30 Januari

30 Januari

Tidak ada yang berbeda antara 30 Januari dengan segenap tanggal-tanggal lainnya.
Toh, ia nya bukanlah hari yang perlu perayaan. Pun bukan juga hari istimewa (bahkan bagiku). Ia, juga bukan hari yang perlu diperingati.

Sejatinya, setiap hari…setiap detik, setiap menit, tetaplah sebuah pertambahan usia yang berbanding lurus dengan pengurangan jatah hidup. Siapapun. Bukan saja aku. Juga kau. Kita. Dia. Mereka. Tidak perlu ada momen special untuk memperingati kelahiran! Seperti kelahiran ini juga, dengan persalinan normal seorang bayi mungil yang hanya dengan berat 2,25 kg di sebuah bangsal rumah sakit yang pernah menderita kekurangan gizi ini. Tidak. Sungguh tidak perlu sama sekali sesuatu yang berbeda untuk momentum pertambahan umur. Sebab setiap hari-hari kita, adalah pertambahan umur. Aku dengan rutinitas biasaku. Seperti hari-hari sebelumnya juga.

Hanya saja… kemudian semakin kusadari, bahwa WAKTU adalah SUMBER DAYA yang TIDAK DAPAT DIGANTI! Tambang berbagai jenis logam mungkin adalah sumber daya yang tak dapat diperbarui, akan tetapi ia dapat diganti. Berbeda dengan waktu. Ia sungguh adalah sumber daya yang sama sekali TIDAK DAPAT DIGANTI! Bahkan kita tidak sedikitpun bisa punya keyakinan, bahwa waktu yang kita punya APAKAH MASIH DAPAT DIPERBARUI? Ataukah, berakhir sampai di sini saja? unpredictable!

Karena waktu adalah sumber daya yang tidak dapat diperbarui, dan juga di daur ulang, maka kita hanya punya satu jenis pengolahan sumber daya ini. Hanya bisa mengenangnya. Hanya bisa menghitung-hitungnya. Tentang segala masa yang telah berlalu. Apakah memang sudah diisi dengan amalan terbaik?? Apakah sumber daya ini sudah digunakan dengan keoptimalan upaya? Ataukah, hanya kesiaan belaka. Hanya kelalaian. Hanya senda gurau belaka?

Dua puluh empat tahun, masa berlalu. Dua puluh empat tahun sudah Allah pinjamkan masa. Dua puluh empat tahun sudah, Allah percayakan amanah sumberdaya waktu untuk diri ini. dan sungguh, masih banyak yang perlu dibenahi. Masih terlalu banyak, bahkan sangat banyak rombengannya. Masih terlalu banyak yang harus ditambal…

Berbenahlah wahai diri!
Tak malukah kau, menghadap Rabb-mu dengan segala kerombengan yang kau punya?
Tak malukah kau, berjumpa Rabb-mu dengan segala tambalan-tambalan yang belum kau perbaiki?


“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, dan pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.”
(Qs. Maryam : 33)

39 Jam Malala

Hehe, menghabiskan sisa-sisa umur 23 dengan malala. Hihi, enaknya masih pengangguran yah ini. Bisa malala, suko ati. Hehe. Di penghujung usia 23 menuju dua empat ini, kuhabiskan dengan mengunjungi setengah daerah Sumbar. Hee… Tujuan pertama adalah Batu Sangkar, kota budayanya Sumatera Barat. Bukan menuju Pagaruyuang, tapiii, untuk menyaksikan seorang hafidz Al Qur’an, melepas status lajangnya, menggenapkan setengah agamanya, menuju keluarga barokah insya Allah. (*hmm…lumayan nih, dijadikan inspirasi…hihihi…). Masya Allah, lantunan Ar-Rahman yang begitu menggetarkan. Membuat wajah-wajah tertunduk dengan genangan air mata. Maka nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan?

"Barokallaahulaka wabaroka ‘alayka wajamaa bainakumaa fii khoir…."

Episode Batu Sangkar, juga dalam rangka melepas gelegak rindu pada akhwatifillaah…pada orang-orang yang menempati range partama dalam lokus cinta dan ukhuwah di hatiku. Masya Allah…sungguh, ukhuwah itu lebih mahal harganya dari bumi dan seisinya.

Lalu, tujuan kedua adalah…Bukttinggi. Kota wisatanya Sumatera Barat. Menghabiskan malam di kota ini. Cintaku masih sama untuk kota ini. Bahwa, sejak pertama kali menginjakkan kaki di kota ini, aku telah jatuh cinta dengannya. Dengan suasananya. Kembali mengulangi kisah hampir setahun silam. Saat PKP di Kota ini. kembali menapaki jalan-jalan itu. Gang-gang itu. Bertemu ibu-ibu karyawan rumah sakit, tempat aku praktek dahulu.

Kemudian, perjalanan selanjutnya adalah Padang. Kali ini, lokusnya berbeda. Bergabung dengan IKAHI cabang Tanjungpati, yang menyambangiku tepat di depan RSSN Bukittinggi. Wait….wait….IKAHI? hihi, ternyata, jadi satu-satunya anggota IAI dalam lingkungan IKAHI bikin aku kaya’ orang bego’. Abisnya…., sama sekali aku tidak mengerti istilah-istilah yustitia itu. Ribet. Riwueh. Apaa sih??! Hee… Yaaa iyalaaah yah, masa sih bisa mengerti istilah-istilah aneh begitu yang hanya bisa dipahami orang hukum?! Kemudian,nekadnya, aku jadi salah satu participant dalam acara pertemuan IKAHI itu. Waah, untung ajah tidak ada razia di sana. Hihi.

Setelah ikutan acara IKAHI (yang sama sekali sulit kumengerti itu, dan sepertinya aku tak perlu membiarkan otakku mencerna istilah-istilah yurisprudensi macam tuh),aku menuju Pasar Baru tercinta, tempat yang penuh kenangan. Ciaaaaah…, kaya yang udah lama gak ke Pasarbaru ajah. Hihi. Di Pasar Baru, alhamdulillaah, berjumpa lagi dengan akhwat2 Padang (huwaaaa, kangen pisan, ngumpul sama akhwat2 di Padang lagi!). Bersama para akhwat FISIP, dan juga farmacy, menuju RS. Yos Sudarso.

Asyar….aku kembali ke peraduan. Hehe, pake peraduan segalaaaa. Sembari menunggu bus kota menuju Pasarbaru (yang hingar bingar full music #sangatmenyebalkansekali# itu), aku menyaksikan sekawanan anak SMP-SMA yang terlibat tawuran di jalan Perintis Kemerdekaan. Mereka berteriak-teriak, berlari-lari. Huwaah….! Ngeri juga ngeliyatnya.

Pulang, akhirnya bergabung kembali dengan kontingen IKAHI. Kali ini bukan cabang Tanjungpati lagi. Melainkan IKAHI Cabang Solok. Hihi. #jaditukangnebeng#. Hmm…baru tahu aku, ternyata, hakim-hakim muda yang kelihatan jaim dan begitu berwibawa, kalo sudah sesama mereka, ngocolnya gila-gilaan yah?! Hihi. Tak sangka aku, sebegitu ngocolnya mereka. Justru aku, yang kemudian jadi makhluk paling pendiam di sana. Halaaaah!! Hihi.

Seperjalanan pulang, HP (bututku) kehabisan batrai. Sejak sore itu sih sebenarnya nafasnya udah tinggal satu-satu. Huufftt….sudah begitu kasihan aku sama HP itu. Sudah soak. LCDnya saja sudah pecah. Sering error. Sering mati sendiri. Sering suka ganti-ganti nama orang! Tapiii, Alhamdulillah sih, masih bisa dipake bwt SMS, bwt nelpon. Hee… Ntar, kalo sudah gajian, aku pengin beli HP baru aaah. Yang bisa internetan, ngapload tulisan dan photo di blog. Yang ada konekting sama blognya. Biar ndak perlu nunggu OL di kompi dlu baru bisa ngeblog. Tapiiii, pertanyaannya, gajiannya kapaaaaaaaaaaaaaaaan?! Wong, kerja aja beloooom. Hihi. Yaah, kapan Allah kasih kesempatan aja dah. Sekarang aku lagi pengin menikmati hidupku yang sekarang. Seperti apa adanya saja. hehe.

Alhamdulillaah, tepat tiga jam sebelum tanggal 30 Januari 2011, aku sampai di rumah dengan selamat, tak kurang satu apapun (hee…kayak korban kerusahan aja, sampai ada anggota tubuh yang kurang segala. Hihi). Setelah 39 jam malala ituuu, langsung teparrrrrr…zzzzzzZZZZZ….%$#@*&^($

Cukup sekian cerita-cerita tak penting dariku. Mungkin tidak ada yang bisa kaubawa pulang. Tak pula ada hikmahnya. Dan bahkan tak perlu pula kau baca. Karena, aku hanya ingin mengahanyutkannya saja, menuju muara blog. Hihi.

Los Daging Ayam dan Dilemanya

Dahulu, setiap kali ke pasar dan menuju los penjual ayam, sering kali kebimbangan menyelinap di hati. Tentang kerja-kerja mereka. Hmm…jangan bilang pula aku sedang khawatir dengan flu burung. Hehe, tidak laaaahhh. Kan insya Allah skarang sudah aman. Hanya saja, aku sangat suka sekali memperhatikan apa yang orang lakukan. Detil. Seksama. Apalagi itu menyangkut dengan hal yang sangat krusial dan menyangkut ke-halal-an makanan yang dikonsumsi. Betapa tidak, makanan adalah hal yang sangat riskan. Baik di segi kesehatannya dan terutama dengan ke-halal-annya. Halalan thayyiban.

[OOT : makanya aku sering heran dengan orang-orang yang menghalalkan segala cara semisal hanya untuk dapat kursi PNS. Issue nepotisme itu cukup santer di daerahku. Katanya sih, banyak yang nyogok dan ada juga yang minta bantuan Pak Bupati untuk bisa lulus. Aku tidak punya kapasitas dan juga tidak punya evidence base medicine untuk mengklaim berita tersebut benar atau salah. Dan, aku juga tak hendak menyalahkan siapapun sebelum ada bukti yang jelas. Hanya saja, jika itu benar, apakah tidak khawatir para pelaku itu dengan makanan yang mereka berikan untuk anak-anak mereka? Okelah, mungkin baik (thayyiban), tapi, cara memperolehnya, apakah sudah “halalan”? Dan bayangkanlah, makanan itu yang terus mengalir di sekujur tubuh sepanjang hidup…]

Back to topic, tentang los penjual daging ayam. Entahlah, mungkin ini luput dari perhatianku. Ataukah aku yang tidak mendengar ucapan mereka. Sebab, sering kali, ketika menyemblih, tak terlihat dari gerik bibir mereka ucapan “Bismillaah”. Mereka menyemblih dengan gerakkan cepat, dan terlihat tanpa menyebut nama Allah. Atau, mungkin mereka menyebutnya dalam hati. Mungkin. Tapii, kan bagi kita—para pembeli—itu menjadi sebuah tanda Tanya dan keragu-raguan. Hayoo….yang lain, mungkin pada mikir hal yang sama kali yah? Hihi.

Hot Issue di Media Massa

Nonton*
Hmm…sering kali aku “malas” untuk menonton berita meskipun berita adalah siaran favoritku. Lelah saja jiwa ini rasanya melihat pemberitaan yang negative melulu. Pemberitaan yang isinya kebanyakan adalah kemelut-kemelut panjang yang melanda negeri ini. Pemberitaan yang mengisahkan bahwa semakin bobrok dan semakin bobrok saja para pemain dan pelaku yang duduk di ‘kursi panas’. Dari satu kasus, lalu issu berpindah ke kasus lain. Begitu terus dan terus begitu. Memang, keganjilan adalah sesuatu yang layak dan menjadi menarik untuk disuguhkan menjadi sebuah hot news. Tapii…, jika setiap hari disuguhkan dengan ke-negatif-an dan berita-berita yang semakin menjatuhkan negeri ini, maka, secara tak langsung meng-influence masyarakat untuk ikut-ikutan.

Bisa jadi, berita tentang KKN dan pemberantasannya yang digaung-gaungkan hingga ke pelosok, secara tak langsung –bagi sebagian kalangan—justru menjadi mediator tumbuh suburnya. Mereka seolah mendapat inspirasi untuk melakukan hal yang sama, yang bisa saja sebelumnya tak terpikirkan. Atau, pemberitaan mengenai sengketa pemilihan gubernur, hingga pemilihan pak Kades, berikut aksi-aksi anarkis para pengusung yang tak puas, semakin menginspirasi yang lain untuk melakukan hal yang sama. Kemarin, aku sempat menonton berita tentang sengketa pilkades (pemilihan kepala desa) hanya karena pak calon kades dari dusun mereka kalah. Wah…wah…, pemilihan pak Kades saja, aksi anarkisnya hampir sama dengan sengketa pilgub. Masya Allah. Belum lagi kasus tawuran yang seperti terinspirasi dari kampus lain. Juga dengan issue geng motor, yang berjamuran di berbagai daerah karena terinspirasi dari daerah lainnya, yang persariannya dibantu oleh berita, barang kali.

Aku tidak sedang mengatakan bahwa issu tersebut harus disembunyikan dan tak layak untuk dipublikasikan. Bukan! Bukan demikian. Apalagi dengan era kebebasan informasi saat ini. Hanya saja, aku heran, kenapa pemberitaan mengenai hal-hal yang positif dan baik, mengenai prestasi-prestasi, mengenai inovasi-inovasi baru dan hal semisalnya tidak menjadi hot issue pula yang layak disuguhkan kepada pemirsa? Apakah negeri ini yang terlalu miskin prestasi sehingga para pemburu berita sulit menemukannya? Kurasa tidak. Sesungguhnya, banyak juga prestasi-prestasi yang diciptakan oleh negeri ini, baik di tataran pemerintah maupun rakyatnya. Ataukah, karena hal tersebut dianggap sudah seharusnya terjadi dan tidak perlu ditampilkan di halayak? Tapii, bukankah dengan menampilkan hal-hal yang baik, prestasi-prestasi insya Allah juga akan menginspirasi dan meng-influence masyarakat lainnya untuk dapat berprestasi pula?

Semisal, tentang gubernur yang memiliki inovasi baru. Bupati yang anti korupsi dan langkah-langkah yang diambilnya. Kerukunan antar warga yang kemudian menciptakan kehidupan yang damai berdampingan. Atau, para pejabat yang tidak menggunakan fasilitas Negara untuk kepentingan pribadi. Masih banyak lagi, sebenarnya prestasi-prestasi dan capaian-capaian yang sebenarnya layak dijadikan contoh, dan layak untuk diapresiasi. Mungkin sepintas terlihat biasa-biasa saja, tapi, bukankah itu semua juga sebuah prestasi, selain prestasi yang sifatnya sebuah penemuan ataupun bidang akademis? Selain itu, dengan pemberitaan, insya Allah, juga akan menginspirasi masyarakat untuk lebih berprestasi lagi. Tidak melulu berita korupsi yang malah menginspirasi orang lain untuk ikut-ikutan korupsi. Allahu’alam.

----------------------

sumber gambar : di sini

Curhat-Curhat Mereka [part 2]

Melanjutkan curhat-curhat terdahulu, dengan topic yang berbeda. Kali ini tentang mimpi dan obsesi. Aku senang sekali bertanya pada murid-muridku tentang mimpi yang mereka bangun. Tentang cita-cita mereka. Tentang seperti apa lukisan masa depan yang mereka ukir. Kutanya satu persatu mereka, hendak menjadi apa, dan ingin kuliah di mana. Dari mereka, aku kemudian belajar dan tahu, tentang penitipan sebuah obsesi besar yang menjadi bom waktu bagi sang anak. Masya Allah…

“Melati, Badu, nanti mau jadi apa?” (anggap saja namanya begitu yah. Hehe. Seperti yang kubilang di tulisan yang sudah-sudah. Aku tidak ingin menyebutkan nama siapapun, instansi manapun, di tempat apa pun. Karena aku hanya ingin berbagi wacana. Bukan menghujat atau menjatuhkan seseorang atau pun suatu instansi)
“Ng…mama maunya aku kuliah di bidang kesehatan, Kak. Padahal, aku sangat tidak mau.”
“iya kak, mamaku juga sama. Maunya di bidang kesehatan. Bidan kek, perawat kek. Soalnya, kata mama, lapangan pekerjaannya banyak di sana. Tapiii, aku tidak suka. Pekerjaannya sibuk sekali. Kakakku yang tertua seorang perawat, yang hampir-hampir tidak punya waktu buat anak mereka. Aku tidak mau seperti itu.”
“Menjadilah apa yang kalian mau, insya Allah kalian akan optimal dan menjadi yang terbaik di bidang itu.” Kataku.
“Tapi kak, nanti mama jadi marah. Kata mama, orang tua itu selalu benar! Jadi harus ikut kata-kata orang tua. Kalau tidak ikut, nanti kualat.”

Masya Allah…

Tercenung sangat lama aku mendengar kisah-kisah mereka. Aku yakin, tidak sedikit orang tua yang melakukan hal yang demikian pada anak-anak mereka. Aku tahu, pastilah orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya, tapi….hanya salah memilih cara.

Sebuah penitipan obsesi. Sebuah harapan social yang membebani. Bahkan, sebuah pengharapan yang dibahasakan saja, akan begitu menekan jiwa sang anak tanpa si anak dan orang tua sadari. Apalagi disertai ancaman, "nanti kualat", dan "pandangan orang tua selalu benar"!

Curhat-Curhat Mereka [part 1]

Hmm…beberapa waktu lewat murid bimbelku bercerita a.k.a curhat padaku tentang banyak hal. Hee…tentu saja aku tidak akan mengumbar rahasia-rahasia mereka, tentang siapa mereka dan di mana sekolah mereka. Aku hanya ingin berbagi saja. semoga menjadi sebuah wacana bagi siapa saja yang nyasar (aku katakan nyasar, sebab pagerank dan visitor blogku umumnya dan kebanyakan hanyalah orang-orang yang nyasar dari engkong gugel yang sedang mencari sesuatu yang mereka butuhkan. Hehe. Jarang sekali ada orang yang menyengajakan diri untuk berkunjung. Mungkin hanya beberapa orang. Dan itu pun tidak banyak. Hoho).

Murid bimbelku itu bercerita tentang motivasi belajar mereka. Mereka adalah murid-murid cerdas yang menempati kelas paling unggulan (hmm….apa sih namanya, RSBI yah…rintisan sekolah bertaraf internasional?) di SMA negeri paling terbaik di sebuah kabupaten X. Hanya saja, cerita menjadi berbeda ketika terkuak mengenai kondisinya. Bahwa paradigma nilai adalah segala-galanya sehingga segala cara dihalalkan untuk mendapatkan nilai tersebut.

Nge-Blog bareng PEC : Menikmati Menulis

Hmmm....menulis?
Hee....sebenarnya aku dari jaman-jaman masi imoet dulu (syaaelaaaaah...hihi ), sejak SD lah, sudah djatoh tjintaa sama yang namanya dunia kepenulisan. Hihi... Walaupun siih, sebenarnya tulisannya belon bisa dibilang bagus. Hehe. Tapi...nulis..yah nulis ajah. Pokok'e nulis. Gituuuuh....

Masi lekang di ingatan, cerpen pertama dulu (yang sekarang entah di mana rimba dan hutannya ...hihi) berkisah tentang Puasa. Dapet apresiasi dari orang tua.. Huwaaah, seneng bet dah! Sejak itu, termotivasi bet buat nulis. Nulis apah ajah. Puisi kek. Cerpen kek. Opini nek (dari tadi 'kek' melulu, 'nek' juga dong ah, biar nenek gak ngambek. hahaha....ngaur!). Apaah ajaah pokok'e (asal jangan karya tulis ilmiah yang bribet-bribet geetooh. Kalo ini mah ampyuuuuun....angkat kaki eh..tangan saia ! hihi)

Just Not Follow the Flow

Seperti air mengalir

Sebuah kata-kata klise, “Jalani hidup seperti air mengalir.”
Hmm…dalam beberapa sisi, aku kurang sepakat dengan hal ini. Sebab, dengan menjalani hidup seperti air mengalir, itu sama artinya dengan hidup dengan apa adanya saja. Di manapun dunianya, apakah di perkampungan, di kota megapolis, di mana pun, air tetap akan mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Dan itu sama saja seperti kebanyakan.

Sementara, dengan sebuah energy, air dapat dialirkan dari tempat yang rendah ke tempat yang tinggi. Air dapat mengalir dan memanjati gedung pencakar langit bahkan hingga ke tingkat tertinggi sekalipun. Dengan demikian, menjadi berbedalah ia. Kemudan, menjadi mahal pula harganya. Satu kata kuncinya, bahwa untuk itu semua…ada energy!

Sungguh, Allah tidak akan merubah nasib kita hingga ada upaya dari diri kita untuk merubahnya. Untuk merubah, perlu energy. Dan itulah energy yang menaikkan air dari sumur artesis hingga ke puncak-puncak gedung megah menjulang.

Kemudian, tiada yang meleset dari ketetapan-Nya. Segala kejadian telah tercatat. Dan semuanya telah dibukukan di lauh mahfudz. Bukan berarti dengannya, menjadi sebuah alasan untuk berlalai-lalai karena segalanya telah tercatat. Ini soal ikhtiar dan munajah yang berjumpa dengan catatan iradat-Nya pada sumbu ordinat kehidupan.

Hmm….barang kali bukan kapasitasku (yang bahkan tak berilmu ini) untuk membahas masalah takdir ini. Pada zaman Rasulullah sendiri, masalah takdir adalah masalah yang sulit untuk diperdebatkan. Sahabat cendrung membahas yang dzahir-dzahir saja.

Dari Biografi Umar ra, kita ketahui pada zamannya kekhalifahan beliau, ada yang mencuri, lalu dihadapkan kepada beliau. Umur bertanya, kenapa mencuri. Dijawab oleh si pencuri, bahwa ini takdir Allah. “Aku mencuri karena Allah yang mentakdirkan aku mencuri.” Lalu Umar memukulnya 80 kali + 20 kali. Sang pencuri serta merta complain arena kan hudud untuk mencuri itu 80 kali pukulan. Umar menjawab, “yang 20 lagi itu takdir Allah.” (hee….rumit yah?)

Tentang firqoh-firqoh dalam aqidah Islam…dalam hal takdir ini…ada penyikapan makna yang berbeda. Hanya saja, ini dalam hal furu’iyah saja. Bukan hal-hal pokok yang sampai menyalahi akidah pula. Tentang dua pemahaman dan penyikapan terhadap takdir. Jabariyah dan qadhariyah. Jabariyah yang memahami bahwa manusia hanya menjalankan kehendak Allah. Semuanya telah Allah tentukan, dan manusia hanya tinggal menjalankan. Jika pun ia berusaha, maka ia telah ditakdirkan untuk berusaha. Misalnya, kenapa tidak dapat ujian? Karena tida berusaha. Nah, tidak berusahanya manusia ini telah Allah takdirkan. Sementara di qadhariyah, adalah antithesis dari jabariyah, memahami bahwa segala yang terjadi itu, karena ikhtiarnya manusia ada di sana. Istilah ekplisitnya, tidak ada “intervensi” dari Allah.

Semoga kita tak terjebak dengan sesuatu yang kita tak punya ilmunya yah. Maaf, sejujurnya pun diriku belumlah memiliki ilmu dan sama sekali tidak punya kapasitas untuk membahas hal ini. Semoga kita tidak termasuk orang yang mencoba memahaminya tanpa ilmu. Intinya, memang harus belajar lagi. Bukan memahami dengan letterlet saja ayat-ayat tentang taqdir. Bukan pula dengan penafsiran dangkal yang menyebabkan penyikapan maknanya pun menjadi dangkal. Untuk ini, aku belumlah memiliki ilmu. Sama sekali tak berilmu malah! Hanya saja, karena ini berkaitan dengan membiarkan hidup seperti air mengalir, ataukah energy itu harus diupayakan?

Ah, tapiii…mungkin kita (terutama aku) perlu memahami tentang hal ini. Bahwa ada wilayah Allah di mana Allah telah catatkan, Allah telah bukukan setiap kejadian, dan tentang iradat-Nya. Dan juga ada wilayah manusia di mana Allah berikan bekal dan potensi fikiran untuk melakukan ikhtiar. Wilayah manusia adalah wilayahnya ikhtiar.

Jika kita terjebak dengan pemahaman bahwa segalanya adalah wilayah Allah, dengan menisbikan ikhtiar manusia, lantas buat apa Rasulullah berda’wah. Buat apa kita perlu menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar, jika pada akhirnya semuanya tegak dengan sendirinya? Dan bukankah dalam islam tidak ada yang namanya shalih secara pribadi saja? Sebaliknya, jika kita terjebak dengan pemahaman bahwa segalanya adalah karena ikhtiar kita, lalu di mana campur tangan Allah sedang kita adalah orang-orang yang mempercayai takdir.

Bahwa semestinya, harus ada ikhtiar yang optimal dulu dari manusia. Jika memang hasilnya belum sesuai dengan apa yang kita inginkan, maka itulah takdir. Yang jelas, apapun itu, tiadalah yang sia-sia. Perhitungan Allah Maha Teliti. Segala ketetapan-Nya adalah keputusan terbaik. Tapi, setelah iktiar-ikhtiar yang kita lakukan. Karena, di sanalah terletaknya nilai. Allahu’alam.

Jadiii…
Sesungguhnya yang perlu kita (terutama diri ini) lakukan adalah…berupaya dan mengupayakan yang terbaik dalam setiap kisi hidup. Perkara hasil, kita serahkan pada Allah semata. Tiada yang sia-sia. Tiada yang kebetulan. Sesungguhnya segala-Nya adalah kebenaran. Sesungguhnya segalanya adalah ketetapan-Nya, setelah ikhtiar-ikhtiar terbaik dan yang paling optimal yang kita lakukan.

Hayuuu….hayuuu…let’s give an energy, just not follow the flow.

Kebahagiaan dan Hubungan Sebab Akibat

Tawa bahagia
Alkisah…di suatu negeri, hiduplah sebuah keluarga kecil yang dinilai sukses oleh kebanyakan masyarakat. Kesuksesannya santer hingga ke pelosok-pelosok dengan usaha bisnisnya yang maju pesat! Tak tanggung-tanggung. Omsetnya mencapai belasan juta perhari. Paling rendah sekitar tujuh jutaan. Sebuah usaha bisnis yang maju sangat untuk ukuran sebuah kabupaten pemekaran.

Siapa pun menilai ia sukses.
Tapi, banyak orang yang tidak tahu, bahwa sesungguhnya bisnis itu, bagi pelakunya hanyalah sebuah cara mengalihkan rasa sesak. Hanya sebuah pelarian saja. Keluarga itu kerap dirundung percekcokan yang menyakitkan. Sering kali nyaris bercerai. Tapi, sang istri mencoba bertahan. Anak perempuan mereka yang satu-satunya menjadi korban. Anak gadis itu memang bisa mendapatkan fasilitas apa saja yang ia inginkan. Tapi, satu saja yang kurang. Kebahagiaan! Nyaris tiap hari ia menyaksikan ayah dan ibunya bertengkar dan main kasar pula. Dan ia tumbuh di tengah-tengah itu.

Sang istri bercerita, bahwa sesungguhnya ia sangat tertekan. Beruntung sekali ia mulai merintis bisnis itu sehingga ia menemukan sedikit penghibur yang menyibukkan. Sehingga, waktunya habis terkuras untuk bisnis saja dan melupakan permasalahan itu sejenak. Ah, miris. Benarkah dengan kesuksesan bisnis itu ia benar-benar merasakan kebahagiaan?

Ke-materialistis-an yang coba digaungkan oleh mereka-mereka yang menguasai dunia ini, telah menjadikan pandangan orang-orang tentang standardisasi kesuksesan dan kebahagiaan. Paham yang seolah mengatakan bahwa banyaknya materi adalah linier dengan tingkat kebahagiaan. Tapi, benarkah demikian? Tidak! Tidak! Kenyataannya berkata lain.

Penanaman opini public melalui media-media informasi. Dalam kebanyakan tayangan-tayangan, sering kali digambarkan tentang kehidupan mewah, mobil yang gonta-ganti, rumah yang seumpama istana, kehidupan yang serba ada. Secara tak langsung, hal ini telah berhasil menanamkan paradigm tentang kebahagiaan yang berbanding lurus dengan kekayaan. Akibatnya, orang-orang sibuk mencari sesuatu yang umurnya sangat singkat ini. Hanya sepanjang kesejenakkan dunia. Sementara kehidupan dunia ini hanyalah satu kejapan mata. Sementara, ada masa panjang setelah ini yang hanya punya dua rasa. Bahagia dan penuh kenikmatan ataupun kesengsaraan yang tak berkesudahan.

Cobalah lihat. Mungkin di samping rumah yang mewah tegak berdiri itu, ada keluarga kecil lain yang mungkin dikatakan sederhana saja masih jauh. Tapi, mereka punya kekayaan yang tak dipunyai oleh keluarga semisal contoh di atas. Kekayaan itu adalah kebahagiaan!

Mungkin tidak perlu heran dengan kebahagiaan orang-orang yang menempuh perjuangan yang berat. Ia yang berjuang bukan hanya untuk dirinya tapi juga ummat. Jalannya berat dan sungguh berat. Ia yang harus punya energy lebih banyak ketimbang orang-orang kebanyakan. Yang ada di dalam daftar perencanaan hidupnya bukan hanya untuk kepentingan dirinya, tapi juga orang lain. Berat memang. Tidak mudah memang. Sulit memang. Penuh tantangan memang. Tapi, ada kebahagiaan hakiki setelahnya. Ada kebahagiaan yang tak ternilai, melintasi batas-batas logika. Masya Allah… Hanya ruh-ruh luar biasalah yang bisa demikian. Melawan segala rasa-rasa gentar yang menurut logika telah melewati kadarnya. Mungkin aku belumlah demikian, tapi…bukankah kita ingin?

Aku tak bermaksud pula mengatakan bahwa kita mestilah membatasi penghidupan kita. Tidak. Bukan demikian. Bukankah seorang Abdurrahman bin ‘Auf adalah seorang penjuang yang memiliki loyalitas luar biasa terhadap islam? Dan ia sekaligus seorang konglomerat. Dengan kekayaannya ia memiliki kontribusi yang besar pula. Hanya saja yang perlu kita setting adalah….bagaimana kita mempersepsi kebahagiaan. Bahwa kebahagiaan tidak berbanding lurus dengan materi. Dan, bukan pula berbanding terbalik. Kebahagiaan dan materi tidak punya hubungan sebab akibat sehingga tidak bisa digrafikkan.hehe.

Memang Begitu

Memang tidak mudah....
Memang penuh duri....
Memang berliku....
karena begitulah karakteristik jalan ini....


Begitulah....
Karena dagangan Allah itu mahal...
Karena dagangan Allah itu adalah surga...

Belajar Bahasa Inggris

Jika boleh diibaratkan grafik, maka kesukaanku terhadap bahasa Internasional yang satu ini adalah umpama grafik GLBB. Hihi. Nge-fisika banget. Puncaknya pada masa SMP. Dan mulai mengalami penurunan pada masa SMA hingga bangku universitas. Hmm…parah yah?!

Dahulu, pada tahun 1997 itu, aku adalah seorang siswi SD (kampung) yang pindah ke kota. Ciaaaaah… Maksudnya, sekolahku yang awalnya di kaki bukit nan damai dan sejuuuuuuuuuk, asri, dan bersahaja (sihaaa….), kini berpindah ke perkotaan dan lokasinya persis di depan kantor walikota. Kala itu, aku ngikut Ibu yang harus dipindahtugaskan ke Sawahlunto.

Di sekolahku yang baru, sudah ada plajaran bahasa Inggris, di saat sekolah lain masa itu belum ada yg belajar bahasa inggris. Sekolahnya (menurutku) cukup berkelas, sehingga—aku yang orang kampung—harus keteteran mengejar banyak ketinggalan di banding teman-teman kotaku itu. Sekolahku di kampung dengan sekolah di kota ini perbedaannya macam bumi dan langit. Jangankan labor dan klinik UKS , di sekolahku yang pelosok kampung itu, bahkan hanya punya pustaka seadanya. Dan aku kala itu gemar sekali meminjam buku di pustaka yang begitu apa adanya itu. Hehe. Sementara, di SD-ku yang baru itu, perpustakaannya mantap pisan. Waktu ada lomba perpustakaan SD, sekolahku itu dapet juara 1 tingkat nasional. Bukunya lengkap. Aku—yang sama sekali tidak mengenal enseklopedi kala di SD lama—seperti disuguhkan pada hal-hal baru yang menarik. Aku suka pustaka sekolah itu. Dan buku yang paling kusukai adalah enseklopedi yang tebal-tebal. Sukanya sih ngeliyat gambar-gambarnya. Hihi. Selain itu, di sekolahku itu punya klinik UKS yang kerreeen abis. Ada 2 ruang dengan 4 tempat tidur. Dokter kecilnya berperan sangat. Mereka punya pakaian khusus dokter kecil yang sejujurnya membuatku iri. Aku juga kepingin pakai baju dokter kecil. Tapiiiii, nasheeeb anak pindahan, aku tak merasakannya. Hihi. Selain itu, sekolah SD-ku itu juga punya laboratorium. Waah…kegiatan praktikum IPA dilaksanakan di sana. Aku bener-bener terbengong-bengong kala pertama kali menginjakkan kaki di sana. Bahkan, sekolah itu juga punya mushalla yang digunakan kerap kali setiap belajar mata pelajaran agama Islam. Kelasnya banyak. Ada kelas A, ada kelas B. Gurunya per-bidang studi. Matematika laen, IPA laen lagi, pun begitu pula dengan IPS. Pokok’e jauuuuuh bet bedanya sama sekolah SD-ku yang di kampung. Aku takjub, sekaligus harus banyak mengejar ketinggalanku di banding teman-teman sekolahku

Dalam hal ini, termasuk Bahasa Inggris. Teman-temanku sudah belajar Bahasa Inggris sejak kelas 3 SD. Sementara aku, sama sekali tidak! Aku harus mengejar 3 tahun ketinggalan di banding teman-teman. Kala itu aku sangat membenci pelajaran bahasa iNggris. Abisnyaaaaa, aku tidak mengerti sama sekali. Bengong sendiri ngeliyat temen-temen cas-cis-cus bahasa Inggris.

Akhirnya, Ibu memasukkan ku ke suatu lembaga bahasa Inggris. Yah, les bahasa inggris deh aku. Sejak les, alhamdulillaah aku bisa mengejar ketinggalan bahasa inggrisku dan akirnya….alhamdulillaah menyamai teman-temanku. Hee…alhamdulillaah, aku jadi suka sangat dengan yang namanya bahasa Inggris. Dan, pernah juga dapet nilai tertinggi di kelas (hehehehe….ciaaaaaaaa). Nilai raportku pun alhamdulilaah jadi angka 9 untuk bahasa inggris.

Ketika masuk SMP, kemampuan bahasa inggrisku makin terasah. Apalagi, kebanyakan temen2 dari sekolah lain baru mengenal bahasa iNggris ketika SMP saja. Akhirnyaa, aku termasuk orang-orang yang kemampuan bahasa Inggrisnya tergolong “lumayan”. Hee…

Puncaknya memang di kala SMP ini. Pelajaran bahasa Inggris menjadi plajaran favoritku setelah matematika. Nilaiku tak pernah rendah dari angka 8 untuk bahasa iNggris. Dari Sembilan caturwulan (kala SMP masih pake system caturwulan), hanya 2 (dua) kali yang dapat nilai 8. Di tujuh caturwulan lainnya, nilai bahasa Inggrisku adalah 9. Hee…

Di SMP ini pula, aku menang pidato bahasa Inggris. Bahkan konsepnya aku buat sendiri. Dan, di masa SMP ini pula, aku telah membuat cerpen dengan bahasa Inggris. Aku mulai suka nulis sejak SD, dan nulis cerpen pertama kelas 6 SD. Nah, di SMP ini, aku membuat dua buah cerpen berbahasa inggris yang kemudian dikoreksi oleh guru bahasa Inggrisku.

Masuk SMA, lain cerita. Entah karena kemampuan bahasa inggrisku yang menurun ataukah karena pada umumnya teman2 sekelasku jago-jago bahasa inggrisnya. Mereka cas-cis-cus ajah pake bahasa inggris. Pokok’e banyak yang jago dah! Sejak ini, nilai bahasa Inggrisku jadi menurun. Haha, tahimpik galombang nih yeeee. Hikhikhik. Meskipun nilainya masih paling rendah adalah 8 untuk pelajaran bahasa inggris, tapi, dari 6 semester, hanya sekali aku dapat nilai 9. Di lima semester lainnya, nilaiku adalah 8. Itu pun rata-rata kelasnya berkisar antara 7,6 hingga 8,2 (hanya 2 kali yg rata2 kelasnya 7,6 sisanya 8 koma). Artinya, bahasa inggrisku adalah hanya rata-rata saja. Parahnya, nilai UAN-ku malah rendah di bahasa inggris. Sejak SMA pun, aku mulai tak terlalu suka bahasa inggris.

Yang lebih parah adalah…ketika masa kuliah. Nilai bahasa inggrisku C dan harus mengulang pula. Eeh, pas diulang, Cuma dapet B+ pula. Hee….. Makin parah yah?! Padahal, yang diujikan hanya itu-itu saja. tak jauh beda dengan SMP dan SMA. Tapi, dasarnya aku sudah tak cinta sama bahasa inggris.

Kemampuan bahasa inggrisku benar-benar menguap. Bahkan pengucapan/logat alias pronunciation bahasa inggrisku berasa ‘minang’ banget. Hihi. Kacawwww dah! Semakin down-lah aku, di momen Mapres unand dulunya. Di mana, dari sekian banyak rangkaian test, ada test wawancara berbahasa Inggrisnya. Aku yang telah terlanjur menancapkan ketidaksukaan pada bahasa inggris benar-benar kelabakan waktu mengikuti rangkaian test mapres tersebut. Aku masih ingat dengan sangat jelas pernyataan seorang dekan fakultas yang ikut menguji kala itu, “pronunciation anda jelek sekali”, kata beliau yang membuat aku hanya bisa nyengir ajah. Hihi.

Imbasnya juga adalah…aku jadi tak begitu bergairah membahas jurnal-jurnal berbahasa inggris (untung saja, penelitian dan kompre memaksaku untuk membahasnya. Hmm….kalau sekedar memahami jurnal berbahasa inggris, insya Allah masih bisa…hee..tapi untuk mengucapkannya, atau menyusun sebuah tulisan berbahasa inggris….ampyuuuuuun….nyerah saia). Buku-buku text book farmasi yang kebanyakan bahasa inggris juga membuat minatku agak sedikit menguap. Tapiiii, keadaan yang memaksalah yang membuatku harus belajar itu. Dan, akibatnya, jika tidak karena terpaksa belajar, textbook berbahasa inggris tak kulirik. Hihi. Pronunciation-ku ketika seminar penelitian dulu tergolong jelek. Hehe. Apalagi, kebawa-bawa Mas Yoshi (Dr. Yotshitsugu Nakaguchi) yang suka menyebut “boil extaction” dengan spelling “boil ekstraksiong”, akhirnya pas seminar akuun nyebut “ekstraksiong” yang membuat peserta seminarnya jadi tertawa. Huhu.

Pelajaran berharganya adalah bahwa kita adalah seperti apa yang kita pikirkan. Ketika kita memikirkan paradigm positif dan pandangan positif, maka kita insya Allah bisa melakukannya. Karena aku terlanjur melabelling dan menancapkan rasa tidak suka pada sesuatu, akhirnya aku memang tidak bisa mencapai yang terbaik dalam bidang itu. Padahal, sebenarnya setiap diri kita punya kemampuan untuk itu. Ya kan?!

Pelajaran kedua…
Penting sekali ternyata, menghadirkan cinta untuk sesuatu. Jika tak cinta, hasilnya pasti tak optimal. Hmm….baiklah…baiklah…., sepertinya aku harus menjemput cintaku yang dulunya hilang. Cihaaaa… Iyah! Aku harus menjemput cintaku pada bahasa inggris yang dulu sempat hadir. CLBK(cinta lama bersemi kembali) daaah. Wkwkwk.

Yup…yup…harus belajar lebih keras! Tanamkan paradigm positif, bahwa…kita BISA!

Tentang Masa Lalu Itu....

Tentang Masa Lalu....
Tentang masa lalu, harapan dan sebuah keinginan itu… sebaiknya…kita tutup saja rapat-rapat, jauh….dan sangat jauh di dasar hati. Biarkanlah ia berada di dasar itu… Tak perlu dibuka lagi…Hingga jika memang suatu saat ia berjumpa dengan kenyataan (Syafnida Gusti, Payakumbuh, Januari 2011)

Ah, benar sekali.
Banyak dari peristiwa yang kita rasakan, kita alami, dalam kehidupan ini…yang mengajarkan kita untuk tidak perlu menaruh harapan apapun, pada manusia. Di kisi mana pun. Apakah menyoal hati, ataupun penghidupan.

Cerita Jalanan

Cerita Jalanan
Jalanan selalu saja punya cerita tentang watak para penggunanya. Dan, begitu pula dengan episode “malala” kali ini. hehe. Solsel-Surian-Alahan Panjang-Solok-Singkarak-Ombilin-Rambatan-Batusangkar-SungaiTarab-Payakumbuh-Tanjungpati-Baso-Bukittinggi-Padangpanjang. Dan, “malala” kali ini benar-benar meninggalkan cerita hikmah yang begitu banyak.

Locus #1: JAGA JARAK
Tidak menjaga jarak, berarti kita sedang memberi peluang untuk mencelakai diri sendiri dan (atau) mencelakai orang lain. Seperti perjalananku kali ini. Di 70-an kilometer pertama. Lubuak Batu Gajah nama daerah kecilnya. Aku tidak tahu apakah memang Lubuak Batu Gajah ini memiliki Batu yang besuarr sangat sehingga dinamakan Batu Gajah. Ataukah di sini dulunya ada gajah yang punya batu? Hihi. Entahlah. Tak kuketahui mengaapa namanya demikian. Dan, kayaknya tak penting pula untuk dibahas. 

Mobil yang kutumpangi berjalan pelan. Mungkin speed meternya hanya menunjukkan 5 km/jam (haha, memangnya ada angka 5 km/jam di speed meternya? Bukannya paling minimum 20 km/jam? Hihi). Di arah lawan, ada tiga truk besar saling beriringan. Tak dinyana, tiba-tiba saja ada bunyi keras dari arah belakang. Rupanya ada sepeda motor dengan pengendara tengik (maaf, ini karena aku kesal sangat sahajaa sama pengendara itu!) yang maen tabrak ajah, plus ngenyalahin pulak!

“Bapak itu yang ngerem mendadak!” katanya. Sudahlah salah, menyalahkan pula! Apa tidak menyebalkan itu? Jelas-jelas mobil melaju dengan pelan, eeh….dianya yang ngenabrak, nyalahin pulak!
Grrhhhhh….kesal tidak?! Mana mobil jadi rusak! Tidak sedikit biaya reparasinya itu. Untung saja pengendara mobilnya adalah seorang hakim yang sudah terbiasa menghadapi berbagai watak manusia dan telah terbiasa pula menghadapi orang-orang berkelit dalam persidangan. Jadi, dengan sekali tandas, pemuda (tengik) itu tak dapat lagi mengeluarkan alasan penyalahan! Yaiyalah! Wong dianya yang salah! Sudah untung si Bapak tidak minta ganti rugi pulak sama itu pemuda. Kalau mau adil sih, semestinya iya, kan dia yang salah. Tapi, si Bapak tidak mengambil tindakan demikian. Lha, si pemuda itu sedikit pun kaga minta maaf!! Coba aja deh, kalo pengendaranya para preman jalanan, waah sudah abisss itu pemuda kenak carut marut, plus bogem mentah mungkin.

Plajaran berharga :
Jalanan sering kali menceritakan watak. Tidak salah jika Rasulullaah katakan bahwa jika kita ingin mengenali seseorang lebih dalam, maka bermalamlah bersamanya sekurang-kurangnya tiga hari atau adakanlah perjalanan jauh bersamanya. Sebab, perjalanan akan menceritakan bagaimana dan seperti apa kita.

Plajaran kedua, menjaga jarak itu penting. Jika tidak, kita akan mencelakai diri kita dan orang lain. Jika pun tidak ada yang celaka dari diri kita atau pun orang lain, setidaknya kita harus mengeluarkan duit lebih banyak untuk biaya reparasi. Jika pun tidak sampai demikian, setidaknya kita harus menghadapi sportjantung dulu.

Jaga jarak, ternyata bukan Cuma dalam berkendaraan. Tapi juga interaksi. Huufftt… Poin ini mungkin aye kenak. Huhu. Karena, kalo soal interaksi, aku termasuk orang yang (agak) cair dan sukaaaaaa sangat berteman dengan banyak orang, maya maupun nyata. (semoga memang tidak “mencelakai” orang lain yaah? hehe). Tapi, kebanyakan yang kuliyat nii yah (dari orang lain) kalo interaksinya sudah cair sangat, bisa jadi akan “mencelakakan”, jika pun tidak diri kita (apalagi dengan alasan ke-cuek-an dank e-slenge’-an), mungkin orang lain ada yang “tercelakai”. Missal dengan lahirnya interpretasi-interpretasi atau pun singkronisasi2 tertentu. Hmm….ternyata, menjaga jarak itu sangat penting. Hmm…hmm…sebuah pelajaran berharga bagiku. Semoga jadi controlling buat ke depannya.

Locus #2 : Pragmatis, Antipati ataukah menyoal hilangnya kepercayaan Masyarakat terhadap pemerintah?

Sesampainya aku di daerah Koto Baru, kendaraan terjebak antrian panjang sangat. Rupanya macet yang biasanya hanya hadir di kota-kota besar kini berpindah pula ke daerah. Dari Padang Luar hingga Koto Tuo Panyalaian. Entah karena regulasi jalanan Pasar2 tradisional yang berada di sepanjang jalur itu yang belum tercover ataukah karena memang badan jalan yang semakin sempit, ataukah kendaraan bermesin yang semakin banyak ataukah kesadaran akan ketertiban yang semakin terdegradasi? Mungkin semua alasan adalah benar. Jika ini merupakan pilihan berganda, mungkin jawabannya adalah (E) yaitu A, B, C dan D benar. Hehe. Sebab, katanya dinas perhubungan, jumlah kendaraan pribadi sekarang semakin meningkat. Selain itu, banyaknya mobil2 pick up ataupun truk pengangkut sayur yang parkir di pinggiran jalan dan membongkar muatannya, menghalangi lalu lintas kendaraan. Di luar itu, badan jalan memang terasa semakin sempit, karena kendaraannya semakin banyak. Dan, jika begini, banyak pengendara (tak sabar dan egois) yang mencoba-coba memaksakan kendaraannya melaju di tengah kemacetan panjang. Akibatnya, semakin kacau balaulah kemacetan itu. Riweuh pisan, euy!

Nah, di tengah2 itu, ada kejadian yang menggelitik.
Tentang sebuah mobil ber-plat terbakar (plat merah maksudnya) alias mobil punya pemerintah dengan nomor polisi rendah (maksudnya, angkanya Cuma 1, dan di bawah angka 5 pula) yang berarti orang yang duduk di dalamnya itu bukan orang ‘sembarangan’. Pastilah pejabat kelas teras. Hihi. Pejabat teras maksudnya. Tak usah pula lah kusebut kendaraan mananya dan berapa nomor polisinya.

Mobil itu hendak berbelok ke gang kecil yang sedikit mendaki di tengah antrian panjang itu. Rupanya, perhitungan sopirnya meleset sehingga mobil tidak dapat memasuki gang dengan mulus. Serta merta mobil itu mundur. Di saat yang sama, sebuah bus superrr duperr besaar dengan trayek lintas pulau datang dari arah berlawanan. Nah, apa salahnya sih, bus besar itu berhenti sejenak, biar mobil pejabat itu bisa lewat gang. Rupanya yang terjadi sebaliknya. Bus besar itu terus mendesak-dan mendesak sehingga mobil pejabat itu harus mundur hitungan kilometer,yah sepanjang antrian berkilo-kilo meter itu. Masya Allah. Penumpang seisi bus besar maupun penumpang minibus yang kutumpangi, bersorak sorai puas, atas keangkuhan bus besar itu. Mobil pejabat yang malang, dan terlihat tak berdaya. Mereka tertawa-tawa menyaksikan mobil pejabat itu harus mundur beberapa kilometer. Kalo maju beberapa kilometer sih oke. Tapi, kalo mundur?? Huwaaaa…pasti pegelll leher supirnya. Hehe.

Ini entah karena pragmatis atau antipasti masyarakat terhadap pemerintah. Atau, mungkin kepercayaan masyarakat yang telah hilang terhadap pemerintah. Entahlah. Aku sesungguhnya kasihan pada bapak pejabat itu, dan membayangkan, “ah, andai ayahku yang berada di posisi itu.” Tapi, tindakan ini sudah cukup menjelaskan tentang sikap masyarakat.

Pelajaran berharga :
Mungkin tidak semua pejabat itu koruptor, dan sangat mungkin masih banyak pejabat yang baik yang benar-benar bekerja untuk rakyat. Tapi, karena juga tak sedikit kasus-kasus praktik KKN yang membuat rakyat kecil jadi korbannya, atau bisa jadi orang teratasnya sudah berupaya memberikan seoptimal mungkin, namun, oknum-oknum bawahannya yang sering nakal, semakin menggerus kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Ah, yang bisa kita lakukan adalah berdo’a dan berharap agar negeri ini semakin madani saja. Perubahan menuju Indonesia lebih baik tidak bisa dilakukan jika kita Cuma sorak sorai doang “Brantas korupsi! Brantas KKN” kalo kita sendiri tidak mencoba merubah hal-hal tersebut dari yang kecil sekali pun.

Locus #3: Ketika Nurani (lagi-lagi) dipertanyakan.

Dahulu, kami anak-anak asrama SMA N 1 Padangpanjang yang arah ke Solok dan Sekitarnya biasa menunggu bus Tanjung Jaya di depan pesantren Serambi Mekkah, Padangpanjang. Betapa sumringahnya wajah ketika bus donker tua (sudah dongker, tua pula lagi. Hee….berarti warnanya mendekati hitam) itu lewat dari arah atas Guguk Malintang. Meski harus berdesak-desakkan. Meski harus duduk di bangku temple alias bangku serep. Bahkan meski harus berdiri. Dan, pahitnya lagi, harus bergelantungan di depan pintu, demi pulang kampung. Hehe.

Bukan tak sering aku dan teman2 harus bergelantungan di depan pintu itu untuk 2 jam perjalanan. Berbahaya. Mengerikan. Tapii, ternyata dijalani jua. Nasheeeeb sekolah jauh. Hihi. Dan, bukan sekali dua kali pula kami menyaksikan bapak-bapak atau pemuda-pemuda yang badannya masih tegap-tegap, enak-enakkan duduk dengan nyamannya di hadapan kami—anak-anak perempuan—yang harus bergelantungan atau berdiri. Atau, paling banter, pura-pura tidur.

Nah, dalam episode kali ini, aku kembali mengulangi kebiasaan 5 tahun silam itu. Menanti Tanjung Jaya. Sekarang bukan lagi di depan Serambi Mekkah. Jalurnya sudah berbeda. Dan kali ini aku menunggunya di depan RSUD Kota Padangpanjang. Dahulu, RSUD ini berlokasi persis di samping sekolahku di mana kamar mayatnya bersebelahan dengan kelas kami, III IPA 1. Hehe. Hanya berbatas tembok setinggi dua meter yang bagian atasnya dipenuhi kawat berduri.

Tanjung jaya masih punya cerita yang sama. Memuat kebanyakan anak sekolah. Dan, kembali mempertanyakan nurani yang sama. Tentang tubuh-tubuh tegap yang nyaman-nyaman saja duduk santai di depan seorang siswi ringkih yang mencoba berpegangan erat melawan guncangan bus. Lagi-lagi nurani dipertanyakan. Memang, tidak bisa di generalisir semuanya. Bisa jadi, sebagian dari tubuh tegap itu berpenyakit jantung, misalnya, yang membuat ia tak kuat lama berdiri. Tapi, apakah semuanya berpenyakit jantung? Bisa dipastikan, TIDAK! Lagi-lagi, kembali, nurani dipertanyakan.


#mohon maaf buat mata pembaca yang alergi dengan tulisan panjang. Hihihi#

Kalah

Kalah dan Menang

Aku pulaaaaang, tanpa dendaam
Kuterima, kekalahankuu….
(Shella on Seven)

Mungkin kau perlu kalah dulu sebelum merasakan kemenangan, Fathel. Barang kali, dengan merasakan kekalahan terlebih dahulu maka kemenangan menjadi manis rasanya. Mungkin begitu, Fathel.

Terhadap apapun yang telah membuatmu kalah,
Maka kau perlu dengan sportif mengatakan bahwa “dia memang lebih baik darimu”..
Bahwa semestinya kau memang perlu angkat topi dan mengatakan, “aku ingin belajar lebih banyak darinya.”
Memang seharusnya begitu, Fathel.

Tidak mengapa.
Setidaknya kau tidak sedang berlagak menang atas kekalahanmu.
Setidaknya kau mengetahui, bahwa kau memang kalah.
Dan, setidaknya, ini semua melecut semangatmu untuk tidak berhenti berjuang.
Untuk sebuah kemenangan yang tiada memiliki ujung di tempat yang penuh kenikmatan.
Dan itulah sesungguhnya kemenangan yang besar!

Fathel…
Yang harus kau tahu, bahwa dengan ke-dhaifanmu itu, kau belumlah apa-apa.
Pandangilah sejauh lintasan pandangan… bahkan melintasi batas, sekalipun!
Pandangilah!
Semakin jelaslah, betapa kau bukan apa-apa, bukan siapa-siapa.
Jangankan untuk disebut ektraordinary, bahkan biasa-biasa saja pun masih belum!
Dan, lengok kan pula pandanganmu pada sosok dengan begitu banyak taburan bintang. Bintang-bintang gemerlap itu. Mereka adalah yang menancapkan pancang-pancang kemenangan.
Lantas, tak inginkah kau belajar dari mereka?

Fathelvi…
Fathul Alvi…
Seribu Kemenangan…
Jika kau MAU, insya Allah kau BISA!
Tiada kata TIDAK BISA bagi orang yang MAU!
Masih ingin menang kan Fathel?
Jika iya, maka tiada kata bagimu, selain BERJUANG UNTUK KEMENANGAN ITU!

Mematangkan Hidup

Masak-masak-masak....hehehe
Hemm…. Memasak.
Apa yang terjadi jika kita memasak dengan api yang besar?
Hoho, tentu saja masakannya akan gampang hangus. Jika pun tidak hangus, di bagian luarnya matang tapi di bagian dalamnya masih mentah. Apapun jenis masakannya. Mau goreng pisang kek, mau goreng tahu kek, mau bakwan nek. Hee…
Lalu bagaimana? Yak, bener sodara-sodara! Jika ingin masakannya matang dengan sempurna, maka yang mesti disetel itu tentu saja api yang sedang. Tidak terlalu besar. Dan tidak pula terlalu kecil (yang membuat kita berlumut pulak nungguinnya..hihi). Sebesar apa apinya, maka…kemudian pengalaman bicara. Jika sering-sering (belajar) memasak, pada akhirnya akan mengerti sendiri sebesar apa sih api yang ideal sehingga apapun yang di masak, menjadi matang hingga ke lapisan terdalam sekali pun. Hehe.

Semua ini memberi kita pelajaran berharga.
Bahwa mematangkan sesuatu, TIDAK BISA dengan segalanya serba cepat dan serba instan belaka. Semuanya butuh proses. Dan juga, butuh kesabaran. Iyaah, k-e-s-a-b-a-r-a-n. Sering kali sesuatu yang serba instan, yang hanya ingin cepat saja, memang terlihat matang dari luarnya. Kelihatan bagus dari luarnya. Tapi…masya Allah, ternyata di dalamnya masih mentah.

Pada akhirnya, pengalamanlah yang mengajarkan kita tentang mematangkan sesuatu. Mematangkan dengan kematangan yang sempurna. Bukan kematangan setengah-setengah. Yang hanya matang di luar saja, tapi mentah di dalamnya.

Apapun itu…mozaik kehidupan kita. Mereka punya lokus-lokus tersendiri untuk mematangkannya. Kemudian, yang demikian itulah yang mengajarkan kita untuk menjadi lebih dewasa dan bijaksana dalam menyikapi setiap peristiwa kehidupan itu sendiri. Sebab, hanya sejenak saja waktu yang kita punya. Untuk mempersiapkan hari-hari yang panjang. Hari ketika segala sesuatu di balaskan. Lantas, hendak ke manakah hendak diarahkan langkah? Kepada kesengsaraan yang tiada berujung kah? Atau kenikmatan yang jua tiada taranya? Inilah saatnya kita mematangkan arah!

Aih, begitulah kehidupan mengajarkan kita…
Sebab semuanya adalah pelajaran…
Yup, pelajaran berharga bagi kita.
Asalkan kita bersedia (sedikit saja) mengambilnya.

Jum'at Pagi

Subhanallaah….selalu ada spirit baru di Jum’at pagi…
Mengawali hari yang penuh keberkahan dengan “pertemuan” bersama orang-orang dengan wajah teduhnya itu. Wajah-wajah mereka yang bersih bercahaya di bawah naungan Al Qur’an. Dan, selalu saja menghadirkan spirit yang tak ternilai harganya…bagiku…

Jum’at pagi…
Selalu saja menjadi waktu yang kurindu…
Untuk pertemuanku dengannya…


Jum’at pagi…
Sungguh, aku ingin hariku-hariku adalah seperti Jum’at pagi…
Seperti jum’at pagi ini…Jum’at pagi tiga minggu lalu…atau jum’at pagi satu bulan yang lalu…
Ingin selalu begitu…merasakan sentuhan spirit-spirit itu…

Duhai akhwatifillaah…
Aku tak perlu rumit untuk mengetahui mengapa cinta ini begitu cepat hadirnya…
Bahkan dengan pertemuan kita yang sejenak saja…
Yang kemudian selalu saja membuatku merindui dan terus merindui kebersamaan dan membersamaimu…
Meski…saat ini…ada jarak ratusan mil yang memisahkan kita…
Semoga bukan hati yang terpisah…biarlah jasad kita saja yang berjauhan…

Merindumu semuaaaaa,
Akhwatifillaah…

Merindukan semuanyaaaa...

Aku Tidak Gombal

Sebenarnya tulisan ini adalah bentuk negasi dari tulisanku satu setengah tahun yang lalu yang berjudul “Orang Bilang Aku Gombal”. Hee…. Kutulis special untukmu yang (merasa) pernah kugombali. Hihi.

Wahai teman-temanku…ukhtifillaah yang (pernah atau sedang) menemani hari-hariku. Ketahuilah…aku tidak pernah sama sekali (berniat) menggombalimu. Sama sekali tidak. Meskipun memang terkesan agak sedikit lebay, tapi yakinlah…bahwa aku mengatakannya karena aku memang cinta. Yah, aku memang cinta. Padamu. Padamu. Juga padamu.

Hehe…
Bukan sekali atau dua kali dikau semua nyatakan,
“halaaah, fatheru gombalannya maut.” Hihi.
“aihh, tak percaya cintanya Fathel. Gombal ihh”
Atau, “kalo Fathel yg bilang cinta mah,saia tak percaya. Cinta nya si Fathel itu, baserak dima-dima.”
Atau pun kalimat-kalimat sejenis.

Tapiii, yakinlah satu hal,
Bahwa aku benar-benar tidak bisa mengatakan, “Luph U”, “Cynk”, “Uhibbukifillah”, “Sayang kamuuuu”, dan sederet kata lain yang senada, jika aku tidak benar-benar cinta.

Sebab aku cinta-lah, maka kukatakan demikian.
Karena bagiku, cinta itu bukan sekedar aksi, tapi juga butuh kata-kata.
Sebab cinta butuh muara.
Dan kata adalah salah satu muara terbesarnya.

Dari Abu Karimah Al Miqdad bin Ma'dikariba r.a, dari Nabi S.a.w , beliau bersabda : "Apabila seseorang mencintai saudaranya hendaklah ia memberi tahu bahwa ia mencinta dirinya (sahabatnya itu)" HR. ABu DAud dan At TArmudzy

Sore Ini...

Tentang kesedihan itu...
Tidak ada yang berbeda dengan sore ini. Angin yang meniup lembut. Sorak-sorai anak-anak yang bermain sepak bola di sawah yang habis dipanen di sebelah utara. Dua sejoli remaja yang sedang asyik mengobrol di sebelah barat. Suara tangis bayi melengking membahana di sebelah timur. Dan tawa ibu-ibu yang berkongkow ria di sebelah selatan. Di segala penjuru mata angin, selalu punya cerita yang hampir sama di setiap sore.

Pun dengan aku (dan ruitinitas menyenangkanku) di sore ini seperti sore-sore sebelumnya.
Mengelilingi kolam tiga buah empat persegi panjang dan satu trapesium dengan seember besar makanan ikan. Adalah hal yang menyenangkan melihat makhluk-makhluk bersirip itu berebut makanan.

Memang.
Sore ini masih sama dengan sore-sore sebelumnya. Hanya saja ada yang berbeda.

Kolam Bernoulli

Tulisan ini tentu saja tidak bermaksud menjelaskan padamu bahwa si Bernoulli, sang ahli fisika itu, mepunyai kolam di belakang rumahnya. Hihi. Aku pun tidak tahu apakah Bernoulli punya kolam apa tidak. Hehe. Sepertinya tak penting membahas apakah Bernoulli punya kolam ikan. Tapi yang jelas, si Bernoulli telah menemukan sebuah rumusan mengenai Fluida Bergerak dengan rumusan seperti yg tertera di atas.

Lalu, apa hubungannya si Bernoulli dengan kolam??

Hmm…begini.
Aku tahu, ayahku bukanlah seseorang yang berada di ranah sains. Bahkan aku yakin beliau sama sekali tak tahu menahu soal hukum Bernoulli. Beliau memang lebih banyak berinteraksi dengan sesuatu yang berbau hukum (lha, emangnya hukum ada baunya yah? Hihi), tapi bukan hukum fisika. Hehe. Tapi, tanpa disadari ayah, beliau telah menerapkan hokum Bernoulli ketika membuat kolam itu. Kedua saluran air yang mengairi kolam, dibuat seperti mengalir dari dalam kolam itu sendiri. Padahal, keduanya berasal dari satu pipa yang dibenamkan dibawah tanah di mana jaraknya dari sumber air hingga mencapai kedua saluran adalah sekitar 10 meter. Di sini, diterapkan hokum Bernoulli secara fisikanya. Bahwa ada tekanan dari sumbernya yang kemudian air dapat “memanjati” kedua saluran tersebut sehingga seolah-olah terlihat seperti bersumber dari kolam itu sendiri.

Ada plajaran yang dapat kuambil dari sini. Hmm….sebenarnya, kita sering kali mempraktekkan sesuatu tanpa menyadari bahwa ada “suatu peristiwa” lain yang tidak kita ketahui. Kita melaksanakan, tapi tidak mengetahui teorinya. Ini berarti sesungguhnya akal dan logika manusia sebenarnya jauh lebih hebat dari sekedar teori-teori belaka. Maha agung Allah yang menciptakan manusia dengan segala potensi besar. Dengan akal yang membuatnya lebih dari makhluk di dunia lainnya. Seperti kolam Bernoulli itu. Atau seperti para pedagang minang (yang mana minang sangat terkenal dengan jiwa dagangnya) yang tak perlu terlebih dahulu mempelajari buku-buku tebal manajemen. Mereka telah mempraktekkannya tanpa terlebih dahulu mengetahui teorinya. Tapi, bagaimana pun jua, mempelajarinya terlebih dahulu tetap saja menghasilkan out put yang lebih optimal. Hihi.
Kolam Bernoulli

Hmm…sebenarnya bukan masalah Bernoulli ini esensi tulisanku kali ini. hee… Aku sebenarnya pengin cerita-cerita ajah. Yaah, seperti yang kubilang (mungkin berkali-kali sudah) bahwa aku menuliskan ini di blog sebagai sarana untuk memuarakan ekspressi saja. semoga tak tak berlebihan jika disebut sebagai sarana aktualisasi diri. Hehe. Adapun jika memang ada kebaikan yang dapat didulang—bagi yang sempat nyasar, salah masuk, atau iseng-iseng singgah sebentar—maka itu adalah limpahannya…hihi.

