Di ruang tunggu Soetta, di suatu siang, sebuah senyumku menyapa seorang wanita paruh baya. Sepintas wanita itu terlihat begitu biasa-biasa saja. Namun, gesture-nya terlihat begitu elegant. Terlihat sangat berpendidikan. Singkat cerita, aku berkenalan dengan beliau. Mungkin karena aku memang punya hobbi BERKENALAN (a.k.a menambah sebanyak-banyaknya teman, hihi), akhirnya kusapalah si Ibu itu.
Tak dinyana, rupanya ia adalah seorang dokter spesialis penyakit dalam. Sepertinya cukup terkenal di kotanya. Sebab aku bukanlah penduduk kotanya itu, dan bukan pula penggemar dokter spesialis penyakit dalam , maka aku tak mengenalinya (hehe, memangnya ada yak para penggemar Sp PD? Hmm…mungkin ada, kalau seorang Sp PD di umur 25 tahun, masih muda dan cantik. Wkwkwk…. Kacaw niih saia!).
Pertanyaan pertama untuk “sidang” kali itu adalah “Sebenanya, apa sih bedanya obat generic dan patent? Saya sulit menjawab pertanyaan pasien soal generic dan pasien sebab banyak pasien yang menolak ketika diberikan obat generic. Lalu, mengapa harganya begitu significant perbedaannya?”
Pertanyaan “beda obat generic dan patent” adalah pertanyaan STANDAR untuk para farmasis yang dipertanyakan oleh berbagai lapis masyarakat. Hehe.
Pertanyaan kedua, “Bagaimana dengan OAD yang dijual bebas? Kenapa farmasis membiarkannya saja?”
Pertanyaan ketiga, “Sebenarnya farmasis tu seharusnya masuk ke apotek itu setiap harikah, atau hanya untuk menandatangani SP?”
Pertanyaan keempat, “bagaimana peran farmasis dalam menangani dan mengawasi obat-obatan yang dipalsukan, yang dijual bebas dan adanya obat-obat murah di kawasan pramuka itu?”
Pertanyaan kelima, “mengapa ada obat generic dan patent yang memang terbukti berbeda secara significant efeknya? Dan mengapa di sebagian yang lain tidak?”
Pertanyaan keenam, “mengapa obat-obatan di Indonesia relative lebih mahal dibandingkan obat-obat luar negeri?”
Pertanyaan selanjutnya, “bagaimana dengan reaksi hipersensitif terhadap pasien tertentu, adakah obatnya?”
Sisa pertanyaan lainnya tak lagi terekam memori. Hee…
Aku tidak tahu, apakah si ibu dokter tengah mengujiku ataukah benar-benar sedang bertanya. Tapi, ini lebih mirip pertanyaan ketika sidang di kala apoteker dulu dengan pengujinya seorang dokter spesialis penyakit dalam. Hee… Jika saja adzan dzuhur tak berkumandang, mungkin “sidang” itu masih terus dilanjutkan. Hihi. Semoga jawabanku tidak jelek-jelek amat, hee… Sebab, jawabanku itu mempertaruhkan nilai-nilai kefarmasian (syaelaaaah! Gayaaa cuy!)
Hanya saja, ini semua, diskusi itu, semakin menyadarkanku bahwa begitu banyaaaaaaak anomaly peran farmasis yang terjadi selama ini. Farmasis yang fungsi dan perannya belumlah optimal. Ya, terlalu banyaak PR-nya! Terlalu banyak permasalahan obat, dan itu menyentuh berbagai lini. Aahh…. Tapi, kemudian ada spirit yang kuperoleh dari diskusi dan “sidang” itu bahwa sudah saatnya untuk merubah. Tak ingin jadi generasi penerus itu. Perubahan itu tak pernah bisa dimulai kecuali stiap diri kita bersedia untuk menjadi agen perubahannya. Bukankah begitu?
___________________
sumber gambar di sini
Betul Mbak... Setuju setuju setuju... Semoga kita jadi penerus farmasis/apoteker yang bener... dan bertakwa. Aamiin... ^^
ReplyDeleteAmiiin....
ReplyDeletebest future pharmacist...