Perjanan ke Padang kali ini, aku menaiki travel yang bukan biasanya kunaiki. Menaiki travel berbeda tentu akan menghadirkan music yang berbeda. Sebetulnya, aku tak terlalu peduli dengan music yang dihidupkan sang supir travel, di mana pun aku menumpang, sebab aku tak terlalu menyukai music (di suatu tes, kecerdasan musikku hanya 10 nilainya dari skala 1-100. Rendah yah? Hehe). Tapi, music kali ini cukup menyita perhatianku… Kisah si Sutan Mudo…
Indak dapeeek, tanago bujang yo tuan oi…
Baranak ampeeek, den nanti juo…den nanti juo…
Hehe, maaf aku tak hapal lagunya… Dan juga, aku tak terlalu memahami pesan apa yang disampaikan dalam lagu ini. Dan tentu saja, kali bukan mencoba mengkritisi lagu. Hee… Hanya saja, jika maksud yang disampaikan oleh lagu itu adalah ia akan menunggu, bahkan sampai baranak ampek (sudah punya 4 anak), maka sungguh aku salut pada kesetiaan itu. Sungguh sangat salut dan angkat topi… Mengagumkan sekali. Pasutri saja, banyak yang tak sesetia itu. Lantas, dia akan menunggu sekalipun sudah beranak empat? Wah…wah…wah….ckckckck…
Tapi, meski begitu… ada satu hal yang kupahami kemudian. Bahwa kebahagiaan dan kesedihan ketika sosok yang pernah engkau miliki tendensi terhadapnya kemudian bukan sebaik-baik pilihan untukmu, adalah sebuah keputusan hati! Ya, keputusan hati! Sebab, ketika dihadapkan pada kondisi demikian, hanya ada dua pilihan sikap. Rasional, atau tidak rasional! Melepaskan, atau menggenggam sesuatu yang telah pergi. Memang sulit. Aku sangat memahami itu. Tapi, harus dilepaskan. Tidak boleh tidak. Atau kita akan merelakan akal sehat dan menghabiskan waktu untuk sesuatu yang sia-sia. Ya, sia-sia! Sampai beranak empat, menunggu sesuatu yang hampir-hampir saja aburd? Ck..ck…ck…
Karena kebahagiaan adalah keputusan hati, maka pilihan sikap itu ada pada diri engkau masing-masing. Dan bukankah hakikat mencintai yang sesungguhnya adalah membiarkan orang yang engkau cintai berbahagia bersama pilihannya. Sebab, kau belum tentu dapat memberikan kebahagiaan yang sama apalagi melebihi. Meski sekuat apapun kau tekadkan untuk itu… Maka dari itu, untuk sosok yang telah pergi dan tak sedikit pun menyediakan lagi ruang untukmu, segeralah lepaskan. Apakah engkau dapat menjamin, sampai beranak empat lantas dia akan berbalik menujumu? Siapakah yang dapat menjamin?
Di sini, aku tidak sedang menyalahkan sebuah tendensi. Siapapun dia, takkan pernah dapat menafikan fitrah. Melawan arus gradiensi fitrah? Sungguh sebuah pekerjaan sia-sia yang sampai kapan pun takkan pernah terkalahkan. Dan sungguh, Islam begitu mulia untuk meng-kanalkannya. Hanya saja, jika waktu menurut-Nya belumlah tiba, maka, ada koridor yang tak boleh kita langgar. Jika masih dalam koridor syar’i, maka tak ada kesempitan. Bukankah Islam yang mulia telah begitu agung memberikan kebebasan dalam batas yang sangat manusiawi?
Ahh, sekali lagi, tak ada yang perlu disalahkan dari tendensi itu. Akan tetapi, menggantungkan harapan sebesar-besarnya pada sesosok manusia, begitu banyak melahirkan kekecewaan di kemudian hari. Sebab, hati adalah sesuatu yang amat reversible. Jika hari ini A, belum tentu bulan depan, tahun depan, satu dasawarsa ke depan akan tetap A. Sangat mungkin menjadi B, C, D, X, Y ataupun Z. Jadi, adakah alasan untuk menunggu sesuatu yang tidak pasti? Ah, tidak…. Sungguh tidak!
Teman, aku punya cerita. Semoga ini memiliki kaitan dengan tema kita kali ini. Jika pun tidak, maka semoga kita bisa sama-sama belajar dari kisah ini. Di suatu negeri, hiduplah beberapa pemuda dan pemudi. Mereka yang terlibat dalam sebuah organisasi keislaman. Selepas masa SMA-nya, salah satu sosok pemuda itu mengatakan pada seorang perempuan, bahwa dia akan menikahi perempuan itu suatu saat nanti. Dan dia meminta perempuan itu menunggu. Sebab memang ada kecendrungan pada masing-masingnya, maka perempuan itu pun menunggu. Berbilang masa, tibalah waktu yang dinantikan, ketika mereka sama-sama telah menyandang gelar sarjana. Pemuda itu kembali mengutarakan bahwa dia akan segera menemui orang tua perempuan itu lebih kurang tiga minggu lagi. Akan tetapi, seminggu setelah ia menyatakan itu, ia menikahi perempuan lain yang baru dikenalnya dalam masa seminggu itu. Dan tanpa alasan yang masuk akal, dia memberi tahukan kepada perempuan itu bahwa dia tak bisa menikahinya. Dan, sungguh betapa hancurnya hati perempuan itu. Hancur sehancur-hancurnya. Bagaimana bisa? Ahh, sungguh… Harapan yang telah ia rajut sejak beberapa tahun yang lalu seperti bola salju yang menggelinding dari puncak gunung. Semakin menggelinding semakin membesar, dan kemudian meghancurkannya tepat ketika bola salju itu telah begitu besarnya. Hancur…dan sungguh hancur…
Akhirnya, kepada perempua yang hampir putus asa itu ditawarkan satu sosok yang sesungguhnya jauh lebih baik dari sang pemuda. Tapi, sakitnya mungkin masih sangat dalam sehingga sulit baginya untuk melanjutkan proses itu. ia menyerahkan sepenuhnya pada orang tuanya. Dan akhirnya, menikahlah mereka. Ia menikah tanpa cinta. Ia menikah dengan sisa kehancuran yang ada di hatinya. Akan tetapi, masya Allah, keadaan berbalik kemudian. Perempuan itu ternyata mendapatkan sosok yang jauhhh lebih baik dari sang pemuda itu dan ia mencintainya jauh melebihi cinta dan harapannya pada sosok yang dahulu pernah ia labuhkan hatinya…
Ada banyak pelajaran yang bisa kita petik. Ini untukku terutama. Semoga juga untukmu. Bahwa jangan pernah menjanji sesuatu yang tak pasti. Siapa yang dapat menjamin umur kita akan sampai pada masa itu. Jikapun umur kita sampai, lantas siapa yang dapat menjamin hati kita masih akan tetap sama? Siapa yang dapat menjamin tentang hari esok. Menjanji demikian, berarti sang penjanji telah menyediakan pisau yang siap menyayat dengan amat dalam suatu saat nanti. Ini juga tentang kata-kata bersayap yang menyediakan sebuah ruang harap bagi orang lain. Ahh, kata-kata bersayap. Memang bukan menjanji, tapi lukanya akan tetap sama…
Kisah di atas juga memberikan pelajaran bahwa semestinya bukan menikahi yang dicintai, tapi mencintai yang dinikahi. Pilihan kedua tentu saja lebih baik, meski dalam pelaksanaannya terasa berat. Hehe…
Hanya satu hal yang PASTI, bahwa jika memang sosok yang sempat kita miliki tendensi padanya, bukan sebaik-baik pilihan, maka berarti he/she isn’t our destiny. Jika kita paksakan untuk terus bersama, justru bukan menghadirkan kebahagiaan melainkan kesengsaraan. Yang jelas, rizki kita pasti takkan tertukar. Dan tulang rusuk takkan salah memilih. Bagaimana kita bisa mengatakan bahwa ketika kita tak mendapatkan apa yang kita inginkan itu adalah sesuatu keburukkan? Ah, tidak! Justru dengannya Allah simpan kebaikan yang banyak di belakangnya. Yang mungkin hari ini kita tak mengetahui tabir itu. Esok, insya Allah kita akan mengangguk-anggukkan kepala mengenai rahasia-Nya, mengapa bukan dia. Sungguh, takdir-Nya atas diri kita begitu indah asalkan ita senantiasa beruapa untuk menjadikan diri kita lebih baik dan lebih baik lagi…
Maka dari itu wahai diriku, saudara dan saudariku, janganlah pernah menggantungkan harapan pada satu sosok. Jika hanyalah sebuah tendensi, maka itu adalah fitrah yang tak perlu dipersalahkan. Tapi, jangan pernah menggantungkan harapan pada manusia. Jika hendak berharap, maka cukuplah pada-Nya saja. Ya, hanya pada-Nya saja. Tidak yang lainnya… Sebab, ketika harap kita hanyalah pada-Nya, maka kita takkan pernah kecewa pada setiap keputusan-Nya… Yakinlah, bahwa takdir-Nya sungguh indah. Setelah kabut menyelimut begitu tebal, pasti mentari kan benderang. Jadi, tak ada yang perlu kita khawatirkan bukan? Jadi, apakah kita masih merelakan waktu-waktu berharga kita tersia-siakan hingga dia beranak empat? Tentu itu adalah kebodohan paling nyata, bukan? Ini kesetiaan terlarang, barang kali…
Juga, jangan pernah memberikan ruang harap dengan kata-kata bersayap apalagi menjanji sesuatu yang tak pasti pada orang lain jika kita tak ingin menyediakan pisau penyayat untuk saudara-saudari kita. Sebab, kita tak pernah dapat menduga tentang apa yang akan terjadi di hari esok. Apakah umur kita masih sampai ke sana. Dan lagi, bukankah hati adalah makhluk paling reversible dan begitu mudah terbolak-balikkan? Lantas, apakah kita akan menjadi orang yang akan menyakiti dan tercatat di amigdalanya sebagai orang yang melukai? Tentu tidak bukan?
Tentang kesalahan yang telah lalu, jika kita pernah terjebak, maka sungguh kita tak dapat menghukumi masa lalu. Mari sama-sama kita jadikan saja ia sebagai pelajaran berharga, untuk hari depan kita yang lebih baik, insya Allah. Hanya keledai dungu yang jatuh di lubang yang sama. Dan bukankah kita tak ingin menjadi keledai dungu? Maka dari itu, kesalahan yang kita sesali itu, haruslah ditimpali dengan banyak kebaikan. Menambali segala rombengannya… Ya, sebab tak satu pun ingin menjadi lebih buruk, bukan?
Ah, maafkan aku, jika aku mengguruimu, sahabat. Ini tak lebih hanyalah nasihat yang kutujukan untuk diriku sendiri. Aku berharap, semoga juga bermanfaat bagimu semua… Maafkanlah salahku, sahabat… Maafkan jika aku belum sepenuhnya dapat menjalankannya. Akan tetapi, aku akan terus berupaya…
makasih smua plajaran hidup saya dapat dismua tulisan anda....
ReplyDelete