Cie..cieee…, judulnya rada2 melankolis. Maklum, sisa2 kemelankolisan diriku sedikit mencuat niy. Hehe. Ehm..ehm…, baiklah. Kali ini aku ingin bercerita tentang sebuah episode di atas angkot Lurus jurusan Pasar Baru-Pasar Raya via..hm..via apa yah ? via andalas, simp haru, jalan A yani dan..whateverlah! gak penting pun!
Jadi critanya,suatu siang yang terik (tepatnya sian tadi), di pasar Raya, Sehabis mengantongi sebuah melon (special buat sodari2ku tacinto di wisma), aku beranjak menuju pangkalan angkot. Rencananya sih, mau naek angkot PISANG saja. Biar ndak jauh-jauh jalan kakinya cuz angkot PISANG kan brenti gak jauh2 amat dari jalan bandes, di mana wismaku saat ini berdiri. Alangkah kuciwaaa diriku mendapati populasi angkot PISANG yang nihil. Ada sih, mereknya” PISANG”, tapi, trayeknya ke PIAI. Akhirnya kuputuskan untuk naik angkot LURUS saja. Hmm…, siang2 terik begini, jalan dari PAsar BAru ke Kampung Dalam lumayan juga! (lumayan menguras tenaga dan memeras keringat, hehe).
Huff…, Alhamdulillah, dapet tempat duduk yang lumayan lega. Ada AC-nya juga (Angin Cepoi2) yang menyegarkan. Wusss…
Di dalam angkot ada empat ibu-ibu berikut dengan belanjaan mereka yang gedee2, pake kantong plastic itam. Si ibu2 asyik bercerita. Biasanya sih, diriku gak begitu memperhatikan dan mempedulikan apa yang orang lain obrolkan dan sibuk mikir-mikir (evaluasi) dan ngebikin rencana, kalo lagi di angkot. “dari tadi pagi, apa aja yang aku kerjain yah? Hari ni, planningnya yang terjalankan apa aja yah. Trus, yg enggak gimana yah? Target hari ni kecapai gak yah? Atau…., Habis ini…ngapain yah. Trus besok ngapain yah. Acc hasil kapan yah. Ngurusin bebas lab ama bebas pustaka kapan yah. Hasil tes TOEFL kmren gmana yah, lulus kagak yah. Atawa minimal, nanti sore akhwat masak apa yah (hehe).” Kira-kira begitulah. Tapi, kali ini, telingaku cukup tertarik mendengarkan perbincangan ibu-ibu di atas angkot LURUS itu.
Berikut cuplikannya (dengan redaksional yang berbeda tentunya. Masak siy, diriku sampe hafal. Hihi.., ngaco!):
Ibu pertama : Bara lado sakilo, Bu?”
Ibu kedua : Tigo Baleh.
Ibu Ketiga : Ndeh, maha nyo lai. Ambo mambali lai sapuluah sakilo nyo.
Ibu pertama : Dima tuh babali?
Ibu ketiga : di …..(beliau menyebutkan sebuah nama yang sudah kulupa. Maklum, kalo nama, emang sering lupa. Tapi, kalo dikasi angka, insya Allah ingat. Diriku lebih suka ngapal angka dari pada ngapal kata. ngapal tangal lahir dan no HP contohnya.Aihh, penting gak sih??)
Ibu pertama : Ooo..di sinan??? Ambo di siko haaa…(juga menyebutkan sebuah nama, dan lagi2 tentu saja aku lupa, hehe)
Ibu kedua : iyo tu mah, di ….. itu memang maha!!!
Ibu pertama : tapi, lado iko rancak katonyo. Lado kampuang! (sang Ibu pun mengeluarkan cabe itu dari bungkusannya. Dan mengambil beberapa cabe)
Ibu ketiga : iko ndak lado kampuang ko doh! Lado jawa mah.
Ibu pertama : haaa?? Iyo tuh? Ambo mamiliah nan iko, dek murah manggiliangnyo. Ruponyo ndak lado kampuang do yo? Keceknyo ditanam di ladang balakang rumahnyo.
Ibu kedua : kok lado kampuang tu hee…, ndak sa licin iko do. Bakaruik saketek. Rancak. Lado jawa ko aia se nan banyak nyo mah.
Ibu pertama : OOoo..baitu yo??
Percakapan tersu berlanjut dnegan berbagai topic. Mulai dari penjual yg suka curang, terus timbangan yang sering dipreteli, sampai ke jumlah anak dan pekerjaan masing-masing suami. Sampai pula ke KB, cocok apa tidak. Keunggulan punya banyak anak dan sedikt anak. Beda anak laki dan perempuan. Pokoknya cerita khas ibu2 dah. Yang belakangan sih, aku tak perlu membahasnya bukan? Hehe…
Dari cerita tadi, ada hal yang kemudian aku garis bawahi. Tentang apa? Tentang sekilo cabe? Hohho, tentu saja tidak. Tentang ibu! Yah, ibu!
Mungkin ita jarang berpikir, “Sampai segitukah?? Hingga detil-detil bentuk cabe dan harga cabe. Bahkan hanya beda hara seribu dua ribu bisa jadi perhitungan yg panjang lebarrr. Sungguh luar biasa ia mengelola. Sering kali, Yang kita tahu adalah, sudah ada bahan2 masakan di kulkas dan di dapur. Bahkan, sudah ada hidangan tersedia di meja makan, tanpa tahu, barangkali ikan yang ada di meja tadi, justru penuh perjuangan membelinya, berdesak-desakan dengan ibu2 lainnya. Atau, barangkali, ibu juga berseteru dengan penjual ayam potong tentang tawar menawar harga. Kita mungkin tak tahu, bahwa ia berjalan dengan begitu lelah mengelilingi pasar. Untuk siapa? Ya, untuk kita, keluarganya! Bahkan ia memperhitungkannya dengan sangat detail!!!
Udah gitu, sesampai di rumah, hanya dengan sedikit istirahat, bliau mulai mengolah bahan-bahan itu, menjadi hidangan yang lezat. Dan barangkali kita tidak tahu, bahwa tangannya dipenuhi arang, ada muncratan minyak panas yang mengenaninya. Atau, pisau irisan bawang yang kebeulan nyasar. Apapun itu, mngkin banyak di antara kita, yang kemudian “HANYA” mendapati hidangan itu telah benar-benar siap di atas meja makan tanpa tahu menahu begitu panjang proses yang telah dilewatinya. Sudah begitu, bahkan masih ada yang ‘berani’ bilang, “Uuuhhh,,, si mama koq masak yang ini sih? Aku kan kurang suka.” “Mama kok masaknya beginibegini terus sih, gak kayak Ibunya si fulan.” Kata-kata itu begitu saja meluncur tanpa pikir panjang. Tanpa tahu, untuk menyulapnya menjadi sebuah hidangan, ada rangkaian proses yang tidak sedikit, dan tentu saja melelahkan!!! Mungkin goreng kentang yang kita bilang kurang suka itu, tadinya mendapatkannya dengan berebut-rebutan dengan ibu-ibu lainnya. (Padahal , makan dengan lahap saja dan menunjukkan bahwa kita menyenangi masaknnya, sungguh telah cukup baginya untuk membayar semua kelelahan itu, meskipun sebenarnya jasanya itu takkan terbayar???)
Ini pun belum cukup!!! Bahkan, ia yang memasak dan mengolah dan mengerjakan semuanya, lebih memilihuntuk makan terakhir saja, setelah semua anggota keluarganya selesai makan. Luar biasa! Lalu, membereskannya, dan mencucinya kembali.
Ahh….ibu…
Tapi, sudah segitu buaaaanyaaaaaaaaaaak kasih sayang ibu (dan takkan dapat disebutkan lagi saking banyaknya), masih saja ada anak-anak yang merasa “malu” untuk sekedar minta maaf sama ibunya jika ia salah. Atau, masih ada anak yang “MALU” untuk memeluk ibunya (apalagi dihadapan orang banyak). Dalihnya, “Aih,, aku kan uda gede’. Masak masiy peluk-pelukkan sama mama?”. Memangnya salahnya apa??? Justru makin gede, harusnya makin berisi batok kepalanya, dan makin ngerti cara memperlakukan ortu. Dan yang parahnya lagi, ada pula yang sampai MALU bergandengan sama ibunya di hadapan teman sekolah atau teman kampusnya (ini mah ceritanya teater PELANGI sastra, waktu awal2 taon satu dulu atawa taon2 awal kuliah dulu lah. Forum annisa gabungan di Unand kalo tak salah. Hehe. Mudah2an kejadiannya Cuma di cerita doang. Gak kejadian di dunia nyata).
Sungguh…,
Semua akan menjadi sebuah penyesalan besar ketika kita tak lagi bertemu dengannya, suatu saat nanti. Ketika kesempatan itu tak ada lagi. Kesempatan untuk memohon maaf dan memberikan yang terbaik kepadanya. Ia yang serba kekurangan! Kekurangan makan, biar anak-anaknya bisa makan enak. Kekurangan pakaian (biarlah anak2nya aja yang dapet baju baru). Kekurangan tidur (apalagi kalo anaknya lagi sakit). Dia yang selalu memberikan yang terbaik untuk kita. Mendahulukan kepentingan kita. Dia, yang mungkin rela ngutang sana sini dengan menekan rasa malu agar bisa transver duit ke rekening kita. Agar kita, anak-anaknya tidak terlantar di negeri orang. Yang duit itu malah kadang2 digunain buat hura-hura. Buat makan-makan enak bareng teman, padahal beliau di rumah mungkin makan apa adanya saja. Sudah segitunya pengorbanan beliau, kadang2 kita malah malas2an kuliah dan blajar. Atau, sebagian malah ada yang digunain buat nraktir pacarnya!!!! (INI PARAH BANGET!!!)
Duuuh…, betapa besarnya rasa bersalah ni.
(ini sekedar mengingatkan aku sendiri, kamu, dan kita semua). Semoga bisa diambil manfaatnya.
duuh…, ni air mata dah ngucur dari tadi niy..
hiks…hiksss…
(ditulis waktu di sela2 waktu memperbaiki hasilku….hufff…)
Asw,,, mantabs Kak...
ReplyDelete