Suatu hari, seorang siswa SMP kelas 1 itu dengan semangatnya berangkat menuju sekolah… Di genggamannya, ada segulung kertas. Yah, itu adalah pajangan struktur kelasnya di mana ia mendapat kepercayaan untuk membuatnya. Dan pagi itu, ia akan menyerahkan karyanya kepada gurunya tersebut.
Betapa riangnya ia, karena ia telah membuat pajangan struktur kelas itu dengan sungguh-sungguh. Dan hasilnya, tentu saja jauh berbeda dari kelas-kelas lainnya yang hanya membuatnya di sebuah kertas polos, tanpa motif. Tapi ia, membuat struktur itu begitu berbeda. Penuh warna, penuh keceriaan. Dan hasilnya sungguh cantik.
Ketika sampai di kelas, ia menyerahkan pajangan struktur kelas itu dengan riang. Namun, ketika sang guru melihat karya muridnya itu, dia langsung berkata,
“Apaan ini! Struktur kelas itu tidak begini! Ada bagan-bagannya! Ini apa ini? Cuih!?”
Ceria kontan berganti muram di wajah sang murid. Jangankan apresiasi, ucapan terima kasih saja tidak ia terima dari sang guru! Justru yang ia terima adalah penyalahan! Dan, yang parahnya lagi, yang dipersalahkannya tidaklah salah! Itu sebuah kreativitas, yang bahkan tidak dimiliki oleh anak-anak lainnya!
Dan sang murid itu pulang, dengan tangis!
Andai guru itu tahu, bahwa sang murid telah mati-matian membuatnya, bahkan merelakan waktu belajarnya! Dua hari! Yap, dua hari ia membuatnya dengan penuh semangat!
Aku, sungguh merasa kasihan pada murid itu dan merasa sangat geram pada sang guru. Beginikah cara mendidikmu, Bu Guru?
Jika memang demikian, sungguh, kaulah pembunuh berdarah dingin!
Pembunuh yang membunuh karakter-karakter muridmu!
Jika banyak guru-guru lain yang bermental sepertimu, maka, negeri ini akan kehilangan banyak harapan!
Meski geram, aku pun sangat kasihan padamu, Guru macam ni! Kasihan sekali anak-anakmu. Tumbuh dalam asuhan ‘pembunuhan’mu!
Mari kita meneladani Rasulullah dalam memperlakukan seorang anak…
Dari Anar ra., berkata : “belum pernah saya memegang sutra baik yang tebal maupun yang tipis, yang lebih halus dari tangan Rasulullah saw.; dan saya belum pernah mencium bau yang lebih harum dari bau Rasulullah saw. Saya pernah menjadi pelayan Rasulullah selama sepuluh tahun, beliau sama sekali tidak pernah mengatakan ‘”hus” kepada saya, begitu pula beliau tidak pernah menegur dengan ucapan, “kenapa kamu berbuat seperti itu?” terhadap apa yang saya kerjakan, dan beliau juga tidak pernah menegur dengan ucapan “kenapa kamu tidak berbuat demikian” terhadap apa yang tidak saya kerjakan. (HR. Bukhari dan Muslim).
Masya Allah…
Perhatikanlah kalimat Manusia Agung yang ma’shum ini. Yang tidak punya kesalahan dan dosa ini. “kenapa kamu berbuat seperti itu?”, adalah kalimat-kalimat penyalahan. Dan beliau tidak pernah melakukannya kepada anak-anak! Lalu, apa hak kita untuk melakukan penyalahan itu, sementara kita juga banyak salah, banyak dosa dan begitu dhaif.
Asalammu'alaikum.....
ReplyDeletesungguh saya mendapatkan makna tertulis dari postingan tentang 'Guru Yang Membunuh Muridya' kebetulan saya sendiri adalah guru private. dan ternyata untuk di mengerti, kita harus mengerti terlebih dahulu (Steven R Covey) atau katakanlah untuk menjadi guru yang disukai, kita kudu pintar secara emosi dan juga memilah diksi yang tepat jika ingin menyampaikan maksud. guru itu mungkin berbicara dari sudut pandang subjektif terhadap murid itu....
begitulah fenomena yang sering terjadi di sekolah-sekolah ketika guru mengungangkapkan maksud dengan cara yang kuno.... langsung bilang "kamu salah", "kamu ini malas", "kamu ini bandel" dan kata kata negatif lainnya......
yang melemahkan kreativitas anak muridny
Yup...
ReplyDeletekenyataannya memang demikian yaah..
smga kedepan, lahirlah guru2 yang bukan cuma sebagai "pengajar" tapi juga sebagai "pendidik"
semoga :)