Kita sudah sama-sama tau, betapa "hangat"nya berita politik di negeri ini. Uhm... sebagai orang "awam" di bidang politik, sebenernya agak 'kurang nyaman' bagi aku untuk ber-cuap-cuap soal politik di blog (yang nuansanya malah lebih banyak curhatnyaaa... hihi :D). Dan lagi, aku juga jarang ngompol (baca : NGOMong POLitik). Tapi, anggaplah ini cuap-cuapnya 'orang awam'. Mungkin aku kurang memiliki tendensi terhadap dunia perpolitikan dan sampai saat ini belum berminat untuk ambil kuliah jurusan ilmu politik. Hihi... :D. Tapi, bukan berarti juga aku anti politik loh yaahh. Toh Rasulullaah dulunya juga ber-siyasah (berpolitik) dan bahkan beliau adalah politikus ulung.
Terhadap "badai politik" yang menimpa Partai Keren Selalu (ihihi, ini kepanjangan yang "narsis". Astaghfirullaah... PKS maksudnya), maka benar apa yang disampaikan oleh ustadz Irsyad Syafar di status beliau di FB bahwa kita mestilah mengedepankan husnudzhan terlebih dahulu. Sebagai mana setiap jenak perjalanan Rasulullaah selalu saja memberikan khudwah hasanah pada diri kita, dahulu beliau juga pernah mengalami gelombang fitnah yang luar biasa. Aku ngutip kisahnya niih dari statusnya Ustadz Irsyad di sini.
Ketika fitnah besar menimpa keluarga
Rasulullah saw, tepatnya Istri Beliau tercinta, Ummul Mukminin ‘Aisyah
ra, yaitu dituduh telah melakukan selingkuh dengan Sahabat mulia Shafwan
bin Mu’aththal, kaum munafiqin dan orang-orang kafir langsung
memojokkan Rasulullah saw dan umat Islam. Tuduhan diiringi cacian pun
beredar kemana-mana. Banyak sahabat Rasulullah dan penduduk Madinah termakan oleh tuduhan dan celaan tersebut. Sehingga mereka ikut serta pula berbicara dengan nada para tukang fitnah.
Tapi ada sepasang suami istri di kota madinah, Abu Ayyub dan Ummu Ayyub
Al Anshari tidak menjadi korban dari fitnah dan tuduhan itu. Ummu Ayyub
dengan logika sederhana, tetapi muncul dari hati yang bersih, dia
berkata kepada suaminya: “Suamiku, kalau seandainya engkau yang menjadi
Shofwan, apakah engkau mau/berani berbuat selingkuh dengan Istri
Rasulullah?”. Sang suami menjawab: “Demi Allah, saya tidak akan
melakukannya”. Jawaban sang suami langsung ditanggapi oleh Ummu Ayyub:
“Jika engkau tidak akan mau melakukan, maka pastilah Shafwan lebih tidak
akan mau lagi. Karena Shofwan jauh lebih baik dari pada engkau”.
Lalu Ummu Ayyub melanjutkan: “Dan jika seandainya saya yang menjadi
‘Aisyah, demi Allah, saya tidak akan berani mengkhianati Rasulullah saw.
Dan ‘Aisyah jauh lebih baik dari saya, maka mustahil dia akan
melakukannya”. Dengan hati yang jernih dan logika sederhana ini, Ummu
Ayyub dan suaminya selamat dari fitnah yang keji. Minimal hatinya tetap
bersih.
Ya, mengedepankan husnudzan. Meskipun mungkin kita (aku lah terutama) kadang masih suka "spontaneous" menanggapi. Sungguh sedih sekali melihat dan membaca komentar-komentar yang sangat tidak ahsan. Apakah setiap diri yakin, bahwa diri itu lebih baik dari pada yang dihujat?? Jangan-jangan justru lebih bobrok. Lantas, adakah alasan untuk menghina dan menghujat?!
Aku jadi teringat tentang perkataan seseorang yang aku sudah lupa siapa, tapi kata-katanya berkesan bagiku. "Ceret yang berisi kotoran tidak mungkin mengeluarkan susu dan madu. Jika yang di dalamnya kotor, maka yang keluar pastilah kotoran." Kata-kata ini melekat diingatanku.
Dan lagi, bagaimana bisa menghujat jika yang kita tahu hanyalah "kulit" terluarnya saja. Bagaimana kita bisa meng-klaim begini dan begitu, jika yang kita tahu hanyalah secuil. (Ini pengingat bagi diriku juaa terutama). Apalagi dari sorotan media massa yang SANGAT MUNGKIN salah dan SANGAT MUNGKIN banyak versinya. Dan lebih apalagi lagi kalo ada "kepentingan" di belakang si media itu. Toh, informasi itu lebih cepat berkembang dari pada membelahnya bakteri secara eksponensial kan ? (hihi, ini jargon lama, sejak aku masih skripsweet dulu malah dan sudah sering diulang-ulang. Hihi...). Membelah secara ekponensial artinya dalam beberapa satuan detik satu: 1 menjadi 1, 2 menjadi 4, 4 menjadi 16, 16 menjadi 256 dan 256 menjadi 65.536 dan hanya beberapa jenak kemudian 65.536 segera menjadi 4.294.967.296. Selain pada pembelahan bakteri secara eksponensial, ini juga berlaku untuk Copy DNA pada mesin polimerase chain reaction. (ahahaha, tadinya ngomongin politik, teteeep ajah merembes ke dunia saintifik. Tuhh kaan, tampak-tampaknya aku memang bukan politikus. Ehehe, emang bukaaaaan Fatheeeeel!!!! Maksudnya, kurang berbakat jadi politikus. Hihi). Ya, setidaknya itu gambaran memelahnya bakteri secara eksponensial. Dan informasi akan berkembang jauhh lebih dahsyat dan cepat dari itu. Betul tidak?!
Setiap manusia pasti pernah tersalah... Tak ada yang tak luput dari dosa dan salah... Aku, kamu, dia, mereka, semuanya pernah melakukan kesalahan dan dosa. Smoga kita menyegerakan taubat atas itu dan semoga Allah mengampuni segala dosa-dosa kita. Akan tetapi, bagaimana kita bisa "menghukumi" seseorang jika diri kita saja tak luput dari salah. Biarlah pengadilan Allah saja yang akan memutuskannya. Dan yakinlah, bahwa kebenaran itu, cepat atau lambat, akan menunjukkan wujud nyatanya dengan caranya sendiri. Wamakaru wamakarallaah wallahu khairul maakiriin... Mereka membuat makar dan Allah pun membuat makar, dan Allah-lah sebaik-baik pembuat makar. Suatu saat, kebenaran insha Allah akan terungkap. Dan cukuplah Allah saja menjadi penolong kita... Hasbunallaah wani'mal wakiil ni'mal maula wani'mannashiir...
Sungguh, tak ada kualitas tanpa pengujian. Karena pengujian itulah yang akan membuktikan dan mem-validasi suatu kualitas. "Apakah kamu
mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu
(cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka
ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan
bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang
beriman bersamanya, ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah,
sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat." (QS. Al-Baqarah :
214)
Dan satu hal yang terpenting lagi, jangan sampai gara-gara issu yang belum jelas keberanannya itu, lantas membuat kita kecewa dan meninggalkan jamaah. Karena jamaah bukanlah menyoal figuritas tertentu... Karena, bukan sebab qiyadah kita berbuat. Bukan karena si A, si B atau si C dan seterusnya. Hanya karena Allah sajalah. Tak pernah ada yang salah dengan jalan dakwah ini. Ia nya adalah jalan yang mulia dan jalan juang para nabi Allah. Jika pun kemudian kita melihat "rombengan" pada sosok-sosok tertentu yang mungkin dalam kerangka pikir kita penuh idealita, "seharusnya kan beliau begini dan begitu...", ingatlah bahwa mereka juga adalah manusia biasa yang tak luput dari salah dan ingatlah bahwa diri kita juga masih jauh dari idealita itu...
Smoga ini jadi pengingat bagiku, juga bagimu...
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked