Ceritera Kita Kali Ini
Meski kami sudah berpencar di mana-mana, tapiiii…nuansa ukhuwah masi berasaa. Hee…
Alhamdulillaah… Nikmat ukhuwaah ini benar-benar terasa manis yaah. Ini salah satu dari sekian banyak kasih sayang-Nya…ukhuwah yang begitu lezaaat….
Hmm….hari gini, kami masi OnLine lintas daerah…Solsel-Lubuk Alung-Payakumbuh-Bukittinggi-Agam-Padang-Bekasi…hmm…hmm…
Dan biasanya…itu henpon bisa ampe anget beut, karena nilpunnya bukan itungan menit melainkan jam!
Tema cerita kita biasanya siih tak lepas dari 2 hal…Kerja dan n*kah…. Kalo kata sebuah judul buku, KKN (kuliyah kerja n*kah, naah….kami memangkas “K” yang pertama. Hihi.) wkwkwkwwkwk…Dasaaarrr….syndrome duapuluh plus. Hihi.
Hmm…ada banyak hikmah sih. Ada banyak cerita. Mungkin ini kisah-kisah alay sahaja. Tapii….yaah…semuanya sebenarnya meninggalkan banyak plajaran. Yaah, meski kadang dalam idup ni kita melewatkan banyak kesempatan, tapiii…sebaiknya jangan sampai melewatkan banyak pelajaran. Iya tho?!
Alhamdulillaah… Nikmat ukhuwaah ini benar-benar terasa manis yaah. Ini salah satu dari sekian banyak kasih sayang-Nya…ukhuwah yang begitu lezaaat….
Hmm….hari gini, kami masi OnLine lintas daerah…Solsel-Lubuk Alung-Payakumbuh-Bukittinggi-Agam-Padang-Bekasi…hmm…hmm…
Dan biasanya…itu henpon bisa ampe anget beut, karena nilpunnya bukan itungan menit melainkan jam!
Tema cerita kita biasanya siih tak lepas dari 2 hal…Kerja dan n*kah…. Kalo kata sebuah judul buku, KKN (kuliyah kerja n*kah, naah….kami memangkas “K” yang pertama. Hihi.) wkwkwkwwkwk…Dasaaarrr….syndrome duapuluh plus. Hihi.
Hmm…ada banyak hikmah sih. Ada banyak cerita. Mungkin ini kisah-kisah alay sahaja. Tapii….yaah…semuanya sebenarnya meninggalkan banyak plajaran. Yaah, meski kadang dalam idup ni kita melewatkan banyak kesempatan, tapiii…sebaiknya jangan sampai melewatkan banyak pelajaran. Iya tho?!
Challenge
Merindu kebersamaan itu lagi... |
Karena hidup punya dinamika.
Juga karena bukan jamaah para malaikat yang penuh kesempurnaan…
Sebab itu, kita tidak punya alasan untuk kecewa…terhadap apapun itu…terhadap siapapun itu…
Karena, diri kita pun, terlalu jauh dari sempurna…
Bagaimanapun…
Setiap kita, masih ingin mengokohkan pijakan di jalan ini…
Berjuang…dijalan ini…karena-Nya…
Tapi bukan sendiri…bukan infirodi…
Melainkan dalam jama’ah ini…dalam satu naungan : ISLAM!
Allah ghoyatunaa….
Wa jihad sabilunaa…
Almautu fi sabilillaah…Asmaa amaninaa…
Ya muqallibal quluub…
Tsabit qalbina ‘alaa diinik…’ala tho’atik…
Allahumma innaka ta’lamu anna haadzihil quluub…
Qodijtama’at ‘ala mahabbatik…
Tataqot ‘ala thoo’atik..
Watawahhadat ‘ala da’watik…
Wata’aahadat ‘ala nushrati syarii’atik..
Fawatsiqillaahumma rabthotahaa…
Fawatsiqillaahumma rabthotahaa…
Waadimwuddaha wahdihaa subulaha…
Wamlakhaa binuurikalladzi laa yakhbuu wasyrah sudurohaa bifaidil iimanibik…
Wajamitawakkuli ‘alaik…
Wa ahyihaa bima’rifatik….
Wa amithaa ‘alasy-syahaadati fii sabilik…
Innaka ni’mal maula wa ni’mannashiir…
Allahumma aamiiin…
Ruang Tak Harap
Berharap... |
“Maksudnya?” Dan aku kala itu, tengah berusaha memahami kata-katanya itu.
“Karena, sering kali harapan-harapan semasa kecilku tak menjadi wujud nyata.”
“Berhenti berharap kah?”
“Bukan berhenti berharap. Tapi, menyediakan satu ruang bagi hati untuk tidak terwujudnya harap itu.”
“Hmm…” hanya gumaman kecil.
Yah, benar! Menyediakan satu ruang bagi hati untuk tidak terwujudnya harap itu!
Seperti punguk yang rindu pada sang rembulan. Hmm…basi mungkin! Tapii begitulah. Memang, harus ada satu ruang untuk segala kemungkinan terburuk.
Bukan! Bukan hendak menghentikan harap-harap itu. Bukan pula untuk mencekal ke-optimisan maupun semangat yang terus digaungkan. Bukan pula hendak memberikan sugesti negatif dan menisbikan postive thingking.
Hanya sebuah ruang saja. Hanya sebuah ruang kecil saja. Untuk sebuah harap yang mungkin saja tak terwujud.
Sosok Dua Belas Tahun Silam
Sudah berpuluh-puluh(lebay!) tahun aku tak melihat raut wajah itu.
Sudah semakin tua saja. (hee...ya iyalah! duabelas telah berlalu sudah!). Tapi, aku merindukan wajah itu. Wajah lelaki yang aku panggil "Pak". Ia adalah guruku. Guru SD-ku. Mengajarku segala hal mulai dari matematika, bahasa indonesia, PPKn (jaman2 masi PPKn namanya dulu, bukan KWN), IPS, IPA.
Aku benar-benar nge-fans banget sama Bapak itu. Alasan sederhananya, karena si Bapak sangat pintar matematika. hihi. (betapa lugunya alasan itu!).
Beberapa kali aku sengaja lewat di depan rumah beliau(secara jalur ke rumah Bapak itu beda beut ama jalan ke rumahku, jadiiii jarang pisan lewat sana), tapi tak pernah bersua.
Tapi sore ini, aku kembali (menyengajakan diri) lewat sana...
dan Masya Allah...
Akhirnya bersua juga dengan sosok itu.
Sosok yang kukagumi ketika masa kecilku...
Sosok guru yang mempesona kecerdasannya...
hee...
Aku hanya bisa menyapa, "Pak"..."Buk" kepada sepasang suami istri yang duduk di teras rumah itu.
(Habisnya pake motor siih, terlanjur kaga nge-rem..hee.... --> alasan!)
Sesaat si Bapak terpana.
Barang kali...ia sedang berusaha untuk merecall memory, "ini siapa yaaah?"
Sudah semakin tua saja. (hee...ya iyalah! duabelas telah berlalu sudah!). Tapi, aku merindukan wajah itu. Wajah lelaki yang aku panggil "Pak". Ia adalah guruku. Guru SD-ku. Mengajarku segala hal mulai dari matematika, bahasa indonesia, PPKn (jaman2 masi PPKn namanya dulu, bukan KWN), IPS, IPA.
Aku benar-benar nge-fans banget sama Bapak itu. Alasan sederhananya, karena si Bapak sangat pintar matematika. hihi. (betapa lugunya alasan itu!).
Beberapa kali aku sengaja lewat di depan rumah beliau(secara jalur ke rumah Bapak itu beda beut ama jalan ke rumahku, jadiiii jarang pisan lewat sana), tapi tak pernah bersua.
Tapi sore ini, aku kembali (menyengajakan diri) lewat sana...
dan Masya Allah...
Akhirnya bersua juga dengan sosok itu.
Sosok yang kukagumi ketika masa kecilku...
Sosok guru yang mempesona kecerdasannya...
hee...
Aku hanya bisa menyapa, "Pak"..."Buk" kepada sepasang suami istri yang duduk di teras rumah itu.
(Habisnya pake motor siih, terlanjur kaga nge-rem..hee.... --> alasan!)
Sesaat si Bapak terpana.
Barang kali...ia sedang berusaha untuk merecall memory, "ini siapa yaaah?"
Setelah Kabut Menyelimut
Pagi yang berkabut…
Dingin.
Tapi, lihatlah…setelah kabut, ada mentari yang benderang.
Cerah.
Kabut perlahan lenyap, berganti sinar…
Begitulah adanya.
Hidup tak selamanya kabut.
Ada mentari juga.
Kenapa harus terpaku pada kabut, sementara matahari PASTI akan bersinar kemudian…
Tak ada kesulitan tanpa ada kemudahan
Jika hari ini masih buntu. Masih bingung. Tanpa ada kejelasan.
Maka, mencobalah untuk mengedarkan pandangan hati, melintasi batas, dan yakinlah…
PASTI ADA JALAN!
Yah, pasti ada jalan.
Asal bersedia sedikit saja menolak pertemanan dengan keputusasaan…
Asalkan bersedia sedikit saja melengok luar zona nyaman…
Cukup sedikit saja…
Sebagai pijakan awal…
Sebagai langkah pertama…
Untuk langkah keseribu…
Hmm…terbiasa hidup dengan segalanya ada dan serba mudah, pasti membuat begitu limbung ketika pegangan tempat menyangga diri itu goyah, bukan?
Tapi…apapun itu, harus dihadapi, jika masih ingin meraih medali kemangan itu.
Tidak ada kemenangan tanpa perjuangan…
Tidak ada kesuksesan tanpa berpayah-payah dulu..
Sebab, ia akan menjadi begitu manis jika telah melewati bermacam rintangan…
Manis setelah pahit akan lebih manis dari manis setelah manis…
Hanya satu kata saja…
BENAHI HIDUPMU!
Benahi Ruhiy,
Benahi fikiran,
Benahi hati,
Benahi diri,
Yup…berbenah!
Yakinlah…MENTARI ITU AKAN BERSINAR BENDERANG, setelah kabut menyelimut…
S.U.M.A.N.G.A.I.K!!!
Dingin.
Tapi, lihatlah…setelah kabut, ada mentari yang benderang.
Cerah.
Kabut perlahan lenyap, berganti sinar…
Begitulah adanya.
Hidup tak selamanya kabut.
Ada mentari juga.
Kenapa harus terpaku pada kabut, sementara matahari PASTI akan bersinar kemudian…
Tak ada kesulitan tanpa ada kemudahan
Jika hari ini masih buntu. Masih bingung. Tanpa ada kejelasan.
Maka, mencobalah untuk mengedarkan pandangan hati, melintasi batas, dan yakinlah…
PASTI ADA JALAN!
Yah, pasti ada jalan.
Asal bersedia sedikit saja menolak pertemanan dengan keputusasaan…
Asalkan bersedia sedikit saja melengok luar zona nyaman…
Cukup sedikit saja…
Sebagai pijakan awal…
Sebagai langkah pertama…
Untuk langkah keseribu…
Hmm…terbiasa hidup dengan segalanya ada dan serba mudah, pasti membuat begitu limbung ketika pegangan tempat menyangga diri itu goyah, bukan?
Tapi…apapun itu, harus dihadapi, jika masih ingin meraih medali kemangan itu.
Tidak ada kemenangan tanpa perjuangan…
Tidak ada kesuksesan tanpa berpayah-payah dulu..
Sebab, ia akan menjadi begitu manis jika telah melewati bermacam rintangan…
Manis setelah pahit akan lebih manis dari manis setelah manis…
Hanya satu kata saja…
BENAHI HIDUPMU!
Benahi Ruhiy,
Benahi fikiran,
Benahi hati,
Benahi diri,
Yup…berbenah!
Yakinlah…MENTARI ITU AKAN BERSINAR BENDERANG, setelah kabut menyelimut…
S.U.M.A.N.G.A.I.K!!!
Bertahan dengan Idealisme atau Berdamai dengan Realita?
Maghrib itu di depan rak OTC suatu apotek. Biasaa…swamedikasi. Untuk penyakit ringan, mengapa harus ke dokter segala. Wong paling dokter juga kasi itu-itu aja. Dan lagii, kalo sempat “nyasar” dan terdampar di tempat praktek “dokter proyek”, bisa-bisa jadinya terapi tanpa indikasi pula. Ngejar target penjualan, biarrrrr bisa dapet fasilitas yang dijanjikan MedRep. Hee…suudzan ajah..(atau paranoid? Hihi). Gak ding! Gak semua dokter begitu. Ada banyak lagi yang baik. Bahkan sangat baik. Hanya saja….sebagiaaan keciiiiilll ada juga yang mafia tanpa terlihat sebagai mafia. Hee…
Dengan sabar aku menunggu laki-laki—yang mungkin adalah asisten apoteker di apotek itu—selesai melakukan dispensing obat asam urat kepada seorang lelaki paruh baya. Ia memperlihatkan kakinya bengkak akibat adanya hiperurisemia yang dideritanya. Aku hanya perhatikan ia. Seksama. Kulihat-lihat, hmm…sepertinya ada Na-Diclofenac, Alluporinol…hmm…ada satu lagi. Antasida. Baiklah…baiklah…
Akhirnya, tiba giliranku.
“Apa yang bisa dibantu, dik?” tanyanya.
“Hmm…obat untuk ibu, Da. Batuk…pilek…”
“ada demam kah?”
“tidak”
“mau makan yang tablet?”
“emm…” aku berpikir. “yang ada dextrometorphannya deh Da.” (halaaah, gayaa!). Nyari yang antitusifnya lah.
“eeh….tau dektromethorphan juga?”
“hehee…kan anak farmasi.”
“eh, farmasi?” uda itu kelihatan kaget.
“iya..hihi.”
“tingkat berapa?”
Nyengir…”udah tamat, Da.”
“apoteker?”
Aku mengangguk.
“serius?” seperti tak yakin dia. Aku mengangguk yakin. Huumm, apa aku kaga ada tampang-tampang apotekernya? Atau, lebih mirip tampang anak IAIN yah? Hihi. Abiisss…, banyak yang nyangka begitu. Dikirain saia anak IAIN. Hihi. Anak IAIN? Hee…
“waaah. Asli sini?”
“Yup.”
“apoteker langka yah di sini?”
“he eh.”
“trus, sekarang kerja dimana?”
“pengangguran, Da. Hihi.” Dia tertawa. Aku juga.
Hehe…akhirnya, si uda mengatakan bahwa apotekernya sudah mau habis masanya, dan udah mau balik ke kampungnya. Dan dia lagi nyariin apoteker buat APA di apoteknya.
“trus, apotekernya itu mana Da?” aku clingak-clinguk kiri kanan.
“tak ada tuh. Datengnya mah pas ngambil gaji ama nanda tangan SP doang.”
Hee…sudah kuduga! Perilaku turun menurun si apoteker.
Antara idealita dan realita. Begitulah. Akhirnya aku paham, mengapa banyak orang yang di masa-masa idealisnya—katakanlah salah satunya semasa mahasiswa—tiba-tiba menjadi pelaku apa yang ditentangnya itu ketika ia telah berada di ranah kerja. Karena duit itu sulit. Dan karena duit itu adiktif! Hmm…pantas saja, banyak orang kehilangan idealism nya ketika berjumpa dengan duit. Dan pantas pula banyak yang menggadai mahalnya harga kejujuran dan keadilan demi empat hutuf itu. Uang!
Dulu, semasa masih menjadi mahasiswa, aku pernah satu travel dengan seorang mantan aktivis 98 yang ikut menumbangkan cabinet-nya pak Soeharto. Mungkin dia melihat ke-idealis-anku atau mungkin dia (terlanjur menilai) aku sebagai seorang aktivis (hee….padahal kan aku cukup moderat yaah…gak aktivis tulen laah. Hihi), akhirnya kami bertukar cerita. Ia ikut berkoar-koar. Ikut turun kejalan. Ikut meneriakkan yel-yel. Tapi apa? Katanya, idealism tinggal lah idealism. Ketika pun ia menjadi pelaku di ranah legislative, ia pun menjadi apa yang dahulu ia tentang. Begitu ceritanya. Dan baginya, idealism hanyalah milik mahasiswa. Hmm...aku menyelami itu. Aku memahaminya. Hanya saja belum merasainya. Dan, sekarang, aku benar-benar sangat paham sekaligus merasakan…apa yang dirasakannya.
Aku…dengan ke-idealis-spontan-an-ku.
Apa karena aroma kemahasiswaan masi berasa atau karena aku benar-benar idealis?
Entahlah.
Sekarang—setelah jadi pengangguran—baru berasa, duit itu sulit. Dan aku sangat memahami mengapa perilaku sejawatku itu adalah demikian. Meski mungkin melecehkan—atau dengan bahasa lebih lembutnya—sedikit bertolak belakang dengan peran yang seharusnya, tapi…lagi-lagi karena duit itu sulit! Coba saja, setamat apoteker, masi bingung pengin mengadu nasib ke mana, lalu tiba-tiba ada yang menawarkan untuk bekerja sebagai APA di apoteknya. Hanya saja. pada hakikatnya bukan APA melainkan “pinjam nama”. Sebab, peran sang apoteker di sana mulai dari perencanaan, pengadaan, pergudangan, pemesanan, dispensing, hingga pelaporan….DINISBIKAN! apoteker cukup datang sekali sebulan, ambil gaji dan tanda tangan SP. Cukup dengan gaji 700 ribu (bahkan ada yang hanya 500ribu). Karena sulitnya duit, pada akhirnya…diterima jua. APA tak dapat berkutik. Semuanya dikuasai PSA. Hmm…parraaah!
Sekarang, aku mengajakmu berada di posisiku.
Sama seperti case di atas. Belum bekerja. Lalu tiba-tiba ada tawaran demikian. Apa yang hendak kau lakukan? Sementara kau tak punya duit.
Hee…di sinilah “genderang perang” itu ditabuh. Mau menuruti idealism kah? Atau berdamai saja dengan realita? Hmm… Bertahan dengan idealism membuat tak bisa ‘bertahan idup’. Tapi, berdamai dengan realitas, seperti seolah-olah menutup mata dari sumpah yang dulu terucap.
Hee…memang sulit!
Hmm…sebenarnya, kita bisa saja idealis sekaligus berdamai dengan realita. Asalkan berani dengan tegas menyatakan bahwa “jika saya menjadi APA di sini, saya harus laksanakan peran sebagai APA dan diberikan jasa profesi menurut aturan yang berlaku. Jika tidak, yaah, silahkan saja cari yang lain.” Tapi itu tadi, kadang kita “terlalu” mengasihi diri kita dengan sebuah kekhawatiran “huwaa…nanti kalo tak terima ini, bagemana yah? Apa masi ada apotek lain?”. Atau dengan kekhawatiran jenis lain, “ini kan sebuah peluang. Ngapain juga ditolak?”. Atau dengan bahasa lain “aah, lumayan lah. Nambah-nambah pemasukan. Wong Cuma dateng skali sebulan ajah. Gitu ajah koq repot.” Hmm….hmm….Bukankah lebih baik jika semuanya kompak dengan jawaban yang benar-benar lebih nge-farmasist (hedeeh…ngefarmasist? Hmm maksudnya..profesional sebagaimana profesi kita)? Jika semuanya sama dan seragam…, maka masih adakah celah buat terjadinya hal-hal di atas? Insya Allah tidak.
Sesulit apapun, sebenarnya kitalah yang akan “mengangkat” harkat dan martabat profesi ini. Asalkan bisa komitmen dengan itu. Jika mata rantai yang ‘turun menurun’ ini tidak diputus, maka ia akan terus ada. Terus begitu. Lantas sampai kapaaaan? (hee..idealism!). Perubahan bukan sesuatu yang instan. Mestilah perlahan-lahan. Iya kan?
Hmm…kadang, memang realitas mengalahkan idealitas kita. Memang. Aku pun, sering goyah. Tapiii, di saat pengangguran begini, aku telah menolak tawaran apotek?! Hmm…hmm…sebuah keputusan yang berat. Sebuah pilihan yang sulit sebenarnya. Di saat idealism itu benar-benar belum bisa diterapkan!
Eh, sebentar…sebentar…
Barang kali kultur demikian(seperti yang kuceritakan di atas), tidak banyak. Alhamdulillah, dunia kefarmasian sudah merangkak (hee….koq merangkak yah?) Melaju ding, menuju perbaikan… Aku pun berharap begitu. Agar peran farmasis itu bisa berada di posisinya, demi kesejahteraan ummat. Hehe. Sebab, farmasis (seharusnya) punya peran besar dalam dunia kesehatan. Peran yang selama ini mungkin terabaikan, atau mungkin belumlah tergeletak pada tempatnya.
Hayuuuk….hayuuk…farmasist’ers….
Semangaaattt!!
Dengan sabar aku menunggu laki-laki—yang mungkin adalah asisten apoteker di apotek itu—selesai melakukan dispensing obat asam urat kepada seorang lelaki paruh baya. Ia memperlihatkan kakinya bengkak akibat adanya hiperurisemia yang dideritanya. Aku hanya perhatikan ia. Seksama. Kulihat-lihat, hmm…sepertinya ada Na-Diclofenac, Alluporinol…hmm…ada satu lagi. Antasida. Baiklah…baiklah…
Akhirnya, tiba giliranku.
“Apa yang bisa dibantu, dik?” tanyanya.
“Hmm…obat untuk ibu, Da. Batuk…pilek…”
“ada demam kah?”
“tidak”
“mau makan yang tablet?”
“emm…” aku berpikir. “yang ada dextrometorphannya deh Da.” (halaaah, gayaa!). Nyari yang antitusifnya lah.
“eeh….tau dektromethorphan juga?”
“hehee…kan anak farmasi.”
“eh, farmasi?” uda itu kelihatan kaget.
“iya..hihi.”
“tingkat berapa?”
Nyengir…”udah tamat, Da.”
“apoteker?”
Aku mengangguk.
“serius?” seperti tak yakin dia. Aku mengangguk yakin. Huumm, apa aku kaga ada tampang-tampang apotekernya? Atau, lebih mirip tampang anak IAIN yah? Hihi. Abiisss…, banyak yang nyangka begitu. Dikirain saia anak IAIN. Hihi. Anak IAIN? Hee…
“waaah. Asli sini?”
“Yup.”
“apoteker langka yah di sini?”
“he eh.”
“trus, sekarang kerja dimana?”
“pengangguran, Da. Hihi.” Dia tertawa. Aku juga.
Hehe…akhirnya, si uda mengatakan bahwa apotekernya sudah mau habis masanya, dan udah mau balik ke kampungnya. Dan dia lagi nyariin apoteker buat APA di apoteknya.
“trus, apotekernya itu mana Da?” aku clingak-clinguk kiri kanan.
“tak ada tuh. Datengnya mah pas ngambil gaji ama nanda tangan SP doang.”
Hee…sudah kuduga! Perilaku turun menurun si apoteker.
Antara idealita dan realita. Begitulah. Akhirnya aku paham, mengapa banyak orang yang di masa-masa idealisnya—katakanlah salah satunya semasa mahasiswa—tiba-tiba menjadi pelaku apa yang ditentangnya itu ketika ia telah berada di ranah kerja. Karena duit itu sulit. Dan karena duit itu adiktif! Hmm…pantas saja, banyak orang kehilangan idealism nya ketika berjumpa dengan duit. Dan pantas pula banyak yang menggadai mahalnya harga kejujuran dan keadilan demi empat hutuf itu. Uang!
Dulu, semasa masih menjadi mahasiswa, aku pernah satu travel dengan seorang mantan aktivis 98 yang ikut menumbangkan cabinet-nya pak Soeharto. Mungkin dia melihat ke-idealis-anku atau mungkin dia (terlanjur menilai) aku sebagai seorang aktivis (hee….padahal kan aku cukup moderat yaah…gak aktivis tulen laah. Hihi), akhirnya kami bertukar cerita. Ia ikut berkoar-koar. Ikut turun kejalan. Ikut meneriakkan yel-yel. Tapi apa? Katanya, idealism tinggal lah idealism. Ketika pun ia menjadi pelaku di ranah legislative, ia pun menjadi apa yang dahulu ia tentang. Begitu ceritanya. Dan baginya, idealism hanyalah milik mahasiswa. Hmm...aku menyelami itu. Aku memahaminya. Hanya saja belum merasainya. Dan, sekarang, aku benar-benar sangat paham sekaligus merasakan…apa yang dirasakannya.
Aku…dengan ke-idealis-spontan-an-ku.
Apa karena aroma kemahasiswaan masi berasa atau karena aku benar-benar idealis?
Entahlah.
Sekarang—setelah jadi pengangguran—baru berasa, duit itu sulit. Dan aku sangat memahami mengapa perilaku sejawatku itu adalah demikian. Meski mungkin melecehkan—atau dengan bahasa lebih lembutnya—sedikit bertolak belakang dengan peran yang seharusnya, tapi…lagi-lagi karena duit itu sulit! Coba saja, setamat apoteker, masi bingung pengin mengadu nasib ke mana, lalu tiba-tiba ada yang menawarkan untuk bekerja sebagai APA di apoteknya. Hanya saja. pada hakikatnya bukan APA melainkan “pinjam nama”. Sebab, peran sang apoteker di sana mulai dari perencanaan, pengadaan, pergudangan, pemesanan, dispensing, hingga pelaporan….DINISBIKAN! apoteker cukup datang sekali sebulan, ambil gaji dan tanda tangan SP. Cukup dengan gaji 700 ribu (bahkan ada yang hanya 500ribu). Karena sulitnya duit, pada akhirnya…diterima jua. APA tak dapat berkutik. Semuanya dikuasai PSA. Hmm…parraaah!
Sekarang, aku mengajakmu berada di posisiku.
Sama seperti case di atas. Belum bekerja. Lalu tiba-tiba ada tawaran demikian. Apa yang hendak kau lakukan? Sementara kau tak punya duit.
Hee…di sinilah “genderang perang” itu ditabuh. Mau menuruti idealism kah? Atau berdamai saja dengan realita? Hmm… Bertahan dengan idealism membuat tak bisa ‘bertahan idup’. Tapi, berdamai dengan realitas, seperti seolah-olah menutup mata dari sumpah yang dulu terucap.
Hee…memang sulit!
Hmm…sebenarnya, kita bisa saja idealis sekaligus berdamai dengan realita. Asalkan berani dengan tegas menyatakan bahwa “jika saya menjadi APA di sini, saya harus laksanakan peran sebagai APA dan diberikan jasa profesi menurut aturan yang berlaku. Jika tidak, yaah, silahkan saja cari yang lain.” Tapi itu tadi, kadang kita “terlalu” mengasihi diri kita dengan sebuah kekhawatiran “huwaa…nanti kalo tak terima ini, bagemana yah? Apa masi ada apotek lain?”. Atau dengan kekhawatiran jenis lain, “ini kan sebuah peluang. Ngapain juga ditolak?”. Atau dengan bahasa lain “aah, lumayan lah. Nambah-nambah pemasukan. Wong Cuma dateng skali sebulan ajah. Gitu ajah koq repot.” Hmm….hmm….Bukankah lebih baik jika semuanya kompak dengan jawaban yang benar-benar lebih nge-farmasist (hedeeh…ngefarmasist? Hmm maksudnya..profesional sebagaimana profesi kita)? Jika semuanya sama dan seragam…, maka masih adakah celah buat terjadinya hal-hal di atas? Insya Allah tidak.
Sesulit apapun, sebenarnya kitalah yang akan “mengangkat” harkat dan martabat profesi ini. Asalkan bisa komitmen dengan itu. Jika mata rantai yang ‘turun menurun’ ini tidak diputus, maka ia akan terus ada. Terus begitu. Lantas sampai kapaaaan? (hee..idealism!). Perubahan bukan sesuatu yang instan. Mestilah perlahan-lahan. Iya kan?
Hmm…kadang, memang realitas mengalahkan idealitas kita. Memang. Aku pun, sering goyah. Tapiii, di saat pengangguran begini, aku telah menolak tawaran apotek?! Hmm…hmm…sebuah keputusan yang berat. Sebuah pilihan yang sulit sebenarnya. Di saat idealism itu benar-benar belum bisa diterapkan!
Eh, sebentar…sebentar…
Barang kali kultur demikian(seperti yang kuceritakan di atas), tidak banyak. Alhamdulillah, dunia kefarmasian sudah merangkak (hee….koq merangkak yah?) Melaju ding, menuju perbaikan… Aku pun berharap begitu. Agar peran farmasis itu bisa berada di posisinya, demi kesejahteraan ummat. Hehe. Sebab, farmasis (seharusnya) punya peran besar dalam dunia kesehatan. Peran yang selama ini mungkin terabaikan, atau mungkin belumlah tergeletak pada tempatnya.
Hayuuuk….hayuuk…farmasist’ers….
Semangaaattt!!
Pertemuan Ruh di Chamber Jiwa
Ruh-ruh di alam jiwa.... |
Masya Allah…ia begitu menarik. Cerdas. Kecerdasannya memesonaku. Aku selalu terpesona dengan sosok-sosok cerdas yang berlandaskan power ruhiyah. Bukan hanya cerdas secara intelektual, tapi juga secara ruhiyah. Aku memang terpesona pada sosok-sosok demikian. Tapi kali ini ada hal lain yang lebih memperkuatnya. Bahwa ruh-ruh kami pun saling bertemu. Dan, ketika kali pertama bersua pun, aku sudah begitu tertarik padanya. Rasa kami adalah refersibel. Timbal balik. Karena kami, berada dalam range frekuensi emosi yang sama.
Ketika itu aku sedang duduk di pelataran mesjid. Angin bukit membelai jilbabku. Ini adalah suasana yang sangat menyejukkan bagiku. Tiba-tiba ia datang menghampiriku. Mengulas sebingkai senyum. Dalam sejenak saja, kami terlibat perbincangan seru…. Sungguh, seperti telah lama mengenalnya.
Aah…jiwa…
Tidak perlu bertanya mengapa jiwa memilih. Sebab, ini sudah disinyalir oleh Sosok Sempurna Rasulullaah berabad-abad silam… “Jiwa itu ibarat prajurit yang berbaris. Yang saling mengenal pasti akan saling melembut dan menyatu. Sedang, yang tidak saling mengenal pasti akan terpisah dan berbeda.”
Kedekatan dan cinta dalam media apapun itu, baik persahabatan, cinta, kelompok atau apapun itu tak pernah dapat dipaksa. Tak pernah. Se-ekstrem apapun chamber yang kita buat. Jiwalah yang kemudian memilih, sesiapa yang “dikenal”nya. Sejauh apapun jarak, pun ketika sebelumnya ada sosok-sosok asing bagi kita, tapi ketika ruh-ruh itu telah bertemu di alam jiwa, maka dengar segera akan dapat saling mengenali. Mungkin dengan takjub kita berkata, “Wah, seperti sudah lama mengenal yah?”. Karena ruh-ruhnya telah saling bertemu terlebih dahulu.
Pun begitu halnya dalam ikatan sacral yang begitu kuat, mitsqan ghalidza. Bahwa ia menyaratkan adanya kesesuaian ruh. Adanya kesesuaian jiwa. Dan, kemudian jiwalah yang memilih….mengapa yang ini, bukan yang itu. Hanya saja, tak cukup dengan itu saja. Ada kekuatan adidaya yang MAHA POWER, yang Maha membolak-balikkan hati. Ditangan-Nya lah terletak segala keputusan. Maka, apapun itu, komunikasikanlah pada-Nya.
Sejenak Menelik Jejak Mimpi
Semangattttt.... |
Aku tahu, bahwa aku hari ini belum memiliki apa-apa. Jika orang lain memandang—apalagi masyarakat di sekitar kampungku—aku digolongkan pada kelompok orang-orang pengangguran. Heuu….kasihan nian anakmu ini, Ibu…hehe. Tapi…aku menyadari, bahwa hampir semua yang menjadi mimpiku dulunya, sebagiannya telah dapat kuraih. Telah dapat kuraih di sini, bukan berarti aku menjadi sukses dalam hal financial (jika ada yang menstandardisasi kesuksesan itu dengan parameter uang). Hehe. Jika iya demikian, maka kukatakan aku belum berpenghasilan!
Aku seorang generic. Hihi. Obat generic kaliii. Eih, bukan ding! Maksudku, aku orang generalis. Aku menyukai banyak hal. Ada banyak hal yang kusukai dan kuminati. Hanya saja, aku tidak pernah benar-benar mendalam memasukinya. Tapi, aku bersyukur bisa menyemplungkan diri ke dalam dunia-dunia itu.
Dahulu, ketika belajar formulasi, zat aktif suatu obat akan cendrung menuju kepada sifat awalnya meskipun telah dikondisikan pada titik-titik euthetik ataupun titik kesetimbangan. Tapiiii, dia akan tetap berusaha menuju sifat-sifat awal meskipun perlahan. Dari sini aku belajar bahwa bagaimana pun jua, seseorang akan tetap menuju ordinat apa yang menjadi minatnya. Sebab itu pula, aku melihat banyak di antara mahasiswa farmasis (yang mungkin salah masuk jurusan juga! Hihi) yang kemudian terjun di bidang lain baik itu IT, Seni, Teknologi, sastra dan lain sebagainya.
Aku menyadari sepenuhnya, bahwa aku membutuhkan energy besar untuk bisa mencintai dunia farmasi. Ya, tentu saja. Sebab, aku tak pernah membayangkan akan menjadi seorang farmasis. Aku tidak terlalu meminati bidang ini. Aku lebih suka sastra, lebih suka desain baik itu grafis, interior maupun eksterior, aku suka fotografi, aku suka dunia pendidikan, aku suka multimedia, aku suka manajemen, aku suka dunia psikologi. Semestinya, aku lebih baik memilih salah satu diantara apa yang aku minati itu bukan?
Tapi apa?
Kemudian aku menjadi seorang farmasis! Apoteker! Dan aku perlu menghadirkan berkali-kali (bukan hanya sekali saja) KECINTAAN pada dunia ini. Tapi, meski demikian, aku SANGAT BERSYUKUR bahwa aku sekarang adalah seorang apoteker. Aku men-syukuri hal itu. Sebab, aku banyak mendapatkan ilmu di sini (yang barang kali) aku tidak minati sebelumnya sehingga rasa ingin tahuku terhadap dunia farmasi ini tidak ada jika aku tidak berada di ranah farmasi. Jika pun aku tidak bisa menjadi yang terbaik di bidang farmasis, tapi aku mendapatkan ilmunya. Perkara minatku, seperti kubilang ia akan tetap menuju ordinat itu. Ternyata, selain ilmu farmasis, aku masih tetap dapat berkecimpung dalam dunia per-desain-an, dalam dunia kepenulisan, dalam dunia per-fotografi-an, dalam dunia pendidikan (heuu….alhamdulillaah, cita-cita jadi guru matematika pun kesampaian! Hihi.Dalam dunia psikologi pun demikian! Aku telah meraih sebagian besar yang menjadi minatku selain mendalami apa yang menjadi background disipilin ilmuku, meskipun masih berada pada electron valensi kulit terluar a.k.a masi sangat sedikiiiiiiitt sekali ilmunya alias masi harusssss banyak belajarr.
Tentang dunia psikologi ini, hihi…aku tahu uni psikologku tengah ‘menjerumuskan’ku ke dalam dunia psikologi. Meskipun dia tak mengatakannya, tapiii, heuu…aku sudah terlanjur mengetahuinya uniiih. Hihi. Menjadi satu-satunya apoteker di antara tim yang selebihnya adalah orang-orang dengan background psikologi, sempat bikin aku keki. Serius! Aku benar-benar keki. Aku tahu, para psikolog itu dapat “menguliti”-ku hingga lapisan terdalam. Hihi. Emangnya lapis legit apah? Pake lapisan-lapisan segala. Hihi. Apalagi aku adalah orang yang mudah ditebak. Hehe. Tapi aku bahagia. Aku senang. Aku bersyukur. Sebab aku pun dapat memperoleh ilmunya di sini. Setidaknya, memuaskan banyak dari rasa ingin tahuku mengenai dunia kepribadian, meskipun aku tak mendalaminya hingga ke dasar-dasarnya sekalipun.
Heuu…aku pengin banget bisa S-2 (walau entah kapaaaaan. Hehe). Tapii, kadang pikiran nakal-ku mengajak agar aku ngambil S-2 nya bukan bidang farmasi melainkan bidang psikologi anak sahajaa. Hee… Tapiii, kalau aku ingin jadi guru farmasi, mana bisa yah S-2 nya di Psikologi?! Hmm…hmm… hehe. *nyengir mode ON.
Dari ini semua, aku menarik kesimpulan bahwa benarlah CINTA menjadi energy luar biasa. Seseorang tak pernah benar-benar dapat mengupayakan yang terbaik dan yang paling optimal bagi dirinya, bagi lingkungannya, bagi rumah tangganya, bagi da’wah, bagi apapunlah yang menjadi elemn-elemen kehidupannya, jika tidak ada CINTA yang menjadi landasannya.
Lalu, setelah itu adalah…rasa ketidakpuasan. Di sini, bukan berarti menyoal ke-qanaah-an kita, melainkan unsatisfaction dalam hal-hal yang positif. Ketidakpuasan dengan ilmu yang kita punya, ketidakpuasan dengan amalan yang masih sedikit, ketidakpuasan dengan segala hal-hal tersebut akan membuat dan memacu kita untuk terus meng-upgrade dan meng-update serta meng-tune up diri kita! Bagiku prinsipnya adalah…bukan untuk menjadi yang sempurna, melainkan menjadi lebih baik! Sebab kesempurnaan pada manusia hanyalah sebuah hal yang sangat absurd. Begitu jauh dari mungkin.
Untitled
untitled |
Aku sadar…dengan kesadaran penuh…, betapa sebenarnya aku terbelenggu…dan (mungkin juga) membelenggu diri. Apa lagi pada titik-titik kulminatif di mana aku berada pada fase lembah grafik kosinus. Sebagaimana laiknya kompetisi yang begitu niscaya bagi internal dan eksternal diri, ia pun mengambil bagian dari salah satu kompetisi itu. Kompetisi rasa dan rasio.
Aku hanya sedang berusaha kuat, menyangga jiwa agar berada dalam bibir-bibir ketegaran. Tapi, kenyataannya adalah bahwa diri ini hanyalah kumpulan kedhaifan belaka. Atau, aku yang sedang berselindung di belakang pungung kedhaifan sehingga melanggengkannya tetap ada? Ataukah aku yang terlalu merendahkan ambang toleransi bagi diriku sendiri sehingga bagaimana pun aku telah berusaha untuk berada pada garis zero, ternyata masih sepenuhnya belum bisa? Entahlah… Sungguh sangat rumit.
Aku tahu…sungguh fluktuatif ia. Seperti gelombang ultrasonic yang merambat di udara. Tak terlihat, tapi ia sampai pada alat pendeteksinya. Mungkin akan banyak yang berkata, betapa lemahnya! Ya, betapa lemahnya! Aku pun menyadari hal itu. Aku bukan tengah ingin mengambil pembenaran dari begitu banyaknya orang-orang yang juga berada pada lembah grafik kosinus yang sama. Juga sebaliknya, tidak tengah menghakimi diri.
Hmm…sudahlah.
Semestinya aku tak perlu membahas ini lagi. Semestinya. Hanya saja ia butuh muara seperti peran sang drainase dalam mengaliri perairan suatu perumahan. Hanya untuk itu saja.
Melukis Pola
Hmm… teka-teki ini akhirnya sedikit menemui titik terang. Jawaban atas Tanya “mengapa”ku selama ini. Dari dahulu, aku sudah sangat menyadari bahwa diriku adalah seseorang dengan gaya kelekatan ‘insecure’. Itulah sebabnya, mengapa aku lebih memilih untuk berdiam diri di asrama semasa SMA dulu—bahkan meskipun harus sendirian di gedung titisan penianggalan Belanda Norman School yang kata orang menyeramkan itu—dari pada berkelana menuju rumah teman-teman yang ada di Padangpanjang dan sekitarnya ketika jadwal pulang kampung yang sekali dalam sebulan itu. Mengingat jarak 180 km lebih yang harus ditempuh—jika pulang balik adalah 360 km lebih—tentulah pulang kampung adalah sesuatu yang tidak menjadi pilihan meskipun sangat ingin. Apa salahnya jika aku ikut bersama teman-teman yang kampungnya di BUkttinggi, Batu Sangkar, Solok, Pariaman ataupun Padangpanjang sendiri? Tapi, bagiku itu sungguh berat. Karena, insecure itu tadi.
Hmm…
Terlahir sebagai anak pertama yang diharapkan! Heuu…Bukannya ke-PD-an niiihWalau bagaimana pun, anak pertama adalah anak yang diharapkan kehadirannya. Mengharapkan kehadiran itu artinya banyak pula harapan-harapan yang tertumpu pada anak pertama. Kehadirannya disambut dengan sebuah suka cita. Apa-apanya telah disediakan untuk menyambut kehadirannya. Perhatian padanya tercurah paling tinggi sebab ia ada ketika yang lainnya belum ada. Dibalik itu, anak pertama adalah anak dengan “proteksi” tinggi. Yah, karena ia diharapkan, maka ia begitu dijaga. Begitu diperhatikan.
Aku tahu, bahwa sesungguhnya orang tuaku sudah berusaha menerapkan pola didik terbaik untuk kami . Apresiasikah itu. Motivasikah itu. Ajakan diskusi kah itu untuk menentukan masa depanku, bahkan ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar, ayah sudah mengajakku berdiskusi. Ketika salah satu dari kami tidak lulus di suatu tes maupun tak lulus di sekolah yang diinginkan, orang tua tetap memberikan apresiasi positif. Bukan sebuah penyalahan, “itulaah kamuu! Mengapa tidak belajar! Tuh kaaaan, tidak lulus tes masuk sekolah itu!” Bukan. Bukan demikian. Bahkan justru diberikan suatu hadiah kecil atas ketidak lulusan itu sebagai penguatan dan sebagai sebuah buffer semangat. “Tidak apa-apa Nak.” Atau ketika peringkat di rapor kami tidak tertera angka juara. Tidak ada penyalahan. Tapi, yang ada adalah motivasi sekaligus ucapan selamat. “selamat yah Nak. Kamu sudah berupaya untuk belajar sungguh-sunguh.” Ketidakbolehanku atas sesuatu (missal kuliah di Pulau Jawa) bukan dibahasakan dengan “Nak, kamu tidak boleh kuliah di Bandung atau Jakarta!” tapi dengan bahasa diskusi “sebaiknya kuliahnya tidak diluar Sumbar , ayah dan ibu mengharapkan bisa kuliah di sini saja. Keputusan tetap ada ditanganmu.” Tapi, karena pada dasarnya aku bukan tipe orang oposisi, maka alam bawah sadarku mengatakan bahwa aku harus kuliah di Padang saja, karena harapan orang tuaku demikian. Padahal, kalau aku berani saja nekad memilih luar Sumbar—jika lulus—aku yakin akan tetap dibolehkan juga. Namun, karena ‘perasaan’proteksi itu ada dibawah alam bawah sadarku, ditambah pula aku bukan oposisi, maka aku memilih di Padang saja, meskipun tidak satu pun jurusan yang kupilih itu sesuai dengan apa yang menjadi minatku. Ketidakbolehan ini adalah wujud dari proteksi itu tadi.
Dan, baru belakangan kusadari—kurasakan—bahwa orang tuaku cukup protektif terhadapku, sehingga aku menjadi insecure. Selain itu, ada tumpuan-tumpuan harapan yang dihadapkan kepadaku, meskipun dibahasakan dengan bahasa yang tidak menekan. Hal tersebut—harapan orang tua dan proteksinya—ternyata ternyata memberi pengaruh pagi diriku. Bahwa sesungguhnya alam bawah sadarku menangkap, “orang tuaku mengharapkan seperti ini-seperti ini…dan aku akan sangat mengecewakan beliau jika aku tak dapat memenuhinya.” Ada harapan social yang dititipkan kepadaku.
Pernah dengar istilah seperti ini?
Jika orang tua tamat SD, maka minimal anaknya tamatan SMP. Dan seterus-seterusnya. Mungkin maksudnya adalah memotivasi. Tapi di sisi lain, ini adalah sebuah penitipan harapan maupun obsesi dari orang tua terhadap anak, yang pada alam bawah sadar anak ternyata menciptakan sebuah beban, yang boleh jadi akan memberatkan pada si anak.
Memang, adalah hal yang sangat manusiawi dan sangat wajar bahwa orang tua memiliki harapan-harapan besar pada anaknya. Apalagi orang tua dengan status social yang tinggi. Missal ia adalah seseorang dengan serentetan akademis yang tinggi…, atau seorang pengusaha yang kaya raya, atau pun seorang public figure, tentulah ia mengharapkan anaknya pun demikian. Ia mengharapkan anaknya menjadi seperti dia juga bahkan lebih. Pun demikian halnya dengan orang tua yang memiliki sebuah obsesi terhadap sesuatu hal dan ia sendiri tak mampu mencapainya. Di alam bawah sadarnya, ia mengharapkan sang anak dapat mencapai obsesinya tersebut. Seperti misalnya orang tua yang sangat ingin menjadi dokter, tapi kemudian tak kesampaian. Maka, keinginannya menjadi dokter itu dilimpahkan dan dititipkan kepada sang anak sehingga sang anak—menurut apa yang ada di alam bawah sadar orang tua—harus bisa mencapai cita-cita dokter itu. Padahal, belum tentu anaknya mau ataupun mampu menjadi dokter. Jika pun ia mampu menjalaninya, tapi, pasti akan ada siksaan batin baginya ketika menjalaninya.
Kita melihat banyaklah di antara orang tua yang menitipkan harapan maupun obsesinya kepada anak dan dibahasakan demikian pada anak! Banyak sekali contoh-contohnya. Misalkan “Nak, bapakmu itu udah doctor tuh. Ibu juga sudah master di bidang ibu. Kamu tentulah haruslah bisa lebih baik dari ini!”Dan sang anak akan tertanam pada dirinya ada sebuah beban berat bahwa ia harus lebih baik dari orang tuanya. Atau misalnya, “Nak, itu sekolah isinya anak unggul semua loh. Mama juga dulunya lulusan sekolah unggul itu. Kamu harus bisa juga Nak, sekolah di sana.”
Bayangkanlah! Betapa itu semua akan menjadi beban bagi anak. Meski pun kemudian ketika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya bisa saja hal itu memudar atau teralihkan. Tapi, tetap saja di amigdalanya sudah tertanam demikian.
Walau bagaimana pun, pola didik yang diterapkan orang tua pada anaknya, akan pola didik dasar pula bagaimana si anak mendidik anaknya ketika ia telah menjadi orang tua pula. Ini adalah niscaya. Ia menjadi warna dasar bagi jiwa sang anak tersebut. Ia adalah warna kuning, biru dan merah. Lalu perkara warna sekundernya apakah campuran biru dan kuning membentuk hijau, campuran merah dan biru menjadi ungu serta jutaan warna-warna lainnya adalah bagaimana pola yang kita ciptakan yang telah berintegrasi dengan adanya pengetahuan-pengetahuan dan perubahan iklim zaman dalam hal mendidiknya. Sungguh lebih baik bagi kita—terutama pada calon orang tua—untuk mempelajari ini semua sebelum ia benar-benar mengaplikasikannya di lapangan. Agar warna-warna itu adalah warna-warna cerah…warna-warna yang akan membuat bianglala peradaban ini menjadi lebih indah. Ialah generasi-generasi rabbani itu.
Apa yang menjadi pola didik orang tua yang kita rasakan baik, mari kita ambil, dan apa yang kita rasakan tidak baik bagi kita, maka mari kita perbaiki. Kita bisa melukis pola-pola itu sebelum ia benar-benar jadi. Melukis pola akan seperti apa didikan yang diberikan pada sang anak nantinya. Meskipun kita memiliki harapan social yang tinggi misalnya, jangan sampai itu terbahasakan apalagi sampai menekan sang anak untuk dapat memenuhinya, karena anak tidak sama dengan kita. Jangan pernah menitipkan obsesi pada anak. Biarkanlah mereka menjadi diri mereka sendiri. Kita sebagai orang tua hanya mengarahkannya. Mengarahkan agar sang anak tetap pada koridor-Nya.
Hehe….aku tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa aku lebih tahu, Sobat! Bukan! Aku jauh lebih tidak tahu! Bahkan aku saat ini bukanlah sebagai pelaku! Bukan pula karena terobsesi ingin segera punya anak. Hihihihi. (wong nikah ajah belom!). Ini semata-mata karena aku sangat mencintai dunia pendidikan anak.
Aku menyadari dengan sangat, bahwa teori-teori yang dipaparkan itu, tidak selalu sama dengan kehidupan nyata. Karena, toh hidup itu sendirilah pembelajaran yang sesungguhnya. Akan tetapi, untuk menjahit sebuah baju yang bagus, tentulah dibutuhkan pola-pola terlebih dahulu. Bagaimana bajunya bisa bagus kalau polanya tidak ada? Jika sudah ada pola, maka itu bergantung pada proses menjahitnya lagi. Dan, proses menjahit itulah pembelajaran yang sesungguhnya. Begitu pun dengan pola didik yang kita lukis saat ini. Dan, proses nyatanya adalah pembelajaran yang sebenarnya! Jadiii, kesimpulannya…mari belajar lebih banyak! Apalagi kalo punya cita-cita membangun peradaban Rabbani. Lha, bagaimana peradaban Rabbaninya bisa tercapai kalau sekolahnya saja tidak bagus? Iya tho?
Hayuk….hayuk…sama-sama belajar yuuuuk!
Hmm…
Terlahir sebagai anak pertama yang diharapkan! Heuu…Bukannya ke-PD-an niiihWalau bagaimana pun, anak pertama adalah anak yang diharapkan kehadirannya. Mengharapkan kehadiran itu artinya banyak pula harapan-harapan yang tertumpu pada anak pertama. Kehadirannya disambut dengan sebuah suka cita. Apa-apanya telah disediakan untuk menyambut kehadirannya. Perhatian padanya tercurah paling tinggi sebab ia ada ketika yang lainnya belum ada. Dibalik itu, anak pertama adalah anak dengan “proteksi” tinggi. Yah, karena ia diharapkan, maka ia begitu dijaga. Begitu diperhatikan.
Aku tahu, bahwa sesungguhnya orang tuaku sudah berusaha menerapkan pola didik terbaik untuk kami . Apresiasikah itu. Motivasikah itu. Ajakan diskusi kah itu untuk menentukan masa depanku, bahkan ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar, ayah sudah mengajakku berdiskusi. Ketika salah satu dari kami tidak lulus di suatu tes maupun tak lulus di sekolah yang diinginkan, orang tua tetap memberikan apresiasi positif. Bukan sebuah penyalahan, “itulaah kamuu! Mengapa tidak belajar! Tuh kaaaan, tidak lulus tes masuk sekolah itu!” Bukan. Bukan demikian. Bahkan justru diberikan suatu hadiah kecil atas ketidak lulusan itu sebagai penguatan dan sebagai sebuah buffer semangat. “Tidak apa-apa Nak.” Atau ketika peringkat di rapor kami tidak tertera angka juara. Tidak ada penyalahan. Tapi, yang ada adalah motivasi sekaligus ucapan selamat. “selamat yah Nak. Kamu sudah berupaya untuk belajar sungguh-sunguh.” Ketidakbolehanku atas sesuatu (missal kuliah di Pulau Jawa) bukan dibahasakan dengan “Nak, kamu tidak boleh kuliah di Bandung atau Jakarta!” tapi dengan bahasa diskusi “sebaiknya kuliahnya tidak diluar Sumbar , ayah dan ibu mengharapkan bisa kuliah di sini saja. Keputusan tetap ada ditanganmu.” Tapi, karena pada dasarnya aku bukan tipe orang oposisi, maka alam bawah sadarku mengatakan bahwa aku harus kuliah di Padang saja, karena harapan orang tuaku demikian. Padahal, kalau aku berani saja nekad memilih luar Sumbar—jika lulus—aku yakin akan tetap dibolehkan juga. Namun, karena ‘perasaan’proteksi itu ada dibawah alam bawah sadarku, ditambah pula aku bukan oposisi, maka aku memilih di Padang saja, meskipun tidak satu pun jurusan yang kupilih itu sesuai dengan apa yang menjadi minatku. Ketidakbolehan ini adalah wujud dari proteksi itu tadi.
Dan, baru belakangan kusadari—kurasakan—bahwa orang tuaku cukup protektif terhadapku, sehingga aku menjadi insecure. Selain itu, ada tumpuan-tumpuan harapan yang dihadapkan kepadaku, meskipun dibahasakan dengan bahasa yang tidak menekan. Hal tersebut—harapan orang tua dan proteksinya—ternyata ternyata memberi pengaruh pagi diriku. Bahwa sesungguhnya alam bawah sadarku menangkap, “orang tuaku mengharapkan seperti ini-seperti ini…dan aku akan sangat mengecewakan beliau jika aku tak dapat memenuhinya.” Ada harapan social yang dititipkan kepadaku.
Pernah dengar istilah seperti ini?
Jika orang tua tamat SD, maka minimal anaknya tamatan SMP. Dan seterus-seterusnya. Mungkin maksudnya adalah memotivasi. Tapi di sisi lain, ini adalah sebuah penitipan harapan maupun obsesi dari orang tua terhadap anak, yang pada alam bawah sadar anak ternyata menciptakan sebuah beban, yang boleh jadi akan memberatkan pada si anak.
Memang, adalah hal yang sangat manusiawi dan sangat wajar bahwa orang tua memiliki harapan-harapan besar pada anaknya. Apalagi orang tua dengan status social yang tinggi. Missal ia adalah seseorang dengan serentetan akademis yang tinggi…, atau seorang pengusaha yang kaya raya, atau pun seorang public figure, tentulah ia mengharapkan anaknya pun demikian. Ia mengharapkan anaknya menjadi seperti dia juga bahkan lebih. Pun demikian halnya dengan orang tua yang memiliki sebuah obsesi terhadap sesuatu hal dan ia sendiri tak mampu mencapainya. Di alam bawah sadarnya, ia mengharapkan sang anak dapat mencapai obsesinya tersebut. Seperti misalnya orang tua yang sangat ingin menjadi dokter, tapi kemudian tak kesampaian. Maka, keinginannya menjadi dokter itu dilimpahkan dan dititipkan kepada sang anak sehingga sang anak—menurut apa yang ada di alam bawah sadar orang tua—harus bisa mencapai cita-cita dokter itu. Padahal, belum tentu anaknya mau ataupun mampu menjadi dokter. Jika pun ia mampu menjalaninya, tapi, pasti akan ada siksaan batin baginya ketika menjalaninya.
Kita melihat banyaklah di antara orang tua yang menitipkan harapan maupun obsesinya kepada anak dan dibahasakan demikian pada anak! Banyak sekali contoh-contohnya. Misalkan “Nak, bapakmu itu udah doctor tuh. Ibu juga sudah master di bidang ibu. Kamu tentulah haruslah bisa lebih baik dari ini!”Dan sang anak akan tertanam pada dirinya ada sebuah beban berat bahwa ia harus lebih baik dari orang tuanya. Atau misalnya, “Nak, itu sekolah isinya anak unggul semua loh. Mama juga dulunya lulusan sekolah unggul itu. Kamu harus bisa juga Nak, sekolah di sana.”
Bayangkanlah! Betapa itu semua akan menjadi beban bagi anak. Meski pun kemudian ketika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya bisa saja hal itu memudar atau teralihkan. Tapi, tetap saja di amigdalanya sudah tertanam demikian.
Walau bagaimana pun, pola didik yang diterapkan orang tua pada anaknya, akan pola didik dasar pula bagaimana si anak mendidik anaknya ketika ia telah menjadi orang tua pula. Ini adalah niscaya. Ia menjadi warna dasar bagi jiwa sang anak tersebut. Ia adalah warna kuning, biru dan merah. Lalu perkara warna sekundernya apakah campuran biru dan kuning membentuk hijau, campuran merah dan biru menjadi ungu serta jutaan warna-warna lainnya adalah bagaimana pola yang kita ciptakan yang telah berintegrasi dengan adanya pengetahuan-pengetahuan dan perubahan iklim zaman dalam hal mendidiknya. Sungguh lebih baik bagi kita—terutama pada calon orang tua—untuk mempelajari ini semua sebelum ia benar-benar mengaplikasikannya di lapangan. Agar warna-warna itu adalah warna-warna cerah…warna-warna yang akan membuat bianglala peradaban ini menjadi lebih indah. Ialah generasi-generasi rabbani itu.
Apa yang menjadi pola didik orang tua yang kita rasakan baik, mari kita ambil, dan apa yang kita rasakan tidak baik bagi kita, maka mari kita perbaiki. Kita bisa melukis pola-pola itu sebelum ia benar-benar jadi. Melukis pola akan seperti apa didikan yang diberikan pada sang anak nantinya. Meskipun kita memiliki harapan social yang tinggi misalnya, jangan sampai itu terbahasakan apalagi sampai menekan sang anak untuk dapat memenuhinya, karena anak tidak sama dengan kita. Jangan pernah menitipkan obsesi pada anak. Biarkanlah mereka menjadi diri mereka sendiri. Kita sebagai orang tua hanya mengarahkannya. Mengarahkan agar sang anak tetap pada koridor-Nya.
Hehe….aku tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa aku lebih tahu, Sobat! Bukan! Aku jauh lebih tidak tahu! Bahkan aku saat ini bukanlah sebagai pelaku! Bukan pula karena terobsesi ingin segera punya anak. Hihihihi. (wong nikah ajah belom!). Ini semata-mata karena aku sangat mencintai dunia pendidikan anak.
Aku menyadari dengan sangat, bahwa teori-teori yang dipaparkan itu, tidak selalu sama dengan kehidupan nyata. Karena, toh hidup itu sendirilah pembelajaran yang sesungguhnya. Akan tetapi, untuk menjahit sebuah baju yang bagus, tentulah dibutuhkan pola-pola terlebih dahulu. Bagaimana bajunya bisa bagus kalau polanya tidak ada? Jika sudah ada pola, maka itu bergantung pada proses menjahitnya lagi. Dan, proses menjahit itulah pembelajaran yang sesungguhnya. Begitu pun dengan pola didik yang kita lukis saat ini. Dan, proses nyatanya adalah pembelajaran yang sebenarnya! Jadiii, kesimpulannya…mari belajar lebih banyak! Apalagi kalo punya cita-cita membangun peradaban Rabbani. Lha, bagaimana peradaban Rabbaninya bisa tercapai kalau sekolahnya saja tidak bagus? Iya tho?
Hayuk….hayuk…sama-sama belajar yuuuuk!
Biarkan Aku Terwarnai Corakmu
Warnai hidupku |
Sesungguhnya, penyadaran terpenting itu ialah bahwasannya diri ini memang sangat diwarnai oleh apa yang dibaca, dilihat dan didengar! Penyadaran bahwa apa yang tersimpan dibatok kepala ini hanyalah cuilan kecil dari selaksa luasnya samudera ilmu dan hikmah. Bahkan belumlah lagi cuilan kecil. Lebih sedikit dari itu. Lebih sedikit lagi.
Maka, salah satu hal yang paling menyenangkan (bahkan dibutuhkan) itu adalah menyelami, mengambil mutiara-mutiara yang bertebaran di seantero dunia tak bertepi ini yang mayanya seluas-luasnya ruang untuk memilih dan mengambil, mengeruk cerukan-cerukan mutiara yang tersimpan di setiap huruf demi huruf itu. Huruf yang menjadi untaian mutiara kaya hikmah. Boleh mengambilnya sebanyak-banyaknya. Sepuas-puasnya. Sampai sejauh apapun yang dimaui. Bahkan sampai penatpun mengambilnya, ia masih saja menyediakan lebih banyak, dan lebih banyak lagi!
Kali ini, biarlah aku terwarnai oleh corakmu. Warnailah aku, dengan warna kebaikanmu. Sebab, aku pun juga sangat ingin mewarnai. Mewarnai dan terwarnai sama saja. Asalkan dalam koridor kebaikan. Asalkan dalam koridor-Nya.
Perjalanan Ini...
Perjalanan ini.... |
Perjalanan itu, mengantarkanku pada suatu desa. Cukup jauh. Dan, di desa ini dahulunya aku pernah menghabiskan masa liburan kami yang begitu sederhana. Yah, liburan yang sangat sederhana namun sarat bahagia.
Aku dibesarkan dari keluarga yang biasa-biasa saja. Keluarga yang sederhana. Ayah dan ibuku adalah pegawai negeri sipil sejati. Hee… Tapi, perhatian ayah dan ibu terhadap pendidikanku cukup tinggi. Apresiasi! Itulah yang sekarang kupahami maknanya.
Dahulu, ketika masih di bangku sekolah dasar, ayah dan ibuku akan menghadiahkan kami jalan-jalan jika kami berhasil dapat juara. Jangan dipikir, jalan-jalanya menuju tempat rekreasi yang wah, dan memakan waktu berhari-hari. Tidak. Hanya jalan-jalan sederhana saja. Salingka Solok Selatan. Tapi, sebuah apresiasi luar biasa bagiku, bagi kami—aku dan Yuna, tepatnya.
Salah satunya adalah desa ini. Letaknya di kaki Bukit Anda. Dan dari sana, pemandangan Gunung Kerinci dapat terlihat dengan jelas. Cantik. Subhanallaah… Aku masih ingat dengan jelas, kala itu vespa kuning gading butut ayah tiba-tiba mogok. Dan kami harus menghabiskan liburan kali itu dengan berjalan kaki sejauh lebih dari 5 km. Mungkin lebih jauh. Dan, akal sederhanaku kala itu tidak dapat meng-estimasinya. Terik mentari, padahal!
Aah, sudah belasan tahun berlalu. Tapi, kenangan itu kembali berkelebat. Mungkin karena aku kembali menjejaki langkah di tempat yang pernah menjadi sejarah masa kecilku itu. Aku tidak membayangkan dulunya akan menjadi seorang apoteker (nganggur) seperti saat ini. Bahkan, aku terlalu tidak mengerti apa itu apoteker. Yang ada dipikiran kecilku kala itu, bukan ingin menjadi dokter, guru, polwan seperti kebanyakan cita-cita teman-teman sebayaku. Aku ingin menjadi seorang insinyur pembangunan—sama seperti aku juga tidak mengenal istilah arsitek, karena aku sangat suka menggambar rumah.
Masa kecil adalah masa yang begitu polos. Bagaimana jadinya diri seorang anak, memang amat sangat bergantung dengan bagaimana kultur yang membesarkannya, bagaimana pola didik orang tuanya, dan bagaimana lingkungan yang menaunginya. Bukan berarti ia tak dapat menjadi berbeda ketika dewasanya. Tapi, bagai mana pun, ia tetap saja adalah sesuatu yang menjadi warna dasar jiwa itu.
Aku masih ingat, ketika kecil dahulu, aku begitu ingin cepat-cepat menjadi dewasa. Aku begitu ingin. Sebab menjadi orang dewasa dapat memutuskan. Kata ayahku, aku anak yang begitu rajin bertanya dan sangat suka protes. Tak terbayangkan olehku, bahwa ibuku pastilah kewalahan menghadapiku. Hehe. Tapi, setelah belasan tahun berlalu, ternyata bayangan itu tak seindah potret nyata. Orang dewasa banyak masalah. Orang dewasa harus memikirkan banyak hal. Orang dewasa mestilah banyak pertimbangan. Meski memang ada yang mengatakan, bahwa bertambahnya usia adalahkeniscayaan sedang menjadi dewasa itu adalah pilihan, tapi, bagiku—se childish apapun—menjadi dewasa (berpikiran lebih dewasa) itu adalah KEHARUSAN! Tidak ada pilihan lain.
Kadang, terbersit sedikit rasa cemburu di hati ketika melihat anak-anak berseragam merah putih tertawa ceria. Menceritakan diri mereka apa adanya. Begitu polos. Aku sering ‘iseng’ bermain bersama anak-anak itu. Mereka bercerita dengan polosnya. Apapun yang kutanya pada mereka, mereka menjawab begitu apa adanya. Dari beberapa anak yang kutanya tentang cita-cita, mereka sangat ingin menjadi dokter karena dokter itu banyak uang. (Sampai di sini, aku tertawa. Ko nda ada yah, yang kepingin jadi apoteker? Hihi). Ada yang ingin menjadi guru. Karena mereka ingin sekali mendidik.
Sampai di sini aku berkesimpulan, pun ketika kecil kita menghadapi masalah. Masalah yang sesuai dengan versi kita kala itu. Pernah kuceritakan bukan, bahwa aku tidak ingin bingkai moif bunga-bunga, padahal itu adalah baik. Sekarang kudefinisikan, itu adalah masalah yang nilainya sebanding dengan usia kematangan kala itu.
Hmm…baiklah! Aku mengerti! Bahwa berat atau ringannya MASALAH itu…adalah BERBANDING LURUS dengan tingkat KEDEWASAAN kita. Semakin banyak, semakin diuji, semakin rumit, maka semakin besar peluanguntuk meng-up grade kedewasaan itu sendiri. Makanya, menjadi dewasa itu seharusnya bukan PILIHAN melainkan KEHARUSAN.
Hehe, sepertinya cerita ini sebaiknya kuakhiri, mewakili satu sisi melankolik sahaja. Maaf yaah, hanya sebuah cerita saja. Tak banyak yang bisa dipetik hikmahnya. Tapi, kali ini...tak peduli apakah kau membacanya atau tidak. Yang jelas, aku hanya me-muara-kan ia di sini. Iya, di sini.
Buffer Semangat
Buffer semangatt |
Tersadar aku bahwa semangat sangat memerlukan buffer…
Sebab, kesetimbangannya adalah fluktuatif laiknya reaksi yang berjalan dua arah. Ia…secepat produk menjadi reaktan sebagaimana cepatnya reaktan menjadi produk…
Aku dengan ke-fluktuatif-anku…
Andai saja ada High Performance Spirit Cromathography, tentu saja grafiknya tidak dapat dirumuskan dalam suatu gugus fungsi, sebab sungguh rumitnya ia…
Pengaruh pengalaman buruk!
Aku ingat, ini adalah salah satu hal pembelenggu. Dan, adalah memang, kutemui ia dalam nyata. Bukan penumbra. Bukan rias kata saja!
Ah, aku lelah berteka-teki. Hayo! Hadapi! Satu lawan satu!
Sebab hidup ini tak lain hanyalah sebuah kompetisi! Di mana-mana, ada kompetisi. Kompetisi antara al haq dengan bathil. Kompetisi antara down dan keterpurukan dengan semangat. Kompetisi antara kebajikan dan jalan taqwa dengan kefujuran. Kompetisi antara nafsul lawwamah dengan nafsul muthmainnah! Kompetisi! Kompetisi! Dan lagi-lagi kompetisi! Hingga sampai kepada garis di mana bendera hitam putih dikibarkan. Perkara siapa yang menang, maka ini menyoal siapa yang paling kuat! Siapa yang paling kuat, maka menjadi demikianlah wujud sang jiwa itu!
Kita MAU, Kita BISA!
Batabek wak lai....dari pado nganggur...hee...hayuu....'maen' lumpurrr |
Beberapa hari nyang lewat, aye tilpun-tilpunan ame temen2 se wisma nyang masi sama-sama pengangguran. Hee…so pasti pertanyaannye, yaah seputar-seputar itu-itu aje. “eh, ude masukin lamaran kemane aje? Diterima kaga? Lulus kaga?” hihi.
Sekarang, pertanyaan yang paling sulit aye jawab ntu adalah, “Thel, ude kerja di mane? Trus ape rencananye?”
Fiuufff…
Jawaban standar dari aye adalah…”Masi pengangguran. Hihi.”
Hmmmff…
Sekarang ini niih, baru berasa kalo nyari duit itu susyeeeeh. Hee… Malu beut dah, kalo ongkos pergi ngaji, ongkos pergi rapat, beli pulsa, jajan dan sejenisnya masi minta orang tue . hihi.
PNS? Hee….kaga lulus aye! Hihi. Hmm…jadi inget waktu masi-masi jamannye skripsweet dulu. Pas ditanye sama temen, “Thel, entar kalo ude tamat, mau jadi ape?” Aye jawab dengan entengnye, “PNS”.
Temen aye kaget, “PNS? Masa’ iye Fathel mau jadi PNS?” Hihi. Emang aye kaga ade tampang-tampang PNS nye ye? Hee… Trus, pas aye ngurus kartu kuning, si Bapak nyang antek-antek (lho? Ko antek-antek yaah? Hihi) Depnakernye tanye, “Kenape mau jadi PNS, Buk? Beban Negara ini mah ude beraaaat. Kenape mesti ditambah lagi buat bayarin gajinya PNS?” heuu…ujung-ujungnye aye jadi ngobrol panjang ama itu Bapak. “Buk, mending buka usaha aje…” Usul si Bapak. Kalo nyang ini mah aye sepakat nih. Hehe. Kepade mereka, aye pengin ngejelasin…kalo aye ntu, ngikut tes PNS pan karna disuruh orang tue. Biaselaah… pan orang tua kepingin anaknye idup (adil) sejahtera. Yah, nda kaya, tapi nda miskin juge. Pan nyang macam begituan yaah PNS laah. Hee…. Tapi, kaga lulus, ya kaga nape-nape. Ini ngasi aye pelajaran, kalo ternyata jika kite ni kaga ngarep tinggi-tinggi, kite pun kaga terlalu kecewa. Beda beut jika kite ngareeeeep banget, pas kaga kesampaian yah kecewa. Kalo aye mah, kaga terlalu ngarep. Jadinye ya kaga terlalu kecewa. Hee… Semua keadaan adalah BAIK!
Hmm….sekarang ni, aye lagi pengin bisnis nih. Ide-ide berseliweran minta difasilitasi. Nyang paling mendekati dengan profesi aye dari sekian buanyaaak ide, yah bisnis apotek. Tapi, kaga kuat ngemodalin! Minimal itu ye, 200 jt. Dari mane aye bisa dapet segitu duit?! Kerja di apotek orang? Hufffft…boro-boro! Ngurusnye susaaah, pertanggungjawabannya guedeee (separuh kaki aye di penjara niih), eeh…aye Cuma digaji 700rb! Parah! UMR aje kaga nyampe!! Cape’ aye kuliyah profesi segala, kalo gajinye Cuma segitu doang! Pan jadi pembantu aje bisa lebih buanyak dari itu! (hihi, ko aye jadi gaji oriented begini! Hehe, maklumlah, pengangguran!)
Aye jadi inget salah satu hadist nabi. Kalau seorang Muslim ntu mesti kaya! Iya, kudu kaya! Berasa beut, kalo ‘miskin’ begini, mau pengajian, yaah ongkosnye aje susaaah. Mau ngadain acara, kaga ade modalnye. Suseh kan ye?! Hihi. Makenye, bener tuh, jad Muslim kudu kaya! Biar bisa ngasi lebih! (bukan berarti kalo kaga punya duit kaga bisa kasi ape-ape. Justru, nilainye bisa lebih, kalo kite punye sedikit, tapi masi bisa ngasi. Hee… Yaah, semua keadaan adalah BAIK dah!)
Walaupun duit bukan jadi orientasi, tapiii, kalo kaga ade duit emang mandeg! Mau bergeraaak, yah suseeeh! Hmm…tapiiii, inget manteranya “MAN JADDA WA JADDA” lah! Kalo mau, PASTI ade jalannye! PASTI ADA! Don’t worry dah!
Hee…jadiiiii, kesimpulannye, kalau Kite MAU….kite PASTI BISA! Meski aye mesti bolak-balik buku Manajemen Pemasaran dan sejenis-jenisnye, meski aye kudu bolak balik buku Psikologi segale, meski aye kudu hunting buku-buku matematika SMA segale (untungnye catetan aye pas SMA masi bisa diandalin! Hihi), meski aye mesti nyari-nyari referensi soal perikanan segala, meski aye kudu selancaran dulu di hutan rimbanya mbah gugel (masi untung bisa internetan di pelosok kampung begini), meski mata ni ampe berair karna seharian di depan kotak ajaib bernama computer, meski aye kudu Tanya sana sini beguru ame siape aje, insya Allah…aye jalanin! Jadi muslim kudu kaya! Jadi muslim kudu kaya! Biar kaya, harus usaha! Biar sukses harus usaha. Untuk itu semua, harus ada MAU….lalu MAJU! Karena duit kaga turun bersama hujan. Dia ade, kalau kitenye mau usaha!!
Ude yee, segitu aje cerite nye. Maap banget kalo aye Cuma cerita-cerita “nyampah” aje! Hihi. Ngalor ngidul, kaga jelas juntrungannye. Eih, nda ding! Ade juntrungannye lah! Masa siy kaga’! Rugi dong aye, kalo kaga!
Tertatih pun...Akan Kugapai!
Awal Bermulanya....
Awal bermula langkah kita.... |
Begitu pun dengan kepulangan kali ini. Karena selainnya, aku memang ingin menikmati perjalanan santai yang mungkin akan jarang kunikmati lagi, mengingat statusku sebagai seorang tunawisma di kota Padang. Hihihi. Dan, perjalanan kali ini…sungguh berbeda!
Sebuah pertemuan tak terduga dengan uni Psikologku..(heuu….peace uniiii^__^), di atas bus itu. Dan, dari sanalah jejak kita bermula…
Adalah dua orang mantan mahasiswa (jika tidak ingin disebut pengangguran…wkwkwkwk) yang punya idealism yang sama, mimpi yang sama, tekad yang sama…dan cara menerawang (emangnya duit!) masa depan yang sama! Hanya bermula dari saling menceritakan masing-masing mimpinya… Lalu, terbentuklah peta itu… Peta yang akan kami jejaki bersama!!
Ada tantangan besaar untuk sebuah mimpi besar!! Maka, pilihannya adalah…menyerah pada keadaan….atau mengangkat dagu lalu meneriakkan kalimat-kalimat optimis, “BAHWA KITA AKAN HADAPI TANTANGAN ITU, dan KITA AKAN MERAIHNYA!”
Semangat memang menjadi bahan bakar ampuh! Tapi, tidak cukup dengan semangat saja. Ada modal yang lebih penting! Rencana…dan aksi! Maka hari ini….KITA AKAN MEMULAI DARI LANGKAH KECIL PERTAMA, UNTUK MENCIPTA LANGKAH KESERIBU…pada akhirnya….
SEMANGATTTTT!!!
MA'ANNAJAH!
Menanti Skenario Terindah
Rekonstruksi.... |
Hidup di dunia ini hanyalah sekali saja, pun dalam kesejenakan. Endingnya benar-benar tidak dapat diprediksi, pada waktu kapan, pada bumi mana, dengan cara bagaimana. Karena sejenak itulah, maka, kita mengejar hal-hal utama, agar investasinya menjadi besar pada hari segala sesuatunya dibalaskan. Tentu saja! Karena, siapapun pasti tidak ingin menyesal dengan penyesalan yang besar, ketika penyesalan itu sendiri kemudian tiada lagi berguna.
Tapi, keridhaan-Nya di atas ridhanya orang tua….
Semua ini….membuatku harus berkali-kali merekonstruksi catatan rencana…
Untukmu, Wahai Para Pemenang!
Puncak kesuksesan* |
Wahai sahabat, menurutmu, hidup dengan lancar-lancar saja, mulus-mulus saja, dan hampir semua kenginginanmu tercapai dengan mudah, adalah suatu hal yang menyenangkan? Iya! Tentu saja! Tapi, satu hal saja, hidup dengan penuh liku, hidup dengan penuh tantangan, memiliki nilai lebih! Ia memiliki poin lebih tinggi karena ada energy lebih besar yang harus ia keluarkan untuk bisa sejajar dengan orang-orang yang hidupnya hanya ’lurus’ saja. Dan menakjubkannya, mereka punya kekayaan yang yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang hidupnya datar-datar saja itu. Kekayaan itu adalah pengalaman! Dapatkah kau membeli pengalaman? Tentu tidak.
Semakin kusadari, sesungguhnya kehidupan itu sendiri adalah sebuah sekolah tempat melakukan pembelajaran-pembelajaran, perbaikan-perbaikan. Sekolah ini hanya akan melahirkan lulusan terbaik jika para siswanya mau belajar dengan sungguh-sungguh, benar-benar mau menilik segala sisi positif dari hidupnya, meskipun ia sendiri berada pada kondisi yang begitu pahit menurut pandangan universal. Ia yang mampu bangkit pada posisi paling sulit, kegagalan paling hebat, dan ketika ia justru berada pada titik minimumnya.
Sahabat, aku punya cerita. Tentang kegagalanku pada satu bulan terakhir. Ada beberapa kegagalan yang datangnya benar-benar bertubi-tubi. Aku merasa, inilah salah satu masa paling down dalam hidupku, setelah aku melewati beberapa fase sebelumnya. Jangan kau pikir aku tidak menumpahkan air mata! Mungkin aku tak dapat menghitung entah berapa cc air mata yang sempat kukeluarkan untuk beberapa macam kegagalan-kegagalan besar besar itu. Bahkan, kegagalan itu punya space-space tersendiri, dan memiliki porsi yang sama, menempati satu hati, pada waktu yang hampir bersamaan. Sama-sama meminta perhatian. Bahkan, aku kadang tidak bisa lagi bedakan, saat ini aku sedang berada di titik kegagalan yang mana? Meski sahabatku sendiri, orang-orang yang dekat denganku mengatakan, bahwa aku adalah orang yang paling jarang bersedih, dan bahkan tidak bisa membedakan antara kondisi sedihku dengan kondis bahagiaku. Tapi, tetap saja aku punya titik kulminatif kesedihan.
Padaku, padamu, pada kita diberikan pilihan di mana kita bebas memilih,antara mengikuti kegagalan itu, atau berbalik berjuang untuk bangkit melawannya! Aku, kau, kita semua, bebas memilih apapun penyikapan diri.
Kau tahu, sebenarnya ada sesuatu hal yang ‘kecil’ saja untuk men-setting pilihan-pilihan itu. Yaitu, bagaimana kita memandang sebuah masalah. Yup paradigm kita!
Setelah melewati beberapa kegagalan besar (sekali lagi kukatakan, kegagalanku bukan hanya satu, tapi ada beberapa, di waktu yang nyaris bersamaan), aku malah ingin berterima kasih pada kegagalan! Yup, berterima kasih! Dan, kegagalan ini pula yang kemudian membuat aku bisa benar-benar tersenyum sumringah, melukis sebuah azzam, dan benar-benar bertekad akan menantangnya! Kau tahu? Aku memang sempat mengikutinya, sejenak. Aku dengan kondisi lost hope, aku dengan kondisi yang gamang, aku dengan kondisi, “lebih baik di telan bumi saja, dari pada harus menghadapi ini semua”. Tapi tidak! Aku tidak mau berlama-lama dengan energy negative yang jika dituruti hanya akan menuai kegagalan lebih besar. Hanya akan membuat duniaku menjadi gelap!
Kegagalan adalah sebuah pemantik untuk menyalakan api lebih besar! Kegagalan, adalah terjatuh untuk bisa bangkit lebih tinggi! Tidak ada yang salah dengan kegagalan. Sebab, ketika baru saja kita bangkit dari kegagalan, itu adalah awal permulaan kesuksesan yang lebih besar, insya Allah.
Sebuah kesalahan…sebuah kesalahan….semestinya memang disikapi bukan dengan penyesalan. Memang harus ada penyesalan! Tapi, harus diikuti dengan perbaikan! Siapa sih, di atas dunia ini yang tidak pernah salah? Sedangkan Allah saja, menyediakan seluas-luasnya bentangan pintu taubat, seburuk apapun masa lalunya, seburuk apapun kesalahannya. Lantas, apa alasan kita untuk terus menerus menyesalinya tanpa kemudian bangkit memperbaikinya? Kesalahan….adalah media pembelajaran, bahwa dengannya kita belajar untuk menjadi benar. Bahwa dengan kesalahan itu, kita bisa bangkit, mempebaikinya, terus merenovasinya… Terus berkarya!
Semua ini, juga mengajarkanku, bahwa sesungguhnya KITA MEMBUTUHKAN ADANYA MASALAH!
Pernyataan ini memang suatu negasi, barang kali. Tapi, memang begitulah hakikatnya hidup. Bahwa ia adalah perpindahan dari suatu masalah kepada masalah berikutnya. Apa rahasianya kenapa kita butuh masalah? Adalah, masalah… akan menguji, sejauh mana ketergantungan kita kepada Allah… Yup, adanya masalah akan menjadi indicator sejauh mana ketergantungan kita pada Allah.
Apa kita pernah bertanya-tanya, “mengapa hanya aku saja yang Allah uji bertubi-tubi?” Maka, selanjutnya, berhentilah bertanya dengan pertanyaan itu dan senadanya. Sesungguhnya, beruntunglah jika kita adalah orang-orang yang Allah pilih untuk mendapat ujian. Beruntunglah! Karena itu adalah pertanda kita akan ‘naik kelas’ jika kita bisa berhasil melewatinya. Semakin banyak ujian, semakin sering ujian, semakin baik! Sebab, semakin besar peluang untuk dapat naik kelas. Semakin kaya kita dengan pengalaman, pembelajaran dan hikmah. Bukankah itu suatu anugrah?
Sahabat, memang kuncinya adalah… bagaimana kita memandang sebuah masalah, ujian, kegagalan maupun kesalahan itu. Apakah dengan pandangan yang sempit sehingga dunia terasa begitu sesak, atau dengan pandangan sebening telaga, seluas samudera? Percayalah, ketika kita mau memandangnya dengan pandangan yang luas, semakin meningkatkan ketergantungan pada Allah, yang Maha Memberikan solusi, sesungguhnya tidak ada masalah yang tidak dapat kita selesaikan. Segalanya, seperti grafik parabol, memiliki titik balik! Pasti SELALU ADA KEMUDAHAN DI SETIAP KESULITAN! SELALU ADA KEMUDAHAN! Percayalah…
Orang tuaku memberiku nama Fathelvi yang berasal dari akar kata“Fathul-Alvi”. SERIBU KEMENANGAN! Pada mulanya, aku berpikir, betapa beratnya namaku ini. Bahwa sekurang-kurangnya aku harus mendapatkan seribu kemenangan dalam hidupku. Jangankan seribu, satu saja susah yah. Hehe. Tapi, Hari ini….saat ini….aku bertekad, bahwa aku akan menggenggam seribu kemenangan itu kelak, insya Allah! Bahwa aku adalah Fathul-Alvi. Tiadalah….selain kemanangan! Hanya kemenangan saja. Bukan berarti aku menisbikan adanya masalah, adanya kesalahan dan adanya kegagalan. Tidak! Bukankah ketika kita berhasil bangkit, itu juga adalah salah satu dari sekian banyak bentuk kemenangan?
Berpikir sukseslah, maka kita akan menjadi sukses. Jangan pernah berhenti berharap! Terbitkanlah bintang harapan sebanyak-banyaknya… sebanyak-banyaknya! Sesungguhnya, hanya orang-orang yang tidak punya harapanlah yang akan perlahan meranggas dan mati. Mari kita tuliskan mimpi-mimpi kita. Jika tak tercapai satu mimpi, maka kita masih punya seribu mimpi yang lain! Sebab mimpi, akan menjadi nafas perjalanan kita, meski tertatih pun kita menggapainya. Menjadi berbedalah! Menjadilah golongan orang-orang yang sedikit! Jangan menjadi orang kebanyakan seperti kebanyakan orang-orang!
Kali ini, MY LIFE THEME adalah….MENINGKATKAN KUALITAS HIDUP, UNTUK HIDUP YANG LEBIH BERKUALITAS! Yup, hidup yang lebih berkualitas! Hidup di dunia ini hanyalah sejenak dan hanyalah satu kali saja. Jika tidak diisi dengan segala sesuatu yang berkualitas, maka, yang ada hanyalah catatan-catatan kosong saja. Tak banyak yang akan kita tuai kelak, di hari ketika segala sesuatunya dibalaskan. Tak banyak! Adakah penyesalan yang lebih besar dari pada penyesalan di hari itu?
Meningkatkan kualitas hidup, untuk hidup yang berkualitas!
Jia tidak dari sekarang, maka, kapan lagi? Bukankah kita sangat menginginkan, bahwa penutup hari-hari kita adalah dengan amalan terbaik, pun dengan kualitas terbaik? Tentu saja!!
Hayuuu…..Semangat!!! semangat!! Pancangkan asa sebanyak-banyaknya, setingi-tingginya! Kukuhkan azzam. Genggam dan kepalkan tanganmu! Teriakkan takbir, “Allahu akbar!!! Allahu akbar!!”
Selamat berjumpa di puncak-puncak kemenangan!
Dan menjadilah pribadi yang menang!
Aku, kau, kita semua, punya kesempatan yang sama! Let’s Fastabiqul khoirat! Berlomba-lomba! Dan kita, harus jadi para pemenang!!
Hayoo..meloncat lebih tinggi!** |
"Takkan ada gelap jika cahaya Al Qur’an telah memenuhi hati kita… Buang jauh-jauh putus asa karena sungguh Allah benar-benar mengerti akan besarnya harapan dan keinginan di hati kita. Jadi, jangan pernah berhenti berharap bahwa suatu saat Allah pasti akan mempertemukan kita dalam indahnya hidup di bawah naungan Al Qur’an. Percayalah, Allah-lah yang lebih tahu, kapan kesempatan itu dihadiahkan-Nya pada kita. Tetaplah Istiqomah dengan Al Qur’an-Nya, di manapun kita berada. Tetap semangat!!!"
PS :
* Caption : di depan rumahku, saat orang PLN memperbaiki listrik...hihihi
** Caption : ini bintangnya adik2ku semua...dan Ibuku..hehe...waktu jalan2 salingka Solsel...^__^
Jatuh dan Bangun
Terjatuh...hihi |
Kau tahu?! Ada jatuh yang juga lebih sakit lagi! Jatuh cinta! Hihi. Iya! Jatuh cinta! Di saat yang belum tepat, tentunya. Sakitnya, tergantung sedalam apa (h) dan selama apa (t). Apalagi jika reversible. Jika reversible, maka bukan hanya jatuh bebas, tapi juga ada gerak vertical ke atas sebelumnya. Lebih menyakitkan lagi! Heuu…
Makanya, jika kau ingin memilih, janganlah pilih JATUH cinta. Tapi, pilihlah BANGUN cinta! Bangun di saat yang tepat, pada orang yang tepat saja. Sebab, BANGUN cinta itu seperti GLBB… Ada energy awal, yang juga berbanding lurus antara kedalamannya (s) dengan waktunya (t). s= Vot + ½ at2. Maka, niscaya dengannya takkan kau temukan adanya kesakitan. Sebab, grafiknya akan selalu menuju ke atas.
Siiiip?!
Sepakat!?
Dalam hidup, selalu ada pilihan antara menikahi orang yang dicintai, atau mencintai orang yang dinikahi. Yang pertama hanyalah kemungkinan, sedangkan yang kedua adalah kewajiban. Ada dua pilihan ketika bertemu cinta. JATUH cinta dan BANGUN cinta. Padamu, aku memilih yang kedua. Agar cinta kita menjadi istana, tinggi mengapai surga.(Salim A Fillah, 2007, dalam “Saksikan Aku Seorang Muslim”)
Katak Di Luar Tempurung
Di suatu negeri antah barantah, hiduplah seekor katak. Malangnya, sang katak sudah delapan tahun terkurung dalam suatu tempurung, sehingga yang ada di batok kepalanya adalah, tempurung itulah tempurung yang terbaik dan yang terindah. Heuu…kasihan sekali si katak itu yaah, delapan tahun berada di tempurung itu saja. Terkungkung. Katak dalam tempurung yang malang yaah. Hihi. Padahal, ada banyak loh, tempurung-tempurung lain, di sekitarnya! Sebenarnya sih, katak itu tau, kalau ada tempurung-tempurung lain di sekitarnya. Tapi, entah mengapa, ia masih saja terpaku pada tempurung itu. Barang kali ia telah tersepona (atau terbutakan?) oleh temprung itu saja. hihi. Entahlah. Kalau ditanya pun kepada sang katak, ia hanya mampu menjawab, “entahlaah…. Aku tak tahu mengapa begini. Aku pun sebenarnya tidak ingin berada di tempurung itu. Tapi…entahlah! Entahlah…”
Hingga suatu hari, terjadilah sebuah peristiwa besar pada sang katak, yang ‘memaksanya’ untuk keluar dari temprung itu. Sang katak, tergugu. Tergagap. Gamang! Pada mulanya! Lalu, teringatlah ia pada seorang eeh…seekor katak lain, sahabatnya, yang dulu juga bernasib sama. Sama-sama terkurung dalam sebuah tempurung. Tapi, kini sahabatnya itu telah terbebas dari tempurung yang mengungkungnya. Lalu, di saat sang katak itu terpuruk (heuu…dalam tempurung, bagemana pulak bisa terpuruk yaah? Ada-ada sajaa…..),ia segera menelpon sahabatnya itu yang kini sudah terpisah. Kalau dulu siiih mereka pernah berada pada satu kampus per-katak-an yang sama. (hahay, makin ngaco ceritanya! Masa’ pulak ada katak punya henpon! Canggih beneer! Dan, aya-aya wae, ada pula katak yang punya kampus segalaa! Hihi! Maafkanlah….kalau cerita ini makin ngaur saja).
“Assalaamu’alaykum, Kataaaaaaak… Sudah lama kita tak jumpa. Apa kabarmu, Katak? Aku sungguh merindumu!” begitulah prolog perbincangan mereka.
“Waaah, kataaaak, aku baik-baik saja. iya, aku pun kangen padamu, Tak. Adakah kau sehat-sehat saja?”
“Hooo, aku sih alhamdulillaah sehat-sehat saja Katak!!”
“hehe, ada apa gerangan, tumben kau menelponku, Tak?” (heuu….karena biasanya katak itu senengnya ditelpon, bukan menelpon..wkwkwkwkwk…..)
“Huuhu, aku mau curhaaat Kataaaak.”
“Oh ya? Kenapakah? Apa yang bisa kubantu untukmu wahai sayangku, sahabatku?”
“Aku hanya ingin bertanya. Dahulu, bagaimana kau bisa berlepas diri dari tempurung itu? Aku membutuhkan nasihatmu, sahabatku…”
“Wah…wah….itu rupanya! Hee… Kau pun sebenarnya pernah menyaksikanku di episode yang malang itu kan, Tak?”
“Iya…iya..aku ingat! Aku pun menjadi orang yang menyemangatimu kala itu. Tapi, ketika aku ditimpa masalah yang sama, ternyata aku tidak cukup kuat menasihati diriku sendiri. Kini giliranmulah yang menasihatiku, sahabatkuuu…”
“Satu hal saja sayang, bahwa, kini aku merasa bersyukur bahwa aku pernah terkurung dalam tempurung itu.”
“He? Kenapa begitu, Katakku sayang?”
“Karena, dengannya aku mengetahui kebodohanku, berlama-lama terkurung dalam tempurung itu.”
Si katak tercenung! Hei, iya yah?! Betapa bodohnya! Delapan tahun terkungkung pada tempurung yang sama! Suatu hal yang bodoh! Tapi, sayang saja, karena tempurungnya mengungkung, tak sempat melihat-lihat! Iya, bener, semestinya bersyukur pernah merasakan terkurung dalam tempurung itu. Banyak sekali hikmahnya.
“Tak, kau masih di sana kan? Kenape diem euy?” terdengar suara dari seberang.
“oh…eh..hihi..iya, aku sedang meresapi kata-katamu, sahabatku.”
“Sahabatku sayang, hari ini…aku seperti ingin menertawakan diriku sendiri. Menertawakan kebodohanku di masa itu. Tapi, cukuplah ia menjadi pelajaran yang amat sangat berharga bagiku, Tak. Buanyaaaaaaaaak sekali hikmahnya. Dengannya aku bisa memperbaiki diriku. Dan, aku benar-benar bersyukur pada Allah yang telah memberikan ujian ini padaku. Kelak, kau pun akan merasakan, bahwa itu benar-benar suatu kebodohan. Tapi, memang, pada akhirnya, alhamdulillaah aku bisa belajar dari sini. Tahu gak, Tak? Betapapun inginnya aku dulu tetap berada dalam tempurung itu, karena aku tak dapat menyingkap keburukan-keburukan jika aku tetap bersamanya. Kini, aku bisa lebih membuka mata dan hati, bahwa tempurung itu tidak sesempurna yang kubayangkan! Barang kali, jika aku bersamanya, mungkin di tengah jalan aku menemukan sesuatu yang tak sesuai dengan apa yang kupikirkan selama ini tentang tempurung itu. Allah lebih tau mana yang terbaik, Tak. Aku benar-benar menyukuri itu.”
“Hmm…iya sahabatku.” Si katak bergumam. Meresapi kalimat-kalimat yang disampaikan sahabatnya. Membenarkannya! Ah, benarlah….benarlah!
“Katak sahabatku yang kusayangi, keluarlah dari tempurung itu. Dan lihatlah, betapa semesta ini begitu luas! Kau bisa melihat begitu banyak bintang-bintang gemerlap. Terangnya rembulan. Dan, kau PASTI BISA BERKARYA LEBIH BAIK! Pandangilah dengan mata hatimu, sahabatku!” Sahabat katak itu terus men-support. “Sahabatku, aku yakin kau bisa! Kau pasti bisa! Insya ALLAH, BISAAAA! Kau bisa berkarya, kau bisa belajar dari sini! Karena Allah tak kasi ujian pada hamba-Nya, di luar batas kesanggupannya. Aku yakin kau pasti bisa melewati ujian ini. Ada banyak katak-katak lain yang juga ditempa ujian yang sama. Pilihannya hanya dua. Kau ingin lulus, atau kau ingin gagal. Aku yakin, insya Allah kau pasti lulus, sahabatku! Jika kau lulus, maka, kau akan naik kelas! Kau akan menjadi lebih tinggi! Tetaplah bersemangat sahabatkuu! Semangat! Semangat! Semangat!”
“Hwaaaaa….makasiih yaah, Kataaaak. Kau memang sahabat terbaikku! Trima kasih nasihatnya.”
“Iyaaa….sayangku! Eh, Tak. Kau harus datang yaah, insya Allah aku telah menemukan tempurung yang paling tepat. Kau harus jadi panitia acaraku nantinya!”
“Wooww! Masya Allaah! Tentu saja, sahabatkuu! Tentu saja! Aku harus jadi panitia utamamu. Hihihi.”
Seusai menelpon, sang katak mulai bermuhasabah. Berkotempelasi di suatu sudut negeri. (hahay, katak lebay!). Perlahan, ia pun tak gamang lagi! Ia pun menjadi kuat kembali. Tak tergugu maupun tergagap. Perlahan, ia pun mulai keluar dari tempurung itu. Dan, betapa takjubnya ia, dapat melihat gemerlapnya langit dengan taburan bintang. Ia pun dapat melihat, sinar rembulan yang begitu terang.
Subhanallaah…
Subhanallaah..
Walhamdulillaah…
Sang katak bersyukur pada Allah, karena Allah telah memberikan suatu tempaan padanya. Meski ia sempat tergagap, dan begitu gamang, tapi, sang katak itu yakin, bahwa Allah-lah tempat ia bergantung. Segala kekuatan adidaya yang mahapower hanyalah milik Allah. Lalu, ketika telah disandarkan hanya pada Dzat Yang Maha memiliki kekuatan megapower itu, adakah kesedihan lagi? Masih adakah kegamangan lagi? Tentu saja tidak! Tentu saja tidak! DIA di atas segala-galanya.
Katak itu pun tersenyum riang. Ketika ia kini bisa melihat luasnya semesta setelah sebelumnya terkungkung pada tempat sempit dalam tempurung itu. Katak itu pun ingin berterima kasih, pada tempurung itu, karena oleh sebab dialah, pada akhirnya ia menjadi banyak belajar.
Aku ingin, memetik satu bintang yang gemerlap itu. Aku yakin, aku pasti bisa, insya Allah!! Sang katak mulai memancangkan azzam!
Hehe, demikianlah cerita sang katak. Temaaaan, do’a ini sang katak itu yaah, agar ia terus bersemangat. Seperti itu. Lihatlah kini, ia sudah melompat-lompat ceria!!
Hingga suatu hari, terjadilah sebuah peristiwa besar pada sang katak, yang ‘memaksanya’ untuk keluar dari temprung itu. Sang katak, tergugu. Tergagap. Gamang! Pada mulanya! Lalu, teringatlah ia pada seorang eeh…seekor katak lain, sahabatnya, yang dulu juga bernasib sama. Sama-sama terkurung dalam sebuah tempurung. Tapi, kini sahabatnya itu telah terbebas dari tempurung yang mengungkungnya. Lalu, di saat sang katak itu terpuruk (heuu…dalam tempurung, bagemana pulak bisa terpuruk yaah? Ada-ada sajaa…..),ia segera menelpon sahabatnya itu yang kini sudah terpisah. Kalau dulu siiih mereka pernah berada pada satu kampus per-katak-an yang sama. (hahay, makin ngaco ceritanya! Masa’ pulak ada katak punya henpon! Canggih beneer! Dan, aya-aya wae, ada pula katak yang punya kampus segalaa! Hihi! Maafkanlah….kalau cerita ini makin ngaur saja).
“Assalaamu’alaykum, Kataaaaaaak… Sudah lama kita tak jumpa. Apa kabarmu, Katak? Aku sungguh merindumu!” begitulah prolog perbincangan mereka.
“Waaah, kataaaak, aku baik-baik saja. iya, aku pun kangen padamu, Tak. Adakah kau sehat-sehat saja?”
“Hooo, aku sih alhamdulillaah sehat-sehat saja Katak!!”
“hehe, ada apa gerangan, tumben kau menelponku, Tak?” (heuu….karena biasanya katak itu senengnya ditelpon, bukan menelpon..wkwkwkwkwk…..)
“Huuhu, aku mau curhaaat Kataaaak.”
“Oh ya? Kenapakah? Apa yang bisa kubantu untukmu wahai sayangku, sahabatku?”
“Aku hanya ingin bertanya. Dahulu, bagaimana kau bisa berlepas diri dari tempurung itu? Aku membutuhkan nasihatmu, sahabatku…”
“Wah…wah….itu rupanya! Hee… Kau pun sebenarnya pernah menyaksikanku di episode yang malang itu kan, Tak?”
“Iya…iya..aku ingat! Aku pun menjadi orang yang menyemangatimu kala itu. Tapi, ketika aku ditimpa masalah yang sama, ternyata aku tidak cukup kuat menasihati diriku sendiri. Kini giliranmulah yang menasihatiku, sahabatkuuu…”
“Satu hal saja sayang, bahwa, kini aku merasa bersyukur bahwa aku pernah terkurung dalam tempurung itu.”
“He? Kenapa begitu, Katakku sayang?”
“Karena, dengannya aku mengetahui kebodohanku, berlama-lama terkurung dalam tempurung itu.”
Si katak tercenung! Hei, iya yah?! Betapa bodohnya! Delapan tahun terkungkung pada tempurung yang sama! Suatu hal yang bodoh! Tapi, sayang saja, karena tempurungnya mengungkung, tak sempat melihat-lihat! Iya, bener, semestinya bersyukur pernah merasakan terkurung dalam tempurung itu. Banyak sekali hikmahnya.
“Tak, kau masih di sana kan? Kenape diem euy?” terdengar suara dari seberang.
“oh…eh..hihi..iya, aku sedang meresapi kata-katamu, sahabatku.”
“Sahabatku sayang, hari ini…aku seperti ingin menertawakan diriku sendiri. Menertawakan kebodohanku di masa itu. Tapi, cukuplah ia menjadi pelajaran yang amat sangat berharga bagiku, Tak. Buanyaaaaaaaaak sekali hikmahnya. Dengannya aku bisa memperbaiki diriku. Dan, aku benar-benar bersyukur pada Allah yang telah memberikan ujian ini padaku. Kelak, kau pun akan merasakan, bahwa itu benar-benar suatu kebodohan. Tapi, memang, pada akhirnya, alhamdulillaah aku bisa belajar dari sini. Tahu gak, Tak? Betapapun inginnya aku dulu tetap berada dalam tempurung itu, karena aku tak dapat menyingkap keburukan-keburukan jika aku tetap bersamanya. Kini, aku bisa lebih membuka mata dan hati, bahwa tempurung itu tidak sesempurna yang kubayangkan! Barang kali, jika aku bersamanya, mungkin di tengah jalan aku menemukan sesuatu yang tak sesuai dengan apa yang kupikirkan selama ini tentang tempurung itu. Allah lebih tau mana yang terbaik, Tak. Aku benar-benar menyukuri itu.”
“Hmm…iya sahabatku.” Si katak bergumam. Meresapi kalimat-kalimat yang disampaikan sahabatnya. Membenarkannya! Ah, benarlah….benarlah!
“Katak sahabatku yang kusayangi, keluarlah dari tempurung itu. Dan lihatlah, betapa semesta ini begitu luas! Kau bisa melihat begitu banyak bintang-bintang gemerlap. Terangnya rembulan. Dan, kau PASTI BISA BERKARYA LEBIH BAIK! Pandangilah dengan mata hatimu, sahabatku!” Sahabat katak itu terus men-support. “Sahabatku, aku yakin kau bisa! Kau pasti bisa! Insya ALLAH, BISAAAA! Kau bisa berkarya, kau bisa belajar dari sini! Karena Allah tak kasi ujian pada hamba-Nya, di luar batas kesanggupannya. Aku yakin kau pasti bisa melewati ujian ini. Ada banyak katak-katak lain yang juga ditempa ujian yang sama. Pilihannya hanya dua. Kau ingin lulus, atau kau ingin gagal. Aku yakin, insya Allah kau pasti lulus, sahabatku! Jika kau lulus, maka, kau akan naik kelas! Kau akan menjadi lebih tinggi! Tetaplah bersemangat sahabatkuu! Semangat! Semangat! Semangat!”
“Hwaaaaa….makasiih yaah, Kataaaak. Kau memang sahabat terbaikku! Trima kasih nasihatnya.”
“Iyaaa….sayangku! Eh, Tak. Kau harus datang yaah, insya Allah aku telah menemukan tempurung yang paling tepat. Kau harus jadi panitia acaraku nantinya!”
“Wooww! Masya Allaah! Tentu saja, sahabatkuu! Tentu saja! Aku harus jadi panitia utamamu. Hihihi.”
Seusai menelpon, sang katak mulai bermuhasabah. Berkotempelasi di suatu sudut negeri. (hahay, katak lebay!). Perlahan, ia pun tak gamang lagi! Ia pun menjadi kuat kembali. Tak tergugu maupun tergagap. Perlahan, ia pun mulai keluar dari tempurung itu. Dan, betapa takjubnya ia, dapat melihat gemerlapnya langit dengan taburan bintang. Ia pun dapat melihat, sinar rembulan yang begitu terang.
Subhanallaah…
Subhanallaah..
Walhamdulillaah…
Sang katak bersyukur pada Allah, karena Allah telah memberikan suatu tempaan padanya. Meski ia sempat tergagap, dan begitu gamang, tapi, sang katak itu yakin, bahwa Allah-lah tempat ia bergantung. Segala kekuatan adidaya yang mahapower hanyalah milik Allah. Lalu, ketika telah disandarkan hanya pada Dzat Yang Maha memiliki kekuatan megapower itu, adakah kesedihan lagi? Masih adakah kegamangan lagi? Tentu saja tidak! Tentu saja tidak! DIA di atas segala-galanya.
Katak itu pun tersenyum riang. Ketika ia kini bisa melihat luasnya semesta setelah sebelumnya terkungkung pada tempat sempit dalam tempurung itu. Katak itu pun ingin berterima kasih, pada tempurung itu, karena oleh sebab dialah, pada akhirnya ia menjadi banyak belajar.
Aku ingin, memetik satu bintang yang gemerlap itu. Aku yakin, aku pasti bisa, insya Allah!! Sang katak mulai memancangkan azzam!
Hehe, demikianlah cerita sang katak. Temaaaan, do’a ini sang katak itu yaah, agar ia terus bersemangat. Seperti itu. Lihatlah kini, ia sudah melompat-lompat ceria!!
Hati yang Ternoda
Apa Bedanya antara plak dan noda yang telah lama berada di suatu tempat, dan terus menerus bertambah dan bertambah, dengan noda yang baru saja hinggap? Bedanyanya adalah, yang pertama akan sangat sulit dibersihkan, sedang yang kedua, sekali lap saja, noda hilang dalam sekejap!!
Wahai diri, begitu pula dengan plak dan noda yang kau cipta di hatimu. Jika kau tidak segera mengelapnya, bahkan kau membiarkannya saja, maka, suatu saat kau akan kewalahan membersihkannya! Dan, jika hatimu telah tertutup dengan plak-plak dan noda-noda hitam itu, bagaimana bisa cahaya dapat menembusnya?!
Wahai diri, bersegeralah membersihkannya setiap kali noda dan plak itu mengotorinya. Segeralah kau membasuhnya! Meski adalah suatu yang absurb, ia tak pernah dihinggapi noda dan plak. Tapi, setiap plak dan noda, pasti ada penyikat dan pembersihnya! Maka, bersegeralah kau membersihkannya setiap kali plak itu menempeli hatimu!
Wahai diri, ambillah hikmah itu di manapun kau berada. Apa pun yang bertaburan di sekitarmu sesungguhnya menyimpang sejuta hikmah. Tinggal kau bersedia untuk memungutnya atau membiarkannya saja.
Wahai diri.
Sadarlah akan kesejanakan dunia. Tidakkah kau perhatikan, banyak bayi-bayi yang lahir, tapi, bukankah banyak juga yang pergi untuk kembali? Tidakkah kau siapkan diri untuk masa yang PASTI itu? Bukankah ia datang di saat-saat yang tak pernah kau prediksi? Lantas, mengapa kau tak senantiasa siaga di setiap saat? Kenapa kau terkungkung? Bukankah dunia ini tak lebih dari kesejenakkan yang amat singkat?
Wahai diri…
Bersiaplah…bersiaplah untuk hari itu…hari di mana segalanya menjadi terputus. Jika kau tidak mengisinya dengan jejak-jejak terbaikmu, maka, kau akan mendapati dirmu berada pada penyesalan yang begitu panjang nantinya!
Wahai diri, begitu pula dengan plak dan noda yang kau cipta di hatimu. Jika kau tidak segera mengelapnya, bahkan kau membiarkannya saja, maka, suatu saat kau akan kewalahan membersihkannya! Dan, jika hatimu telah tertutup dengan plak-plak dan noda-noda hitam itu, bagaimana bisa cahaya dapat menembusnya?!
Wahai diri, bersegeralah membersihkannya setiap kali noda dan plak itu mengotorinya. Segeralah kau membasuhnya! Meski adalah suatu yang absurb, ia tak pernah dihinggapi noda dan plak. Tapi, setiap plak dan noda, pasti ada penyikat dan pembersihnya! Maka, bersegeralah kau membersihkannya setiap kali plak itu menempeli hatimu!
Wahai diri, ambillah hikmah itu di manapun kau berada. Apa pun yang bertaburan di sekitarmu sesungguhnya menyimpang sejuta hikmah. Tinggal kau bersedia untuk memungutnya atau membiarkannya saja.
Wahai diri.
Sadarlah akan kesejanakan dunia. Tidakkah kau perhatikan, banyak bayi-bayi yang lahir, tapi, bukankah banyak juga yang pergi untuk kembali? Tidakkah kau siapkan diri untuk masa yang PASTI itu? Bukankah ia datang di saat-saat yang tak pernah kau prediksi? Lantas, mengapa kau tak senantiasa siaga di setiap saat? Kenapa kau terkungkung? Bukankah dunia ini tak lebih dari kesejenakkan yang amat singkat?
Wahai diri…
Bersiaplah…bersiaplah untuk hari itu…hari di mana segalanya menjadi terputus. Jika kau tidak mengisinya dengan jejak-jejak terbaikmu, maka, kau akan mendapati dirmu berada pada penyesalan yang begitu panjang nantinya!
Benar dan Betul
Benar atau betul? |
Dua kata yang memiliki makna yang sama. Tetapi akan berbeda jika pada kedua katanya dilekatkan imbuhan ke-an.
Kebenaran dan kebetulan.
Ia memiliki makna yang sangat jauh berbeda!
Begitulah adanya.
Allah tidak pernah menjadikan apapun kejadian pada makhluknya dengan kebetulan! Semuanya adalah dengan kebenaran! Tanpa sedikitpun, secuilpun kesia-siaan!
Maka, apapun yang terjadi, pasti scenario Allah berlaku. DIA-lah sutradara terbaik di semesta ini!
Maka, mintalah peran protagonist terbaik dari-Nya. Bukan peran antagonis!
Ketahuilah, jika Allah menolongmu, maka tiada satu pun yang dapat mencelakakanmu. Dan, jika DIA membiarkanmu, maka tiada satu pun yang dapat menolongmu!! Maka, mintalah pertolongan pada-Nya. Hanya pada-Nya saja!
Nasihat Bermanfaat
Masya Allah…tidak ada suatu kebetulan! Yang ada hanyalah kebenaran. Dan, masya Allah itulah yang kurasakan! Dalam sehari kemarin, aku dapat SMS dari sahabat-sahabatku, dari saudari-saudariku. Mereka mungkin tidak tahu, tentang bagaimana aku hari ini. Tapi, nasihat yang mereka berikan begitu mengena! Begitu mengena dan di timing yang begitu pas pulak! Syukraan…
Eh…eh…, aku pun ingin membaginya kepadamu. Heuu…iya, kamu! Kamu yang kebetulan…eh…kebenaran, membaca blog ini. Hihihi. Mungkin kamu-kamu pernah juga ngebacanya and mendapatkan nasihat yang sama. Heuu…itung-itung maulang kaji lamo, kalau memang iya sudah pernah mendapatkannya.
“Terkadang kita harus menggenggam tangan kita sendiri untuk meyakinkan bahwa diri kita kuat…
Terkadang.. ..kita juga harus melepas orang lain agar kita kembali bangkit…
Namun, kita tidak akan pernah bisa melepaskan Allah, untuk membuktikan bahwa kita mampu…
Ada jalan yang tidak pernah kita fikirkan dan ada kekuatan yang tidak pernah kita bayangkan…”
“Bismillaah….
Biarlah Allah saja yang menyemangati kita sehingga tanpa disadari stiap peristiwa jadi teguran atas KEKHILAFAN kita..
Cukuplah Allah saja yang memelihara ketekunan kita karena perhatian manusia terkadang menghanyutkan keikhlasan…
Semoga Allah menjadikan kita pribadi bermakna…
Saat berbaur menyemangati yang lain dan saat sendiri menguatkan diri sendiri!”
“Saudariku, beruntunglah orang-orang yang selalu optimis dalam menjalani setiap episode kehidupan, mempertahankan semangat dalam pergantian waktu, menjaga niat dalam kebaikan, dan menemukan Allah di setiap gerak langkah…”
“Jangan katakana hari ini indah maka kita bahagia, tapi karena kita bahagia maka hari ini menjadi indah.
Jangan katakana tidak ada rintangan maka kita optimis, karenakita optimism maka rintangan menjadi tidak ada.
Jangan karena mudah maka kita yakin bisa, tapi karena kita yakin bisa maka semuanya menjadi mudah.
Jangan karena semua baik maka kita tersenyum, tapi karena kita tersenyum maka semua menjadi baik.”
Trima kasih saudara-saudariku…
Semangaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaatt!!
Sumangaik!
Sumangaik!
(heuu..kata2 “sumangaik”, adalah kata-kata yang tertulis di selembar HVS dua tahun yang lalu, yang kemudian tertempel di diding kamar 4 wisma Syakuro, yang memiliki daya magnetis tersendiri. Bahkan, tulisan itu masih saja tertempel, ketika aku meinggalkan Syakuro menuju Hurriyah. Dan, bahkan ketika aku pun telah meninggalkan Hurriyah!) hehe.
Eh…eh…, aku pun ingin membaginya kepadamu. Heuu…iya, kamu! Kamu yang kebetulan…eh…kebenaran, membaca blog ini. Hihihi. Mungkin kamu-kamu pernah juga ngebacanya and mendapatkan nasihat yang sama. Heuu…itung-itung maulang kaji lamo, kalau memang iya sudah pernah mendapatkannya.
“Terkadang kita harus menggenggam tangan kita sendiri untuk meyakinkan bahwa diri kita kuat…
Terkadang.. ..kita juga harus melepas orang lain agar kita kembali bangkit…
Namun, kita tidak akan pernah bisa melepaskan Allah, untuk membuktikan bahwa kita mampu…
Ada jalan yang tidak pernah kita fikirkan dan ada kekuatan yang tidak pernah kita bayangkan…”
“Bismillaah….
Biarlah Allah saja yang menyemangati kita sehingga tanpa disadari stiap peristiwa jadi teguran atas KEKHILAFAN kita..
Cukuplah Allah saja yang memelihara ketekunan kita karena perhatian manusia terkadang menghanyutkan keikhlasan…
Semoga Allah menjadikan kita pribadi bermakna…
Saat berbaur menyemangati yang lain dan saat sendiri menguatkan diri sendiri!”
“Saudariku, beruntunglah orang-orang yang selalu optimis dalam menjalani setiap episode kehidupan, mempertahankan semangat dalam pergantian waktu, menjaga niat dalam kebaikan, dan menemukan Allah di setiap gerak langkah…”
“Jangan katakana hari ini indah maka kita bahagia, tapi karena kita bahagia maka hari ini menjadi indah.
Jangan katakana tidak ada rintangan maka kita optimis, karenakita optimism maka rintangan menjadi tidak ada.
Jangan karena mudah maka kita yakin bisa, tapi karena kita yakin bisa maka semuanya menjadi mudah.
Jangan karena semua baik maka kita tersenyum, tapi karena kita tersenyum maka semua menjadi baik.”
Trima kasih saudara-saudariku…
Semangaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaatt!!
Sumangaik!
Sumangaik!
(heuu..kata2 “sumangaik”, adalah kata-kata yang tertulis di selembar HVS dua tahun yang lalu, yang kemudian tertempel di diding kamar 4 wisma Syakuro, yang memiliki daya magnetis tersendiri. Bahkan, tulisan itu masih saja tertempel, ketika aku meinggalkan Syakuro menuju Hurriyah. Dan, bahkan ketika aku pun telah meninggalkan Hurriyah!) hehe.