Kolam Bernoulli (hehe, sebaiknya kunamai saja kolamku itu dengan nama Kolam Bernoulli yaah?) adalah satu dari sekian banyak inspirasi kali ini. Dan sebenarnya, ada sebuah investasi besar tersimpan dalam kolam Bernoulli jika kita mau sedikit saja lebih keras belajar dan sedikit saja bersedia bertanya pada orang pinter (bukan dukun loh! Tapi orang yang memiliki pengetahuan lebih atau latar belakang ilmunya di sini). Inilah pekerjaan “malas” yang menghasilkan jauh lebih besar ketimbang pekerjaan “rajin” (yg berkutat dibelakang meja kerja). Hihi. Dan ini semakin membuatku sangat tertarik untuk terjun dan menerjunkan diri. Di sini. Di ranah ini.

Beberapa hari yang lalu, aku sempat menonton tayangan tentang motivasi dari motivator muda Bong Chandra. Satu hal menarik yang sangat berkesan bagiku dalam penyampaiannya adalah “Beri nilai harga atas waktu anda.” Jika bertolak dari pemikiran orang-orang seberang samudera sono, “Time is Money”, kata mereka.

Kita mungkin (sering) tidak menghitung berapa nilai harga waktu kita kecuali ketika berada di taksi. (uhm…kalo taksi mah di kampung saia yang terpelosok ini TIDAK ADA! Hehe). Ketika di taksi, kita pasti akan menghitung berapa harga waktu kita dan berapa nilai yang kita bayarkan berdasarkan waktu itu. Apalagi jika ketiban macet, hadeuuuuhh…jadi mikir2 panjang banget, karena waktunya terus berlalu, dan seiring dengan itu bertambah pula cost yang harus dikeluarkan.

Di sini, dapat kita pelajari bahwa kita bisa saja memberikan harga dan nilai untuk waktu kita. Berapa kita mau! Dalam beberapa episode yang kulalui belakangan ini semakin membuatku belajar tentang filosofis time is money itu. Hmm…sebelumnya, aku tak hendak mengajakmu untuk mengejar duit semata dengan menghargai waktu atas nama uang saja. Bukan. Bukan begitu. Terlalu singkat jika hanya untuk kepentingan kesejenakkan dunia belaka. Maksudku adalah, menghargai nilai waktu bukan hanya dengan ukuran nilai mata uang tapi juga investasi masa depan abadi kita. investasi masa depan yang melintasi kesejenakkan dunia. Demikianlah harga nilai atas waktu-waktu kita.

Siapa saja boleh menyebutku pengangguran. Dan memang begitulah pandangan orang-orang secara umum. Tapi, kali ini, akhir-akhir ini, aku merasa menjadi pengangguran yang selalu kekurangan waktu. Hihi. Mungkin kedengarannya lucu. Yup, aku memang seorang pengangguran yang kekurangan waktu. Semua ini membuatku belajar untuk memberi nilai atas waktu-waktu yang kupunyai, yang tak tertebak pada saat manakah semuanya mesti berakhir.

Aku melakukan apapun, dan memberi nilai atas waktu yang kuhabiskan untuk itu. Aku pernah hanya punya harga waktu lima belas ribu untuk enam jam, dan aku juga pernah punya harga waktu seratus ribu untuk satu setengah jam. Dua hal yang sangat jauh perimbangannya. Pekerjaan pertama adalah dengan mengandalkan tenaga. Sedang, pekerjaan kedua adalah dengan mengandalkan pikiran.

Sekarang, aku menjadi mengerti betapa pentingnya berpikiran cerdas dalam mengelola waktu. Jika kita dapat menggunakan potensi pikiran kita, maka nilai waktu kita jauh lebih berharga ketimbang hanya dengan mengandalkan tenaga saja. Apalagi jika nilai waktu kita digunakan untuk-Nya. Maka, harga waktu itu menjadi lebih besar. Ia menjadi investasi bagi kita. Demikianlah. Segalanya kemudian menjadi pelajaran yang sangat berharga bagiku.

B.E.R.S.E.M.A.N.G.A.T!!

Menanak Hobby


Punya hobii moto2, hehehe
 What? Menanak hobby? Nantinya jadi apa dong?? Hihi. Nggak mungkin kan, hobby ditanak jadi bubur?! Keh…keh..keh… Gak mungkin lah yaah.


Sebenarnya judul itu terinspirasi dari ulasannya Pak Abdullaah Khusairi, MA dalam bedah buku “Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu” karyanya Bang Ragdi F. Daye.

Menanak hobby menjadi penghasilan!
Hehe…

Beberapa jam yang lalu, aku bercerita panjang lebar dengan uni psikologku. Yah, biasalah via telpon. Sambil kikik-kikik-an…juga sambli crita-crita soal masa depan. Hmm…begini niiih jika udah nyambung, klop dan bersesuaian…kalo ceritaa pasti nyambung bangett. Yah, cerita-cerita soal mimpi yang kami coba bangun bersama. Memulai langkah-langkah itu. Hee…

Satu kata yang cukup berkesan olehku adalah, “mari kita mengerjakan apa-apa yang menjadi minat kita.”
Yup, mengerjakan apa yang menjadi hoby, minat maupun yang kita sukai. Dengan demikian, apa yang kita kerjakan itu akan terasa menyenangkan, tidak menjadi beban, optimal, dan juga menghasilkan! Hmm…menarik, bukan? Menanak hobby menjadi penghasilan. Hehe.

Satu hal yang paling sulit adalah..memulai langkah pertama.
Namun, bagaimana hendak melangkah seribu langkah jika tak dimulai dari langkah pertama?
Yah…maka….mulailah dari langkah pertama saat ini juga.

Menjadi berbedalah!
Menjadi kreatiflah!
Karena berbeda (dalam hal positif) memiliki nilai lebih.
Hidup ini akan begitu apa adanya jika kita jalani dengan kemonotonan, dengan sesuatu sekebanyakan. Menjadi golongan yang sedikit itu ternyata lebih baik, ya

Continence

Hmm…satu lagi yang harus dikendalikan adalah…REAKSI SPONTANEOUS! Mereaksi secara spontan atas sesuatu tanpa pertimbangan (rasional) dan pertimbangan ruhiy terlebih dahulu. Yah, memang adalah karena aku terlalu ekpressif mungkin… Ekpressi yang mungkin berlebihan dari kadar seharusnya. Hihi. Apalagi dengan melibatkan unsure emosional pula. Benar-benar ektrem. Huhu.

Hanya saja, sangat mengherankan sekali mereka itu, yang katanya memiliki pemahaman. Aku hampir-hampir memberikan asasemen pada polar negatif untuk “kehebatan” mereka. Fiuufftt…Sungguh sangat menyakitkan! Okelah, aku tahu mereka adalah orang-orang hebat. Orang-orang berpengalaman pula, kata mereka. Tapiii, memangnya selalu benar?! Ah, tidak! Tidak selalu benar! (entah kalo merasa selalu paling benar, hem..). Begitulah dinamika,barang kali—bahkan di kalangan orang-orang yang katanya memiliki satu warna “fikroh” sekalipun. Tidak seruu, kalo tak ada riak gelombangnya. Hihi. Juga karena isi kepala dan isi dada berbeda-bada, mungkin.

Deuh…deuh…
Yang begini ini niih, reaksi spontan! Heuuuh…
Atau, mungkin karena aku sedang di titik kulminatif yang grafiknya begitu ngedrop?
Entahlah…
Sudaah…sudaaah…

Seharusnya tidak begini, Fathel…
Seharusnya tidak begini…

Hayuuk…berbenah lagi, Fathel…
Satu penyadaran terpenting untukmu Fathel, bahwa kau bukan apa-apa, dengan ilmu yang masih sangat sedikit….dengan pemahaman yang juga masih dangkal. Masih banyak yang harus kau pelajari. Masih banyak yang harus kau perbaiki. Masih banyak yang harus kau upgrade maupun kau update. Masih banyak yang harus kau benahi! Masih banyak! Yang ini…masih sangat sedikit. Bahkan lebih jauh dari kata sedikit.

Tentang kesalahan, pengalaman buruk, luka, maupun tindakan uncontrolling itu di masa lalu…adalah sangat manusiawi dan wajar. Bukan permakluman atas kesalahan. Hanya saja, tiada manusia yang sempurna. Adalah suatu keabsurban manusia tanpa kesalahan, kecuali Rasulullaah yang maksum. Untuk kesalahan-kesalahan itu…ia-nya adalah media pembelajaran. Disesali memang harus, tapi bukan berarti larut dalam penyesalan panjang yang tak berkesudahan tanpa ada perbaikan kemudiannya. Saat ini, yang kau bisa lakukan adalah menambalnya.

Bagemanapun, semua akan menjadi masa lalu pada akhirnya. Hari ini, akan menjadi masa lalu di kemudian hari. Jika kau ingin jejak-jejak yang kau tinggalkan adalah jejak-jejak yang baik,maka kau pun seharusnya berupaya untuk melakukan yang terbaik bagi hidupmu, bagi akhiratmu, hari ini.

Dengan sisa kesempatan yang begitu sejenak bersama kesejenakan dunia, maka seharusnya kau pun mengisinya dengan terus dan menerus menabung serta mendulang segala kebaikan. Seharusnya demikian. Karena, amalan itu…terlihat dengan bagaimana ujungnya, tanpa meniadakan sedikitpun prosesnya. Seperti kisah pendosa yang telah membunuh seratus orang itu lalu bertaubat. Bahkan, ia belum sempat mencapai perkampungan orang-orang taubat itu. Hanya saja, pada penghujungnya adalah kebaikan, ia dimenangkan karena langkahnya menuju perkampungan taubat itu lebih sehasta. Seburuk apapun perbuatannya sebelumnya, namun pada penghujungnya adalah kebaikan…maka ia pun berada pada kebaikan, bukan?!

Maka…berharaplah, bahwa penghujungnya itu adalah amalan terbaikmu!
Dan, penghujung itu…bisa jadi kapan saja. Maka, siagalah di setiap detik! Siagalah dengan hal yang akan memutuskanmu dengan kefanaan dunia. Benahilah….benahilah…rombengan-rombengan yang ada di mana-mana itu.

“Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.”
(Qs. Ali Imran : 148)


“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keredaan Allah. Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.”
(Qs. An-Nisaa : 114)


“Jika kamu menyatakan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.”
(Qs. An-Nisaa : 149)


“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan, Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Qs. Fussilat : 34)

Ketika Kesabaran Berbuah Manis

tentang kesabaran itu..ketika berbuah manis
Cerita ini sesungguhnya telah banyak terjadi di tengah-tengah kita. Pun telah banyak diambil pelajarannya oleh banyak orang pula. Tapi, aku tetap ingin menuliskannya(dengan bahasa jiwaku). Bukan karena tokoh utamanya nyata dan dekat denganku. Hanya karena—sekali lagi—aku ingin ia menjadi pelajaran. Untukku. Untukmu. Untuk kita.

-----------------------

Perempuan itu terduduk dengan lemasnya. Ada godam yang menghentak-henak persendian batinnya sesaat setelah ia mendengar berita bahagia yang memilukan. Berita itu memang berita bahagia. Tapi memilukan baginya.

Ia adalah perempuan cerdas. Ia menjadi bagian dari sedikit orang-orang yang mengecap pendidikan di perguruan tinggi di kala masyarakat kebanyakan kala itu hanya menamatkan sekolah paling tinggi hingga SLTP. Bukan karena ia berasal dari keluarga berada. Bahkan, di masa sekolahnya, ia mengembalakan sapi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Menyedihkan untuk mengetahui bahwa makannya dibatasi hanya boleh dua kali sehari karena memang sangat pailitnya kondisi ekonomi. Tapi ia mempunyai kecerdasan yang memberinya tiket gratis menduduki bangku perguruan tinggi. Beasiswa penuh. Kala itu, di era masih tahun tujuh puluhan.

Kutuliskan Untukmu…

Sahabat

Untukmu sosok yang menempati urutan ukhuwah bagian teratas dalam hatiku,
Ukhtyfillaah…sahabat berbagi cerita…
Bahwa aku terlalu mengerti dengan kesedihan dan kerisauan yang kau rasakan…
Dan tak perlu pula kuceritakan tentang air mata yang menetes bersama kesedihan yang kurasakan jua atas kesedihanmu…

Tapi, ketegaranmu memberiku pelajaran…
Bahwa karena kau seorang yang sangat kuat, maka Dia memberikan ujian…
Sebentar lagi, insya Allah kau akan naik kelas…
Menuju kelas yang lebih berkualitas...

Jika aku boleh menamai, maka kaulah nakhoda tangguh itu…
Yang mampu bertahan dalam terpaan badai bertubi-tubi bersama ganasnya gelombang lautan…
Dan hari ini…kau masih berlayar dengan kokohnya…
Masya Allah…

Aku sangat percaya…
Bahwa insya Allah, ada scenario yang jauh lebih indah tengah menantimu…
Lebih indah…
Karena Dia tak ciptakan kepahitan tanpa sesuatu yang manis di kemudian harinya.
Jika belum hari ini…mungkin esok!
Tapi ia PASTI ada…insya Allah…

Aku kan ada untuk menyangga kesedihanmu, sebagaimana kau jua telah menyanggaku di masa sedihku…
Karena demikianlah hakikatnya sebuah pertemanan…bahwa kita saling menanggung beban…

Uhibbuki fillaah…

Nope

kebahagiaan
Kebahagiaan kita, tak perlulah digantungkan pada orang lain!
Tak perlu.
Sebab kebaagiaan itu adalah rasa kita dan kita yang rasa.

Semua ini mengajarkanku, bahwa terkadang kita perlu membunuh asa itu. Yah, asa itu. Bukan semua asa. Tapi hanya asa itu saja. Di sini, bukan berputus asa, melainkan memutus asa. Cukuplah dengan apa yang diberi-Nya, tak perlu harap-harap lain pada manusia, yang juga sama dhaifnya.

Huuufftt…
Memang berat.
Tapi aku tidak ingin lagi menyalahkan kesalahan.
Cukuplah ia sebagai pelajaran saja…

Mulai hari ini…membuka kembali lembaran baru…lembaran dengan warna yang lebih cerah…

B.E.R.S.E.M.A.N.G.A.T!!!
H.A.M.A.S.A.H!!!
M.A.A.N.N.A.J.A.H!!

Kaget

Deuuh, sungguh tak bisa kunamai apa kekagetanku ini.
Hmm…begitu yah?!

Baiklah…baiklah…
Jika memang begitu adanya…

Karena tak selamanya, hidup itu sesuai dengan apa yang kita maui.
Kadang kala, ia-nya adalah sesuatu yang diluar keinginan kita…

Satu yang harus diingat,
Bahwa hal yang terpenting adalah…Allah punya cara yang tak kita prediksi untuk diri kita. Dia-lah dan keputusan-Nya lah keputusan terbaik! Jika Dzat yang Maha Mengetahui tentang diri kita melebihi kita sendiri, Dzat yang lebih dekat dari urat leher kita sendiri, telah menetapkan sesuatu pada diri kita, PASTI ITU YANG TERBAIK! Meskipun kedaifan, kehinaan dan kerendahan serta keterbatasan diri kita hari ini belum melihat itu sesuatu yang tidak baik atau tidak bersesuaian dengan harapan dan rencana kita. Tapi, esok…nyatalah…bahwa memang demikian yang terbaik.
Maannajah Fathelvi!

Membunuh Asa

Tidak!
.
Bukan dengan membunuh asa!
.
Hanya melabuhkannya pada labuhan tertinggi
.
Pada DIA...
.
hanya pada-Nya saja....


Ma'annajah Fathel!



*I'm in Saturation....T____T

Januari

Januari itu…nama bulan! Hihi…ya iyalah. Siapapun juga tahu.
Tapii…kadang, ada semacam ketakutan yang tak bisa kudefinisikan bagaimananya, setiap kali memasuki Januari. Setidaknya dua tahun belakang.
Aku tidak sedang berspekulasi dengan tanggal maupun bulan hoki. Mana ada hoki-hokian?!
Dan, sejatinya, bukankah setiap pertambahan detik yang kita lalui memiliki arti yang sama dengan pengurangan jatah hidup kita? Setiap hari adalah demikian. Bukan hanya januari saja.
Yaph…memang begitulah adanya, bukan?

Hanya saja, pada salah satu tanggal di bulan Januari, di mana tepat ketika angka-angka tahun yang kulalui itu berada di titik DELAPAN BELAS, aku menorehkan lukisan untuk januari tahun lalu, hingga januari tahun ini. Dan ternyata potret nyatanya… Belumlah bersesuaian dengan lukisan-lukisan itu. Hehe.

Tidak mengapa.
Hanya ada dua penyikapan untuk segala jenis keadaan seorang mu’min seharusnya. Syukur dan sabar. Lalu, menjadi baiklah semua keadaan kemudiannya.

Maka, seharusnya adalah…membekali diri dengan keyakinan bahwa tiada kesulitan yang tak disertai dengan kemudahan. Sepahit apapun itu. Insya Allah, akan ada sesuatu yang manis yang tengah Allah siapkan setelah suatu kepahitan… Allah lebih tahu mana yang terbaik… Jadii, serahkan saja segala urusan pada-Nya. Pun jika hendak menggantungkan harapan…jua cukuplah hanya pada-Nya saja…

Baiklah…
Tersenyumlah untuk januari kali ini. Jika Allah masih meminjamkan kehidupan, maka…yang semestinya dilakukan adalah…melakukan yang terbaik. Mengingat dan senantiasa mengingat bahwa sewaktu-waktu, bahkan beberapa detik lagi, bisa saja ending dari kehidupan ini berakhir. Jika masih menginginkan penutup dari hari-hari itu adalah dengan amalan terbaik, maka…lakukanlah. DARI SEKARANG!

Tentang Sosok Renta itu…

Pada perjumpaan pertama saja, aku telah dibuat kagum oleh wanita tua renta yang berjualan di pinggiran danau itu. Ia bukan saja telah mempraktekkan teori marketing tentang servis yang memuaskan pelanggan tanpa perlu dulu membuka buku-buku manajemen pemasaran yang superduper tebal itu, tapi sungguh lebih dari itu. Ia menunjukkan seperti apa kedermawanan itu. Bukan hal yang mengherankan jika kios bambunya lebih diminati pembeli ketimbang empat kios lain yang berjejer berdampingan dengannya. Karena ia memiliki nilai lebih.

Ah…
Terenyuh aku dengan senyum ramahnya. Aku tahu, hidupnya sarat dengan kesusahan. Tapi, sesusah apapun itu, ia tetap tersenyum ramah, memberi lebih! Dan ia tak pernah merasa kekurangan dengan lebihnya pemberiannya. Subhanallaah…
Untuk dua kilo bawang saja, ia menambahkan hampir dua ons. Untuk dua ‘jaring’ merkisa, ia menambahkan tiga hingga empat buah lagi, di saat yang lain, untuk menambah satu saja terasa berat. Mengagumkan! Itu belum termasuk senyum ramahnya, pelayanannya yang tulus, dan wajah sumringahnya yang membuatku selalu ingin berhenti di sana setiap kali melewati pinggiran danau itu.

Aah, nenek…
Trima kasih yah…
Trima kasih atas plajaran berhargamu…

Negeri Batu

Lima puluh Kota. Hmm…pastilah walikotanya adalah walikota hebat. Wong satu kota ajah ada seribu satu macam permasalahan, apalagi kotanya ada lima puluh. Hihi. Tapi tidak demikian adanya. Karena ini adalah nama kabupaten. Seharusnya, Bupati. Hihi.

Menarik sekali negeri ini. Sejak awal menginjakkan kaki, aku sudah jatuh cinta pada kabupaten yang beribukota di Sarilamak ini. Sama porsinya dengan kecintaanku pada kota Bukittinggi. Dua negeri ini, punya pesona yang berbeda tapi sama-sama menarik bagiku.

Dua hari berkeliling terasa menyenangkan. Mengitari negeri yang dipenuhi bukit-bukit bebatuan. Negeri batu. Sungguh menakjubkan. Subhanallaah…
Dalam bukit bebatuan itu, barang kali menyimpan material logam berharga. Barang kali. Karena aku bukan ahli geologi (maupun seorang mahasiswa geologi) tentulah aku tidak punya kapasitas untuk meng-klaim demikian. Hihi. Bagiku, bebukitan itu sudah sungguh menarik, pun tanpa material logam berharga di dalamnya sekalipun—jika memang ada. Entah karena jarang-jarang aku melihat bebukitan demikian di negeri-negeri lain. Bebatuan yang begitu tinggi memagari negeri? Subhanallaah…Maha Agung Allah…

Negeri ini menyimpan “pesona” bisnis yang menarik. Hihi. Jika mau, apa saja bisa diuangkan yah? Apapun itu. Mulai dari produksi telurnya yang luar biasa banyaknya, hingga ke produksi makanan-makanan ringan. Negeri ini juga sepertinya negeri telur. Walau aku tak sempat menyambangi pusatnya di kawasan (hmm…apa yah? Suliki atau apah? Lupa. Hihi), tapi mobil pick up dengan setumpuk besar telur yang lalu lalang sudah cukup menjelaskan. Juga Berbagai jenis kerupuk-kerupukkan. Galamai. Rendang telur. Hmm…hmm…
Ada Lahan pertanian ubi yang membentang. Di mana-mana, sepertinya ada home Industry. Juga makanan “berat” sejenis martabak Kubang dan Sate Dangung-dangung. (aku baru tau kalo Kubang itu ternyata nama salah satu daerah di lima puluh kota. Hihi. Parraaah. Baru tau aye!). Hmm…menarik! Menginspirasi! Pengembangan daerah yang amat sangat potensial. Hmm…kalo jadi Ibu Kota Propinsi Sumbar dipindah ke sini, maka aku menjadi salah satu orang yang mengacungkan tangan, “setujuuuu…”. Hehe.

Banyak “oleh2” yang kemudian bisa kubawa pulang. Banyak inspirasi. Walau aku (dengan kefluktuatifanku) mungkin belum akan menjalankan semuanya, tapi…ini menjadi wacana tersendiri bagiku…