Kemarin, alhamdulillah, aku berkesempatan untuk bisa mengunjungi poliklinik Psikiatri Anak dan Remaja di RSCM. Waahh, masya Allah, sebuah 'pemandangan' membuatku takjub. Takjub akan kegigihan luar biasa ibu-ibu yang Allah anugrahkan amanah anak-anak yang secara fisik tak bermasalah, akan tetapi mereka berbeda dengan anak-anak lainnya. Sungguh, hal ini membuatku benar-benar terenyuh. Sungguh, betapa besarnya jiwa para ibu yang diberikan ujian dengan keterbatasan yang anak-anak mereka miliki. Hanya ibu-ibu terpilih sajalah yang sanggup bersabar dengan ujian-ujian yang sedang Allah sandangkan di pundak mereka.
Secara langsung, aku bisa melihat anak-anak autisme, perkembangan terhambat, adhd, dan idiot, retardasi mental, yang sebelumnya hanya aku dapatkan di teorinya saja. Satu anak yang membuatku terkesan sekaligus terenyuh adalah bocah berkaos biru yang berasal dari Pondok Kopi. Bocah itu kira-kira 5 atau tahun. Belum bisa bicara. Tak mau menatap mata. Dan, mempunyai bahasa yang tidak dimengerti. Pandangannya kosong dan sayu. Sebentar-sebentar tertawa. Lalu, sebentar-sebentar menangis.
Ck..ck..ck..., masya Allah, sungguh, sang ibu pasti punya kesabaran luar biasa.
Ada banyak definisi rasa yang sedang aku rasakan ketika menyaksikan bocah-bocah itu. Mereka yang kehilangan masa kecilnya. Mereka yang berbeda dari teman-teman seusianya. Sungguh miris. Sungguh sedih.
BOcah berkaos biru itu benar-benar berhasil menyita perhatianku. Sungguh, aku tak bisa menahan diri untuk tidak mencuri pandang ke arahnya. Dari gejalanya (hehe, tentu saja ini tidak menggunakan kriteria diagnostik yang ada di DSM IV yang aku juga nda punya bukunya, dan bukan kapasitasku pula untuk mendiagnosis walaupun aku juga belajar tentang ini), aku melihat ada tanda-tanda autis dari sang bocah itu. Emosi yang datar, tak pernah mau menatap lawan bicara, dan lain sebagainya. Jika sudah memenuhi 3 saja (akalau tidak salah), sudah dapat dikategorikan ke autis.
Hemm...
Bersyukurlah, ibu-ibu yang Allah karuniakan anak-anak yang sehat, sehat secara fisik dan juga mental. Baru kusadari, bahwa nikmat berperilaku sehat adalah sesuatu yang sesungguhnya sering luput dari perhatian banyak orang. Menganggap, berperilaku sehat (bersikap sewajarnya) itu adalah hal yang wajar. Nikmat bisa berakal sehat itu adalah hal yang niscaya. Padahal, jika saja kita berkaca pada orang-orang yang lemah secara mentalnya, sungguh semestinya kesyukuran kita jauh lebih banyak dari ini.
Bersyukurlah, bagi orang tua yang dikaruniakan anak-anak lucu dan cerdas. Maka, tugas orang tualah yang menjadikan mereka shalih. Membentuk pribadi-pribadi polos itu menjadi pribadi-pribadi yang tangguh, dengan pondasi akidah yang kokoh dan akhlak yang mulia. Ngomongnya sih gampang yaah, tapiii aplikasinya itu looh, sulit pisaaaannn. Heeuu...
Aku salah satu penyuka anak-anak. sedari tahun dua kuliah dulunya, sudah banyak koleksi buku-buku pendidikan anak. Atensiku terhadap buku-buku bertema pendidikan anak, sama seperti atensiku terhadap buku farmasi. (hihi, pindah jurusan ajah sonoooo, Fathel). Aku senang, membahas buku-buku beginian. heuu...
Dan adalah hal yang menyenangkan, jika aku sudah sharing soal dunia anak-anak sama temen-temen yang udah punya anak. Hemmm, tapii walau bagaimana pun, dunia teori tentu takkan pernah sama dengan dunia praktik. Mungkin hanya mendekati sahajaa... Justru kemudian, perjalanan waktu bersama anak-anaklah yang kemudian akan mengajari kita banyak hal. Pada mereka, terbentang pelajaran yang tiada pernah habis-habisnya. (halaaaahh, macam tau sahajaaaa akuhh nih yaahh?? padahal, bukan pelaku lapangan puuuunnn...hihihi). Aku bukan mengatakan bahwa dengan begini, belajar teorinya menjadi tak penting adanya. Ah, meskipun tak pernah sama dengan teorinya, tetap saja, mempelajari sebelum segala sesuatu tetap sahaja lebih baik adanya...
Ah iyaaa, aku ingin berbagi tips dari dokter Citra, yang spesialis psikiatri anak dan remaja.
Ternyata, pola didik dari orang tuaa, memiliki pengaruh yang sangaaattttttt dignifikan terhadap perilaku anak. Ya iyalah yaaah, ini mah semua orang juga tauuu. Jangan sampai model pola didik yang diterapkan ayah berbeda dengan ibu. Jika soal mainan, sih tidak masalah. Tapi, kalau sudah menyangkut hal-hal prinsip dan keuangan, ini akan berakibat panjang. Misalnya, anak sudah diberikan jajan rutin tiap hari Rp. 5.000,-. Tapi kemudian salah satu dari orang tua, suka nambah-nambahin. Ternyata, ini tak baik adanya untuk perkembangan anak. Ini salah satu contoh sederhana. Sebenarnya masih banyak lagi yang kepingin aku bahas (membicarakan dunia pendidikan anak sama menariknya bagiku dengan farmasi klinis, hihi...).
Ah iyaa, satu kesimpulan bagiku saat ini, adalah sangat penting untuk menyamakan persepsi pola didik, perlu mendiskusikannya, perlu mendesainnya, jauh sebelum anak itu ada, bagi suami dan istri yang berstatus calon orang tua. Hee...
Udah, segini ajah deehh. Soalnya tugasku itu lagi on the peak nya. Lagi pada puncak-puncaknya. Dan bukan pula ada penurunan puncak grafik itu, malah steady state dianya. Hee....
Siiipp, semangaattt belajaaarrrr....
semangat ya...
ReplyDeletesip, semangat!
ReplyDelete