Melanjutkan curhat-curhat terdahulu, dengan topic yang berbeda. Kali ini tentang mimpi dan obsesi. Aku senang sekali bertanya pada murid-muridku tentang mimpi yang mereka bangun. Tentang cita-cita mereka. Tentang seperti apa lukisan masa depan yang mereka ukir. Kutanya satu persatu mereka, hendak menjadi apa, dan ingin kuliah di mana. Dari mereka, aku kemudian belajar dan tahu, tentang penitipan sebuah obsesi besar yang menjadi bom waktu bagi sang anak. Masya Allah…
“Melati, Badu, nanti mau jadi apa?” (anggap saja namanya begitu yah. Hehe. Seperti yang kubilang di tulisan yang sudah-sudah. Aku tidak ingin menyebutkan nama siapapun, instansi manapun, di tempat apa pun. Karena aku hanya ingin berbagi wacana. Bukan menghujat atau menjatuhkan seseorang atau pun suatu instansi)
“Ng…mama maunya aku kuliah di bidang kesehatan, Kak. Padahal, aku sangat tidak mau.”
“iya kak, mamaku juga sama. Maunya di bidang kesehatan. Bidan kek, perawat kek. Soalnya, kata mama, lapangan pekerjaannya banyak di sana. Tapiii, aku tidak suka. Pekerjaannya sibuk sekali. Kakakku yang tertua seorang perawat, yang hampir-hampir tidak punya waktu buat anak mereka. Aku tidak mau seperti itu.”
“Menjadilah apa yang kalian mau, insya Allah kalian akan optimal dan menjadi yang terbaik di bidang itu.” Kataku.
“Tapi kak, nanti mama jadi marah. Kata mama, orang tua itu selalu benar! Jadi harus ikut kata-kata orang tua. Kalau tidak ikut, nanti kualat.”
Masya Allah…
Tercenung sangat lama aku mendengar kisah-kisah mereka. Aku yakin, tidak sedikit orang tua yang melakukan hal yang demikian pada anak-anak mereka. Aku tahu, pastilah orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya, tapi….hanya salah memilih cara.
Sebuah penitipan obsesi. Sebuah harapan social yang membebani.
Bahkan, sebuah pengharapan yang dibahasakan saja, akan begitu menekan jiwa sang anak tanpa si anak dan orang tua sadari. Apalagi disertai ancaman, "nanti kualat", dan "pandangan orang tua selalu benar"!
Sungguh, ketika orang tua mengatakan, “Ayah dan Ibu seorang sarjana, sudah magister pula. Nanti, kamu harus lebih dari itu,” secara tidak disadari pada amigdala sang anak anak tergambar sebuah beban, bahwa ia HARUS memenuhi harapan itu. Padahal yang demikian itu bukan kalimat bukan paksaan. Hanya pengharapan. Tapi membebani. Sebuah penitipan obsesi juga. Semisal, ketika sang orang tua yang ngebet banget masuk kedokteran tapi tidak kesampaian. Lalu, obsesi itu dititipkannya pada anak, sehingga sang anak harus masuk kedokteran. Sebuah penitipan obsesi yang membebani. Bagus memang, jika sang anak memang sangat berminat di bidang kedokteran. Tapi, bagaimana jika tidak? Yang lebih parah, penitipan pengharapan dan obsesi yang disertai dengan ancaman, “Kalau tidak ikut apa kata orang tua, nanti kualat!”. Rasa itu akan semakin menancap pada alam bawah sadarnya, yang jika memang hatinya tidak menginginkan, akan menjadi bom waktu yang seuatu saat bisa saja meledak.
Adalah wajar adanya orang tua punya harapan dan obsesi tertentu untuk anaknya. Tapii, orang tua tidak sama dengan anak. Apa yang disukai, diinginkan, minat, bakat orang tua tidak selalu sama dengan anak. Jaman orang tua, juga tidak sama dengan jaman anak. Lantas, dapatkah orang tua memaksa apa yang dimauinya kepada anak??
Masya Allah…
Kemudian ini semua memberikanku banyak pelajaran, bahwa menjadi orang tua haruslah cerdas. Menjadi orang tua, tidak selalu harus benar. Ayah sebagai figure otoritas dan ibu sebagai afeks (hee…istilahnya nge-psikologi banget yah? Hihi), mestilah tergeletak di posisi yang benar. Untuk itu, TIDAK CUKUP hanya dengan menerapkan pola didik orang tua kita terdahulu saja. Ternyata, menjadi orang tua, harus lebih cerdas yah?
Aku adalah orang dengan banyak obsesi dan banyak harapan. Tapi, ini menjadi pelajaran berharga sekali bagiku untuk tidak menitipkan obsesiku pada anakku, kelak (jika Allah mengijinkan dan mengamanahkannya padaku.hehe). Tentang pengharapan-pengharapan itu, bukan dibahasakan dengan eksplisit yang membuat mereka terbebani. Melainkan dengan mengarahkan mereka. Yah, mengarahkan. Aku ingin, mereka menjadi apa yang mereka inginkan. Aku ingin, jiwa-jiwa mereka adalah jiwa-jiwa bening yang memiliki mimpi-mimpi mereka sendiri. Bukan mimpiku untuk mereka.
Terlepas dari itu semua, aku menyadari, bahwa itu semua tak mudah. Sungguh TIDAK MUDAH. Aku, jika berada di posisi itu, barang kali belumlah sebaik teori-teori belaka. Sebab, setiap jiwa itu begitu unik. Sejarah juga bercerita tentang tokoh-tokoh hebat sekaliber Nabi Nuh dan Nabi Luth. Anak-anak beliau kemudian menjadi bagian kaum yang Allah musnahkan karena kemungkarannya kepada Allah. Siapapun takkan mengatakan bahwa kedua insan mulia itu tidak mendidik dengan baik. Bahkan upaya itu jauh di atas baik. Tapi, sejarah mengabarkan bahwa Allah punya rencana sendiri terhadap hamba-Nya. Maka, sesungguhnya, yang perlu kita lakukan tentang upaya kita adalah upaya paling optimal. Upaya paling optimal yang kita punya. Setelahnya, adalah urusan Allah.
Masya Allah…
Sungguh banyak pembelajarannya… Tentang kehidupan yang sejenak ini…
jempol... produktif sekali fathel...
ReplyDeleteI see ... Aku takkan mungkin memaksa terbang dengan siripnya, tidak pula berenang dengan sayapnya. Biarkan ia menjadi apa adanya. Pribadi yg unik menjadikannya mampu menyongsong rizky-Nya dgn cara yg unik pula.
ReplyDeleteAda bau SEO pd beberapa perubahan yg mba fathel lakukan, ... jdi nebak2 nih? ...
ReplyDelete@Shinta : ^^
ReplyDelete@Mba Nurul : hee..bener Mba, kaga bs dipaksakan. :). SEO?? hihihi...sy nda ngerti istilahnya nih Mba...:(