana lantunan spirit itu bergema dahulunya dari lisan-lisan mereka, bahwa betapa inginnya kita tetap berada di gerbong ini hingga ke stasiun akhir.
Aku sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa gerbong inilah yang paling baik. Aku sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa aku lebih baik. TIDAK! SAMA SEKALI TIDAK! Aku barangkali jauh lebih buruk. Namun, bukankah dengan kebersamaan itu, kita saling mengingatkan, saling melengkapi, saling mengokohkan pijakkan, saling mengingatkan, dan saling menularkan semangat? Aku hanya ingin mengatakan bahwa ada jarak ribuan mil yang seperti seolah-olah telah memisahkan kita. Memisahkanku dengan orang-orang yang telah mengulurkan tangannya padaku dahulunya. Terasa begitu jauh. Padahal, aku sangat rindu wahai saudariku, untuk kembali bersamamu menukil jalan ini. Menukil jenak demi jenak perjalanan ini. Teramat rindu mendengar nasehat-nasehat yang terlantun dari bibirmu. Teramat rindu membersamaimu di setiap suka dan duka jalan ini.
Aku masih ingat dengan salah satu kalimat yang menggetarkan dari Rabb Pemilik Hati dan Maha Membolak-balikkan hati yang disampaikan oleh mereka yang dahulunya mengulurkan tangan dan memberikan tiket Cuma-Cuma itu kepadaku. Sungguh, membuatku amat tergugu :
“Dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkanmu daripadanya” (Qs. Ali Imran : 103)
“Ya Tuhan kami, jangan Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami dan karuniakanlah rahmat kepada kami di sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (Karunia).” (Qs. Ali Imran : 8)
Oh, alangkah rindunya aku padamu, wahai jiwa-jiwa yang telah memberikan tiket Cuma-Cuma padaku. Adakah kau rindu jua?
homeSWEETSyakuro, 14 April 2009, Dini Hari (Ba’da ngerjain proposalku)
Sungguh, terlalu dalam luka itu tertoreh di hati ini. Perih sekali ketika dihadapkan pada kenyataan yang menyakitkan bahwa jiwa-jiwa sahaja yang dulu dari lisan mereka kudengar nasehat-nasehat yang menyejukkan hati, kini seperti sangat…sangat….jauh. Ketika rangkulan itu begitu jauh dari saudara-saudari yang telah ‘pergi’. Begitu jauh, meninggalkan ‘gerbong’ ini. Ke manakah perginya jiwa-jiwa penuh ghiroh itu, yang setiap teriakannya adalah lecutan semangat? Yang setiap kata-katanya adalah butiran makna. Yang setiap jenak-jenak kehidupannya adalah dalam rangka satu per satu menyusun batu bata peradaban itu. Ke manakah?
Salah seorang sahabat pernah berkata padaku dengan teramat lirih, “Sudahlah. Tidaklah pantas bagi kita untuk kecewa.” Penggal-penggal kata itu hanya cukup sampai di sana, namun, dengan suatu kedalaman makna. Ah, sungguh ada yang tercekat dikerongkongan ini, setiap mengingat satu-persatu kenangan itu. Aku sangat tahu, tidaklah boleh kita kecewa, dengan semua itu. Tidaklah boleh…!! Tapi, bolehkah aku sedih?
Jika boleh bernostalgia, dahulu, dulu sekali, ketika di sebuah ‘stasiun’, aku tersesat tak tentu arah. Lalu, mereka mengulurkan tangan untuk ikut dalam gerbong itu dengan tiket yang Cuma-cuma. Gerbong yang telah memberikan begitu banyak warna hidup. Seperti pelangi, bahkan lebih banyak dari mejikuhibiniu. Ada keterombang-ambingan. Ada tikungan. Ada terowongan gelap. Namun, juga jalan mulus yang di pinggir relnya ada wewangian bunga cerah merekah. Yah, kita melaju bersama. Pada rel yang sama, gerbong yang sama.
Lalu, ketika kereta itu berhenti di stasiun berikutnya, satu per satu mulai turun, berhenti di stasiun itu saja. Ada yang menaiki gerbong ini, ada pula yang turun. Mereka, yang dulu mengulurkan tangan kepadaku, sebagian juga ikut turun. Dan, betapa bodohnya aku ketika baru menyadari bahwa mereka yang dahulu dengan jiwa sahajanya telah turun, ketika peluit kereta telah dibunyikan dan perlahan-lahan kereta kembali berangkat. Betapa naifnya aku baru menyadari, ternyata mereka telah menaiki gerbong dari kereta yang berbeda, bukan lagi dengan arah dan tujuan yang sama. Padahal, aku masih ingat, bagaimana lantunan spirit itu bergema dahulunya dari lisan-lisan mereka, bahwa betapa inginnya kita tetap berada di gerbong ini hingga ke stasiun akhir.
Aku sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa gerbong inilah yang paling baik. Aku sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa aku lebih baik. TIDAK! SAMA SEKALI TIDAK! Aku barangkali jauh lebih buruk. Namun, bukankah dengan kebersamaan itu, kita saling mengingatkan, saling melengkapi, saling mengokohkan pijakkan, saling mengingatkan, dan saling menularkan semangat? Aku hanya ingin mengatakan bahwa ada jarak ribuan mil yang seperti seolah-olah telah memisahkan kita. Memisahkanku dengan orang-orang yang telah mengulurkan tangannya padaku dahulunya. Terasa begitu jauh. Padahal, aku sangat rindu wahai saudariku, untuk kembali bersamamu menukil jalan ini. Menukil jenak demi jenak perjalanan ini. Teramat rindu mendengar nasehat-nasehat yang terlantun dari bibirmu. Teramat rindu membersamaimu di setiap suka dan duka jalan ini.
Aku masih ingat dengan salah satu kalimat yang menggetarkan dari Rabb Pemilik Hati dan Maha Membolak-balikkan hati yang disampaikan oleh mereka yang dahulunya mengulurkan tangan dan memberikan tiket Cuma-Cuma itu kepadaku. Sungguh, membuatku amat tergugu :
“Dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkanmu daripadanya” (Qs. Ali Imran : 103)
“Ya Tuhan kami, jangan Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami dan karuniakanlah rahmat kepada kami di sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (Karunia).” (Qs. Ali Imran : 8)
Oh, alangkah rindunya aku padamu, wahai jiwa-jiwa yang telah memberikan tiket Cuma-Cuma padaku. Adakah kau rindu jua?
homeSWEETSyakuro, 14 April 2009, Dini Hari (Ba’da ngerjain proposalku)
Negeri Ini Hanya Seharga Sepasang Sepatu
Suatu hari, di pelosok kampung, ku’melihat seorang anak yang kira-kira sudah cukup ‘berakal’ untuk diajakin ngomong. Artinya, dia sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk meski belum cukup umur untuk ikut milih. Anak tersebut mengenakankaos salah satu dari 38 partai nasional yang akan bertarung 9 april mendatang. Sebut saja partai A.
Tiba-tiba, aku iseng menanyakan :
Aku : “De’, ntar amaknya pilh apa?”
Si Ade’ : “Dulu amak mau pilih partai A, tapi, kemaren partai B datang ke rumah, dan membelikan amak sepasang sepatu. Katanya, dia mau ngasih sepatu itu, asalkan mau memilih partai B. jadi, amakku pilih partai B deh. Kalau bapakku tetap partai A.” (dengan sangat polos dia menjelaskan)
Aku : (menatap si Ade’dengan bingung)” Loh? Kenapa mau? Itukan money politik? Politik uang.” Aku bergumam.
Si Ade’ : “Yang namanya rejeki ndak berpintu, Kak. Tapi, Banyak lho kak yg kayak gitu. Si anu, dapat ini. Si itu dapat duit segini. Tapi, dengan syarat mesti milih partainya. Kalau kekurangan duit, pergi saja ke rumah caleg C, entar critakan kesulitan qta. Si caleg pasti mau ngasi, asalkan mau milih dia.”
Pernah juga, waktu jalan ke perkampungan lain, ku’mendengar cerita ibu-ibu di sana.
“ Partai D ini, Nak, mau bagi-bagi ikan kepada kami (caleg partai D ini adalah Bandar ikan). Kami tu, yang perlu yah ini. Maklum, kami ini orang susah.”
Fiufff…
Jadi, hanya segitu ‘harga negeri’ ini? Walau bagaimanapun, itu semua tetap saja money politik, apapun bentuknya.
Isss…., mereka memanfaatkan keluguan dan kesusahan orang2 di kampung untuk membeli suara. Apa jadinya negeri ini jika dipimpin oleh orang-orang macam itu? Apa jadinya jika parlemen diisi oleh orang-orang macam itu? Jika orang-orang seperti ini yang akan mewakili qta2, sebagai wong cilik, yg bakalan duduk di korsi panas, maka, tidak salah klu peringkat negera terkorup papan atas akan terus di sandang oleh negeri ini. Dan, jika memang demikian, tidak salah kalau harga negeri yang konon tongkat dilempar jadi tanaman ini, hanya seharga sepasang sepatu saja. Lalu, Akan dibawa kemana negeri ini?
Mereka yang enak-enakan di gedung megah, menyelip uang rakyat. Lalu, yang tertinggal adalah : rakyat yang tetap miskin, rakyat yang untuk berobat saja susah. Rakyat yang sekolah saja mesti mengeluarkan banyak uang. Padahal, APBN Indonesia untuk tahun 2009 kan luar biasa banyaknya. 1.035 triliyun rupiah. Dar sekian banyak, 215 triliyunnya adalah anggaran untuk pendidikan. so what?? Kemana duit sebanyak itu perginya? Klu emang digunakan dijalur yg tepat, insya Allah, pendidikan itu bisa ditalangi!
Nah…nah…nah…, sebentar lagi, saatnya qta sebagai wong cilik MENENTUKAN NASIB BANGSA INI MAU DIBAWA KEMANA. Jangan pilih orang-orang yang memberikan bentuk apapun kepada qta, wong cilik. Dengan memberikan segala sesuatu itu, sama saja dengan MEMAMERKAN IDENTITAS MEREKA, bahwa MEREKA ADALAH CALON KORUPTOR SELANJUTNYA. (ya iya lah! Jalannya menuju ke sana saja sudah penuh dgn uang tak halal, jalan tak halal. jadi, sangat masuk akal pula, setelah mereka duduk nanti, merekapun akan melakukan hal yang sama). Jadi, MASIH ADAKAH ALASAN KITA UNTUK MEMILIH ORANG-ORANG BERMENTAL DEMIKIAN? Inilah saatnya kita menggunakan hati kecil qta untuk memilih orang-orang yang benar-benar berjuanguntuk rakyat, yang bersih, dan terbukti kerja nyatanya untuk rakyat. Okeh?????
Ah ya, ada yang terlupa. Kemaren, salah satu orang kurang mampu (masih di perkampungan terpelosok). Mereka mempunyai seorang anak yang stress dan sakit jiwa. Dan, salah seorang caleg, sebut saja partai E, menawarkan untuk membantu membawa dan membiayai ke rumah sakit jiwa, asalkan dia mau memilih dia dan partainya.
Hmmm…., apa jadinya yah, klw sang caleg tidak kepilih? Jangan-jangan dia yang kemudian ikut ke rumah sakit jiwa juga. Klw perlu, satu kamar dengan orang gila yang ditolongnya. Hehehehe
Ups! Udah ngaur niy.
Hmm..yg jelas, jangan sampai golput dah! Janganlah ya…
Jika golput, dan parlemen terus2an diisi oleh orang2 macam cerita di atas, akan jadi apa negeri ini? Bukankah kita semua rindu negeri yang madani? Bukankah kita merindukan kesejahteraan hadir di negeri ini? Nah, itu semua sangat tergantung dengan pilihan kita nantinya.
homeSWEEThome, 3 April 09.
Tiba-tiba, aku iseng menanyakan :
Aku : “De’, ntar amaknya pilh apa?”
Si Ade’ : “Dulu amak mau pilih partai A, tapi, kemaren partai B datang ke rumah, dan membelikan amak sepasang sepatu. Katanya, dia mau ngasih sepatu itu, asalkan mau memilih partai B. jadi, amakku pilih partai B deh. Kalau bapakku tetap partai A.” (dengan sangat polos dia menjelaskan)
Aku : (menatap si Ade’dengan bingung)” Loh? Kenapa mau? Itukan money politik? Politik uang.” Aku bergumam.
Si Ade’ : “Yang namanya rejeki ndak berpintu, Kak. Tapi, Banyak lho kak yg kayak gitu. Si anu, dapat ini. Si itu dapat duit segini. Tapi, dengan syarat mesti milih partainya. Kalau kekurangan duit, pergi saja ke rumah caleg C, entar critakan kesulitan qta. Si caleg pasti mau ngasi, asalkan mau milih dia.”
Pernah juga, waktu jalan ke perkampungan lain, ku’mendengar cerita ibu-ibu di sana.
“ Partai D ini, Nak, mau bagi-bagi ikan kepada kami (caleg partai D ini adalah Bandar ikan). Kami tu, yang perlu yah ini. Maklum, kami ini orang susah.”
Fiufff…
Jadi, hanya segitu ‘harga negeri’ ini? Walau bagaimanapun, itu semua tetap saja money politik, apapun bentuknya.
Isss…., mereka memanfaatkan keluguan dan kesusahan orang2 di kampung untuk membeli suara. Apa jadinya negeri ini jika dipimpin oleh orang-orang macam itu? Apa jadinya jika parlemen diisi oleh orang-orang macam itu? Jika orang-orang seperti ini yang akan mewakili qta2, sebagai wong cilik, yg bakalan duduk di korsi panas, maka, tidak salah klu peringkat negera terkorup papan atas akan terus di sandang oleh negeri ini. Dan, jika memang demikian, tidak salah kalau harga negeri yang konon tongkat dilempar jadi tanaman ini, hanya seharga sepasang sepatu saja. Lalu, Akan dibawa kemana negeri ini?
Mereka yang enak-enakan di gedung megah, menyelip uang rakyat. Lalu, yang tertinggal adalah : rakyat yang tetap miskin, rakyat yang untuk berobat saja susah. Rakyat yang sekolah saja mesti mengeluarkan banyak uang. Padahal, APBN Indonesia untuk tahun 2009 kan luar biasa banyaknya. 1.035 triliyun rupiah. Dar sekian banyak, 215 triliyunnya adalah anggaran untuk pendidikan. so what?? Kemana duit sebanyak itu perginya? Klu emang digunakan dijalur yg tepat, insya Allah, pendidikan itu bisa ditalangi!
Nah…nah…nah…, sebentar lagi, saatnya qta sebagai wong cilik MENENTUKAN NASIB BANGSA INI MAU DIBAWA KEMANA. Jangan pilih orang-orang yang memberikan bentuk apapun kepada qta, wong cilik. Dengan memberikan segala sesuatu itu, sama saja dengan MEMAMERKAN IDENTITAS MEREKA, bahwa MEREKA ADALAH CALON KORUPTOR SELANJUTNYA. (ya iya lah! Jalannya menuju ke sana saja sudah penuh dgn uang tak halal, jalan tak halal. jadi, sangat masuk akal pula, setelah mereka duduk nanti, merekapun akan melakukan hal yang sama). Jadi, MASIH ADAKAH ALASAN KITA UNTUK MEMILIH ORANG-ORANG BERMENTAL DEMIKIAN? Inilah saatnya kita menggunakan hati kecil qta untuk memilih orang-orang yang benar-benar berjuanguntuk rakyat, yang bersih, dan terbukti kerja nyatanya untuk rakyat. Okeh?????
Ah ya, ada yang terlupa. Kemaren, salah satu orang kurang mampu (masih di perkampungan terpelosok). Mereka mempunyai seorang anak yang stress dan sakit jiwa. Dan, salah seorang caleg, sebut saja partai E, menawarkan untuk membantu membawa dan membiayai ke rumah sakit jiwa, asalkan dia mau memilih dia dan partainya.
Hmmm…., apa jadinya yah, klw sang caleg tidak kepilih? Jangan-jangan dia yang kemudian ikut ke rumah sakit jiwa juga. Klw perlu, satu kamar dengan orang gila yang ditolongnya. Hehehehe
Ups! Udah ngaur niy.
Hmm..yg jelas, jangan sampai golput dah! Janganlah ya…
Jika golput, dan parlemen terus2an diisi oleh orang2 macam cerita di atas, akan jadi apa negeri ini? Bukankah kita semua rindu negeri yang madani? Bukankah kita merindukan kesejahteraan hadir di negeri ini? Nah, itu semua sangat tergantung dengan pilihan kita nantinya.
homeSWEEThome, 3 April 09.
Menumbangkan Sesuatu Yang Besar
Menumbangkan Sesuatu yang Besar
Mungkin kita sering mendengar kabar berita mengenai kematian orang-orang yang disebabkan infeksi bakteri. Missal, kematian akibat tipus yang tak tertolong. Atau DBD, ataupun bahkan avian influenza. Juga diare yang dibiarkan saja berhari-hari sampai keseimbangan elektrolit tubuhnya merosot tajam, lalu mengalami kematian.
Melihat angka kematian yang cukup signifikan yang ditimbulkan oleh penyakit infeksi, menyebabkan banyak orang yang mulai takut dan waspada. Orang mulai berhati-hati dengan penyakit ini. Ambil saja salah satu contohnya, avian influenza. Bisa dikatakan, setiap orang sangat berhati-hati dengan ancaman penyakit ini. Virus H2N5 ini sempat menjadi issu hangat dan topic hot di berita-berita media massa. Lalu, tiba-tiba H2N5 menjelma menjadi monster yang teramat mengerikan dan actor paling nge-top yang disorot oleh televise, maupun Koran. Berita yang sama, juga sangat popular ketika DBD mewabah.
Tapi, jika kita selami sejenak, apakah yang sesungguhnya yang ditakuti oleh orang-orang itu? Sungguh, yang ditakuti itu sebenarnya adalah Sesuatu yang besarnya hanya beberapa micron saja. Hanya makhluk hidup kecil yang bahkan tak terlihat dengan kesat mata. Dan, yang menakjubkan, zat yang kecil itu, dapat menumbangkan satu tubuh yang besar. Satu tubuh yang penciptaannya paling sempurna, dapat ditumbangkan hanya oleh zat yang tak lebih besar dari seperseratus sentimeter? Amazing!
Nah…nah…nah…, bagaimana zat yg kecil itu bisa menumbangkan zat yang besar? Jawabannya ada pada konsentrasi zat tersebut dalam tubuh manusia. Ternyata…, subhanallah, mereka dapat menyebabkan pathogen (menimbulkan penyakit) bagi manusia jika telah mencapai jumlah tertentu (biasanya dengan konsentrasi beberapa mikroliter) dan diantara mereka saling berkomunikasi yang istilahnya disebut quorum sensing. Bolehkan aku menyederhanakan quorum sensing itu dengan ‘kekompakkan’, dan’barisan yang teratur’ sekumpulan bakteri untuk dapat menumbangkan manusia yang jika dibandingkan dengan sebuah bakteri (apalagi virus) adalah teramat sangat besar??
Jika dianalogikan dengan pesta demokrasi negeri ini, maka satu bakteri itu adalah satu suara yang kita sumbangkan. Jika kita semua bersepakat untuk memilih caleg yang benar-benar bersih, yang benar2 ingin menghadirkan kehidupan yang madani, maka ini pun dapat menumbangkan budaya korupsi yang selama ini sudah begitu besar dan membudaya. Dengan menyumbangkan satu suara kepada orang yang benar dan orang yang tepat, maka, artinya kita telah berkontribusi untuk mengawali Indonesia Madani, yang bersih, dan bebas koruptor. Lalu, yang tersisa, adalah orang-orang yang menmaksimalkan dan mengoptimalkan potensinya demi kejayaan negeri ini.
Mungkin banyak orang yang pesimis, apatis, dan berpikir pragmatis mengenai pemilu. Banyak yang berpikir, “alaaaah…., milih tak milih sama saja. Takkan berubah nasib bangsa ini!”. Waah, jangan gitu dong! Ingatkan cerita bakteri di atas, kalau jumlahnya sedikit, tidak dapat menumbangkan tubuh manusia yang besar. Tapi, jika ada quorum sensing, semuanya saling berkomunikasi, dalam ‘satu barisan yang kokoh’, maka bisa menjadi sesuatu yang ditakuti manusia. Begitu pun, dengan budaya korupsi di negeri ini yang telah mencapai tahap akut. Tapi, kalau dikelola oleh orang-orang yang bersih, maka, insya Allah, bisa menumbangkan tirani. Ya kan?? Kenapa tidak??
Hayo, jangan sampai golput yah!
Pilih caleg yang berkualitas, yang bersih, yang memang berjuang utk rakyat!
Bukan yang menjual janji2 manis saja. Okeh???
PS : ini analog, kira2 nyambung tidak yah?
Hehe…
Mungkin kita sering mendengar kabar berita mengenai kematian orang-orang yang disebabkan infeksi bakteri. Missal, kematian akibat tipus yang tak tertolong. Atau DBD, ataupun bahkan avian influenza. Juga diare yang dibiarkan saja berhari-hari sampai keseimbangan elektrolit tubuhnya merosot tajam, lalu mengalami kematian.
Melihat angka kematian yang cukup signifikan yang ditimbulkan oleh penyakit infeksi, menyebabkan banyak orang yang mulai takut dan waspada. Orang mulai berhati-hati dengan penyakit ini. Ambil saja salah satu contohnya, avian influenza. Bisa dikatakan, setiap orang sangat berhati-hati dengan ancaman penyakit ini. Virus H2N5 ini sempat menjadi issu hangat dan topic hot di berita-berita media massa. Lalu, tiba-tiba H2N5 menjelma menjadi monster yang teramat mengerikan dan actor paling nge-top yang disorot oleh televise, maupun Koran. Berita yang sama, juga sangat popular ketika DBD mewabah.
Tapi, jika kita selami sejenak, apakah yang sesungguhnya yang ditakuti oleh orang-orang itu? Sungguh, yang ditakuti itu sebenarnya adalah Sesuatu yang besarnya hanya beberapa micron saja. Hanya makhluk hidup kecil yang bahkan tak terlihat dengan kesat mata. Dan, yang menakjubkan, zat yang kecil itu, dapat menumbangkan satu tubuh yang besar. Satu tubuh yang penciptaannya paling sempurna, dapat ditumbangkan hanya oleh zat yang tak lebih besar dari seperseratus sentimeter? Amazing!
Nah…nah…nah…, bagaimana zat yg kecil itu bisa menumbangkan zat yang besar? Jawabannya ada pada konsentrasi zat tersebut dalam tubuh manusia. Ternyata…, subhanallah, mereka dapat menyebabkan pathogen (menimbulkan penyakit) bagi manusia jika telah mencapai jumlah tertentu (biasanya dengan konsentrasi beberapa mikroliter) dan diantara mereka saling berkomunikasi yang istilahnya disebut quorum sensing. Bolehkan aku menyederhanakan quorum sensing itu dengan ‘kekompakkan’, dan’barisan yang teratur’ sekumpulan bakteri untuk dapat menumbangkan manusia yang jika dibandingkan dengan sebuah bakteri (apalagi virus) adalah teramat sangat besar??
Jika dianalogikan dengan pesta demokrasi negeri ini, maka satu bakteri itu adalah satu suara yang kita sumbangkan. Jika kita semua bersepakat untuk memilih caleg yang benar-benar bersih, yang benar2 ingin menghadirkan kehidupan yang madani, maka ini pun dapat menumbangkan budaya korupsi yang selama ini sudah begitu besar dan membudaya. Dengan menyumbangkan satu suara kepada orang yang benar dan orang yang tepat, maka, artinya kita telah berkontribusi untuk mengawali Indonesia Madani, yang bersih, dan bebas koruptor. Lalu, yang tersisa, adalah orang-orang yang menmaksimalkan dan mengoptimalkan potensinya demi kejayaan negeri ini.
Mungkin banyak orang yang pesimis, apatis, dan berpikir pragmatis mengenai pemilu. Banyak yang berpikir, “alaaaah…., milih tak milih sama saja. Takkan berubah nasib bangsa ini!”. Waah, jangan gitu dong! Ingatkan cerita bakteri di atas, kalau jumlahnya sedikit, tidak dapat menumbangkan tubuh manusia yang besar. Tapi, jika ada quorum sensing, semuanya saling berkomunikasi, dalam ‘satu barisan yang kokoh’, maka bisa menjadi sesuatu yang ditakuti manusia. Begitu pun, dengan budaya korupsi di negeri ini yang telah mencapai tahap akut. Tapi, kalau dikelola oleh orang-orang yang bersih, maka, insya Allah, bisa menumbangkan tirani. Ya kan?? Kenapa tidak??
Hayo, jangan sampai golput yah!
Pilih caleg yang berkualitas, yang bersih, yang memang berjuang utk rakyat!
Bukan yang menjual janji2 manis saja. Okeh???
PS : ini analog, kira2 nyambung tidak yah?
Hehe…
Mereka Yang Kecewa, Yang Terlupakan
Setiap momen DS adalah momen yang selalu ingin ku’abadikan’ dalam sebuah tulisan. Ada banyak kisah-kisah indah di sana. Meski sering juga hurt heart. (emm…, bukan heart failure loh. Emangnya gagal jantung??hehehe). Nah, kali ini, aku ingin bercerita soal pejuang. Di sore ini,sampailah aku di sebuah rumah panggung khas minang kabau banget. Di beranda rumah panggung itu, duduklah seorang kakek yang kutaksir-taksir umurnya sekitar 70 tahun.
Lalu, mulailah ku’bertamu ke rumah itu. Sambutan beliau dan keluarganya sangat hangat sekali. setelah kuceritakan beberapa hal, akhirnya gantian beliau yang bercerita. Subhanallah! Aku takjub! Ternyata beliau adalah mantan pejuang ’45. Umur beliau, bukan 70 tahun, tapi, (emm…coba tebak berapa??), 94 tahun! Tapi, sosok itu masih kuat berjalan. Sangat ‘muda’ dari umurnya yang sesungguhnya.
Lalu, beliau bercerita tentang kisah-kisah pejuang terdahulu merebut kemerdekaan. Mungkin, bagi teman-teman akan berpikir, “ahh…itu kan biasa saja. Lagian, kita kan sering dengar cerita perjuangan dari pelajaran sejarah.” Yah, memang benar demikian. Tapi, cobalah dengar, ada sebuah spirit tersendiri, jika kita mendengar langsung dari pelaku sejarah itu. Sang kakek berkisah, bagaimana sulitnya masa itu. Bagaimana perjuangan para ‘ulama merebut kemerdekaan. Mungkin, ada sedikit “plintiran” sejarah, yang mungkin sengaja “di-hidden” oleh “oknum” tertentu jika kita hanya membacaya dari buku-buku teks book sejarah. Ini Tentang perjuangan umat Islam tempo dulu (yang sering tidak disebutkan).
Dahulu, umat Islam berjuang dengan kalimah takbir!!! Dahulu, mereka berjuang sesungguhnya adalah bagaimana agar Islam itu tidak ternodai. Bukankah tujuan penjajah itu adalah gold, gospel, dan glorry? Nah…nah…nah…. Mengherankan sekali jika tujuannya adalah hanya untuk mencari rempah2 dan kekayaan saja, toh mereka adalah “orang2 cerdas” yang bisa mendapatkan dan memproduksi itu smeua di Negara mereka. Lagian mereka juga bukan tipe orang2 yg suka berpetualang, jika tidak dengan misi tertentu. The poin dari tujuan mereka itu adalah misi seorang missionaries. (saat ini, menjadi plintiran sejarah, menurutku. [eit, bukannya nyalahin pemerintah or pihak berwenang niy yah. Kan ini jamannya bebas menegluarkan pendapat. Iya tho??])
Kembali ke kisah sang Kakek. Beliau berkisah bahwasannya nyaris semua negeri dikunjunginya untuk merebut kemerdekaan (berislam) itu. Aku juga disuruh menebak Istri beliau yang duduk tak jauh dari beliau itu, “kira2 menurut Upik (beliau memanggilku upik), nenek ini orang mana?” aku berpikir sejenak. Lalu menggeleng.
“beliau itu orang Ambon. Dulunya kristiani.” Kata beliau. Aku terperanjat bukan main. Ambon?? “kenapa bisa, kek?” tanyaku spontan.
Beliau jawab, “Karena kami ikut berjuang sampai ke Maluku dulunya, hmmm…waktu itu perjuangan melawan RMS.”
Waaah, sampai ke Maluku!!
Beliau juga bercerita bahwa beliau ikut bersama Daud Bereuh di aceh.
Lalu, setelah bercerita itu semua (yang sesungguhnya bagiku sangat amazing, karena banyak “plintiran” sejarah yang terluruskan dan menemukan “balsam anti pegelinunya” di sana), terlontar pertanyaanku, “lalu bagaimana menurut kakek sekarang?”
(mengenai Indonesia sekarang, maksudku)
“kalau bercerita soal itu Upik, sejujurnya ambo kecewa sangat! Benar-benar sangat KECEWA. Lihatlah, saat ini, kami terlupakan! Kami tak dihargai sama sekali!! perjuangan bersimbah darah itu, tak dihargai sama sekali. apa bentuk penghargaan itu coba? Apa??”
Aku terenyuh sekali mendengar bahwasannya bukan penghargaan sebagai seorang pahlawan yang diinginkan beliau sehingga harus kecewa ketika tak mendapatkannya. Bukan pula harta dan tahta yang menjamin kehidupan beliau. Sama sekali bukan! (yang seharusnya ini ada! Karena, seorang pensiunan PNS saja dapat jaminan hidup di hari tua. Lalu, bagaimana dengan seorang pejuang yang dengan tulus mengorbankan jiwa dan raga mereka tanpa pamrih. Tak berhakkah mereka mendapatkan kehidupan yang layak di hari tua mereka, setelah demikian panjang perjuangan mereka alam memerdekakan negeri ini????. Apakah hanya karena mereka tak terikat kontrak kerja?? Jika memang demikian, Terlalu sederhana alasan itu, setelah demikian besar perjuangan luar biasa yang mereka lakukan. Hiks…, miris!)
Yang beliau kecewakan adalah, kebodohan kita dalam mengisi kemerdekaan itu. Kebodohan kita dalam menikmati sebuah kemerdekaan. “Lihatlah sekarang, Upik, di negeri ini, begitu banyak kebobrokan yang telah terjadi. Anak-anak gadis yang pamer aurat. Pemuda-pemuda yang gemar berbuat kerusakan, berjudi, mabuk-mabukkan. Kita yang lebih Bangga dengan budaya Barat. Padahal dahulu, kami memperjuangkan itu semua! Padahal, dahulu kami memperjuangkan bagaimana Islam itu semestinya tegak. Lihatlah, jaman dahulu, adakah wanita yang berbaju setengah itu?” (ini dengan redaksional yang berbeda tentu saja, yg penting intinya yah itu tadi). Wuiss! Aku merasa tertohok. Maka benarlah, bahwasannya kita mengisi kemerdekaan ini dengan sebuah ‘kebodohan’. Benar-benar Amat sangat pantas sekali mereka kecewa kepada kita.
Di akhir penjelasannya, sang kakek berpesan kepadaku, “Upik, kau sebagai mahasiswa, maka BERJUANGLAH! BERJUANGLAH!! Teruskan perjuangan itu!!” (kata-kata ini sangats sering beliau ulang). Sungguh, di hatiku terlahir sebuah spirit. Sebuah spirit yang insya Allah akan menjadi ‘nafas’ sebuah perjalanan.
“insya Allah Kek, saya akan berjuang!!” aku mengangguk dengan sangat optimis dan penuh semangat. Tertular dari sang kakek yang juga menyampaikannya penuh semangat. Kata2 yang muncul dari jiwa seorang pejuang seperti sang kakek itu. Bahkan, teman-teman mingkin tak menyangka, kata2 itu keluar dari bibir seorang yang sudah sangat renta (namun dengan semangat yang luar biasa).
Nah…nah…nah…, sahabat seperjuanganku! Para mahasiswa(sperti yang di bilang sang kakek), inilah saatnya kita menjadi agen perubahan itu!!! Yang memiliki semangat, untuk terus memperjuangkan sebuah nilai kebenaran!! Mari kita bermimpi besar (memiliki harapan besar), untuk sebuah perubahan besar!! Semoga kita tak lena dengan hal-hal kecil yang akan menarik kita mundur ke belakang! Mari, teruslah maju!! Dengan semangat!!! Because, we were born to be agent of change!!! Sebab, kita terlahir untuk menjadi agen perubahan itu!! Allahu akbar!!!!
Semangat!!
Hamasah!!!
Don’t give up!!!
Syakuro, home Sweet, Rab’iul Awwal 1430 H
Lalu, mulailah ku’bertamu ke rumah itu. Sambutan beliau dan keluarganya sangat hangat sekali. setelah kuceritakan beberapa hal, akhirnya gantian beliau yang bercerita. Subhanallah! Aku takjub! Ternyata beliau adalah mantan pejuang ’45. Umur beliau, bukan 70 tahun, tapi, (emm…coba tebak berapa??), 94 tahun! Tapi, sosok itu masih kuat berjalan. Sangat ‘muda’ dari umurnya yang sesungguhnya.
Lalu, beliau bercerita tentang kisah-kisah pejuang terdahulu merebut kemerdekaan. Mungkin, bagi teman-teman akan berpikir, “ahh…itu kan biasa saja. Lagian, kita kan sering dengar cerita perjuangan dari pelajaran sejarah.” Yah, memang benar demikian. Tapi, cobalah dengar, ada sebuah spirit tersendiri, jika kita mendengar langsung dari pelaku sejarah itu. Sang kakek berkisah, bagaimana sulitnya masa itu. Bagaimana perjuangan para ‘ulama merebut kemerdekaan. Mungkin, ada sedikit “plintiran” sejarah, yang mungkin sengaja “di-hidden” oleh “oknum” tertentu jika kita hanya membacaya dari buku-buku teks book sejarah. Ini Tentang perjuangan umat Islam tempo dulu (yang sering tidak disebutkan).
Dahulu, umat Islam berjuang dengan kalimah takbir!!! Dahulu, mereka berjuang sesungguhnya adalah bagaimana agar Islam itu tidak ternodai. Bukankah tujuan penjajah itu adalah gold, gospel, dan glorry? Nah…nah…nah…. Mengherankan sekali jika tujuannya adalah hanya untuk mencari rempah2 dan kekayaan saja, toh mereka adalah “orang2 cerdas” yang bisa mendapatkan dan memproduksi itu smeua di Negara mereka. Lagian mereka juga bukan tipe orang2 yg suka berpetualang, jika tidak dengan misi tertentu. The poin dari tujuan mereka itu adalah misi seorang missionaries. (saat ini, menjadi plintiran sejarah, menurutku. [eit, bukannya nyalahin pemerintah or pihak berwenang niy yah. Kan ini jamannya bebas menegluarkan pendapat. Iya tho??])
Kembali ke kisah sang Kakek. Beliau berkisah bahwasannya nyaris semua negeri dikunjunginya untuk merebut kemerdekaan (berislam) itu. Aku juga disuruh menebak Istri beliau yang duduk tak jauh dari beliau itu, “kira2 menurut Upik (beliau memanggilku upik), nenek ini orang mana?” aku berpikir sejenak. Lalu menggeleng.
“beliau itu orang Ambon. Dulunya kristiani.” Kata beliau. Aku terperanjat bukan main. Ambon?? “kenapa bisa, kek?” tanyaku spontan.
Beliau jawab, “Karena kami ikut berjuang sampai ke Maluku dulunya, hmmm…waktu itu perjuangan melawan RMS.”
Waaah, sampai ke Maluku!!
Beliau juga bercerita bahwa beliau ikut bersama Daud Bereuh di aceh.
Lalu, setelah bercerita itu semua (yang sesungguhnya bagiku sangat amazing, karena banyak “plintiran” sejarah yang terluruskan dan menemukan “balsam anti pegelinunya” di sana), terlontar pertanyaanku, “lalu bagaimana menurut kakek sekarang?”
(mengenai Indonesia sekarang, maksudku)
“kalau bercerita soal itu Upik, sejujurnya ambo kecewa sangat! Benar-benar sangat KECEWA. Lihatlah, saat ini, kami terlupakan! Kami tak dihargai sama sekali!! perjuangan bersimbah darah itu, tak dihargai sama sekali. apa bentuk penghargaan itu coba? Apa??”
Aku terenyuh sekali mendengar bahwasannya bukan penghargaan sebagai seorang pahlawan yang diinginkan beliau sehingga harus kecewa ketika tak mendapatkannya. Bukan pula harta dan tahta yang menjamin kehidupan beliau. Sama sekali bukan! (yang seharusnya ini ada! Karena, seorang pensiunan PNS saja dapat jaminan hidup di hari tua. Lalu, bagaimana dengan seorang pejuang yang dengan tulus mengorbankan jiwa dan raga mereka tanpa pamrih. Tak berhakkah mereka mendapatkan kehidupan yang layak di hari tua mereka, setelah demikian panjang perjuangan mereka alam memerdekakan negeri ini????. Apakah hanya karena mereka tak terikat kontrak kerja?? Jika memang demikian, Terlalu sederhana alasan itu, setelah demikian besar perjuangan luar biasa yang mereka lakukan. Hiks…, miris!)
Yang beliau kecewakan adalah, kebodohan kita dalam mengisi kemerdekaan itu. Kebodohan kita dalam menikmati sebuah kemerdekaan. “Lihatlah sekarang, Upik, di negeri ini, begitu banyak kebobrokan yang telah terjadi. Anak-anak gadis yang pamer aurat. Pemuda-pemuda yang gemar berbuat kerusakan, berjudi, mabuk-mabukkan. Kita yang lebih Bangga dengan budaya Barat. Padahal dahulu, kami memperjuangkan itu semua! Padahal, dahulu kami memperjuangkan bagaimana Islam itu semestinya tegak. Lihatlah, jaman dahulu, adakah wanita yang berbaju setengah itu?” (ini dengan redaksional yang berbeda tentu saja, yg penting intinya yah itu tadi). Wuiss! Aku merasa tertohok. Maka benarlah, bahwasannya kita mengisi kemerdekaan ini dengan sebuah ‘kebodohan’. Benar-benar Amat sangat pantas sekali mereka kecewa kepada kita.
Di akhir penjelasannya, sang kakek berpesan kepadaku, “Upik, kau sebagai mahasiswa, maka BERJUANGLAH! BERJUANGLAH!! Teruskan perjuangan itu!!” (kata-kata ini sangats sering beliau ulang). Sungguh, di hatiku terlahir sebuah spirit. Sebuah spirit yang insya Allah akan menjadi ‘nafas’ sebuah perjalanan.
“insya Allah Kek, saya akan berjuang!!” aku mengangguk dengan sangat optimis dan penuh semangat. Tertular dari sang kakek yang juga menyampaikannya penuh semangat. Kata2 yang muncul dari jiwa seorang pejuang seperti sang kakek itu. Bahkan, teman-teman mingkin tak menyangka, kata2 itu keluar dari bibir seorang yang sudah sangat renta (namun dengan semangat yang luar biasa).
Nah…nah…nah…, sahabat seperjuanganku! Para mahasiswa(sperti yang di bilang sang kakek), inilah saatnya kita menjadi agen perubahan itu!!! Yang memiliki semangat, untuk terus memperjuangkan sebuah nilai kebenaran!! Mari kita bermimpi besar (memiliki harapan besar), untuk sebuah perubahan besar!! Semoga kita tak lena dengan hal-hal kecil yang akan menarik kita mundur ke belakang! Mari, teruslah maju!! Dengan semangat!!! Because, we were born to be agent of change!!! Sebab, kita terlahir untuk menjadi agen perubahan itu!! Allahu akbar!!!!
Semangat!!
Hamasah!!!
Don’t give up!!!
Syakuro, home Sweet, Rab’iul Awwal 1430 H