Ini cerita tentang ayek dan pakyek ku di masa muda beliau. Ayek sekarang sudah berumur sekitar 80 tahun (atau lebih ya? soalnya kan tanggal lahir beliau tidak diketahui dengan pasti. Yang jelas, di jaman-jaman penjajahan).
Karena susahnya hidup, apapun dilakoni oleh Pakyek. Jadi petani, tukang, pencari kayu bakar, peternak ikan (petani ikan yah? bukan peternak? hehe).
Suatu hari, Pakyek mendapat 'tawaran proyek' dari seorang pengusaha. Proyeknya adalah membuat bangunan 6 toko (atau 4 yah? lupa) di mana sebagai upahnya beliau akan mendapat dua toko. Intinya, semua dibangun oleh Pakyek dan jatah beliau 2 toko. Menurut teori perekonomian Pakyek, in syaa Allah toko itu bakalan maju bangeeet secara di Toko nya berada di pusat propinsi.
Dengan penuh semangat, Pakyek mengumpulkan kayu dari bukit [bahkan Pakyek sampai pernah patah tulang kering di kaki beliau di hantam kayu. Innalillaah, itu pasti sakit sekali. Kalo soal nyeri, tulang kering merupakan tulang yang paling sakiit kalo terkena hantaman, sebab otot di bagian tulang tersebut paling sedikiiit. Jadi langsung terkena tulang beliau dan patah. Terdengan suara deritan tulangnya. Innalillaah. Aku bayangkan pasti sakiiiittt sekalii :( ]
Kayu yang beliau kumpulkan adalah kayu-kayu berkualitas tinggi untuk bangunan tersebut. Hingga setelah bersusah payah mengumpulkan bahan bangunan, maka siaplah bahan bangunannya untuk membangun toko dengan 4 atau 6 pintu, kecuali atap. Pakyek butuh atap, tapi ga ada modal.
Suatu hari, Pakyek meminta Ayek untuk menggadai sawah di Mudiaklawe dulu untuk modal beli atapnya. Kata Pakyek, In syaa Allah dalam beberapa bulan saja, modalnya langsung balik. Tapi, ternyata pemikiran cerdas Pakyek ini tak terjangkau oleh Ayek. Apalagi banyaknya hembusan-hembusan issue yang menggoyahkan persetujuan Ayek terhadap usulan Pakyek tersebut.
"Uwang mambawok modal ka kampuang, ndak mambawok apo nan ado di kampuang ka gantau ro." Begitulah kira-kira issue yang dihembuskan kepada Ayek. Ayek termakan issue tersebut dan tidak menyetujui permintaan Pakyek."
Akhirnya Pakyek surut dengan sesurut-surutnya (walaupun itu tidak serta merta menyurutkan semangat cinta beliau untuk ayek). Pakyek surut semangatnya. Tapi, beliau menjalani hari-hari seperti biasanya, mencintai Ayek apa adanya. Karena sudah surut, Pakyek pun menjual sepotong demi spotong kayu yang sediakalanya dipersiapkan untuk bangunan lalu membeli goreng pisang. Dan kayu itu pun habis dengan cara demikian. Mimpi Pakyek untuk membangun proyek itu jadi gatot (alias gagal total).
Meskipun pernah surut, kemudian semangat Pakyek kembali bangkit. Menjalani hari-hari seperti sedia kala. Bertanam kopi dan menjualnya ke suatu perusahaan kopi besar di Ibu Kota Provinsi. Melakukan apa saja yang halal untuk menghidupi keluarga. Dan ceritera soal proyek itu pun tenggelam bersama berlalunya waktu. Hingga terungkit kembali setelah Pakyek tiada, suatu ketika saat kami sekeluarga bernostalgia.
Cerita Ayek dan Pakyek memanglah sebuah cerita jadul. Namun, aku memetik banyak sekali pelajaran dari kisah Ayek dan Pakyek.
Pelajaran pertama adalah soal dukungan. Walau bagaimanapun, seorang suami butuh dukungan dari sang istri. Jika tidak didukung, maka bisa saja sang suami menjadi patah dan surut. Sebagaimana Pakyek yang surut dan patah setelah tidak didukung oleh Ayek untuk melanjutkan proyek.
Pelajaran kedua adalah soal issue yang dihembuskan pihak ketiga. Pihak ketiga (apalagi yang ga seneng liat suatu keluarga bahagia dan sukses) dengan berbagai cara akan mempengaruhi pasangan terutama istri (soalnya mudah goyah kan kebanyakan istri, hehehe). Atau, mungkin dengan tidak sengaja, mengemukakan pendapat yang ternyata dijadikan pijakan bagi si istri. Istri menjadi ga percaya dengan keputusan suaminya.
Pelajaran berharganya, apapun issue yang dihembuskan oleh pihak ketiga--siapapun itu--semestinya menjadi agenda nomor sekian (atau sebatas sedikit pertimbangan saja, bukan yang utama) sebab suamilah yang seharusnya menjadi orang pertama yang dipercayai dan setiap apapun yang disampaikan suami harus menjadi agenda utama bagi istri, menyoal apapun itu.
Pelajaran ketiga adalah soal komunikasi. Pada umumnya laki-laki (suami) memiliki tingkat kecerdasan yang lebih tinggi, kerasionalan yang lebih mumpuni, dan lebih berpikir jauh ke depan serta lebih visioner dibandingkan perempuan (istri). Perempuan lebih berpikir dengan perasaan, bukan rasionalitas sehingga dalam banyak hal, isi pikiran seorang perempuan lebih tidak realistis, terbawa pengaruh perasaan. Nah, seorang suami--yang notabene lebih cerdas--bijaksana sekali untuk menjelaskan dan mengkomunikasikan maksudnya agar mudah dipahami oleh si istri (yang pada umumnya memang tidak secerdas sang suami). Sehingga setelah memahami maksud dan tujuan suami, si istri dapat menjangkau apa yang suami inginkan, lalu mendukungnya.
Pelajaran keempat soal perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat dalam berumah tangga adalah hal yang sangat lumrah. Apalagi dengan perbedaan cara berpikir, perbedaan latar belakang pendidikan yang sama sekali beda jurusan, beda tendensi, perbedaan lingkungan yang membesarkan, perbedaan adat istiadat, perbedaan komposisi otak, perbedaan dominasi akal dan dominasi perasaan, semua akan menghasilkan pendapat yang tidak selalu sama. Maka, alangkah cerdasnya ketika kita menghadapi perbedaan dengan cara terbaik, menghargai pendapat pasangan, mencari titik temunya. Belajar untuk menghargai perbedaan sebagai sarana memperkaya kreatifitas dan mendewasakan diri. Dan belajar mensyukuri persamaan sebagai salah satu bahan bakar untuk mencapai tujuan hidup bersama.
Pelajaran kelima soal cinta. Seperti apapun kesurutan semangat yang dialami, hal itu serta merta tidak boleh menyurutkan cinta di antara pasutri (pasangan suami istri). Cinta adalah energi besar yang tidak boleh padam di antara pasutri, seberapa pun dahsyatnya gelombang kehidupan.
Terakhir, sebagai penutup ulasan sederhana dari aku yang masih banyak errornya ini, hehe, kehidupan ini layaknya adalah sebuah pembelajaran. Semakin hari, maka kita akan semakin banyak belajar. Belajar apa saja. Belajar memahami. Belajar menerima. Belajar terus menumbuhkan cinta. Belajar memanajemen emosi dan perasaan. Belajar apa pun itu. Sebab, merugilah kita, jika waktu-waktu terlewat begitu saja, sedang kita tidak mengambil pelajaran darinya....
Selamat belajar, sahabat Bloggie ^___^
suami lebih cerdas dari istri, menurut Da relatif, dari banyak aspek terkadang (dan alhamdulillah da sudah buktikan sendiri), istri bisa lebih cerdas dari suami.
ReplyDeletepost note: Thanks my beloved - lovely wife, i've been learning a lot from you for sure. Love you much. May Allah blesses us until the end of life and gathers us in His jannah in the days after life. Aamiin.
Huaaa, udaaa sayang...
ReplyDeletedalam hampir semua aspek (Sebagaimana yg fathel rasakan), suami itu selalu lebih cerdas dari istri :)
And also thanks very much, my beloved-lovely hubby.... Love you much more....
Aamiin for du'a :)