Seketika masa SMA dulu (kira-kira 10 tahun silam, awal tahun 2004), aku mendengarkan sebuah tausyiah singkat dari arah masjid Misbahul Ulum (Masjid SMA N 1 Padangpanjang) dari salah seorang ustadz di asrama. Aku waktu itu tidak berada di Masjid, melainkan di Asrama Putri. Tapi materi tausyiah itu sangatlah jelas terdengar olehku (asrama Putri berdekatan dengan Masjid). Nah, ceritanya tentang Syahwat Al Qalam, alias kepingin ngomooong teruuss adjaah.. :(
Materi itu kemudian membuat aku tergugu, dan menuliskannya seketika itu di Diary (diary ke-3 dari total 15 diary). Aku tersadar saat itu bahwa syahwatul qolam sangatlah berbahaya, bahkan dengan maksud bercanda sekalipun. Mungkin aku rada-rada sanguinis yang umumnya "senang ngobrol" dan kadang suka mendominasi pembicaraan dan (?) mendramatisir suasana. *Alibi*.
Nah, kadang, aku sebagai orang yang ekspressif spontaneous (maksudnya, ketika ada sesuatu yang mengagetkan, membahagiakan, menyedihkan, memilukan, dan segenap kata kerja rasa lainnya, maka aku seketika itu juga, on the spot, mengekspresikan "kata kerja rasa" apa yang sedang terlintas dalam pikiran tanpa pikir-pikir dulu). Dan terkadang, ketika asyik bercuap-cuip begitu, atau kadang saking sangat bersemangatnya terhadap sesuatu, aku tidak menyadari, mungkin ada yang terlukai perasaannya. Ya, itu sering kali tidak aku sadari. Hiks...
Entahlah... Kadang aku udah bertekad setekad-tekadnya untuk mengontrol dan tidak spontaneous, tapi sering tidak berhasil. Hiks. Mungkin aku mesti me-recall kembali catatan sepuluh tahun silam, tentang bagaimana memenej syahwat al qolam; agar perkataan yang PASTI akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah itu adalah benar-benar perkataan yang perlu, penting dan benar untuk diutarakan. Ini bukan berarti kaku dan diam. Tapi, bagaimana agar perkataan itu benar-benar yang bermanfaat dan bukan sesuatu yang--ternyata secara tak sadar--menyakiti hati orang lain. Bagaimana agar perkataan yang keluar dari mulut, benar-benar telah melewati filter yang berlapis-lapis, dipikir dengan sejernih-jernihnya pikiran agar kotoran tidak ikut membersamainya. Sebab, sekali kita menyakiti seseorang, apalagi orang-orang yang dekat dengan kita, maka seketika itu pula, kita meninggalkan bekas luka, meski pun mereka--orang-orang yang berhati mulia itu--bersedia memaafkan. Tetap saja ada bekasnya meskipun si duri yang tertancap telah tercerabut. Ini perkara yang sungguh berat bagiku. Semoga, step by step, bisa berubah ke arah yang lebih baik.
Oh iyaa, aku mohon maaf yaa untuk siapapun yang tidak sengaja tersakiti oleh perkataanku. =)
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked