Cita-Cita Sangat "Sederhana"

Disclaimer:

Konten ini berisi curhat colongan. Isinya panjang kali lebar kali tinggi (volume dong yaa?!). Jadii, harap berpikir-pikir dulu sebelum membaca lebih lanjut! Jika masih tetap ingin membacanya, harap siapkan segelas teh, secangkir kopi, atau cokelat hangat di musim hujan atau musim gugur ini. Jangan lupa sepiring camilan. (Lagian siapa juga yang baca sih Fathel? wkwkwkwk... gede rasa ajah aahh).

Baiklah, kali ini mungkin aku akan sedikit berpanjang lebar. Dan itulah bahagianya punya blog yang pengunjungnya bisa dihitung jari. Hanya orang-orang serius sajalah yang akan rela mengetik URL dan mampir di mari. Maksudnya, kalo ga serius ga usah mampir apalagi ngomong sama orang tuanya buat ngelamar... itu PHP namanya.. #ehhh...
Jadi, karena ga harus 'berinteraksi' apalagi nungguin likers wkwkwkwk, dengan blog kita bisa bebas berekspresi. Suka-suka mau bikin apaa, pure from the bottom of the heart... Makanya, blog selalu lebih mempesona buat aku ketimbang eksis di dunia medsos (dan udah mencapai titik saturasi juga kali yaa untuk bermedsosan yang dulu memang pernah mengalami masa jaya. Apa-apa di share ke medsos. Apa apa di curhatin ke medsos. Ahh, pengen nutup muka pakek niqob ihrom kalo inget masa-masa alay ini... Hihihi..).
Lho..lho... ini malah mukaddimahnya terlalu panjang kayak tali telepon yak. wkwkwkwk...

kembali ke judulnya, Cita-cita sangat sederhana.
Mendengar kata sederhana (apalagi dibubuhi kata 'sangat'), kira-kira apa yang ada di pikiran kita dan kebanyakan orang?
Mungkin kata-kata yang tepat untuk mewakilinya adalah simple, gampang, mudah, tidak butuh banyak efforts, bisa sambil lalu, hmm.. apalagi yaa? Bahkan salah satu soal ujian di pelajaran matematika zaman SMP atau SMA berbunyi "sederhanakanlah persamaan berikut!" yang berarti persamaan yang terlihat rumit itu diuraikan menjadi bentuk paling sederhana.
Ya begitulah si sederhana (salah satu pengecualiannya adalah sebuah nama rumah makan yang bikin saku ga sederhana sih).
Tapi, sebagaimana si rumah makan itu, begitulah sederhana. Tak selamanya sederhana itu mudah, simple dan tak butuh efforts. Ada sederhana yang sangat rumit. Ada sederhana yang sangat tak mudah. Salah satunya (selain nama si rumah makan) adalah sebuah cita-cita.

Cita-cita sangat sederhana.
Jika aku dulu ditanyakan, "apa cita-citamu?". Ketika setiap teman-teman seperkuliahan yang memang kebanyakan perempuan menjawab ingin menjadi pharmacist ini, pharmacist itu (pharmacist banyak bidangnya lho fyi!), aku menjawab spontan "Cita-citaku sangat sederhana, ingin menjadi ibu rumah tangga yang baik. Lalu, cita-cita sampingan ingin menjadi farmasis yang berdaya guna."
Dulu... Duluuu sekali... satu dasawarsa yang lalu. Jika kamu iseng mengetikkan keyword 'Ibu rumah tangga yang baik' di blog ini, maka kamu akan menjumpai banyaaaak sekali tulisan-tulisanku (yang semoga ga kebanyakan alay ala anak mahasiswa) yang bertajuk ini. Kayak macam udah pakar aja... Padahal asline yoo ndak berilmuuu aku ini. Kalau aku baca lagi, sungguh aku jadi malu pada diri sendiri. Tentang apa yang sudah kutuliskan. Tentang keidealisanku yang waktu itu masih jadi penonton, bukan pelakon. Komentator, bukan pemain. Ya, tolong dimaafkan saja yaa. Maklumilah mahasiswaa, sangat idealis, belum berjumpa dunia nyatanya.

Ya begitulah. Aku, meskipun dulu sangat menyukai dunia parenting, membaca berbagai buku pengasuhan anak, tetap saja merasa menjadi ibu rumah tangga itu bukanlah hal yang mudah dan aku merasa sama sekali tak memiliki bekal apa-apa. tetap saja masih sangat sangat sangat sangat sangat.... sangat jauh dari sosok ibu rumah tangga yang baik. Menjadi ibu rumah tangga sama sekali tidak semudah dan sesederhana pengucapannya. Sama sekali tidak sesimpel yang aku bayangkan dulunya. Dan mungkin jauh lebih susah dari pada menjadi quality assurance staff even manager di sebuah industri obat, menjadi clinical pharmacist yang handal di sebuah rumah sakit besar yang hafal sepuluh ribu macam obat berikut drug related problem nya. Ah, menjadi ibu rumah tangga lebih rumit dari itu menurutku. Memiliki cita-cita sangat sederhana: menjadi ibu rumah tangga yang baik benar-benar tidak mudah, butuh efforts yang banyak, tidak simple, complicated, butuh kesabaran tingkat tinggi dan sangat butuh ilmu!

Menjadi ibu rumah tangga menurut pandangan orang kebanyakan (apalagi ibu-ibu jaman dulu kali yaa) bukanlah hal yang perlu diistimewakan. Hal biasa. Bisa sambil lalu. Atau sesuatu yang harusnya begitu, sudah kodratnya. Ga butuh apapun koq. Tinggal jalani aja.
Ah, ternyata cara berpikir seperti inilah yang ternyata sudah salah sejak awal. Banyak orang (terutama di kampungku, entah di kampung atau kota lainnya) berpikir bahwa menjadi ibu rumah tangga itu sudah seharusnya, tapi bisa memiliki pekerjaan yang bonafid, itu baru istimewa. Sebutlah menjadi PNS (sebuah prestise yang bonafid ala kampungku dan aku pernah sekali ikut tes PNS juga hihihi dan meskipun pada orang jaman now menjadi PNS sudah disebut cita-cita jadul ketinggalan jaman hehe) tetap menjadi sesuatu yang dikejar. Ya, aku juga tidak bisa menggenaralisasi untuk semua orang tentunya. Ada orang tua tunggal yang mau tak mau harus bekerja menghidupi anaknya. Ada orang yang sangat sangat membutuhkan pekerjaan yang diluar kondisi normal. Aku sedang bicara tentang persepsi ibu rumah tangga dalam konteks secara umum dan kondisi tanpa pengecualian.
 
Mengapa aku bisa mengatakan bahwa menjadi ibu rumah tangga jauh lebih rumit dari pada menjadi quality assurance manager di sebuah industri obat, menjadi clinical pharmacist yang handal di sebuah rumah sakit besar yang hafal sepuluh ribu macam obat berikut drug related problem nya? Seperti yang dijelaskan oleh temanku (aku hanya mengutip dengan menggunakan bahasa sendiri) bahwa generasi sekarang dipersiapkan bukan untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik tapi dipersiapkan untuk menjadi wanita karir. Meningkatnya taraf pendidikan (dengan banyaknya wanita yang bersekolah hingga tingkat lanjut) serta merta membawa dampak bahwa wanita lebih siap menjadi ekonom,akuntan, scientis, arsitek, dokter, farmasis, bidan, perawat, engineer, guru, dari pada menjadi ibu rumah tangga. Apalagi dibubuhi dengan cara pandang menjadi ibu rumah tangga adalah sesuatu yang seharusnya secara kodrat mesti dilalui, bukan dipandang sesuatu yang mesti dipersiapkan dan diilmui.

That's what happen to me. Alhamdulillah Allah kabulkan cita-citaku untuk menjadi ibu rumah tangga (yang masih tertatih-tatih menuju baik). Sejujurnya, setelah menjadi pelakon bukan penonton; pemain bukan komentator, aku merasa lebih siap untuk menjadi clinical pharmacist dari pada menjadi ibu rumah tangga. Sebab, menjadi farmasis, aku sudah dibekali dengan ilmunya hingga bahkan 7 tahun! Tapi ketika menjadi ibu rumah tangga ternyata masih banyaaaaaaaaaaaaak dan sangaaat banyaaaaaak (entah butuh berapa huruf A lagi untuk menyatakan banyaknya) ketertinggalan yang harus aku kejar. Bahkan aku yang sudah membaca banyak buku tentang mendidik dan mengasuh anak dulunya pun, sekarang merasa menguap entah di mana itu isi bukunya. Aku merasa sama sekali tak punya bekal. Aku tak punya ilmu. Aku sungguh butuh ilmu dalam menjadi ibu rumah tangga. Dan semakin kusadari betapa menjadi ibu rumah tangga benar-benar sangat butuh persiapan, jauh melebihi karir lainnya. Menjadi ibu rumah tangga lebih dari sekedar memastikan obat layak dipasarkan atau tidak, melainkan menyiapkan sebuah miniatur peradaban. Sebuah lingkungan, hingga negara yang baik pastilah terdiri dari kumpulan-kumpulan keluarga-keluarga yang baik. Bukankah ini tugas yang berat?! Obat yang diproduksi boleh jadi cuma satu jenis yang diproduksi masal, tapi setiap anak yang lahir sungguh sangat personalize perlakuannya. Mereka unik. Mereka tak sama, bahkan dengan kita sebagai ibunya sekalipun. Apakah hal ini tak butuh disiapkan? Obat yang rusak dan tak layak dipasarkan, masih bisa diretur, masih bisa dibuat ulang, tapi generasi yang sudah terlanjur rusak? Dapatkah kita meng-undo nya? Dapatkah kita mengembalikan waktu dan mengulangi pembenahan dari awal lagi? Ahh, lagi-lagi, menjadi ibu rumah tangga bukanlah sesuatu yang kodrati semata, tapi sesuatu yang benar-benar harus diilmui sekaligus DIPERSIAPKAN!

Ya... Ya... Ya... Sekali lagi, aku benar-benar merasa sangat tertinggal jauh. Ada banyak yang missing dari persiapanku dulunya. Aku tak bersiap ketika ada kondisi di mana harus menghadapi sesuatu yang berulang yang mungkin terkadang membuat jenuh. Aku tak bersiap menghadapi karakter setiap anak yang sangat unik. Tak ada perpustakaannya. Tak ada bukunya. Yang ada hanyalah kisi-kisinya saja. Guidance yang diberikan agar tetap pada right path. Aku tak bersiap dengan selaksa kesabaran yang kadang (atau sering) kehabisan stok dan butuh renewal terus menerus. Aku tidak bersiap dengan perangkat emotion stabilizer yang membuatnya tetap stabil ketika banyak sekali pencetus-pencetusnya. Ahh... jika dilist satu persatu di sini, mungkin space postingan blog ini tak cukup untuk menampungnya, saking banyaknya persiapan yang harus dibenahi.

Ya begitulah cita-cita sederhana yang pada kenyataannya sama sekali tak sederhana. Banyak hal yang perlu dipersiapkan, dibenahi, dipelajari. Tentang bagaimana tetap memaintenance kebahagiaan di banyak kelelahan, kesalahan, ketidaksabaran, dan semoga bukan keputus-asaan--na'udzubillah. Semisal melakukan sesuatu yang berulang, pada titik jenuhnya, syaithan merayu, "Ahh Fathel, coba dulu kau terima saja tawaran menjadi dosen", "Coba kalau kamu sekarang bekerja di farmasi klinis, bidang yang kamu sukai, ilmumu pasti jauh lebih bermanfaat. Hidupmu pasti lebih menyenangkan". Atau menghembuskan rasa iri ketika melihat teman-teman seperjuangan lanjut sekolah lagi, ikut seminar ini dan itu. Ah, selalu saja banyak cara bagi syaithan untuk merenggut rasa syukur kita dan membuat apa yang orang lain miliki tampak indah. Padahal, kita saja yang kurang melihat segenap karunia-Nya pada diri kita yang membuat kita sedikit sekali bersyukur.

Masa berlalu begitu cepat. Tak berasa, Aafiya anak pertamaku sudah mencapai 3 tahun. Tiga tahun ini masih banyak kesalahanku dalam mendidik, mengasuh dan membesarkannya. Tiga tahun ini, yang sebenarnya tahun-tahun emas tapi penuh rombengan sebab kurangnya ilmu, sedikitnya sabar dan minimnya syukurku. Semoga belum terlambat untuk berbenah. Smoga belum terlambat untuk kembali menjemput bekal yang tertinggal; persiapan yang seharusnya sudah dimulai jauh-jauh hari dulunya. Bukan jauh-jauh hari lagi seharusnya, tapi jauh-jauh tahun. Ada banyak sekali PR ku. Ya, aku butuh mengilmui segala sesuatu untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik.

Support dari suami selama ini benar-benar sangat-sangat membantuku melewati dan in shaa Allah sedan dan akan menjalani masa-masa pengasuhan ini. Selain masa-masa ini sangat wonderful, penuh kenangan, dan sangat membahagiakan ketika melihat perkembangan anak, juga ada masa-masa lelah, masa berat, masa jenuh, masa merasa tak punya banyak waktu. Percayalah, bahwa pelukan sesering mungkin, bercerita berdua meng-kanal-kan isi hati, dan waktu me time adalah hadiah yang tak ternilai harganya, intangible value prize yang diberikan seorang suami kepada istrinya. That's what my husband do. Give me many hug and time to speak only both of us about everything that's happen or what i feel (baca: denger curhat istrinya). And also at least 2 hours per day to do "me time". It's really-really kind of encouraging for me... Membantu jiwa tetap segar, memaintenance kebahagiaan. Me time berarti ayah bermain bersama anak, itu juga memiliki dampak positif kelekatan anak bersama ayahnya, dan menghadirkan peran serta ayah dalam pengasuhan. Doble-doble prize deeh.. Alhamdulillah tsumma alhamdulillah... Ma shaa Allah tabarakallah.. Jazakallahun khair katsir Zaujiy...

Bismillaah...
Mulai berbenah, menjemput bekal yang tertinggal dan melangkah!
Smoga cita-cita menjadi ibu rumah tangga yang baik bisa tercapai dan terwujud.
Sungguh, tak perlu jauh-jauh mencari kebahagiaan. Ada di sini, di hati. Dengan banyaknya rasa syukur atas segenap karunia-Nya, itulah kebahagiaan yang sesungguhnya. Menyukuri setiap garisan yang ditetapkan-Nya dan mencoba menjalaninya dengan sebaik-baiknya. Di luar sana, banyak orang yang masih memimpikan memiliki anak, anak yang aktif dan ceria. Kita, tinggal menjalani saja, masihkah banyak keluh kesah? Bersyukur... bersyukur... bersyukur.... Dan juga bersabar...bersabar...bersabaar... Ini masa tidaklah lama. Sebentar saja. Waktu berlari sangat kencang. Oleh sebab sebentar itulah, kita harus memperlakukannya dengan sebaik-baik perlakukan. Agar masa tak berlalu sia-sia. Lalu bagaimana kita mempertanggungjawabkannya, jika hanya catatan sia-sia yang kita punya. #justselfreminder

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked