Hmm… teka-teki ini akhirnya sedikit menemui titik terang. Jawaban atas Tanya “mengapa”ku selama ini. Dari dahulu, aku sudah sangat menyadari bahwa diriku adalah seseorang dengan gaya kelekatan ‘insecure’. Itulah sebabnya, mengapa aku lebih memilih untuk berdiam diri di asrama semasa SMA dulu—bahkan meskipun harus sendirian di gedung titisan penianggalan Belanda Norman School yang kata orang menyeramkan itu—dari pada berkelana menuju rumah teman-teman yang ada di Padangpanjang dan sekitarnya ketika jadwal pulang kampung yang sekali dalam sebulan itu. Mengingat jarak 180 km lebih yang harus ditempuh—jika pulang balik adalah 360 km lebih—tentulah pulang kampung adalah sesuatu yang tidak menjadi pilihan meskipun sangat ingin. Apa salahnya jika aku ikut bersama teman-teman yang kampungnya di BUkttinggi, Batu Sangkar, Solok, Pariaman ataupun Padangpanjang sendiri? Tapi, bagiku itu sungguh berat. Karena, insecure itu tadi.
Hmm…
Terlahir sebagai anak pertama yang diharapkan! Heuu…Bukannya ke-PD-an niiihWalau bagaimana pun, anak pertama adalah anak yang diharapkan kehadirannya. Mengharapkan kehadiran itu artinya banyak pula harapan-harapan yang tertumpu pada anak pertama. Kehadirannya disambut dengan sebuah suka cita. Apa-apanya telah disediakan untuk menyambut kehadirannya. Perhatian padanya tercurah paling tinggi sebab ia ada ketika yang lainnya belum ada. Dibalik itu, anak pertama adalah anak dengan “proteksi” tinggi. Yah, karena ia diharapkan, maka ia begitu dijaga. Begitu diperhatikan.
Aku tahu, bahwa sesungguhnya orang tuaku sudah berusaha menerapkan pola didik terbaik untuk kami . Apresiasikah itu. Motivasikah itu. Ajakan diskusi kah itu untuk menentukan masa depanku, bahkan ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar, ayah sudah mengajakku berdiskusi. Ketika salah satu dari kami tidak lulus di suatu tes maupun tak lulus di sekolah yang diinginkan, orang tua tetap memberikan apresiasi positif. Bukan sebuah penyalahan, “itulaah kamuu! Mengapa tidak belajar! Tuh kaaaan, tidak lulus tes masuk sekolah itu!” Bukan. Bukan demikian. Bahkan justru diberikan suatu hadiah kecil atas ketidak lulusan itu sebagai penguatan dan sebagai sebuah buffer semangat. “Tidak apa-apa Nak.” Atau ketika peringkat di rapor kami tidak tertera angka juara. Tidak ada penyalahan. Tapi, yang ada adalah motivasi sekaligus ucapan selamat. “selamat yah Nak. Kamu sudah berupaya untuk belajar sungguh-sunguh.” Ketidakbolehanku atas sesuatu (missal kuliah di Pulau Jawa) bukan dibahasakan dengan “Nak, kamu tidak boleh kuliah di Bandung atau Jakarta!” tapi dengan bahasa diskusi “sebaiknya kuliahnya tidak diluar Sumbar , ayah dan ibu mengharapkan bisa kuliah di sini saja. Keputusan tetap ada ditanganmu.” Tapi, karena pada dasarnya aku bukan tipe orang oposisi, maka alam bawah sadarku mengatakan bahwa aku harus kuliah di Padang saja, karena harapan orang tuaku demikian. Padahal, kalau aku berani saja nekad memilih luar Sumbar—jika lulus—aku yakin akan tetap dibolehkan juga. Namun, karena ‘perasaan’proteksi itu ada dibawah alam bawah sadarku, ditambah pula aku bukan oposisi, maka aku memilih di Padang saja, meskipun tidak satu pun jurusan yang kupilih itu sesuai dengan apa yang menjadi minatku. Ketidakbolehan ini adalah wujud dari proteksi itu tadi.
Dan, baru belakangan kusadari—kurasakan—bahwa orang tuaku cukup protektif terhadapku, sehingga aku menjadi insecure. Selain itu, ada tumpuan-tumpuan harapan yang dihadapkan kepadaku, meskipun dibahasakan dengan bahasa yang tidak menekan. Hal tersebut—harapan orang tua dan proteksinya—ternyata ternyata memberi pengaruh pagi diriku. Bahwa sesungguhnya alam bawah sadarku menangkap, “orang tuaku mengharapkan seperti ini-seperti ini…dan aku akan sangat mengecewakan beliau jika aku tak dapat memenuhinya.” Ada harapan social yang dititipkan kepadaku.
Pernah dengar istilah seperti ini?
Jika orang tua tamat SD, maka minimal anaknya tamatan SMP. Dan seterus-seterusnya. Mungkin maksudnya adalah memotivasi. Tapi di sisi lain, ini adalah sebuah penitipan harapan maupun obsesi dari orang tua terhadap anak, yang pada alam bawah sadar anak ternyata menciptakan sebuah beban, yang boleh jadi akan memberatkan pada si anak.
Memang, adalah hal yang sangat manusiawi dan sangat wajar bahwa orang tua memiliki harapan-harapan besar pada anaknya. Apalagi orang tua dengan status social yang tinggi. Missal ia adalah seseorang dengan serentetan akademis yang tinggi…, atau seorang pengusaha yang kaya raya, atau pun seorang public figure, tentulah ia mengharapkan anaknya pun demikian. Ia mengharapkan anaknya menjadi seperti dia juga bahkan lebih. Pun demikian halnya dengan orang tua yang memiliki sebuah obsesi terhadap sesuatu hal dan ia sendiri tak mampu mencapainya. Di alam bawah sadarnya, ia mengharapkan sang anak dapat mencapai obsesinya tersebut. Seperti misalnya orang tua yang sangat ingin menjadi dokter, tapi kemudian tak kesampaian. Maka, keinginannya menjadi dokter itu dilimpahkan dan dititipkan kepada sang anak sehingga sang anak—menurut apa yang ada di alam bawah sadar orang tua—harus bisa mencapai cita-cita dokter itu. Padahal, belum tentu anaknya mau ataupun mampu menjadi dokter. Jika pun ia mampu menjalaninya, tapi, pasti akan ada siksaan batin baginya ketika menjalaninya.
Kita melihat banyaklah di antara orang tua yang menitipkan harapan maupun obsesinya kepada anak dan dibahasakan demikian pada anak! Banyak sekali contoh-contohnya. Misalkan “Nak, bapakmu itu udah doctor tuh. Ibu juga sudah master di bidang ibu. Kamu tentulah haruslah bisa lebih baik dari ini!”Dan sang anak akan tertanam pada dirinya ada sebuah beban berat bahwa ia harus lebih baik dari orang tuanya. Atau misalnya, “Nak, itu sekolah isinya anak unggul semua loh. Mama juga dulunya lulusan sekolah unggul itu. Kamu harus bisa juga Nak, sekolah di sana.”
Bayangkanlah! Betapa itu semua akan menjadi beban bagi anak. Meski pun kemudian ketika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya bisa saja hal itu memudar atau teralihkan. Tapi, tetap saja di amigdalanya sudah tertanam demikian.
Walau bagaimana pun, pola didik yang diterapkan orang tua pada anaknya, akan pola didik dasar pula bagaimana si anak mendidik anaknya ketika ia telah menjadi orang tua pula. Ini adalah niscaya. Ia menjadi warna dasar bagi jiwa sang anak tersebut. Ia adalah warna kuning, biru dan merah. Lalu perkara warna sekundernya apakah campuran biru dan kuning membentuk hijau, campuran merah dan biru menjadi ungu serta jutaan warna-warna lainnya adalah bagaimana pola yang kita ciptakan yang telah berintegrasi dengan adanya pengetahuan-pengetahuan dan perubahan iklim zaman dalam hal mendidiknya. Sungguh lebih baik bagi kita—terutama pada calon orang tua—untuk mempelajari ini semua sebelum ia benar-benar mengaplikasikannya di lapangan. Agar warna-warna itu adalah warna-warna cerah…warna-warna yang akan membuat bianglala peradaban ini menjadi lebih indah. Ialah generasi-generasi rabbani itu.
Apa yang menjadi pola didik orang tua yang kita rasakan baik, mari kita ambil, dan apa yang kita rasakan tidak baik bagi kita, maka mari kita perbaiki. Kita bisa melukis pola-pola itu sebelum ia benar-benar jadi. Melukis pola akan seperti apa didikan yang diberikan pada sang anak nantinya. Meskipun kita memiliki harapan social yang tinggi misalnya, jangan sampai itu terbahasakan apalagi sampai menekan sang anak untuk dapat memenuhinya, karena anak tidak sama dengan kita. Jangan pernah menitipkan obsesi pada anak. Biarkanlah mereka menjadi diri mereka sendiri. Kita sebagai orang tua hanya mengarahkannya. Mengarahkan agar sang anak tetap pada koridor-Nya.
Hehe….aku tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa aku lebih tahu, Sobat! Bukan! Aku jauh lebih tidak tahu! Bahkan aku saat ini bukanlah sebagai pelaku! Bukan pula karena terobsesi ingin segera punya anak. Hihihihi. (wong nikah ajah belom!). Ini semata-mata karena aku sangat mencintai dunia pendidikan anak.
Aku menyadari dengan sangat, bahwa teori-teori yang dipaparkan itu, tidak selalu sama dengan kehidupan nyata. Karena, toh hidup itu sendirilah pembelajaran yang sesungguhnya. Akan tetapi, untuk menjahit sebuah baju yang bagus, tentulah dibutuhkan pola-pola terlebih dahulu. Bagaimana bajunya bisa bagus kalau polanya tidak ada? Jika sudah ada pola, maka itu bergantung pada proses menjahitnya lagi. Dan, proses menjahit itulah pembelajaran yang sesungguhnya. Begitu pun dengan pola didik yang kita lukis saat ini. Dan, proses nyatanya adalah pembelajaran yang sebenarnya! Jadiii, kesimpulannya…mari belajar lebih banyak! Apalagi kalo punya cita-cita membangun peradaban Rabbani. Lha, bagaimana peradaban Rabbaninya bisa tercapai kalau sekolahnya saja tidak bagus? Iya tho?
Hayuk….hayuk…sama-sama belajar yuuuuk!
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked