Beberapa waktu yang lalu, seseorang berkata kepadaku, “Thel, aku pengen seperti akhwat itu.” Aku melirik akhwat yang dimaksud. Hmm…, benar! Cantik, ayu, kalem, mempesona. (Jika teori kecantikan itu ada dua, relative dan mutlaq. Relative artinya tergantung sang penilai, dan mutlaq itu hampir semua mengatakan hal yang sama, maka aku menggolongkan snag akhwat pada kategori mutlaq. Hehe.) “Aku pengen laaa, bisa seperti akhwat itu. Dewasa. Tenang. Calm.” Lanjutnya.
Hmmpphh…,
Entahlah…Apa aku yang terlalu ke-PD-an atau gimana geetoooh, tapi aku merasa bahagia dengan aku apa adanya (meski kadang jugah sering merasa under estimate siiiih. Hehe). Tidak seperti akhwat yang kalem, ayu, dan cantik, aku malah sebaliknya, cuek, slenge’an, ancur2an dan…kadang2 rada2 smaugue. Tapi, bagiku, “It’s me.” (hoho, apakah menonjolkan ke-ego-an? Atau bertahan dengan habit yang buruk? Semoga tidak)
Hanya saja, aku kurang begitu sepakat dengan pernyataan, “Aku ingin seperti si fulanah.” Kenapa harus menjadi orang lain? Kenapa? Kenapa harus orang lain yang jadi standardisasi? Jika bukan karena seseorang itu adalah orang yang lebih bagus bacaan/hafalan Qur’annya, lebih baik ‘ilmunya dan dia mengamalkannya, dan lebih tajir tapi dia bener2 dermawan dermawati dan membelanjakana dijalan-Nya, maka buat apa iri? Buat apa ingin menjadi mereka? Kita boleh saja belajar dari mereka, tapi bukan berarti menjadi duplikasi mereka kaaan??
“Tak ada manusia, yang terlahir sempurna. Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugrah…”
Lihatlah di sekeliling kita. Ada orang yang terbaring sakit. Maka, bersyukurlah jika kita masih bisa loncat sana-sini (hoho, koq ngeloncat yaah? Hihi). Lihatlah, mungkin ada yang tidak lebih beruntung dari diri kita, yang masih dikaruniakan kelengkapan oleh Allah. Maka, memang tak ada lagi alasan untuk tidak bersyukur atas apa yang ada pada diri kita.
Dari Ibnu Mas’ud ra., berkata, Rasulullah saw bersabda: “Tidak boleh ada cita-cita untuk mendapatkan nikmat seperti orang lain kecuali dalam dua hal yaitu : terdahadap seseorang yang dikaruniakan harta oleh Allah kemudian ia pergunakan untuk membela kebenaran dan terhadap seseorang yang dikaruniakan ilmu pengetahuan kemudian ia mengamalkannya dan mengajarkannya.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Maka, hal yang harus kita yakini adalah, Allah telah ciptakan kita lengkap dengan potensi pada diri kita. Sudah selayaknyalah kita optimalkan potensi itu! Kita harus syukuri apa yang ada pada diri kita, tapi, bukan bukan berarti merasa cukup dengan apa yang ada saja.karena, salah satu wujud syukur itu adalah mengoptimalkan potensi yang Allah berikan.
So, mari kita bersemangat…!!!
Sesekali boleh kita membandingkan dengan orang lain, tapi tentunya dalam hal-hal tertentu, kebaikan misalnya. tapi bagaimanapun, kebahagiaan hidup salah satunya bisa dirasakan apabila kita mensyukuri apa yang ada pada diri kita. terkadang semakin sering melihat orang lain, maka semakin lupa akan potensi diri sendiri.
ReplyDelete@Abi :
ReplyDeleteIya Abi...bener...
Trima kasih ya Abi, atas masukkannya.
Salam buat sabila nya...
Sy link blognya ya Abi...^^