Ini tentang pertemuanku dengan seseorang itu. Gadis ceria yang selalu terlihat bahagia. Tapi, kali ini aku seperti dikejutkan oleh sebuah pernyataannya yang tak biasa. Mungkin karena hati kami sudah merasa dekat semenjak perjumpaan pertama.
“Aku…benar-benar trauma jatuh cinta.” Itu katanya. Aku mengernyitkan dahi. Hei, bagaimana bisa? Bukankah jatuh cinta adalah sesuatu yang menyenangkan? Bahkan sampah saja bisa jadi bunga jika jatuh cinta…(heuu…pengolahan limbah kali! Hihi).
“Benarkah?” aku meyakinkan.
Ia mengangguk. Pelan. Tapi pasti.
“Mengapa?”
“Karena sangat menyakitkan.”
“Hei, kenapa?” kupegang kedua bahunya. Mencoba mencerna pancaran sendu bola matanya.
“Tidak. Tidak mengapa. Aku tidak apa-apa. Hanya saja, semua jatuh itu sangat menyakitkan. Kadar sakitnya, tergantung sejauh apa jatuhnya, dan seperti apa landasan yang menantinya. Masih lebih baik jika ada tumpukan kasur empuk yang menanti. Bagaimana dengan jika jurang yang penuh duri?” kali ini ia berbicara cukup panjang. Aku kembali dengan kernyitan di dahi. “Dan hari ini, aku telah mengenyahkan semuanya dari satu pojok itu.” Ada getar dalam nada suaranya. Seperti tengah menahan sesuatu. Hmm…benar saja. Bisa dipastikan sebentar lagi bendungan di pelupuk matanya akan jebol.
“Mungkin butuh waktu untuk dapat kubangun kembali perlahan. Tapi, entah berapa lama…. Hanya saja aku tak ingin kembali jatuh, melainkan bangun! Ya, membangunnya!” Ia melanjutkan. Dipencetnya cuping hidung, memeras cairan bening yang seperti aliran rheology itu. Aku bungkam. Meneliti setiap pergantian mimik wajah di hadapanku.
Ia bangkit. Lalu mengulum sebingkai senyum. “Ah, sudahlah. Tak usah pula kau pikirkan. Aku tidak sedang bersedih atau pun meratapi keadaan.”
Seperti ombak. Begitu cepat menghempas bibir pantai, dan secepat itu pula kembali ke tengah lautan. Ia adalah perempuan mimikri. Yang warnanya begitu cepat berubah. Bahkan aku tidak sempat menafsir bagaimana definisi warna rasanya dari detik ke detik.
“Aku hanya ingin satu saja.” kali ini ia menatapku lurus. Mendung yang tadi bergelantung telah jauh memudar. Benar-benar mimikri. “Bahwa aku, akan sepenuhnya menyerahkan cintaku, pada Sang Maha Pemilik cinta. Dan, aku tidak ingin lagi terjatuh! Aku hanya ingin, berada pada garis cinta-Nya, pada kehendak-Nya, pada titik terdekat dengan-Nya. Hanya Dia. Cukuplah hanya Dia saja.”
Kutatap dia. Wajahnya. Keceriaannya. Hampir-hampir aku tak percaya, bahwa dia sanggup berkata seperti ini setelah yang kulihat darinya hanyalah senyum penuh kebahagiaan saja. Ia yang sangat jarang bersedih. Tapi, setidaknya, separuh kecil kisahnya yang dia bagi, meninggalkan pelajaran bagiku, tentang lukanya. Ah, banyak! Sungguh banyak orang ternyata yang pernah terluka. Seperti uni psikolog-ku pernah bilang, bahwa cinta adalah menyoal ikatan emosional. Ia melibatkan segenap emosi dan rasa. Dan memang tak sedikit yang tumbang di sini, ketika mereka bisa kuat pada hal-hal lainnya. Sebab, ikatan emosional itu begitu unik. Unik. Rasa yang mengerahkan segala upaya, dan memiliki power luar biasa…
Kami sama-sama menghembuskan nafas berat. Dalam hatiku, ada sebuah catatan, bahwa banyak dari kesakitan itu ternyata justru mengantarkan kita pada pemaknaan esensi hidup yang sesungguhnya. Ini jauh lebih berharga dari pada sekedar ingin-ingin kita yang sederhana itu…
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteafwan Ukhty... | alhamdulillaah jika bermanfaat yah :)
ReplyDelete