Banyak orang menyangka, aku adalah laki-laki, karena namaku seperti nama laki-laki.. Hihi. Setiap kali ada orang baru via dunia maya semisal via e-mail, aku selalu disapa dengan sebutan “Mas”. Ya, tak apa-apalah. Tentu aku tak perlu mempersalahkan apalagi protes karena mereka memang tidak tahu. Ada pula yang bilang namaku unik (seunik orangnya. Hahaaa…. Bukan narsis dink. Karena setiap diri itu unik kan yah?). Ada juga yang bilang, menyebut namaku membuat lidah patah-patah (hmm…apa perlu kubelikan lem untuk menyambung lidah yang patah? Hihi…)
Yaah, what ever lah. Apapun komentarmu, yang penting aku tak pernah merasa sedih dengan nama itu. Aku pun tak pernah keberatan dengan nama itu, karena dengannya ada sebuncah do’a dan harapan yang sedang dititipkan oleh kedua orang tuaku. Nama itu, kemudian menjadi sebentuk motivasi tersendiri bagiku untuk terus mengarungi jenak demi jenak kehidupan.
Ayah dan ibuku terlahir dari rahim kegetiran. Kesusahan hidup. Tapi, kemudian motivasi besar dan visi dan misi besarlah yang membuat beliau beranjak dari kegetiran itu. Meski hari ini tentulah belum bisa digolongkan kepada orang-orang papan atas karena hidup kami pun masih sederhana, tapi setidaknya sudah jauh lebih baik dari 23 tahun silam. Alhamdulillaah, maka nikmat Tuhan mana lagikah yang engkau dustakan, wahai diri?
Aku lahir di hari Jum’at waktu dhuha, 15 hari setelah ayah ujian komprehensif. Jadi, sebab dua pekan pasca sidang sarjana itulah maka namaku punya sejarah. Ayah memberiku nama “Fathelvi”, yang kemudian di suku kata kedua dibubuhkan nama beliau sendiri. Akar katanya adalah”Fathul” dan “Alvi” (seperti yang tertera dalam judul blog-ku ini. Hehe). Artinya, “Seribu Keberhasilan”, atau “Seribu Kemenangan”. Karena keberhasilan itu bagi ayah adalah sebuah anugrah luar biasa setelah hampir sepuluh tahun duduk di bangku kuliah. Sebenarnya bisa lebih cepat dari itu, tapi karena ayah harus ikut TKS (tenaga kerja sukarela) dulu 2 tahun, jadi kuliah sempat terundur. Ayah mencapai gelar sarjana itu setelah melewati kegetiran panjang. Biaya hidup yang sulit dan perjuangan-perjuangan lainnya.
Aku lahir lebih cepat dari yang seharusnya. Hanya 8 bulan saja dengan berat 2,25 kg. Kecil dan ringan yah? Hihi. Alhamdulillaah, tak perlu masuk incubator karena semua organnya sudah berfungsi dengan baik. Hee…
Di umur 10 bulan, aku tak lagi dapat ASI. Hehe. Kala itu kesulitan hidup masih setia menemani kami. Aku kecil, bahkan pernah makan hanya dengan ber-lauk-an garam saja, sebab begitu sulit dan pelik nya kehidupan. Dan wajar saja, jika berat badanku kala itu berada di bawah garis merah. (Kasihan sekali kau, nak! Hihi). Di umur segitu (satu tahun) aku sudah bisa lari-lari dan bicara. Aku lari-lari ke kamar ibu dan berteriak, “Abuuu….”. hehe.
Sekarang, hampir seperempat abad berlalu. Aku, dengan sebuah harapan agar seribu keberhasilan itu dapat kugenggam, tetap saja masih tertatih-tatih mengarungi kehidupan. Belum. Belumlah banyak capaian itu. Belum lagi seribu. Bahkan seratus pun belum. Tapi, aku akan terus menuju kepada titik itu, insya Allah. Pada titik kemenangan. Ya, kemenangan! Yang kurindu, adalah kemenangan hakiki… Kemenangan yang lebih dari pada kemenangan-kemenangan pada kesejenakan dunia. Ya Rabb, ijinkan aku untuk memenangkan itu ya Allah…
Dalam episode hampir seperempat abad, hampir dua setengah dasawarsa, sudah begitu banyak jatuh dan bangunnya. Aku pernah terhempas. Aku pernah terpuruk. Aku pernah gagal. Bahkan sering gagal. Tapi, aku selalu percaya, bahwa Allah senantiasa menyediakan takdir terindah bagi hamba-Nya. Ya, aku percaya itu. Hanya perlu menyediakan dua perisai. Kesyukuran dan kesabaran, terhadap apapun scenario-Nya. Ketika dua perisai itu sudah kupegang, maka, itulah sebuah kemenangan. Itulah seribu kemenangan. Sulit memang. Bahkan sering terlepas perisai itu dari kedua tanganku. Tapi, sebuah upaya untuk senantiasa memegagnya erat, juga adalah sebuah kemenangan. Memenangkan diri sendiri, memenangkan nafsullawwamah, memenangkan keterpurukkan. Ya, meski masih tertatih-tatih. Meski aku masihlah sangat jauh dari itu, tapi… adalah sebuah pilihan terbaik ketika aku terus mencoba untuk menggapainya. Bukankah begitu?!
Jika Albert Enstein pernah berkata, “Jangan pernah bercita-cita jadi orang sukses, tapi berpikirlah untuk menjadi manusia yang bernilai.” Maka, bagiku…menjadi orang sukses itu adalah ketika ia menjadi orang yang bernilai. Maka, tetaplah kucita-citakan sebuah kesuksesan. Kesuksesan yang bernilai dan memberikan kemanfaatan.
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked