Masya Allah, Diri Kita Luar Biasa!

Hari ini aku belajar tentang saraf. Sebuah pelajaran yang sangat menarik. Bahkan membaca bukunya Bu Lauralee Sherwood menjadi sangat menarik bagiku melebihi membaca novel. Hee… (Seiring berjalannya waktu, keinginan untuk membaca novel ku ko jadi ‘agak’ menguap yah? Lebih interest dengan kisah-kisah nyata kehidupan, karena lebih realistis dan lebih memanusia). Belajar bukunya bu Sherwood bukan kewajiban sebenarnya (lebih wajib baca buku Fiqih kaleeee, hihi, soalnya kan banyak yang belom kita (kitaaa??? kamu ajah kaliii Thel!) tau tentang hukum-hukum dalam kehidupan. Yang dalam keseharian seharusnya kita kerjain, kita luput ataupun sebaliknya. Hee… itu bagiku. Mungkin karena memang kafaah ilmuku itu masihhhhh amatttt sangattt sedikitttt sekaliii dan memang seharusnya masih buanyaaakkkk belajarrrr). Tapi, untuk belajar saraf, tampak-tampaknya aku memang perlu merujuk bukunya Sherwood (bukan karena tak ada buku lain, tapi karena buku itu yang bisa kupinjam. Hihi… Ndak modal banget yah? Bisanya Cuma minjem. Hehe… Abisnya, bukuku kebanyakan ketinggalan di kampung sih…).

Belajar saraf bagiku bukan saja tengah memenuhi sebuah rasa ingin tahu tentang mekanisme penyakit berikut pengobatannya, melainkan mempelajari betapa luar biasanya penciptaan Allah. Sungguh, masya Allah..sungguh sempurna dan sungguh memang tak ada yang sia-sia. Bahkan sekecil dan semikroskopik apapun itu, PASTI memiliki peranan besar dalam kelangsungan hidup manusia. Masya Allah, sungguh luar biasa. Sungguh luar biasa! Secanggih apapun computer yang diciptakan manusia, sungguh takkan dapat mengalahkan rumitnya saraf dan otak manusia yang amat sangat canggih. Luar biasa… Dan itu pun baru sedikit ‘misteri’ terkuak. Masih banyaaaaaak hal-hal menakjubkan lainnya yang belumlah mampu manusia gali. Sungguh, ilmu yang dipunyai manusia itu amatlah sangat sedikit dan amat sangat terbatas. Lantas, apa yang patut manusia sombongkan di hadapan Rabb-nya? Tak ada yang dapat kita sombongkan…

Aku tentu tak akan membahas tentang anatomi fisiologi otak di sini, apalagi Parkinson, demensia alzeimer, cefalgia, migren, stroke, infeksi saraf pusat semisal meningitis yang buanyak menyebabkan kematian itu (karena pembahasan di segi kefarmasiannya kubahas di blog khusus farmasi. Yang berminat silakan kunjungi di sini). Tapi, di sini aku hanya ingin sedikit berbagi tentang sesuatu yang berkaitan dengan itu, mengapa begini dan begitunya ditinjau dari apa yang sedang aku pelajari (dan tentu saja apa yang kuplajari itu sangatlah terbatas dan sangat mungkin salah. Jadi, jika salah, maka mohon koreksinya yaahh…)

Mengapa hafalan itu perlu diulang?
Kata Rasulullah dalam haditsnya (maaf, aku lupa redaksionalnya), “Lenyapnya hafalan itu adalah lebih cepat dari lepasnya unta yang terlepas dari ikatannya.”
Ya, ini berkaitan dengan fisiologis memori. Karena memori itu ada yang jangka panjang dan jangka pendek. Jika tidak dilakukan pengulangan hafalan, maka akan segera di’deportasi’ oleh otak. Suatu hafalan akan menjadi ‘permanen’ jika selalu dilakukan ‘pendauran ulang’ alias pengulangan, sehingga pentinglah bagi diri kita untuk melakukan pengulangan hafalan. (skak matt! kenak deh akuuuu…. >.<).
Dan subhanallah, ketika menghafal (apapun itu) dan dilakukan pengulangan, akan melibatkan perubahan structural neuron-neuron yang ada di otak (terjadi interkoneksi baru). Jika hafalan Cuma sekali aajah, ianya hanyalah melibatkan perubahan jumlah neurotransmitter (suatu zat ‘komunikasi’ di otak) akibat stimulasi jalur-jalur saraf yang bersangkutan. Ketika nda teraktivasi lagi, hafalannya ikut lenyap deh. Heuu, bahasanya membingungkan yaah? Hmm…sederhananya gini kalo Cuma ngafalin sekali doang, dianya mah Cuma membuat jalur komunikasi ajah di otak, tapiii kalo sudah berulang, otak akan membangun ‘jaringan baru antar sesama saraf’ sehingga ianya melekat. Coba ajah deh, kalo surat Al Fatihah itu berarti sudah terdapat sebuah koneksi saraf (jaringan antar saraf yang bertugas menghafal Al Fatihah). Apa buktinya? Sambil lari-lari pun kita baca Al Fatihah mah bisaaa yah, hafal insya Allah. Tapii, kalo kita baru ngafalin surat An-Nisaa ayat 1-5 tadi malam, trus belom dimuraja’ah (belom diulang), walhasil ndak bisaaa dong sambil lari-lari kita bacain. Pasti butuh upaya ekstra keras untuk me-recall kembali memorinya. Nah, ini karena pas ngafalin An-Nisa nya, hanya neurotransmitter ajah yang terbentuk lebih banyak antara koneksi sarafnya, belom terbentuk sebuah jaringan atau interkoneksi saraf yang baru.
Masya Allah…
Ini semua jadi sebuah pelajaran yang amat sangat berharga bagiku, sekaligus “tamparan” atas buanyaakkk kelalaian selama ini. Astaghfirullaah…

Mengapa Riyadhoh itu sesuatu yang dianjurkan?
Uhmm…selain karena Allah itu lebih seneng sama muslim yang kuat, ada sebuah rahasia sebenarnya kenapa seorang muslim itu dianjurkan untuk riyadhoh (olah raga) yang juga jadi salah satu list yang dimutaba’ah setiap pekannya (yang aku pun sering setripp, alias strip, alias kosong, hadeuuhh….kenak lagiii nih saiaaaa….>.<), karena olahraga itu menghasilkan endorphin. Apa itu endorphin? Tak usah pake bahasa ilmiah deh. Endorphin itu adalah suatu zat kebahagiaan. Ciaahhh… kalo Morphin pada tau kan? Kalo morpin itu bisa menimbulkan ketenangan, kebahagiaan, dan bahkan dia bisa menghilangkan nyeri, begitu pula halnya endorphin. Tapi, bedanya, endorphin dihasilkan oleh tubuh kita sendiri, dan tidak menimbulkan efek ketergantungan ataupun fly. Waahh, masya Allah luar biasa yah?

Nyeri. Sesuatu yang perlu dihindarikah? Ataukah sesuatu yang baik?
Mengapa kita merasakan nyeri ketika terluka? Dan apakah nyeri itu sesuatu yang salah?
Ah, sesakit apapun nyeri itu, sesungguhnya ada yang bermanfaat dari sebuah nyeri. Mengapa? Karena hakikat nyeri yang sesungguhnya adalah SEBUAH PROTEKSI/PERLINDUNGAN terhadap KERUSAKAN yang terjadi pada diri kita. Jika tak ada nyeri, pasti kita tak pernah aware dengan kerusakan yang ada pada tubuh kita. Contoh, jika seseorang ketika memegang benda yang sangat panas, semisal api tapi tetap anteng saja dan tidak merasakan nyeri, pasti dia akan tenang-tenang saja ketika terbakar atau terinjak benda tajam. Dengan demikian, pastilah terjadi kerusakan pada tubuh kita. Tapi, masya Allah, Dia ciptakan nyeri, untuk kemudian menimbulkan gerak reflex menghindar ketika tertusuk benda tajam ataupun terkena benda panas dan lain sebagainya. Nyeri perlu obat adalah ketika nyeri yang bersifat patologis (heuu, membingungkan sekali yah istilahnya?). Maksudnya, nyeri menjadi sesuatu yang tidak lagi baik ketika ia TIDAK LAGI BERFUNGSI UNTUK MELINDUNGI DIRI KITA DARI BAHAYA.

Cukup sekian saja…
Sebenarnya masih bunyaaaaaaakkkk lagi…
Tapi, karena ilmu yang masih sangat terbatas, dan juga karena ujian yang begitu menumpuk, akhirnya, aku tidak begitu punya kesempatan untuk menuliskan lebih banyak lagi…Hehe…
Do’akan ujianku sukses yaaahh… Aku hanya sedang belajar untuk merubah persepsi tentang ujian yang bukan untuk sekedar lulus dan ingin mendapatan nilai A. Aku sedang belajar untuk mempersepsi bahwa ujian itu adalah bahwa aku tengah mencoba mempelajari untuk memahami ilmu yang tengah aku dalami. Jadi, aku hanya sedang mencoba untuk tidak belajar letterlet, tapi mencoba untuk menyelaminya. Jadi, ujian bukan untuk nilai. Siippp??!

Maannajah!!
Maannajah wahai diriku!

Mapres dan Mahkota

Beberapa bulan yang lalu (tepatnya bulan September 2011, 2 hari setelah wisudanya UI), aku bertemu secara tak sengaja dengan Mapres UI 2011 yang kebetulan juga wisuda 2 hari sebelumnya itu di Bandara Soetta. Berhubung aku mengenalnya karena dia adalah adik kelasku di SMP dan SMA, maka aku menyapanya. Tapi, rupanya dia tak lagi kenal dengan aku. Hee… kasiaaaannn… Mungkin karena aku memang tidaklah terkenal di sekolahku itu, dan aku juga bukan kakak kelasnya ketika di tingkat universitas. Dan sudah 8 tahun tak berjumpa. Sudah barang tentu dia lupa. Tapi, yang paling menarik untuk kuceritakan bukanlah karena dia tak lagi kenal aku, melainkan apa yang banyak orang bicarakan tentang dia (lebih tepatnya mengaguminya).

“Wuihh, beruntungnya orang Tua si Rully itu yah. Dia telah membuat bangga orang tuanya. Pas wisuda kemarin itu, dia mendapat tempat duduk istimewa loh. Pun begitu orang tuanya.” Begitulah komentar beberapa orang (tentu saja redaksional kalimatnya beda yah? Hee…). Tentang tempat duduk istimewa itu, aku pun tahu, karena aku sempat menyaksikannya. Hmm… luar biasa… Karena dari profil yang kudengar, Rully bukan hanya mantap secara intelektual, tapi dia juga bagus interaksi dengan Al Qur’an nya. Pernah exchange ke Utah University di Amrik, dan sekarang tengah melanjutkan studi di Singapore. 

Kata-kata yang ingin kugarisbawahi itu adalah betapa senang dan bahagianya orang tuanya. Masya Allah… 
Ah, sungguh, walaupun aku bukan mapres, aku bukan lulusan terbaik, dan bukan pula seseorang dengan serentetan prestasi, serta tak pernah menjadi exchange student, tapi, aku pun ingin membuat kedua orang tuaku senang dan bahagia.

Tiba-tiba, aku teringat akan pernyataan seorang sahabatku (satu dari sekian banyak sahabat terbaik dalam hidupku), kak Jend, “Aku ingin membahagiakan orang tuaku, dengan mempersembahkan mahkota yang lebih terang dari pada cahaya matahari, di akhirat kelak.”
Allahu akbar!
Kata-kata itu membuat aku tergetar…

Ah, bukan….bukan hanya dengan mapres dan serentatan catatan prestasi untuk bisa membuat kedua orang tuamu bahagia, Fathel…
Tidakkah kau ingin pula mempersembahkan mahkota itu untuk kedua orang tuamu? Tidakkah?

Lagi-lagi...

Mungkin, sebab aku sudah sangat berdamai dengan banyak kekalahan,
maka hari ini, kalah menjadi sesuatu yang biasa...


Aku memang kalah, lagi-lagi...
tapi suatu saat,
HARUS MENANG!


Karena aku, Seribu Kemenangan!

Hampir Seperempat Abad


Ada segurat senyum tak terdefinisi kali ini. Menatapi lembaran-lembaran rencana yang dahulu pernah kutuliskan. Seperempat abad. Mungkin terdengar ‘mengerikan’. Tapi, siapakah yang dapat menghentikan waktu? Hanya waktulah satu-satunya laju yang takkan pernah berhenti, sampai ujung ketetapan-Nya, ketika dimensi waktu itu tak lagi sama. Sama seperti saat ini.

Seperempat Abad, lalu catatan rencana. Lagi-lagi segurat senyum. Atas catatan-catatan rencana, yang belumlah menjadi wujud nyata. Perlahan. Aku mulai berdamai dengan segenap realita. Tak lagi mengawang, mengambang, dan mengangin. Sebab, beginilah catatannya. Ya, beginilah catatannya… Karena catatan itu, sungguh TAK PERNAH SALAH!

Ah, hampir seperempat abad.
Bukan…. Bukan umur yang panjang yang lebih kuingin, tapi aku ingin umur yang berkah… Umur yang memberikan kemanfaatan… Dan umur yang bernilai… Mungkin tak perlu panjang. Tapi, aku sangat berharap—sekali lagi, ia nya adalah segenap keberkahan, kemanfaatan dan bernilai…

Telah banyak waktu terbuang, telah banyak yang tertinggal, telah banyak yang luput… Semoga segalanya adalah pelajaran… Pelajaran tentang waktu yang amat singkat ini adalah homologus waktu yang amat menentukan. Pelajaran tentang kerugian besar ketika menyia-nyiakan kesempatan singkat ini… Pelajaran tentang hari esok yang lebih panjang lagi, ketika masa singkat ini dipertanggungjawabkan. Ketika segala yang telah kulakukan dipersaksikan. Lalu, akan tenggelam dalam keringat malu yang seberapa dalam kah? Astaghfirullaah…

Wahai diriku, ingat-ingatlah hari ketika ada sekelompok orang berkata, “Lebih baik dahulu aku menjadi tanah” (Qs. 78:40), ketika ia menyesali perbuatannya. Ingat-ingatlah wahai diriku…
Ingat-ingatlah waktu hampir seperempat abad yang telah kau lewati… Ingat-ingatlah, tiadalah dari setiap jenaknya, kecuali akan engkau pertanggungjawabkan…

Hampir seperempat abad…
Tak pernah ada yang bisa menjamin, seperempat abad itu akan menjadi milikmu, ataukan kereta kencana datang menjemputmu, lebih cepat dari itu, wahai diriku… Tak ada yang tahu. Dan bukankah kedatangan kereta kencana, yang akan membawamu ke dimensi waktu yang berbeda itu adalah sesuatu yang PASTI dan AMAT DEKAT? Maka, tak perlulah kau khawatirkan sesuatu yang tak pasti adanya sementara ada sesuatu yang PASTI dan AMAT DEKAT yang lebih perlu untuk engkau khawatirkan. Akan seperti apakah engkau mengakhirinya? Dengan akhir yang manis kah? Ataukah akhir yang pahit yang akan menjadi penyesalan yang takkan pernah lekang?—nau’uzdubillaah…

Langkah-Langkah

Menapaki langkah-langkah kecil…
Menelusuri setapak demi setapak…
Bukan aku sedang menghitung jumlah kerikil,
Tapi hanya tengah menghitung…telah seberapa langkah itu…

Tersentak aku dalam sadar,
Langkah-langkah itu belumlah seberapa…
Dan sungguh jauh kutertinggal…
Sangat jauh…
Amat sangat jauh…

Ada satu sisi di hati, datang melemahkan…
“Ah, kau takkan mungkin bisa mengejar segala ketertinggalan itu… Terlalu jauh… Terlalu jauh ketimpangan itu…”
Tapi, ada lagi satu sisi hati yang berontak,
“Kau semestinya bisa! Setiap orang punya peluang yang sama! Sama banyaknya! Tinggal kau merebut peluang itu saja!”

Ah, memang tak perlu sama, wahai diriku…
Tapi, kau tetap saja punya peluang untuk menjadi lebih baik dari  hari-hari kau yang pernah ada…
Cukuplah itu jadi pemantik, untuk menyulutkan semangatmu…
Bukan menyurutkan, tapi menyulutkan…

Tidakkah kau yakin, bahwa kau BISA mengejar?
Bukan saja melangkah cepat, bahkan kau bisa BERLARI, wahai diriku!
Berlarilah, kejarlah…
Katakanlah, KITA BERLOMBA (DALAM KEBAIKAN)!

Sirosis Ruhiyah

Masya Allah, betapa luar biasanya ciptaan-Nya. Mempelajari fisiologi menjadi sesuatu hal yang amat sangat menarik bagiku… Karena, belajar fisiologi, adalah belajar tentang penciptaan yang Maha Sempurna… Maka, belajar fisiologi juga adalah belajar tentang sebuah kesyukuran, bahwa diri kita diciptakan-Nya dengan sebuah penciptaan yang begitu indah, sehingga memang tak lagi pantas bagi diri kita untuk tidak mensyukurinya. Maka, ketika Dia bertanya, “Maka nikmat Tuhan mana lagikah yang engkau dustakan?”, sungguh setiap kita tak pernah punya jawabannya, sebab begitu indah dan sempurnanya. Sempurna. Dan sungguhlah sempurna! Sungguh, Maha Agung dan Maha besar Allah…

Kali ini aku ingin berbagi tentang hati. Ya, tentang hati. Di antara semua organ, hati adalah organ yang paling mengalami regenerasi sel. Berbeda dengan jantung dan sel saraf. Sekali mereka mengalami kerusakan, maka jangan harap akan ada regenerasi sel menjadi seperti semula. Makanya, perlu sekali dijaga makanan kita, agar tak sampai merusak organ vital tersebut semisal gagal memberikan asupan oksigen dan nutrient-nutrien penting sehingga mengalami yang namanya iskemia.
Sel hati berbeda. Ia ibaratnya pabrik, di mana segalanya diproses di sini. Mulai dari ‘yang baik-baik’ semisal nutrisi tertentu, dan vitamin tertentu, hingga ‘yang jahat-jahat’ semisal toksin atau racun, semuanya diproses (baca : dimetabolisme) di hati. Hatilah yang menjamin tubuh itu dalam kondisi baik-baik saja dan dengan segera pula mengenyahkan segala yang akan mengancam keberlangsungan hidup…

Mengapa arak itu dilarang dan sifatnya haram? Karena kemanfaatannya jauh lebih sedikit dari mudhoratnya. Arak (alcohol) adalah penyebab utama kegagalan hati, yang kemudian berkembang menjadi perlemakan hati. Untuk si hati, alcohol adalah sebuah musuh nyata karena alcohol mendestruksi alias menghancurkan si hati sehingga terjadi perlemakan yang di kemudian hari menyebabkan sirosis. Sirosis adalah sebuah penyakit mematikan. Jika tidak dengan transplantasi hati, maka sirosis sulit untuk disembuhkan. Hanya bisa diperlambat progresivitas penyakitnya saja.
Hati sehat vs hati yang trekena sirosis

Hal yang paling menarik untuk kubahas di sini adalah tentang hati yang dengan segera melakukan perbaikan. Ketika tubuh mengalami sebuah ketidakseimbangan, katakanlah sebuah masalah, tubuh kita yang sungguh amat sangat cerdas ini akan segera melakukan kompensasi dan perbaikan-perbaikan agar segalanya kembali berjalan dengan baik. Mekanismenya sungguh luar biasa cerdas. Sungguh, Maha Cerdas lah penciptanya. Akan tetapi, paparan yang progresif, yang terus menerus, suatu saat akan menjebolkan pertahanan hati. Meski demikian, hati masih tetap berupaya untuk melakukan kompensasi-kompensasi sebisanya. Pada suatu saat ia kehilangan fungsi, ketika paparan dan kerusakan itu jauh lebih banyak dari pada sel hati yang melakukan perbaikan… sehingga yang terjadi justru jaringan parut yang membuat hati itu mengeras dan bernodul-nodul.

Dari kisah ini, ada sebuah pelajaran yang ingin kupetik. Tentang hati. Bukan hati di atas. Tapi tentang ruhiyah dan qalb. Seperti halnya hati organ, sungguh ketika terjadi sebuah paparan-paparan dosa padanya, akan ada upaya perbaikan dan ‘warning’ di dalam hati kita. Sungguh, dosa itu adalah sesuatu yang membuat hati kita resah, tidak tenang dan gelisah, kendatipun semua orang membenarkannya. Inilah sebuah fase regenerative hati. Ketika fungsi dari qalb itu sendiri masih baik, maka ia akan segera melakukan regenerasi dengan me-warning sesegara mungkin. Jika kita mengabaikannya, dan membiarkan paparan-paparan dosa yang progresif itu maka, akan tiba masa di mana hati kehilangan fungsinya. Ia tak lagi bisa menyaring sebuah kebenaran dan kebathilan. Ia tak lagi bisa melaksanakan fungsinya, dan na’udzubillah, tibalah masanya ia mengeras, dsan sulit beregenerasi… Hati yang penuh dengan nodul-nodul yang tak lagi menjalankan fungsinya.

Ah, sungguh ampunan-Nya atas nodul-nodul dosa yang kita ukir di hati kita jauh lebih progresif dari pada beregenerasinya sel hati. Sungguh, ampunannya adalah seluas-luasnya bentangan. Lalu, apakah kita akan membiarkan hati kita semakin bernodul dan semakin ber-fibrosis sementara Allah senantiasa menyediakan luasnya keampunan-Nya?
Sungguh…

Ah, sungguh, sehalus-halusnya kehinaan di sisi-Nya, adalah dengan tercerabutnya kedekatan dengan-Nya. Dengan semakin menurunnya kualitas dan kuantitas ruhiyah. Astaghfirullaah… Ampunkan hamba-Mu ini ya Rabb…

Semoga ini menjadi sebuah pelajaran berharga, bagiku dan terutama ditujukan untuk diriku sendiri. Juga untukmu… Ingatkan aku, ketika aku lalai…


_________________
Sumber gambar : di sini

KetikaSudah Jenuh dengan Kejenuhan

Setelah seminggu berkutat dengan cardiovaskular, sirosis, osteoporosis, gastritis, dan koagulan (istilah-istilah apaaah iniihh? Hihi), akhirnya sabtu ini alhamdulillaah bisa sedikit lebih santai. Ups, sebenarnya tidak bisa santai jugak! Karena, minggu depan masih menunggu si TPN dan Pediatrik, hee… Tapiii, apapun yang terjadiii, aku memutuskan untuk santai-santai dan bersenang-senang di hari sabtu ini. Pokonya, lupakan sejenak yang namanya ujian!

Sebenarnya ada dua pilihan tempat refreshing… Pertama Tanah Abang. Kedua Kampus. Lho, ko kampus? Hee…lebih tepatnya, Girlsday present, seminar kemuslimahan “Wanita dan Fashion, bagaimana Fiqih berbicara?”, tapiii entah kenapa, akhirnya pilihan refreshing justru jatuh pada opsi yang ketiga yang semulanya sama sekali tak direncanakan. Yaitu, ‘mangalai-ngalai’ di kosan tanpa aktivitas yang jelas. Yah, sebenarnya sayang banget melewatkan seminar itu… Tapiii, hatiku sedang tidak bersahabat untuk diajak ke mana-mana walaupun ia sebenarnya sudah sangat jenuh dengan yang namanya malas-malasan.. Heuu…

Pesawat Lewat

Dahulu, ketika aku masih SD di pelosok kampung kami nan asri itu, ada sebuah fenomena yang sangat menarik untuk kuceritakan kali ini (sebenarnya sedang full stressor karena besok insya Allah akan ujian dengan bahan setumpuk, tapii aku memutuskan untuk refreshing sejenak dulu. hehe...). Fenomena itu adalah tentang pesawat lewat...

Setiap kali ada deru pesawat terbang yang lewat di atas atap sekolah kami, kami punya kebiasaan untuk berbondong-bondong keluar kelas lalu menengadahkan wajah ke langit, melihat pesawat itu hingga lenyap dan tak lagi dapat terlihat oleh lapangan pandang. Setiap kali menatap pewawat lewat, kami selalu berbinar-binar sambil membayangkan "Kapan yah, aku bisa duduk di atas pesawat itu dan terbang mengelilingi dunia?". Mungkin bisa dimaklumi, kami yang didaerah margin ini memang tak satu pun yang pernah naik peswawat kala itu. Bahkan untuk ke Padang saja (yang notabene ibu kota propinsi, kota paling canggih bagi kami kala itu) adalah sesuatu yang amazing dan sangat jarang-jarang sekali, apalagi naik pesawat! Mungkin bisa dimaklumi juga bahwa rata-rata orang tua kami adalah petani, pedagang dan juga ada yang PNS...


Kebiasaan menengadah ke langit ketika pesawat lewat rupanya tak bisa lepas dariku. Setiuap kali mendengar deru pesawat lewat, aku secara refleks menengadah ke langit lalu menatapi pesawat itu... Ddan setiap kali aku menyadarinya, aku tak bisa menahan senyum, mengingat bahwa aku adalah anak kampung yang dulunya selalu sumringah ketika melihat pesawat lewat...

Sama seperti aku menatap sebuah mimpi...
Berkali-kali kandas...
Berkali-kali berjumpa kegagalan...

Kadang, ada masa di mana ia berada pada puncak grafik kosinus, ketika aku begitu bersemangat menaklukkan hidup dan begitu berlari mengejar mimpi. Namun, ada pula masa di mana aku berada di lembah grafik kosinus itu, bertemankan keterpurukan, kegagalan, dan  ketiasabisaan lainnya.

Ya, karena kita memang tak berhak untuk MERASA LEBIH dari pada orang lain lantas memandang rendah orang lain. Yang kita punya justru adalah keterbatasan-keterbatasan. Tidak semua hal bisa kita lakukan. Tidak semua hal kita memiliki kapabilitas di sana. Hanya orang bodoh sajalah yang mengatakan dirinya pintar... Ya, karena hanya orang bodoh saja yang tak pernah menyadari keterbatasannya...

Sungguh, ketika kita bisa, itu bukan semata-mata atas kemampuan dan kepintaran diri kita saja. Tapi Allah-lah yang mengilhamkan ilmu itu kepada kita. Ya, karena Allah-lah yang memberikan rizki kepahaman dan menyisipkan hikmah ke relung hati kita... Dan ketika kita tak bisa, itu jua adalah karena keterbatasan kita..
Keterbatasan bukan berarti kita berhenti sampai di sini saja. Akan tetapi adalahs ebuah cara untuk mensyukuri ketika kita meng-optimalkan segala potensi yang Allah beri...

Hehe, postingan kali ini juga dalah sebuah postingan yang benar-benar tak sekuens dan tak pula memiliki hubungan antar paraghrafnya...hee....
Jadiii, mohon dimaklumi sahaja yah Bloggie.....

Memungut Semangat


Apa Kabar, Bloggi?
Lama sudah tidak mencoretimu…
Sebenarnya, sungguh ingin mencoretimu lebih banyak lagi…
Tapi aku sedang punya dua kendala besar. Pertama, aku tidak begitu aksesibel dengan internet. Kedua, aku hampir-hampir tidak punya waktu lebih banyak untuk menulis. Jadi, ide-ide yang spontaneous yang ingin kutuliskan hanya mengendap begitu saja…
Lalu, ketika aku punya sedikit waktu, aku tak lagi punya feel untuk menuliskannya…
Hee…

Apa yang kutuliskan di beberapa postingan terakhir ini, terasa sangat garing, kering, dan gersang yah?
Iya, karena memang aku sedang tidak punya feel untuk kembali me-resusitasi endapan yang makin meninggi di dasar tabung reaksi itu…
Ah,semakin hari, terasa semakin kering saja…
Mungkin karena aku juga tidak sedang begitu bersemangat saat ini…

Yah, saatnya kembali me-recharge semangat!
Melakukan resusitasi atas kegawatan kali ini….

SEMANGAT!
SEMANGAT!
SEMANGAT!

Memungut Semangat!

Syndroma Homesick Acute


Alunan Bethria Sonata dengan Minang Kabau-nya semakin memperparah syndrome Homesick acute ku kali ini. Benar-benar homesick. Entah, mungkin karena ujian yang bertumpuk-tumpuk sekaligus bertubi-tubi, membuatku ingin sedikit refreshing. Dan, dari dulu, bagiku refreshing yang paling menyenangkan itu adalah pulang kampung.

Hwaaa…, aku benar-benar homesick…
Sindroma Homesick Acute…
Kangen tabek tercinta dan memancing di sana…
Kangen pepes ikan nila buatan ibuku tercinta…
Kangen my writing spot, tepat di pojok kamarku yang menghadap ke tabek…
Kangen ke pasar tradisional lagi…
Kangen 24 jam mengendap di rumah tanpa keluar dari sana (di pingit kaleee, hihi)
Kangen pulaaaaaaaaaaaaaaang…
Huhu…

Ah…
Benar-benar GJ banget perasaanku kali ini…
Benar-benar GJ juga apa yang kutulis kali ini…
Tapi biarlah…
Aku sedang tak ingin berdamai dengan pilihan diksi apapun…
Aku hanya ingin pulang…