Alhamdulillah..., Satu Episode Berlalu Sudah


Eheem…., sebenarnya sudah sangat terlambat skali untuk menuliskannya. Hehe. Karena, sudah lebih dari 2 bulan berlalu. Dan, cukup di catatan haria saja, bahagia itu terpatri dan terukir …
Tapi…,tapi…, karena hari ini, kisah ‘nenteng-nenteng’ skripsi ke mana-mana itu kembali berulang, akhirnya, terinspirasi jugah untuk menuliskannya. Hihihihi…. (setelah lebih dari dua bulan skripsiku nyaris tak tersentuh, tergeletak begitu saja di rak buku).

Huf..huff…
Meneruka sebuah perjuangan memang gak pernah mudah yaaa. Selalu saja ada rintangan, hambatan, tantangan. Tapi, insya Allah juga ada kemudahan. Stiap satu kesulitan ada dua kemudahan.setidaknya, itulah yang kurasakan. Setelah “jungkir balik, kaki di kepala, kepala di kaki”, hihih… Setelah skian lama ‘terisolasi’ di lab untuk mengisolasi. Hehe.

Alhamdulillah…, akhirnya…., setelah skian lama perjuangan itu, gelar S. Farm itu tersematkan jua dibalakang namaku (disemat pake apa yah? Peniti kali. Hhihih…). Setelah menukil begitu panjang perjuangan…. Tepatnya 24 Agustus 2009. Wuiihhh…, menurutku tanggal itu adalah tanggal cantiq. Hihi. Kenapa? Karena, aku tercatat sebagai mahasiswi Universitas Adlas pada tanggal 24 Agustus 2005 dan tercatat sebagai sarjana lulusan Universitas Andalas tanggal 24 Agustus 2009. Persis 4 tahun. Tak lebih dan tak kurang satu hari pun. ^^V


Ughhh.... Bau!!!!!

Heheh…
Ini adalah sebuah kisah, ketika jaman penelitian dahulu kala (halaaaaah…lebay banget deeeh! Emang barapa lama berllau? Paling juga 4 bulanan! Hihihi…)

Ehm…ehm…, di suatu siang yang ‘naas’. Waduh, istilahnya rada-rada lebay niy. Siang niy, ada kejadian yang cukup bikin heboh di labor mikro tercinta. Hmm…, begini, berhubung incubator bakteri pada penuh dengan sampel kami, akhirnya diputuskan untuk memindahkan sampel yang di Erlenmeyer ke tabung reaksi (biar irit tempat gitu loh, secara kalo’ jumlah erlenmeyernya 18 buah, memakan begitu banyak tempat. Kalo’ di tabung reaksi mah, Cuma butuh 3 beaker glass ukuran 100 ml). Tau ga’?? Masya Allah, sampelnya baaaauuuuuuuuuuuuuu… minta ampun! Bau banget. Para pratikan mikro saja sampe tutup idung membau tuh labor and sampel. Kesiaan sekali adek2, response sambil nutup idung. Waduuuh…, maaf ya adek2 sekalian.


Ehm…dan cerita pun berlanjut. Akhirnya, kami memindahkan sampel itu di ruang cuci dan kami nutup pintunya (dengan maksud biar bau di area lab agak sedikit tereduksi). Wal hasil, perut niy serasa di aduk dengan bau yg superrr dupeeerrr itu. Huaaaaaa…, masya Allah…, serasa ingin keluar semua komponen yang ada di lambung. Hueeeek….


Beternak Tikus???



Beternak tikus? Waaah..pakarnya Indonesia tuuuuh. Habisss, begitu banyak tikus yang diternakan di negeri ini. Turun menurun, mengakar dan membudaya. Tikus berdasi yang mengerat uang rakyat. Hiihhh…,
Indonesia…ohh…Indonesiaku.

Okeh…okeh…, diriku ga’ bakal membahas masalah tikus berdasi koq. Untuk tikus berdasi, yang penting ada iman di dada, insya Allah ga’ bakalan jadi tikus koq. Ahhh, andai setiap tikus2 itu menyadari bahwa setiap harta yang dikeratnya lewat jalur apapun itu besok2, di hari yang penuh penyesalan yg ga ada lagi tawar menawar dan jual beli, akan diaudit dengan benar2 sangat teliti oleh Dzat Yang Maha Teliti, dan akan diumumkan ,”Si Fulan memakan harta rakyat sebesar sekian..sekian..dan gunakan untuk bla….bla…”, mungkin takkan ada lagi tikus2 berdasi itu. Sebaliknya, adalah orang2 yg memperjuangkan masyarakat madani. Ops…, koq jadi panjang lebar yah?

Nah…nah.., ini beternak tikus beneran looh. Bener2 tikus! Tapi, bukan tikus got atau tikus sawah, ataupun tikus rumah. Tapi, tikus putih! Hmmm..begini, di fakultas2 sains kaya FK, Farmasi, Biologi sesuatu yang bernama tikus menjadi barang yang sangat penting. Banyak tikus-tikus yang telah mengantarkan seseorang menjadi sarjana. So, tikus memang cukup dibutuhkan!


Non Aktifkan Fesbuk? Why Not?!


Awalnya, aku tak terlalu ambil pusing soal pertanyaan ini. Tapi, pada akhirnya tertarik juga karena dalam tempo satu pekan blakangan, ada banyak orang yang menanyakan padaku, baik secara langsung, atau via internet atau SMS.
Lebih kurang begini,
“Athel, gimana cara non aktifin eFBe?”
“ipi, fb ny lagi non aktif yo? Baa caronyo?”
“atau, Fathel, gimana cara menghilangkan fb?”
“atau, ihh…, gimana sih caranya Thel? Ajarin kakak dung.”

Resep untuk Mendapatkan Resep


26 Oktober ’09, Tarandam trus Pasar Raya Padang

Huff…
Akhirnya nyampe juga di Tarandam. Persisi, di depan bimbel GAMA, aku berhenti. Di sana, ada karangan bunga dan tulisan “Kepergianmu sahabat, adalah kesedihan kami”. Teringat aku pada kejadian 30 September 2009, yang telah mengubur begitu banyka tunas bangsa di sini. Di bimbel ini.

Dan, ekspedisi itu pun dimulai…
Bismillah…


Eh..eh.., sebelumnya, aku lupa menjelaskan, mengapa aku harus melakukan ekspedisi ini. Hmm…, begini. Salah satu dosenku memberikan tugas untuk meng-copy resep 2 di apotek, Rumah sakit atau puskesmas, untuk kemudian di analisis…, ini reser rasional apa tidak? Gitu looh…. Tugasnya juga tidak sedikit. 50 Resep, dengan jumlah obat dalam satu resep minimal empat. Wuihh…, kalo dikali-kalikan, berarti 200 obat dong. Itu dikaji semua-muanya! Kalau satu resep bisa 6 halaman doble folio, berarti ada 300 halaman folio dong? Tulis tangan pulak! Itu baru satu mata kuliah. Belum mata kuliah laiiin. Fiuufff…
Eh…, tak bole mengeluh! Tak leh..tak leh!

Ehm…ehmm….

“Assalamu’alaykum Bu/Uni/Kak, saya mahasiswa farmasi. Hmm…begini. Saya dapat tugas mengumpulkan resep dari dosen. Kira-kira saya boleh copy resep dari apotek ibu/uni/kakak tidak?”
Lebih kurang begitu diriku ucapkan, plus wajah ramah (diramah2kan) dan sedikit memelas.
“Oo..maaf ya Dek. Tidak bisa. Resep adalah rahasia apotek.”
Pada umumnya semua pada jawab begitu. Mulai dari apotek di pasar Raya hingga ke kawasan Jati.
Akhirnya, dengan sedikit “sebel” diriku bilang (dalam ati), “ihh.., koq pada pelit smua siih? Padahal, apa ruginya? Pun, gak ada di undang2,bahwasannya resep harus dirahasiakan. Lagian, ini kan untuk kepentingan ilmu!”

Hup..hup….
Tahan Athel..tahaaaan…
Jangan sampai diledakkan lagi yah…
Hihihi..

Maka, aku bertanya2, temen2 yg lain, gimana sih cara dapetin resepnya?

Masya Allah…,
Ternyata, ada satu hal yang luar biasa yang terlupa olehku. Yaitu, “BAGAIMANA MEMBANGUN LINK & PENTINGNYA LINK ITU.”
Kalau punya link kan mudah banget. Tinggal SMS senior2 yang kerja di apotek, “Kak, boleh copy resep di apoteknya. Dapat tugas dari bapak fulan niiy.” Biasanya, kakak2 tuh pada baik semua. Dan, mau mengasih copy resepnya, karena udah saling percaya.
Hohoho, sesuatu yang terlupa.

Aku jadi ingat, ternyata trik sukses bisnis itu seperti yg dibilang oleh begitu banyak bisnismen, yaa membangun LINK! Betapa sangat pentingnya LINK. Punya LINK berarti punya banyak teman, yang berarti akan memberikan peluang lebih banyak. Itu pula rahasianya, kenapa Allah dan Rasulullah nyuruh kita untuk membangun silaturrahmi, bukan?

“Bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturrahim.” (Qs. An Nisaa’ : 1)

Bukan hanya itu, silaturrahim juga mendatangkan rezki.
“Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah ia suka bersilaturrahim.” (HR. Bukhori & Muslim, dari Anas ra.)

Semoga ini semua jadi reminder bagi diriku terutama, dan bagimu semua. Amiin.

Kesimpulan : resep untuk mendapatkan resep adalah : silaturrahim. _^ V




Al Hurriyyah, Baiti Jannati, Dzulqo’dah 1430 H

SIKAP MUSLIM MENGHADAPI BENCANA



alhamdulillah...
akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga.hehe...

setelah skian lama tatsqif terhenti (ba'da liburan semester genap kemaren, lalu disusul dgn musibah,tatsqifnya gak ada terus...)
akhirnya, alhamdulillah..., jum'at ini (tgl 23 Oktober 2009) tatsqif perdana pun dimulai...

Sebenarnya materi pekan ini adalh FIQH bersama ustadz Zul Adli..., tapi berhubung masih dalam susana musibah, maka materinya diganti dengan "Fiqh Musibah". tentang bagaimana sikap kita menghadapi musibah.

Nah, sebelum ke materi, ada baiknya kita mengajak teman2 skalian (yg berada di kota Padang dan skitarnya) untuk menghadiri acara ini. Sebuah majlis ‘ilmu yg insya Alloh barokah. Diisi oleh ustadz2 yang memiliki kapabilitas di bidangnya. Dan tentu saja : GRATIS!!
Tatsqif ini adalah salah satu program yang diangkatkan oleh FKI Rabbani Unand.

Yuk..yuk…., rame2 datang ^^

Nah, mari qta masuk ke materinya yaitu : SIKAP QTA BILA MENGHADAPI BENCANA

Prinsip seorang muslim terhadap bencana :
Pertama; Kita harus yakin bahwa hidup initakkan luput dari musibah
Kita PASTI akan diuji dengan ujian
Kata ulama, dunia ini adalah daarul I’tila’ : kampug yang penuh dengan musibah

Infeksi Iman


Saudaraku, istilah infeksi tentu tak asing lagi bagi kita. Mungkin kita pernah berteriak kepada anak yang mengalami luka, “Hei, mengapa lukanya tidak dikasih perban, nanti infeksi loh” atau “Lihat tuh, bekas luka kemaren bernanah. Pasti infeksi ya?” Bisa juga, “Tuh anak meninggal karena terjadi infeksi di dalam kepalanya akibat kecelakaan kemaren.” Singkatnya, istilah infeksi tentu sudah sangat akrab ditelinga kita, yaitu suatu peristiwa tumbuh kembangnya mikroorganisme berupa bakteri atau virus ataupun jamur dalam jaringan tubuh kita.

Tahaukah kau saudaraku, ternyata ada rentetan panjang peristiwa yang telah terjadi di dalam tubuh kita sebelum terjadinya infeksi tersebut. Barangkali tidak kita sadari, bahwa ada satuan terkecil dari tubuh ini yang bekerja dan perperang melawan perkembangan mikroorganisme tersebut untuk mencegah terjadinya infeksi.

Ketika suatu benda asing (misalnya bakteri) masuk ke dalam jaringan tubuh kita maka serta merta tubuh akan memerintahkan satuan keamanan untuk melakukan pertahanan terhadap serangan yang dilakukan sang ‘makhluk’ asing. Pertahanan lapis satu adalah pertahanan benteng luar yaitu pertahanan fisik berupa kulit dan selaput lendir. Misalnya, jika memasuki sistem pernafasan maka tubuh akan bersin untuk mengeluarkan zat asing itu. Jika sang kuman atau zat asing masih bandel dan berhasil lolos maka sistem pertahanan tingkat dua akan berperan yaitu dengan mengeluarkan zat-zat kimia yang memungkinkan untuk membunuh kuman atau zat asing tersebut. Salah satu contohnya adalah zat asam pada lambung.

Jika pertahanan lapis kedua gagal, maka pasukan keamanan yang ketiga akan mengambil peran. Pasukan ini yang disebut imunitas atau sistem kekebalan tubuh. Nah, pertahanan lapis benteng ketiga ini bekerja dengan lebih mikroskopis. Pasukan pada benteng ketiga ini akan segera mengenali zat asing kemudian membentuk pagar betis. Pasukan pagar betis inilah yang akan bekerja terhadap zat asing dengan jalan menetralkan benda asing tersebut, lalu kemudian menghancurkannya dan terakhir mengeliminasi dari tubuh.

Ternyata itu saja belum cukup, saudaraku. Masih ada juga yang berhasil lolos dan menembus pertahanan itu dan mampu menembus sampai ke tempat terkecil dari tubuh kita yaitu sel. Untuk ini, tubuh akan membentuk benteng pertahanan yang keempat di bagian terkecil dan tempat yang paling ’terpencil’ itu. Pada benteng pertahanan ini akan membunuh kuman dengan jalan memakan zat asing itu lalu membuangnya. Jika benteng keempat ini tidak berhasil, maka bisa dipastikan tubuh kita terpapar apa itu yang kita sebut infeksi.

Saudaraku, jika tubuh kita saja melakukan perlawanan demikian rupa terhadap benda asing, lalu bagaimana dengan hati kita? Tentu saja, hati kita memiliki benteng pertahanan yang analog dengan sistem kekebalan tubuh tersebut. Kalau kita boleh menamakannya, barangkali bisa disebut imunitas keimanan. Sebuah proteksi terhadap keimanan di bilik hati.

Sungguh godaan dunia, bisikan syetan la’natullah, rong-rongan nafsu, dan begitu banyaknya kemaksiatan yang menari-nari di depan kita akan mempengaruhi keimanan kita. Ada grafik naik dan ada grafik turun. Yazid wa yankus. Dalam penciptaan diri kita, Allah pun telah menganugrahkan kepada kita dua potensi, yaitu fujur dan taqwa.

”Demi jiwa serta penyempurnaan ciptaannya, maka Dia mengilhamkan kepadanya jalan kejahatan (fujur) dan ketaqwaan. Sungguh beruntung orang-orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (Qs. Asy Syams [9] : 7-10)

Sudah jelas bahwa dalam diri kita potensi untuk berbuat kejahatan itu pasti ada. Namun, Allah juga berikan potensi ketaqwaan dan kecendrungan kepada kebaikan. Di sini, Allah telah berikan pilihan kepada kita apakah kita termasuk orang yang menyucikan dan selalu mewarnainya dengan kebajikan atau sebaliknya, mengotorinya dengan lumpur dosa-dosa.

Saudaraku, sungguh hati adalah benda yang sangat sensitif. Apapun pengaruh yang diberikan kepada hati, sekecil apa pun itu, akan memberikan suatu after effect yang kemudian berujung pada positive feedback atau negative feedback terhadap kondisi ruhiyah dan kondisi keimanan kita.

Sama seperti imunitas pada tubuh, ketika hati kita terpapar zat asing berupa dosa-dosa maka imunitas keimanan akan bekerja. Jika hati yang senantiasa dihiasi dengan keimanan, sungguh akan ada alert memberi peringatan kepada jiwa kita bahwa bahwa apa yang kita lakukan itu sudah tidak lagi berada pada koridor-Nya. Hati akan segera memberikan peringatan agar menghentikan perbuatan dosa tersebut. Jika kita bersedia mendengar kata hati itu, sungguh akan kita dengar sebuah warning yang akan menjadi benteng pertahanan dan protektif terhadap ruhiyah.” Sungguh beruntung orang-orang yang menyucikan jiwa itu...”

Bukankah sebuah kebaikan adalah sesuatu yang jiwa kita merasa tentram karenanya dan dosa itu adalah sesuatu yang membuat hati menjadi kacau, gelisah, tertutup dari nasehat serta tidak senang jika diketahui oleh orang lain? Rasulullah telah memberikan alert tentang hal ini dalam sabdanya dari Wabishah bin Ma’bad yang datang kepada Rasulullah. Lalu beliau bertanya ”Apakah kamu ingin menanyakan tentang kebaikan?” Wabishah bin Ma’bad menjawab ”Ya.” Beliau bersabda : ”Tanyakanlah kepada hatimu sendiri. Kebaikan itu adalah sesuatu yang membuat jiwa menjadi tenang dan juga membuat hati menjadi tenang. Sedangkan dosa itu adalah sesuatu yang membuat kacau pada jiwa dan membuat ragu-ragu pada hati, walaupun orang memberi nasehat kepadamu.”

Jika kita mulai mengabaikan ”warning” yang diberikan hati, maka itu artinya benteng imunitas keimanan kita yang pertama sudah jebol. Benda asing atau toksik yang menyerang pertahanan ruhiyah kita berhasil menerobos sampai ke celah-celah hati terkecil sekalipun. Hal ini analog dengan kondisi kekebalan tubuh yang tak mampu menghancurkan kuman yang masuk ke dalamnya. Bayangkanlah jika hati kita terus-menerus terpapar zat-zat toksik berupa dosa dan mengabaikan peringatan dari hati. Sungguh, ia akan bertumpuk dan terus bertumpuk, terakumulasi di hati membentuk noda hitam yang menutupinya dari cahaya hidayah-Nya, dari nasehat, dari nilai-nilai kebaikan yang diberikan kepadanya. Ia menjadi kebas dan tidak lagi merasa bersalah dengan dosa-dosa yang telah diperbuat. Saat dosa sudah dianggap sebagai hal yang biasa saja. Sungguh, jika sudah demikian, telah terjadi infeksi pada keimanan kita. Mikroorganisme bernama dosa itu ternyata telah berhasil bertumbuh kembang di hati yang semakin hari semakin jauh spektrumnya. Bukankah setiap kejahatan yang kita lakukan akan diikuti dengan kejahatan berikutnya? ”Merugilah orang-orang yang mengotori jiwanya...”

Saudaraku, sungguh sehalus-halusnya kehinaan di sisi Allah adalah dengan tercerabutnya nikmat kedekatan kita dengan-Nya. Hal ini ditandai dengan berkurangnya kualitas dan kuantitas keimanan kita. Penurunan yang drastis grafik keimanan tanpa ada peningkatan yang berarti dan signifikan. Apalagi syetan la’natullah senantiasa menggoda dan membuat terasa indah bagi kita suatu perbuatan dosa.

Na’udzubillah, pada ujungnya infeksi keimanan ini akan mencapai taraf akut dengan status yang sangat berbahaya. Saat itu, Allah kunci mati hati kita dari kebenaran. Saat hati tidak mampu lagi membedakan mana yang yang benar dan mana yang salah. Saat itu, hati mengalami kelumpuhan.

”Maka, apakah mereka tidak berjalan di muka bumi lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada.” (Qs. Al Hajj [22] : 46)

Maka dari itu saudaraku, mari kita segera cegah berkembangnya infeksi itu. Mari kita obati infeksi yang telah terlalu jauh menggerogoti iman. Jika kita mengharapkan kita bebas dari infeksi semua kuman, barang kali kita hanya bisa hidup di ruang steril yang vakum. Tentu hal itu takkan pernah mungkin terjadi. Sama pula halnya dengan iman kita yang takkan pernah mungkin bisa steril dari dosa dan kemaksiatan. Sebab hampir setiap saat kemaksiatan itu ada di sekeliling kita. Akan tetapi, setiap infeksi akan ada pertahanannya dan akan ada obatnya. Demikian juga infeksi iman. Allah telah sediakan fasilitas taubat sebagai penawarnya. Allah bahkan merasa gembira dengan taubat hamba-Nya. Bukankah ini sebuah tawaran yang menggiurkan? Allahu'alam bish shawab.
.
Wahai Dzat yang Maha membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati ini atas agama-Mu dan keta’atan kepada-Mu.”

Sungguh diri ini pun hanyalah sosok dhaif, sosok yang juga sangat terombang-ambing dalam fluktuatifnya grafik keimanan. Alangkah bahagianya, di kala aku lemah, di kala infeksi itu menggerogoti hatiku, maka ada engkau yang sesnantiasa mengingatkan. Mari kita saring mengingatkan.






homeSWEET Syakuro, saat Syawal setahun yang lalu menjelang ^^

Like Dissolve Like


Pernah dengar istilah ini? Yak, mungkin bagi sebagian yang dibesarkan di ranah scientis telah akrab dengan istilah niy. Bagi yang berada di wilayah2 non-sains, tentu saja akan menjadi asing. Hehe. Baiklah, akan kujelaskan sejenak.

Like dissolve like. Sebuah prinsip kelarutan di mana, suatu zat hanya akan larut pada pelarut yang sesuai. Dengan kata lain, zat yang bersifat polar akan larut pada pelarut polar dan suatu zat non polar pun akan larut pada pelarut yang non polar. Prinsip ini dikenal dnegan prinsip like dissolve like.

Lalu, kalau dalam dunia perubatan, prinsip ini juga berlaku. Untuk obat2 yang larut dalam air, maka hanya dapat digunakan air sebagai pelarut. Sebaliknya, obat-obat yang larut dalam minyak, juga akan digunakan minyak sebagai pembawa/pelarutnya. Takkan pernah ada di dunia ini obat yang larut dalam air lalu kemudian digunakan minyak sebagai pelarutnya. Kenapa? Karena, sampai kapan pun zat tersebut tidak akan dapat larut. Sampai kapanpun, air takkan dapat bercampur dengan minyak. Ini pengecualian untuk ubat-ubatan yang dibikin pelarut campur macam eliksir, atau suspensi, ataupun emulsi nih yaaa (lha, wong sediaan macam ni ditambahkan zat pembantu tho..)

Kemudian, kita amati suspensi. Apa itu suspensi? Suspensi adalah bentuk obat cair (kalau masyarakat umum mengenalnya sebagai obat sirup saja)yang di dalamnya terdapat zat aktif yang tidak larut dalam air sehingga dirancang sedemikian rupa, yang kemudian dapat larut dalam pengocokkan. Jika dibiarkan dalam jangka waktu lama, tetap akan terjadi pemisahan, ada yang bagian endapan, ada pula yang bagian larutannya. Apa contoh? Semacam Susu Mylanta untuk maag. Atau, jika teman2 bersedia untuk kembali ke masa lalu sejenak, maka ingat-ingatlah, dahulu waktu kecil dikasi obat sirup, tapi, warnanya putih kayak serbuk susu yang dikocok dengan air itu looh(nggak bening), yang didalamnya ada obat-obatan serbuk juga. Nah, itulah yg disebut suspensi.

Lalu…lalu…, memangnya kenapa?
Hihihi…

Okeh..okeh…, mari kita blajar dari fenomena alam ini. Ehem..begini sobat. Jika kita perhatikan, prinsip like dissolve like ini sebenarnya juga tengah terjadi pada diri kita loooh. Kenapa? Sederhana saja. Kita lihat dari kecendrungan seseorang dalam memilih teman. Pernahkah kita perhatikan, teman angkatan misalnya, secara disengaja atau tidak seolah-aoalh ada pengelompokkan-peneglompokkan. Si A, temannya adalah si B, C, D, dan E. Lain pula dengan si R. Temannya adalah S, T, U, V dan W. sedangkan X, temannya Y dan Z. Okelah memang kita semua berteman secara keseluruhan, tapi, tetap ajah ada kecendrungan untuk dekat dengan orang-orang tertentu. Layaknya sebuah “kocokkan pada suspensi”, maka kondisi ekstrem akan membuat sekelompok orang bisa bersatu (contohnya, kekompakkan satu angkatan yang dibuat/dikondisikan oleh senior pada waktu ospek/pembinaan. Ini analog dengan suspensi, yang pada pengocokkan akan bercampur menjadi larutan homogen. Lalu, jika dibiarkan agak lama, pada zona aman, masing-masing akan memilih sesuai dengan kecendrungannya. Kalo dalam suspensi, sebagian menjadi endapan, sebagian lagi menjadi larutan. Begitu pun halnya dengan kita.

Prinsip like dissolve like ini (sekali lagi) ternyata memang terjadi pada kita. Jika pada suatu larutan, kecendrungannya adalah karena suatu kepolaran, maka pada manusia adalah : TERGANTUNG PADA APA YANG MENJADI ORIENTASI PADA DIRINYA. Jika seseorang yang akademisi, rata2 teman2nya pada akademisi semua. Yang kemana-mana bawa buku, diskusi, etc. hehe. Jika orientasinya adalah hal2 yang berbau-bau mode, maka “like dissolve like”nya yaaah orang2 yang modish2. Hihihi. Begitu pun, jika yg menjadi orientasinya adalah da’wah. Rata2, kecendrungannya atau “like dissolve like”nya, yaah…,jugah orang2 yang beroientasi pada hal yang sama. Maka, bolehkah aku menarik sebuah konklusi, bahwa terkadang, prinsip “like dissolve like” ini juga telah mencipta, sdikit banyaknya sebuah : ekslusifme (jika salah2 dalam memilih sikap). Allahu’alam.

Bukankah Rasulullah juga telah katakan bahwasannya, jika mau ngeliyat seseorang itu gimana, yaah..liyat temannya kek mana.

Dari Abu Hurairah ra. Bahwasanya Nabi SAW bersabda : “Seseorang itu bisa terpengaruh oleh agama kawan karibnya, oleh sebab itu, hendaklah salah seorang di antara kamu sekalian memperhatikan dengan siapakah ia bergaul. “ (Riwayat Abu Daud dan At Tarmidzy)

Prinsi “like dissolve like” lainya yang terjadi pada manusia seperti yang RAsulullah katakana jugah, dalam hal pertemanan…

Dari Abu Musa Al Asy’ary ra., bahwasannya Nabi bersabda : “sesungguhnya bergaul dengan orang-orang shalih dan orang jahat adalah seperti orang yang membawa minyak kasturi dan orang yang meniup api. Orang yang membawa minyak kasturi itu mungkin member kepadamu atau mungkin kamu membeli kepadanya atau mungkin kamu mendapat bau harum dari padanya. Dan tentang orang yang membawa api itu mungkin ia akan membakar kainmu dan mungkin kamu akan mendapat bau busuk daripadanya. “ (HR. Bukhori dan Muslim)

Dalam potongan hadits lain juga dikatakan :” ….Ruh-ruh itu berkelompok-kelompok dan berpisah-pisah. Ruh-ruh yang saling mengenal itu saling berkumpul dan ruh-ruh yang tidak saling mengenal itu berpisah-pisah” (HR. Muslim, dari Abu Hurairah)

Kalo dalam dunia psikologi, Apa istilahnya? Ikatan emosional kali yah? Hihihih… Barangkali, kajian mendalam mengenai hal ini telah diplajari di dunia psikologi. Karena diriku bukan seorang psikolog, bukan pula orang yang mengerti tentang psikologi, makanya tentu saja aku tidak berkafa’ah untuk menjelaskannya. (barangkali ada teman2 psikologi yang bersedia menguraikan prinsip “like dissolve like” yang terjadi pada manusia? Hhhihihihi.)

Nah..nah…, sepertinya, prinsip “like dissolve like” ini juga berlaku dalam hal “sekufu” dalam sebuah pernikahan. Benar tak? Polar untuk yang polar, non polar untuk yang non polar. Demikian pula dengan :
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)….” (Qs. An Nuur : 26). Dikembalikan kepada ORIENTASI APA YANG ADA PADA DIRINYA. Allahu’alam.

Ini hanya sebuah hal sederhana. Sebenarnya masih banyak hal-hal lain yang terjadi di alam ini yang jika di “ekstrapolasi” kepada kehidupan nyata ini, ternyata Equivalent! Ternyata ia bersesuaian. Bahkan rumus2 fisika dan kimia itu menurutku : adalah PENYEDERHANAAN KONSEP HIDUP atau bentuk matematis dari permasalahan-permasalahan yang ada. Jika kita perhatikan. Iya tho? Maka, afala tatafakkaruun??




Al Hurriyyah, Baiti Janatii, >>Wisma Jompo’ers-nya para jomblo’ers, hehe…<<
Dzulqo’dah 1430 H

How to be : PENDENGAR YANG BAIK


Berawal dari sebuah SMS, tentang training recovery traumatic pasca gempa di Nurul Iman , Ahad 18 Oktober ’09 kerja sama Foristek FT Unand sama Relawan Mesjid Yogya itulah, pada akhirnya kami, para Hurriyah’ers bersepakat-ria untuk menghadiri acara tersebut. Abiiii…z, trainernya langsung Ust Salim A Fillah siiiih. Kan “artis penulis” banget. Hehe. Jarang-jarang. Gratizzan laghi… (hehe, kancang ka peray c maah. Hihihi). Apalagi untuk sebuah kota kecil bernama Padang, kehadiran tokoh2 (or penulis) yg sudah “meng-Indonesia” kan benar-benar sangat jarang sekali (hihii, menyalahi kaidah bahasa Indonesia yg baik dan benar). Dari 3 (atau 4 kali yah?) kedatangan Ust Salim ke Padang, hanya kali ini bisa menghadiri (itu pun bela-belain ninggalin setumpuk tugas plus presentasi yang udah “menunggak” untuk dikerjakan. Hihi). Ini, karena saking appreciate nya, atau euphoriaaa? (aihhh, lebay deeh!). Sayang sih, Cuma dapat kesempatan bertanya 2 kali. Andai saja ada kesempatan 10 kali bertanya, ingin kuhabiskan kesepeluh kesempatannya untuk bertanya. Hihihi, rakuzz!

Aihh, koq puuuuaaanjaaaaaaang banget mukadimahnya siiy? Hehe. Hmm…, kita masuk ke subtansi dari tulisan ini (halaaah, lebay deeeh).
Konseling sederhana.
Uwwiiiiiih…, sungguh materi ini menjadi saaaaaaaaangat menarik bagiku. Benar-benar amat sangat sekali,hihi (Sebenarnya materi yg lain juga menarik, tapi, kali ini, materinya sangat aplikatif dan mungkin bisa diterapkan sama yg laen.. ). Abiizzz, ini materi “gue banget!”. Maksudnya, pas banget buat diriku yang tidak bisa menjadi “pendengar yg baik”.hihi. Makanya, diriku sangat tertarik untuk menuliskannya kembali. Selain buat review, juga berbagi bagi yg laen. Mudah2an barokah.

Konseling sederhana…hmm…boleh disederhanakan menjadi “how to be : Pendengar yg Baik”. Abisnya, aku memang susyee jadi pendengar yg baik ntu. (sulit tapi bisa, atau bisa tapi sulit?hehe). Maka, untuk orang2 yang sama sepertiku (baca : susah jadi pendengar yang baik) ini ada beberapa tips dari Ust Salim A Fillah (ijin ditulis ulang yah Ust…, hehe)

Pertama soal mengeluarkan sebuah beban, adalah sesuatu yg sangat penting mengingat kalo terus dipikul bakalan berat sendiri. Hhii. Dan salah satu cara untuk meringankan beban masalah itu adalah dengan CURHAT, cerita, atau berbagi dengan orang lain.

Kalau sekedar cerita sihh, mungkin semua orang bisa. Masalahnya, bagaimana menjadi pendengar yang baik ituhh??

Listening approach :
Hal2 yg mesti qta lakuin :
1. Tertariklah padanya. (tertarik pada orang yang tertarik pada qta??hihi)
Psikologi charisma : “orang hanya akan tertarik pada orang yg tertarik padanya”

2. Kenalilah tanpa interogasi
3. Bertanya boelh, asalkan untuk memfasilitasi flow nya cerita, tapi bukan untuk menguak rahasia
4. Yakinkan pada orang yg bercerita bahwa Cuma dia yg jadi pusat perhatian kita. Kalo perlu, timbulkan kesan seolah-olah itu adalah cerita paling menarik sedunia yang pernah kita dengar
5. Klarifikasi apa yg dilakukannya
6. Blajar memahami perasaan dibalik kata-katanya (baca unsure messages)
7. Temukan kata-kata alternative untuk menguatkan arti cerita sang curhater
8. Berikan informasi yang mungkin dapat membantu curhater memahami situasi yang lebih jelas tanpa harus berdebat dengannya
9. Bantu curhater mengingat apa yang terjadi dengan bertanya ttg kronologi waktu atau meminta mendeskripsikannya
10. Etc

Hal-hal yang mesti dihindari :
1. Memotong pembicaraan
2. Menjelaskan tanpa diminta
3. Retraumatization (meminta ngulang crita yg membuat dia trauma)
4. Membandingkan dengan cerita orang lain, apalagi dengan diri kita sendiri
5. Memborbardir dengan pertanyaan
6. Memaksakan keyakinan
7. Mengembangkan prasangka
8. menghakimi

Physical approach :
1. berada pada posisi yg tepat
2. sesuaikan posisi kepala (jangan ada satu berdiri yg satu duduk, atau lain-lain. Berhadap2an lah)
3. open postur.
4. Vernal following. Ikuti dengan respon-respon tertentu. Hihi, amat snagat benar sekali sebuah gumaman, “hmm…”, “owh…”, “ooo..”, “haaaaa…???” itu ternyata memberikan efek yang besar dalam sebuah proses mendengar
5. Adanya kontak mata
6. Posisi badan : agak condong ke depan
7. Adanya empaty : memperlakukan orang lain seperti apa yang diinginkannya
8. Relax


Mungkin ini hanya text2nya ajah. Akan lebih pas, kalo pake contoh. Tapi, kalo pake contooh, jadi puanjaaaaaaang banget. Sing penting, mudah2an bermanfaat bagi para pencari tips, gimana jadi pendengar yang baik. Hehe…

Kan sering kali tuwww, ada temen yang curhat, eeh..kita malah balik crita/curhat ke curhaternya. Wal hasil, bukannya kita dicurhatkan, malah curhat. Hayyoo….?! Tanya kenapa. Hehe.




Al Hurriyyah, Bainati Jannati…, Dzulqo’dah 1430 H

RUMAH SAKIT IMPIAN



Jika memasuki rumah sakit, apa yang pertama kali terbayang? Hmm…, bau obat, kesibukan, rintihan penderitaan, perawat judes, dokter konseling yang ga’ nyampe 1 menit, antrean puanjaaaaaaaang, hmm… apa lagi yah? Hoho, tentu saja, itu semua adalah kondisi umum Rumah Sakit yang lebih sering qta temui saat ini (baca : Rumah Sakit Pemerintah). Kalo’ swasta sih, agak lebih baik.

Nah, sekarang, memang sudah digalakkan pembenahan pelayanan rumah sakit, biar imej rumah sakit kaga serem-serem macam tuuh. Rumah sakit dibikin kaya mall, jadi nyang datang ke rumah sakit pun yaaah…dengan hati riang gembira. Gak berasa seperti rumah sakit.
Jadi, Ketika dipertanyakan, “Buat apa ke rumah sakit???” Jawabnya –versi ESQ--, “Bersenang-senang.” Hehe.

Kalo rumah sakit yg ada mall nya yang dikenal dengan “shopping hospital” itu, di mana para dokternya, perawatnya, dan semua-mua tenaga medisnya pake pakaian SPG (eit, apa yah istilahnya…??), telah berhasil membuat para pasien gak berasa seperti pasien. Dengan kata lain : imej rumah sakit yang sereeem itu bisa berubah. Kesimpulan : salah satu proses penyembuhan tidak hanya mengandalkan obat-obatan yang diresepkan, tapi juga ketenangan, kesenangan jiwaaa. Ketenangan batin, kali yaah.
Maka, ijinkan pula diriku membuat sebuah “rumah sakit impian” versi diriku. Hihihi…maksain. (jangan2 ada yg malah bilang, Siapeee loooo?? ^^)



Pernah denger orang Tanya, “Nih Rumah sakit ada mesjidnya kagak yah?”. Hummm… kayaknya pernah deeh.
Tapi pernah kagak, ada orang pada tanyain, “ini Mesjid, ada rumah sakitnya kagak yah??”
Hahaha…, langka banget tentunya (atau tidak pernah???).
Paling juga bilang, “Mesjid yaa mesjid, rumah sakit yaa rumah sakit laaaah!”. Atau paling kezzzzaaam, “Kamu ini gila apa yaaa, masak Mesjid yang ada rumah sakitnya?????” wheuheuheu….

Mesjid yang ada rumah sakitnya???
Hmm…, seperti apa yah?

Penelitian membuktikan bahwa, sebagian besar penyakit fisik disebabkan oleh penyakit “jiwa”. Maksudnya, karena berat mikir, jiwa yang tak tenang, hmm…what the else? Beban hidup. Ketidakbahagiaan. Pokok’e, permasalahan “jiwa” deeh. Penyakit fisik kemudian menjadi akibat dari penyakit “jiwa”. Missal, kerana dililit hutang yang berlipat-lipat, anak yang durhaka, beban hidup semakin berat, akhirnya seorang wanita paruh baya menderita penyakit jantung. Hehe, contoh yg standar. Tapi, yg penting, yaaa..gitu deeh.

Nah, berarti pengobatan yg Cuma mengandalkan model konvensional saja tidak cukup kan? Nah, berarti tujuan diadakannya model “shopping hospital” itu kan juga karena biar orang-orang dapet kesenangan…kebahagiaan…(duniawi saaaahaaajaaaa) kan?

Bagaimana dengan Rumah Sakit Impian yang tadi kumaksud?

Adalah di sebuah tempat yang asri, terlihat megah berdiri sebuah mesjid sebagai core of activity. Lalu, disebelahnya terdapat beberapa gedung yang juga megah, tapi didesain senatural mungkin. Ada taman-taman yang indah. Dirancang seperti villa. Lalu, tenaga medis di sana memang “in” 24 jam. Tak perlu “ngelaba” dengan menjadi dokter,perawat, farmasist, ahli gizi di rumah sakit lain karena semuanya kebutuhan hidup telah terpenuhi oleh jasa medic dari Rumah sakit itu saja.

Kegiatan penyembuhan, selain menggunakan peralatan kedokteran yang modern dan canggih, juga ada pendekatan spiritual di sana. Intinya, mesjid sebagai “core of activity” daah. Selain asupan obat-obatan konvensional, juga asupan “ketenangan” moral, ketenangan jiwa, kebahagiaan hakiki. Jadi si pasien tidak merasa rumah sakit sebagai tempat para si pesakitan, melainkan sebagai tempat menyenangkan, di mana di sana ia memperopelh ketenangan jiwa, motiviasi, suntikan spiritual. Para tenaga medisnya tak perlu pake “baju yang menyeramkan”, kecuali untuk kegiatan2 yg membutuhkan sterilitas tinggi kayak bedah.

Ehm…, itulah yang kumaksud dengan rumah sakit impian di sini.

Nah, maksudku di sini bukan segala sesuatu mesti dilakukan di mesjid. Yaa tidak lah! Di sini, hanya sebuah subtitusi, eitt..bukan ding…”re-arrangement” (hehe, kayak reaksi gugus fungsi di kimia organic ajah) antara posisi mall dan posisi mesjid. Atau bahasa lainnya (pemaknaan), “kesenangan yang sifatnya sementara” dan yang sifatnya ‘hakiki’. Atau, bahasa lainnya kesenangan yg sifatnya duniawi dan yang sifatnya ukhrawi (halaah, ada gak yaah, istilah macam ni?). Jadi, substansinya di sini bukan pada “tempatnya”, tapi, kepada tujuan penggunaan atau pemaknaannya. Hihihi…ribet yah?

Suatu saat, aku merindukan kehadiran rumah sakit yang seperti ini.


Nah..nah..nah…, ini versi aku sebagai seorang pasien rumah sakit.

Bagaimana dengan RUMAH SAKIT IMPIAN VERSI FARMASIS???

Jika boleh jujur, sejauh ini peran farmasis di kebanyakan rumah sakit itu berada di wilayah abu-abu, bukan? Antara ada dan tiada. Ada ga ngaruh, gak ada juga ga’ ngaruh. Iya tho?! Sering kali orang mempertanyakan, “Ihh, farmasis itu ngapain aja siiih?”. Kalau dosen2 menamakannya, “lahan yang tidak tergarap”.

Nah, jika memang seperti ini, gimana doong?

Baiklah, dimulai dari membangun sebuah mimpi.

“Sebuah rumah sakit, di mana pelayanan yang serba sinergis dan satu kesatuan dengan tujuan dan arah yang sama. Buakn saling kles dan saling ujuk kehebatan profesi masing-masing. Bekeja sama, bukan sama-sama bekerja.
Dokter sebagai AHLI PENYAKIT & AHLI DIAGNOSA (bukan AHLI OBAT…, sekali lagi, BUKAN AHLI OBAT!!) lalu, di sana ada Farmasis sebagai AHLI OBAT, melakukan “ADVISE” terhadap obat yang harus digunakan Pasien, mengevaluasi dan memberikan saran/komentar atas resep yang diberikan dokter. Lalu PERAWAT melaksanakan fungsinya dalam perawatan, dan ahli gizi memberikan advise yang berkaitan dengan gizi pasien.”

Jika memnag sudah begini, tentulah medication error yang sering terjadi DAPAT TERHINDARKAN. Kualitas hidup pasien dapat ditingkatkan. Dan kematian akibat kesalahan obat dapat terhindarkan.

Alangkah buruknya jika 56 % (intinya, LEBIH DARI SEPARUH) pengobatan di Rumah Sakit mengalami KESALAHAN dalam OBAT alias MEDICATION ERROR terjadi SETIAP HARI!!! Masya Allah. Lalu, siapakah yang tdak mengambil peran di sini? Siapakah yang luput? Tentu saja seorang FARMASIS, bukan? Ah, andai saja semua menjalankan peran tanpa ada ego keprofesian. Andai saja…farmasis itu ada di sana, dimana pekerjaan ini hanya bisa dilakukan olehnya. Andai saja…

Tapi, jika harus jujur lagi bila ditanyakan kepada diriku (dan sarjana farmasis maupun apoteker pada umumnya, di decade ini), jika pun PERAN ini harus dilakukan sekarang, BANYAK YANG TIDAK MAMPU MELAKUKANNYA.

Jujur, aku memang sangat malu, ketika ditanyakan mengenai hal-hal ini semua. Semakin kuliah, semakin terasa banyak yang TIDAK TAHU, dan semakin TAK BERILMU rasanya. Semakin ditanya tentang OBAT-OBATAN dan hal2 yang terkait, malah semakin melongos, bengong. Semoga, ini semua pun, semakin memotivasi kita (terutama diriku sendiri) untuk kemudian LEBIH BANYAK BELAJAR.

Sekali lagi, semua berawal dari membangun sebuah mimpi, agar para professional memang diletakkan pada profesi yang tepat. Dan mimpi kita adalah, “SEBUAH SINERGISITAS PELAYANAN MEDIS” khususnya di sini adalah peran farmasis. (spesialisasi yg bgian RS dan komuniti, tentunya. Akan berbeda jika titik konsentrasinya adalah bagian analisis (BPOM, dsb), saentis (riset obat), dan industry (product). Toh, peran bagian ini juga sangat penting, saking luasnya cakupan ilmu farmasi tu)

Maka, tiada yang dapat kita lakukan, selain “BELAJAR LEBIH BANYAK”. Tiada jalan lain, selain BELAJAR LEBIH KERAS! DARI TITIK NOL!
Semoga ini menjadi motivasi bagi kita semua terutama bagiku untuk lebih baik lagi. Suatu saat nanti, insya Allah, rumah sakit impian ini akan terwujud. Nah, sekarang tergantung pada kita, apakah kita ingin mengambil peran atau tidak.

Mungkin, ini hanyalah sebuah mimpi dari seseorang yang “masih” ingusan di bidang ini. Tapi aku yakin, insya Allah teman-teman pun punya mimpi yang sama yang ingin kita bangun bersama. Suatu saat nanti,…cepat atau lambat…

Aku, sebagai orang yang lebih dari 4 tahun memasuki sebuah dunia yang bernama farmasi, baru MENYADARI (dengan kesadaran penuh) bahwa pekerjaan ini adalah pekerjaan yang sangat mulia. (dulu-dulu sih, tauuu…, tapi sebatas teori doang. Tauu, tapi hanya sebatas itu saja). Sekali lagi, Aku baru tau, ternyata pekerjaan ini adalah pekerjaan mulia dengan ladang amal saangaaat besar. Kenapa, karena farmasis tengah “memegang nyawa” pasien (memegang disini bukan berarti seperti tuhan, yaa tidak laaah!). Karena “nyawa’ pasien tengah dipertaruhkan. Salah dalam mengambil keputusan dapat mengakibatkan kehilangan nyawa seseorang. Sesuatu yang sangat fatal. Jika benar, maka pun, seorang farmasis telah menyelamatkan nyawa seorang pasien (tentu saja atas kuasa Rabb, sang Maha PEmilik Nyawa). Nah, kejadian salah dalam pemberian obat ini sebenarnya peran siapa yang tidak optimal?? Ketidakteatan yang terjadi karena apaaa? KARENA AHLINYA TIDAK MELAKSANAKAN TUGASNYA, BUKAN?? Siapa ahlinya? Dokter? Tidak! Dokter hanya ahli penyakit. Lalu siapa? TENTU SAJA FARMASIS!!!

Baiklah!
Mungkin saatnya berubah.
Saatnya kembali menggarap lahan yang terabaikan.
Di mulai dari mimpi, lalu aksi nyata.
Karena, harapan itu masih ada. Hehehe.

(cihaaaaaaa…, koq diriku jadi crita menggebu-gebu begini yah?? Hihih… anggap saja ini curhat dariku. Hihihi)




Al Hurriyyah, baiti janati,pengujung Syawal 2009

Aku Ingin Sepucuk Cinta


“Upiak1, tadi mak sudah bicara sama mamak2 kamu.” Mak berkata datar. Pandangannya tak dialihkannya dari tumpukan kain jemuran yang baru diangkatnya tadi sore.
“Soal apa, Mak?” Aku ikut melipat kain-kain itu.
“Tentang kamu.” Aku telah menebak arah pembiaraan Mak. Pasti lagi-lagi soal jodoh itu. Apa coba permasalahan yang melibatkan mamak di Minang ini kalo’ bukan soal pernikahan?
“Apa yang dibilang Mamak, Mak?” Pertanyaan basa-basi. Sebenarnya aku sedang tak berminat untuk membicarakan hal itu. Tepatnya sudah jenuh dan bosan. Bosan dengan pertanyaan Mak tentang calon suamiku.
”Bagaimana kalau kamu dengan si Buyuang anak Pak Amir?”
Apa? Buyuang?ndak salah tuh Mak? Namun, ucapan itu cukup kutelan dalam hati. Aku tak ingin membantah ucapan Mak.
“Mamaknya Buyuang telah bermusyawarah dengan mamakmu. Dia sudah setuju. Bagaimana dengan kamu, Upiak?” Mak menatapku. Aku jadi serba salah. Namun, aku tak punya jawaban yang akan diberikan kepada Mak. Tepatnya, tak punya cara untuk menyataan tidak.
Bagaimana tidak? Aku tau siapa Buyuang itu. Preman yang sering menggoda gadis-gadis dijalanan, --meski aku bukan termasuk katagorinya. Dia juga senang berjudi, mengadu ayam, dan juga meminum minuman keras.
“Terima saja, Upiak. Kalau tidak, kamu akan jadi perawan tua, barang kali. Sudah untung ada yang melamarmu.” Ucapan Mak terdengar pedas ditelingaku. Hatiku serasa terbakar. Sangat sakit.
“Astaghfirullah, Mak. Jodoh kan sudah diatur Allah. “
“Tapi, selama ini tak ada yang datang melamarmu, Nak. Apa kamu mau menyia-nyiakan kesempatan ini?” Intonasi Mak melunak. Aku mengela nafas. Kutatap wanita dengan guratan tua yang jelas diwajahnya itu lekat. Wanita yang dengan susah payah melahirkan dan membesarkanku.
“Lalu, apa dengan begitu kita harus langsung menerima lamaran dari orang yang datang meski akhlaknya ndak baik, Mak?” Aku berujar dengan nada naik. Aku bukan tak tahu bahwasannya Mak tahu perilaku lelaki yang tengah ditawarkan Mak kepadaku itu.
“Mak hanya tak ingin kamu tak dapat jodoh, Upiak.” Ujar Mak pelan. “Toh, dulu Mak juga menikah dengan almarhum Abakmu yang juga preman.”
Ya Allah, tunjukilah Mak. Sungguh beliau masih jauh dari hidayah-Mu. Karuniakan hidayah-Mu ya Rabb…
“Mak,… Hasna yakin Allah telah menyiapkan jodoh bagi kita. Kita tak perlu khawatir, Mak. Apa Mak tega membiarkan Hasna menderita jika menikah dengan laki-laki macam itu?” Aku menyelami sepasang mata milik Mak. Meski hatiku meringis.
“Tapi, Upiak! Itu kan katamu saja. Buktinya selama ini tak ada yang melamarmu. Sadar, Nak! Berkacalah! Jangan terlalu pilih-pilih.”
“Barangkali Allah belum menetapkan saat ini adalah waktu yang tepat, Mak.” Aku menelan ludah. Hatiku memanas. “Hasna yakin, Allah akan mengirimkan laki-laki yang terbaik untuk Hasna nantinya.” Pernyataan terakhir kuucapkan dengan getir.
“Cobalah kamu pikirkan lagi, Upiak! Sekali lagi Mak bilang, berkacalah!” Mak membawa tumpukan kain yang telah selesai dilipat kesudut rumah kami yang mungil lagi sumpek. Rumah yang tentu lebih pantas disebut gubuk dengan tiga ruang utama; kamar yang multi fungsi dengan ruang tamu kalau siang hari, satu bilik yang bersekat dengan dapur dan dapur itu sendiri.
Aku memutuskan untuk menuju bilik. Perkataan Mak menyinggung perasaanku. Dan itu tak pertama kalinya, tapi acap kali. Aku bisa paham. Mak adalah orang yang biasa bergaul dengan orang-orang keras dan kasar. Tak heran perkataan beliau pun kasar. Namun, aku tetap seorang manusia yang punya perasaan. Kuhempaskan tubuhku pada dipan reyot dengan kasur tua dan bantal yang sudah kuyu. Disana kutumpahruahkan bulir bening yang dari tadi membentuk genangan air dipelupuk mata. ‘Ala bidzikrillahi tathmainnul quluub. Satu pojok hatiku menguatkan. Ya, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.
Kuraih mushaf pemberian Uni Fatimah, sang Murabbiyahku3 dan kemudian tenggelam dalam muraja’ah4. Lampu diruang itu hanya lima Watt. Terlalu remang untuk membaca Al Qur’an.
Perlahan kesejukkan menyusup dalam relung kalbuku. Betapa, hatiku benar-benar bergetar. Kurasakan Allah begitu dekat berada disisiku. Bahkan Dia lebih dekat dari urat leherku sendiri. Bulir-bulir bening kian menganak sungai. Kesejukan yang begitu menyeruak dalam sejumput jiwa yang tengah didera berbagai permasalahan. Saat-saat indah bercumbu dengan-Nya.
Kutatap wajahku lewat cermin buram yang terletak di sisi kiri bilik itu. Berkali-kali aku menelan ludah. Menatap bayangan gadis dengan kulit gelap dan bersisik, bibir hitam, dan wajah penuh jerawat. Sepasang mata itu seperti seolah melotot, hidung yang sangat jauh dari mancung, bahkan lebih cendrung melebar ke kiri kanan. Dan, dua gigi depan yang selalu menonjol keluar yang menyebabkan bibir legam itu tak pernah bisa terkatup rapat. Semua itu adalah komponen pennyusun seonggok tubuh manusia bernama Nur Hasna. Ya, itu diriku.
Namun, aku belajar bersyukur atas semua yang telah dikaruniakan Allah itu. Bagiku, Allah telah menciptakanku dengan begitu sempurna. Aku lebih baik dari orang yang tak dikaruniakan-Nya mata untuk melihat, aku lebih baik dari orang yang tak dianugrahkan-Nya telinga untuk mendengar, bibir untuk berbicara, dan tangan untuk memegang, serta kaki untuk melangkah. Aku diberi nikmat kesehatan, sementara begitu banyak orang yang terbaring tak berdaya di rumah sakit. Aku lebih baik dari mereka. Dan aku sangat bersyukur atas itu semua.
Dan, aku sangat lebih beruntung ketika Dia menganugrahkan kepadaku nikmat yang jauh lebih indah. Yap, nikmat hidayah-Nya. Nikmat untuk merasakan betapa indahnya mengadu pada Allah saat kebanyakan manusia terlelap dan terbuai mimpi. Nikmat untuk senantiasa tak merasa kenyang dengan kalimat-kalimat-Nya, dengan Al Qur’an-Nya. Dan aku yakin, tak semua orang dapat merasakannya.
Sebuah slide berputar dalam benakku. Masa ketika pertama kali aku diperkenalkan dengan dunia yang begitu indah yang mau menerimaku dengan tatapan hangat dan bersahabat. Setelah sebelumnya aku kenyang dengan ejekan, dan juga yang teramat menyakitkan, tatapan penuh ketakutan dari anak-anak kecil ketika melihatku. Atau tatapan anak-anak nakal yang mengejekku dengan ejekan yang terlalu pedih untuk disebutkan. Ketika terhempas dan merasa diri tak berguna itulah, aku bertemu dengan orang-orang yang mau memelukku hangat, membuatku merasa dihargai sebagai seorang manusia. Mereka adalah orang-orang mulia yang mengantarkanku ke jenjang tarbiyah, menemaniku mengenal dunia Islam yang sungguh luar biasa. Menuntunku kepada kebenaran hakiki yang sering dilupakan banyak orang. Subhanallah…
Masa-masa itu adalah ketika aku menduduki kelas dua SMP. Uni-uni yang tengah menduduki kuliahlah yang menuntunku. Mengenalkanku pada kelompok kajian intensif yang dilaksanakan secara kontinu, hingga saat ini, saat aku telah menginjak usia dua puluh tiga. Dan aku sangat mensyukuri karunia-Nya ini.
Satu lagi nikmat terbesar yang dikaruniakan-Nya kepadaku. Yap, itu adalah nikmat terbesar yang membuatku tak henti-Nya mengucap kalimat syukur. Nikmat untuk menjadi penjaga Kalimat-kalimat-Nya. Penghafal Al Qur’an. Alhamdulillah, aku telah menghafalkan Al Qur’an tiga puluh juz. Bukankah itu suatu nikmat terbesar yang kupunya sebagai karunia terindah dari-Nya? Maka nikmat Allah mana lagi yang patut kuingkari setelah sekian banyak nikmat-Nya teruntuk padaku?
*****
Hari semakin berlalu. Mak masih mempermasalahkan soal pernikahanku. Bahkan, terkesan memaksaku untuk menerima perjodohan itu. Mak berpendapat, “sudah untung ada yang melamar kamu, Upiak! Sudahlah, terima saja! Dari pada kamu jadi perawan tua. Ingin mengunggu siapa lagi kamu, hah? Mak tak yakin akan datang orang lagi setelah ini. Kesempatan tak datang dua kali, Upiak!” Ya, seperti kebanyakan orang tua, Mak sanagat khawatir aku tak dapat jodoh. Apalagi dengan kondisi fisikku seperti ini. Bagi Mak dan kebanyakan orang di kampungku, usia dua puluh tiga itu sudah terlalu tua. Apalagi, soal fisik dan harta itu masih sangat menonjol. Padahal, Rasulullah mewasiatkan bahwasannya memilih pasangan hidup itu hendaklah memprioritaskan agamanya terlebih dahulu.
Apakah salah jika aku menginginkan seorang pendamping hidup yang shaleh? Aku tak berharap dia seorang kaya dengan pekerjaan bonafit, seorang yang sangat tampan, lulusan universitas ternama dengan IP tinggi. Cukup seorang yang shaleh, titik! Sosok yang mau menerimaku apa adanya. Aku yang hanya seorang lulusan SMA. Meski kemudian aku ikut lembaga Tahfidz Qur’an yang sama sekali tak membayar. Yah, lagi-lagi karena himpitan ekonomi itulah! Padahal, semasa SMA aku juara kelas dan secara akademis berpeluang besar untuk kuliah. Aku tak ingin menyusahkan Mak. Itu saja. Tapi, aku tetap ingin bersyukur dengan keadaanku saat ini. Setidaknya, aku masih senang melahap banyak buku ilmu pengetahuan, apapun itu. Aku ingin, punya pemikiran cerdas. Aku tak ingin ketinggalan dari teman-temanku yang punya kesempatan untuk kuliah.
Salahkah jika aku ingin punya qawwam yang menuntunku ke syurga, tidak ke neraka-Nya? Aku ingin pula membentuk keluarga Qur’ani yang rumahnya ramai dengan lantunan Al Qur’an, yang penghuninya senantiasa mengamalkan isi Al-Qur’an, senantiasa mentadabburinya dan menghafalnya. Aku ingin pula punya imam yang mengajakku qiyamullail setiap malam dan menta’limku dengan ayat-ayat-Nya. Itu saja! Sekali lagi, tak perlu ganteng, kaya, dan punya pekerjaan bonafit! Lalu salahkah aku? Tak bolehkah?
Pemikiran itu terus menderaku. Hingga langkahku kini terseret kerumah Uni Fatimah. Untuk sekedar melepas gundah, menatap wajah teduh nan cantik itu. Memenuhi akan rasa haus ukhuwah yang terasa begitu indah.
“Assalamu’alaikum.” Kuketuk daun pintu jati itu tiga kali. Aku kini telah sampai didepan rumah yang sederhana tapi asri itu. Langkah-langkah kecil terdengar dari balik pintu.
“Wa’alaikumcalam” Terdengar suara cadel milik Zaid, anak uni Fatimah yang baru berumur tiga tahun. Jundi kecil itu dulunya sering takut melihatku, tapi kini telah akrab denganku. “Eeh.., Ammah Canah? Yuk macuk!” katanya gembira. Sang ummi yang tengah berdiri dibelakangnya ikut tersenyum. Aku mengucap salam dan memeluk Uni Fatimah, lalu si kecil Zaid.
“Gimana kabarnya, ukhti?”
“Alhamdulillah baik. Uni gimana?”
“Alhamdulillah…”
Ummahat berumur tiga puluhan itu mempersilahkanku duduk dan mengidangkanku secangkir teh hangat dan satu toples kue kering. Kami larut dalam cerita. Pada akhirnya, aku ceritakan jua perihal keinginana Makku untuk menjodohkan aku dengan preman itu. Aku ceritakan bagaimana aku tak ingin melawan pada Mak, dan tak ingin mengecewakan beliau.
“Uni, carikan untukku ikhwan yang bersedia menerimaku apa adanya. Tak perlu ikhwan yang punya jam terbang tinggi, ganteng dan kaya. Yang penting shaleh dan punya komitmen terhadap dakwah. Uni, Hasna tak ingin punya qawwam yang tak punya iman. Uni,… Mak sudah hampir memaksa Hasna. Bahkan, diam-diam beliau telah merencanakan pernikah Hasna dengan Mamak”
“Ukhti,… bersabarlah. Allah pasti takkan menimpakan ujian berat jika hamba-Nya tak sanggup memikulnya. Ishbiri ya ukhti…, Insya Allah, Dia akan memberikan pilihan yang terbaik yang punya kualitas iman sama dengan anti. Uni yakin dan percaya, dengan kualitas Hasna yang sedemikian tinggi ini, anti tak akan disia-siakan oleh-Nya. Bersabarlah ukhti… banyaklah berdo’a, memohon kepada-Nya”
Aku tergugu. Kalimat-kalimat yang disampaikan uni Fatimah memang benar-benar memenuhi rongga dadaku. Oh Allah tolonglah hamba-Mu ini…
*****
“Upiak, pernikahan kamu sudah Mak siapkan! Tinggal menunggu hari. Kira-kira sebulan lagi. Kamu persiapkanlah diri.” Kata-kata Mak malam ini bagai petir menyambar ditelingaku.
“Apa, Mak? Tidak bisa begitu, Mak! Hasna kan belum setuju.!!” Aku protes. Dadaku bagai tertohok alu besar. Hatiku serasa dicincang.
“Kamu harus setuju, Hasna! Kalau tidak, kapan lagi? Mak tak suka kamu menolak begitu, padahal dia sudah bersedia menikah dengan kamu.”
Kata-kata Mak terasa sangat menyakitkan bagiku. Aku ingin melawannya. Tapi, aku tak ingin menjadi anak yang durhaka dengan berkata yang tidak baik kepada Mak. Meski yang diperintahkannya adalah perintah yang tak baik, tapi aku ingin menolaknya dengan cara yang ma’ruf. Namun, untuk saat ini, kemarahanku sudah sampai diubun-ubun. Jika diteruskan, pasti akan melukai perasaan Mak.
Segera aku menuju sumur belakang. Membasahi tubuhku dengan wudhu’ lalu mengurung diri di bilik. Kutunaikan shalat dua raka’at, lalu bertilawah. Bulir-bulir bening menganak sungai di pipiku. Betapa sedihnya hati ini mendengar berita mengejutkan itu. Aku teringat akan pembicaraan yang tak sengaja kudengar saat melewati pos pemuda siang tadi.
“Kenapa ang mau pula menikah dengan padusi buruk rupa itu, Yuang?”
“Ang indak tahu! Padusi5 itu sangat menarik untuk dibuat mainan, wua..haa..haa… Padusi macam itu kan tipe istri setia. Kita kan masih bisa ‘main’ di luar. Ha..haa..haa..”
Betapa sakitnya hatiku. Aku benar-benar merasa harga diriku diinjak-injak. Aku tak ingin seburuk itu. Aku ingin menjadi istri yang baik, patuh dan berbakti pada suamiku, pada imamku. Lalu, aku akan bersuamikan orang macam itu? Na’udzubillah…, Dosa apakah yang telah kuperbuat pada-Mu Rabb, hingga Engkau timpakan ujian yang begitu berat?
Berulang kali aku menghalau rasa sedih dan pilu di hatiku dengan beristighfar. Namun, rasa itu makin perih mengiris ulu hati. Menyayat lembaran batinku. Air mata yang kini telah kering dan menyisakan bengkak dipelupuk mataku belum apa-apa dibanding hancurnya hatiku.
Miris kubayangkan beberapa ikhwan yang menolakku saat ta’aruf ketika melihat kondisi fisikku. Mereka ikhwan itu menolak dengan alasan yang berbeda namun maksudnya nyaris sama. Yap! Sama-sama menolak dengan alasan fisik semata. Ah, barangkali Allah akan menghadirkan untukku ikhwan yang lebih berkualitas yang tidak hanya berorientasi pada fisik semata. Kendatipun, ikhwan juga manusia yang cendrung pada yang cantik, pada yang lebih wah. Namun, hanya Ikhwan yang ketulusannya dan keikhlasannya benar-benar terujilah yang mampu melihat dengan mata hati yang bernama iman.. Insya Allah aku akan mendapatkannya. Begitu kata uni Fatimah.
Ya Allah, bukannya hamba tak bersyukur diberikan keadaan seperti ini ya Rabb,… tapi hamba hanya tak ingin hamba menjadi orang yang kufur dengan nikmat-Mu. Sungguh sangat banyak nikmat-Mu ya Rabb…dan hamba ingin menjadi orang yang senantiasa bersyukur pada-Mu.
Wahai Allah, hamba yakin, ditangan-Mulah letak segala kepitusan itu. Hamba sepenuhnya percaya ya Rabb, bahwa keputusan-Mu adalah keputusan yang terbaik. Rabb,… berikanlah yang terbaik bagi hamba ya Allah,…
Ya Allah, karuniakan bagi hamba qawwam yang juga mencintai-Mu. Seseorang yang senantiasa dekat dengan-Mu, dan senantiasa berjihad dalam memperjuangkan agama-Mu. Bukan imam yang lupa pada-Mu, bukan imam yang membawa hamba ke neraka-Mu. Rabb,…karuniakan yang terbaik untuk hamba ya Allah, ya Rahman ya Rahiim.
Ya Allah,…jangan Engkau letakkan di pundak hamba beban yang tak sanggup hamba memilkulnya ya Rabb… Engkau Maha Mengetahui apa-apa yang terbaik bagi hamba-Mu ya Allah,…
*****
Waktu yang berjalan semakin menyiksaku. Aku merasa tengah menempuh jalan gelap yang curam dan penuh duri. Hari yang mengerikan itu semakin dekat. Aku hanya ingin mempasrahkan kepada sang Maha Pemilik Keputusan. Aku hanya ingin merasa selalu dekat dengan-Nya, mengingat-Nya dikala suka maupun duka.
“Upiak, ada teman kamu datang.” Mak memberi tahu ketika aku tengah termenung sendiri didalam bilik pagi hari yang cerah ini. Akhir-akhir ini, aku merasa tak bersemangat membantu Mak mencuci kain orang,--pekerjaan yang kami tekuni dan juga membantu para tetangga untuk memanen sawah, lalu kami diberi upah. Aku lebih senang mengurung diri di bilik.
Betapa berbinar wajahku, ketika kudapati yang datang adalah Uni Fatimah. Setelah berbasa-basi sedikit, Uni Fatimah menyatakan maksud kedatangannya.
“Ada yang ingin ta’aruf dengan anti, ukh… Ini biodatanya. Silahkah dibaca.” Wajah legam penuh jerawatku memerah. Dadaku bergemuruh. Ya Allah, akankah ini jawaban dari permohonan hamba??
“Insya Allah, sore ini beliau bersedia untuk ta’aruf. Ukhti datang ke rumah ya…, ba’da Asyar insya Allah.”
“Sore ini, Uni?” Dadaku kembali berdebar tak karuan. Anggukan yakin uni Fatimah semakin memacu detak jantungku.
*****
Lelaki tegap dengan kulit coklat tembaga , jangkung, berhidung cukup bangir. Ya, dialah ikhwan yang dua minggu lalu berta’aruf denganku. Dia menyatakan kesediaannya untuk menikahiku. Seorang mantan aktivis kampus di Universitas tempat dia kuliah dulunya. Juga seorang sarjana Teknik yang punya segudang aktivitas dakwah. Dan telah bekerja di perusahaan elektronik cukup berkelas. Empat tahun lebih tua dariku.
Betapa aku ingin selalu menyimpan di relung memoriku, tentang sepotong kalimat yang membuat aku begitu terpesona; ana hanya ingin seorang akhwat yang komitmen dengan dakwah, dan sang hafidzah yang siap membentuk generasi qur’ani. Kalimat itu diucapkannya mantap waktu itu.
“Apa antum takkan kecewa dengan kondisi ana?” Bahkan aku yang merasa tak pantas untuk mendampingi ikhwan luar biasa itu.
“Bagi ana, semua ini sudah lebih dari cukup. Allah tak pernah melihat rupa seorang hamba, namun,Dia akan menilai ketaqwannya.”
Aku benar-benar bersyukur atas karunia-Nya. Allah, Maha Rahman dan Maha Rahim memberiku lebih baik dari apa yang kupinta. Lalu, nikmat Allah mana lagi yang pantas manusia dustai? Sungguh Dia akan menambah nikmat-Nya bagi orang-orang yang bersyukur.


(cerpen ini awalnya diajukan untuk antologi cerpen pernikahan FLP Sumbar, tapi kagak lolos. Huhuhu. Akhirnya dikirim ke Harian Singgalang. Alhamdulillah, diterbitkan. Di Koran Harian Singalang, 7 Desember 2008)


Keterangan :
1. panggilan terhadap anak gadis di Minang
2. paman (kalau di Minang paman memiliki andil yang besar dalam membuat keputusan)
3. guru pembina/guru ngaji
4. mengulang kembali hafalan Al Qur’an
5. perempuan

Carikan Mozaik

“Ng..ng…emm…brmmm…” Gumaman tak jelas keluar dari mulut mungil Iza. Tak ayal, gumaman itu cukup membuat kepalaku tertoleh pada tubuh mungil yang tengah beringsut di ruang tengah. Ruang itu telah dibuatnya berantakan. Tangannya sibuk meraih model huruf-huruf berwarna-warni berbahan dasar plastik. Kuteruskan pekerjaan mengupas bawang yang sempat terpenggal sejenak. Setidaknya, dari dapur ini aku masih bisa mengawasinya.

Tiba-tiba,

Brakk!

Terdengar seperti sesuatu yang jatuh. Aku terkesiap. Segera kutinggalkan goreng ikan yang sedang kumasak dan berlari ke ruang tengah. Ya Allah!

”Izaa....” Panggilku panik. Tubuh mungil itu kini dipenuhi tumpukan buku-buku. Segera kuselamatkan gadis kecilku itu. Tumpukan buku yang menindihnya kembali kutaruh di atas meja. Aku sangat ceroboh menaruhnya terlalu dekat dengan pinggiran meja. Pasti dia sudah mengacak-acaknya.

”Izaa..., tidak boleh ya. Nanti, kalau bukunya jatuh lagi menimpa Iza, kan sakit.” Terangku padanya. Rupanya ia sedang mengamuk. Meraih segala sesuatu dan berusaha memukulkannya ke mana pun ia bisa. Wajahnya memerah. Jika dia sudah mengamuk, tak ada satu barang pun yang aman darinya.

”Iza kenapa sayang?” Kucoba mencari matanya. Tapi, tak sedikit pun mata bundar dengan cahaya yang berpendar itu membalas tatapanku. ”Iza marah ya? Sama siapa? Sama Bunda?” Kupegang kedua bahunya lembut.

Barangkali sia-sia saja jika aku berharap untuk disahut. Betapa pun sangat rindunya aku dipanggil ”bunda” oleh malaikat kecilku itu. Sebab, hanya gumaman yang tak jelas yang keluar dari mulut mungilnya. Hanya itu. Tak lebih.

”Ng..ng...,grrrhhh...” Iza masih saja mengamuk dan berusaha melepaskan diri dariku. Lalu melempar semua mainan yang dipunyainya ke mana pun dia bisa. Aku benar-benar dibuatnya panik. Badannya yang sangat bongsor tak sanggup kutahan. Sungguh, aku dibuatnya kelelahan.

”Iza, hayo, bilang ke Bunda, Iza kenapa? Ayo sayang.” Aku mencoba menenangkannya. Segera kuambil kartu ”ekspresi” yang berada dalam map binder tersusun bersama tumpukan buku-buku. Sebuah PECS (Picture excange communication system). Kuarahkan padanya ekspresi wajah orang senyum –meski aku tahu itu bukan ekspresi yang tepat-- tapi, sungguh aku ingin ’mentitrasi’ saja. Gadis kecilku itu menggeleng segera. Respon yang membuatku tersenyum, lega. Kuacungkan ekspresi murung. Lagi-lagi menggeleng. Lalu, ekspresi marah. Gadis kecilku itu mengangguk cepat. Lagi-lagi, sungguh ada kebahagiaan lain yang menyeruak di bilik hatiku. Sungguh, ini semua telah cukup membuatku bangga. Bangga yang tentu bukan apa-apanya bagi ibu lainnya. Dan, kalau aku boleh menamakannya, ini adalah anugrah dari Allah atas usaha panjang kami yang melelahkan.

”Kenapa sayang?” Tanyaku. Mencoba mengulas senyum. Tangan kecilnya serabutan memilih kartu-kartu dalam map binder yang berisikan gambal, simbol, dan foto. Koleksi gambar itu tidak hanya mewakili kata benda melainkan juga emosi dan perasaan. Tangan Iza mengambil satu gambar kucing.

”Ohh..., Iza sebel sama kucing ya?”

Belum selesai kubercakap –lebih tepatnya berkomunikasi-- dengan malaikat kecilku itu, tiba-tiba aroma sesuatu memenuhi ruangan. Ada asap hitam dari arah dapur. Ya Allah, gorenganku! Cepat-cepat kuberlari ke arah dapur. Fiuff..., oh melelahkannya.

***

Hari ini hari ibu. Dua puluh dua desember. Terkadang, aku ingin bertanya, apa hadiah yang diinginkan oleh seorang ibu di hari yang bersejarah ini? Kado? Diajak jalan-jalan? Atau hanya sekedar untaian puisi pertanda sayang? Entahlah. Barangkali tak ada yang bisa kuharapkan dari malaikat kecilku itu. Tak ada. Untuk apa aku berharap?

Siang yang terik, ketika jutaan para ibu lainnya mungkin sedang merayakan hari istimewa ini bersama anak-anaknya, aku malah berada di pinggiran kolam renang khusus untuk anak-anak. Iza sangat suka berenang. Aku biarkan saja ia berbahagia dengan pelampung berbentuk bebek berwarna orange itu. Wajahnya benar-benar sumringah ketika menciduk cairan bening itu. Aku berani melepasnya sendiri sebab siang ini cukup sepi.

Di tempat duduk yang tersedia di pinggiran kolam, aku tercenung. Menatapi tubuh mungil itu dengan warna rasa yang tak dapat kudefinisikan. Kalau boleh, ingin rasanya aku meratapi nasibnya.

Dahulu, dulu sekali masih lekang di ingatanku betapa besar mimpiku untuk menjadi sekolah pertama bagi anakku. Jauh sebelum akad sakral itu terucap, semua buku-buku yang berkaitan dengan mendidik anak dan dunia parenting telah kulahap habis-habisan. Alasannya sederhana saja, aku ingin jadi ibu dengan persiapan. Tidak hanya learning by doing. Bukan sekedar punya anak lalu membesarkannya tanpa ada sesuatu yang berarti yang ingin kuhadirkan.

Masih segar di ingatanku betapa dengan penuh semangat kutulis di papan organizerku tentang cita-cita besarku untuk menjadikan anak-anakku generasi Rabbani, anak-anak cerdas yang insya Allah akan menjawab tantangan masa depan umat, calon pemimpin masa depan, sosok yang berilmu, sosok yang ditunggu kedatangannya. Betapa aku sadar dengan sesadar-sadarnya, bahwa untuk mempersiapkan itu semua tak cukup dengan mata kuliah dua SKS. Tak cukup hanya dengan persiapan sesaat. Sebab, jika ingin memperbaiki bangsa, maka yang harus perbaiki terlebih dahulu adalah kaum ibunya. Karena itu, kupandangkan tekad dengan begitu kukuh.

Dan masa itu pun datang. Masa di mana aku diamanahkan-Nya sebagai seorang ibu. Tak terkira bahagiaku kala itu. Kembali kususun draft dan masterplan tentang apa saja yang harus kupersiapkan. Persiapan fisik, tentu saja. Aku tak mau kekurangan gizi dan asupan zat-zat penting membuatnya bodoh dan cacat. Persiapan ruhiyah dan kejiwaan, sangat penting. Ini adalah bagian yang paling esensial bagiku. Sebab, sebagai sekolah pertama bagi anak, tentulah aku akan menjadi contoh ikutannya. Lalu, tak ketinggalan info-info yang berkaitan dengan itu. Tentu saja. Percuma saja berbuat tanpa ilmu, bukan?

Waktu pun berlari begitu kencangnya yang terkadang membuatku begitu tertatih mengikutinya. Tak ada kecurigaan sedikit pun ketika aku mengamati perkembangan Iza, anak pertama –yang mungkin sekaligus menjadi anak terakhirku sebab pasca melahirkannya, rahimku diangkat karena kista di mulutnya—yang cendrung lebih lamban dari teman sebayanya. Sementara Rahmah, anak tetanggaku yang usianya hanya berselisih tiga hari dengan Iza sudah demikian pesat perkembangannya. Umur satu tahun, dia sudah berlari dengan kencang dan mulai mengucapkan sau persatu kata-kata. Iza di umur yang sama belum bisa apa-apa. Hanya bisa tidur di box bayinya. Kalau terjadi sesuatu padanya, dia hanya menangis, mengamuk, atau menceracau tanpa kutahu maknanya.

Pada awalnya, aku mengira ini semua hanya perkembangan alamiah yang tidak menimbulkan masalah. Barangkali saja anakku memang lebih progresif dibandingkan yang lain. Aku membiarkan saja dia berkembang dengan sendirinya, sembari memberikan suplemen ASI yang cukup. Namun, di tahun kedua, belum ada perubahan yang begitu signifikan terhadap tumbuh kembangnya. Lain dengan anak tetanggaku yang bahkan sudah bisa berkomunikasi dengan orang sekelilingnya.

Ketika aku mengkomunikasikan masalah ini kepada Uda Faiz, suamiku yang sedang bertugas di sebuah perusahaan kayu di Kalimantan, beliau hanya mengatakan ”Tidak usah terlalu dipikirkan Fa’. Insya Allah, lambat laun Iza akan berkembang dengan baik.” Walau aku cukup tenang dengan pernyataan Uda Faiz, tapi, sungguh ada kekhawatiran besar yang menggelayuti persendian batinku. Naluri keibuanku tetap mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.

Hatiku semakin kisut ketika menyaksikan Rahmah sudah bisa sedikit-sedikit membaca. Dia mulai hafal beberapa do’a, menyebutkan angka dari satu sampai sepuluh dalam bahasa arab dan inggris. Berbeda sekali dengan Iza. Aku benar-benar curiga, ada sesuatu yang tidak beres dengan anakku. Sampai umur tiga tahun pun dia belum bisa berbahasa dengan baik, bahkan hanya untuk menyebutkan kata ”bunda”. Ia tak acuh dengan perintah sederhana yang kukatakan padanya meskipun sudah sangat sering kuulang-ulang. Yang paling menyedihkan lagi, dia tak pernah mau menatapku setiap aku berbicara padanya. Dia seperti punya dunia sendiri.

Hingga kemudian kucoba membawanya ke berbagai tempat yang dianjurkan banyak orang. Mulai dari dokter anak, psikiater, pengobatan alternatif, psikolog anak. Semuanya sudah kucoba. Pada akhirnya, aku benar-benar harus terhenyak dengan kenyataan yang harus kuhadapi. Kenyataan yang sedikit pun tak pernah terlintas dalam alam pikiranku. Kenyataan yang membuat langit di atas kepalaku seakan mau runtuh menimpaku. Kaki yang menopang tubuhku seperti sangat goyah untuk menyangga tubuh ini. Aku harus menerima kenyataan itu, bahwa anak semata wayangku salah satu penderita autisme. Yah, gangguan perkembangan yang menyangkut interaksi sosial, perilaku, dan bahasa para penyandangnya. Sebuah penyakit gangguan sistem syaraf/neurologi kompleks yang membutuhkan penanganan intensif, seumur hidup!

Buyar sudah semua cita-citaku. Buyar sudah impianku untuk menjadi seorang madrasatul ‘ula bagi seorang calon pengusung peradaban. Buyar sudah keinginanku untuk menjadikannya bintang cerdas yang bersinar cemerlang. Mimpi-mimpiku itu telah mengalami dilatasi yang begitu jauh. Sungguh jauh! Berharap dia bisa menguasai sepuluh kata sehari saja sudah menjadi impian bagiku saat itu. Sangat jauh dari obsesiku yang kutulis beberapa tahun sebelumnya, ketika aku sangat menginginkan anak yang cerdas yang barangkali sudah hafal juz ‘amma di umurnya yang tiga tahun. Atau, sudah dapat bercakap-cakap bahasa Inggris di umurnya yang masih dini. Semua seperti carikan mozaik yang tak bersesuaian. Aku sudah sangat capek untuk mencocokannya. Sungguh.

Perjalanan hidupku bersama Iza selanjutnya adalah perjuangan yang sangat melelahkan. Ditambah lagi, Uda Faiz sangat jarang sekali pulang karena jarak Kalimantan-Sumatera Barat itu sangat memakan biaya besar dan waktu yang lama. Uda Faiz harus naik kapal berhari-hari untuk sampai di sini. Ongkos pesawat di kala itu benar-benar tak terjangkau oleh kami. Kami bersepakat, lebih baik biaya pulang yang tiga kali setahun dialihkan saja menjadi dua kali atau bahkan sekali setahun saja untuk menambah biaya pengobatan Iza. Mengurus kepindahan pun sangat sulit. Aku sendiri tidak bisa lagi intens mengajar di semua sekolah menengah swasta karena harus intensif merawat Iza. Satu-satunya sumber dana utama memang dari kiriman Uda Faiz. Kadang-kadang, juga dari honorku menulis.

Memasuki tahun ketujuh usia Iza, belum ada perubahan yang berarti. Aku potang-panting ke sana-kemari mencari jalan. Bertanya kepada banyak orang. Mencoba melenyapkan fakta tentang banyaknya mata yang menatap iba kepada Iza. Berbagai upaya kulakukan. Mencari berbagai referensi di mana pun termasuk di dunia cyber. Apalagi, di kota kecil bernama Solok belum begitu populer pengobatan dan sekolah khusus anak autis. Aku harus bolak-balik ke Padang untuk melakukan terapi Iza setiap bulannya. Itu semua butuh dana yang tidak sedikit. Hingga seorang kenalan memberitahuku mengenai sistem komunikasi PECS (Picture excange communication system). Setidaknya, dengan usaha yang panjang dan sangat melelahkan ini akhirnya sedikit banyak aku bisa berkomunikasi dengannya.

”Coba sama Mak Datuak itu Fa’. Mana tahu nasib Iza bisa berubah.” Tawar ibuku suatu hari. Yang dimaksud oleh ibu adalah dukun kampung di pelosok kecamatan Kubung.

”Aduh, gimana ya Bu? Syifa’ menghargai usaha ibu untuk menolong Iza. Tapi,...itu kan syirik Bu. Pakai jin-jin segala.” Alasanku.

”Kamu ini, selalu saja indak menuruti kata ibu. Ibu yakin sekali kamu dulunya tasapo di jembatan ketika kamu hamil Iza. Waktu itu kamu sempat demam tiga hari. Iya kan? Juga waktu Iza lahir, kamu tak mau membungkus bawang putih di kainnya Iza. Itu kan penangkal palasik.”

Waktu itu kutanggapi dengan senyum saja. Sebab, walau bagaimana pun sangat sulit memberikan penjelasan kepada Ibu. Paham nenek moyang itu sudah sangat melekat pada diri beliau. Aku sudah mencoba berkali-kali sebelumnya. Namun tak ditanggapi ibu. Aku tak mau mendebat beliau lebih panjang. Sebab aku hanya takut melukai perasaan wanita yang telah membesarkanku dengan penuh kasih sayang itu.

Kadang, aku begitu bersemangat mencari terapi baru untuk penyakit Iza. Namun, di lain kesempatan aku juga merasakan suatu keputusasaan. Akankah aku harus terus mengeloninya seumur hidup? Apakah salah jika aku berharap dia sedikit lebih mandiri. Terlalu berlebihankah aku jika aku berharap untuk dipanggil ”Bunda” oleh anakku? Bukankah itu semua adalah keinginan yang sederhana?

Bahkan, sampai saat ini aku selalu kesulitan jika menanganinya jika sedang mengamuk. Pernah suatu hari, laptop yang kubeli dengan susah payah --agar aku bisa menulis di kala aku sedang menemaninya terapi untuk menambah pemasukan-- dalam beberapa menit saja telah disulapnya menjadi barang rongsokan akibat keusilannya mengotak-atik dan menghempaskannya. Fiuff..., sungguh sangat melelahkan. Aku jatuh-bangun, terombang-ambing.

”Ng..ng...” Panggilan dari Iza membuyarkan lamunanku. Aku menoleh padanya sembari melempar senyum. Hingga mendekati usia delapan tahun ini, Iza hanya bisa mengucapkan gumaman yang tak jelas. Tak lebih dari itu.

”Ada apa sayang?” Aku menyampirkan sehelai handuk kepadanya seraya membantunya menuju ruang ganti. Gadis kecilku itu menurut saja ketika kudandani dia. Setelah semuanya selesai, tangan kecilnya mengambil binder map dan mengacungkan foto rumah kami kepadaku. Kembali kuulaskan senyum.

”Iza mau pulang ya?” Tanyaku. Malaikat kecilku itu mengangguk. Sungguh, respon seperti ini adalah hal yang biasa bagi kebanyakan ibu-ibu dengan anak-anak yang normal. Tapi bagiku, ini sudah sangat luar biasa. Respon yang sungguh kutunggu bertahun-tahun. Perlu usaha yang begitu panjang untuk bisa sampai seperti ini. Yah, baru seperti ini.

Perjalanan pulang kujalani dengan lebih riang. Lebih ringan. Apalagi, sore ini kami akan menjemput ayahnya Iza ke bandara BIM di Padang Pariaman. Setelah delapan tahun, akhirnya Uda Faiz bisa mengurus pindah ke Padang. Wajah Iza diliputi tawa yang berbeda dengan hari sebelumnya. Barangkali dia mulai faham, bahwasannya kami akan menunggu kedatangan ayahnya.

Sesampai di rumah, gadis kecilku itu langsung menyodorkan pakaian baru yang kubelikan beberapa hari yang lalu. Meski ketika kuhadiahkan pertama kali padanya, gadis itu tak acuh. Dia tak menghiraukanku dan sibuk dengan bonekanya tanpa peduli padaku. Seolah-olah aku tak ada. Ia hanya memanggilku jika dia membutuhkanku saja. Namun, agaknya saat ini dia mulai paham. Oh, sungguh betapa bahagianya hatiku. Cepat-cepat kupasangkan untuknya.

Setengah jam kemudian, kami telah duduk di depan teras rumah, menunggu travel yang akan membawa kami ke bandara. Iza, seperti biasa sibuk dengan alam pikiran dan dunianya sendiri. Namun, dia lebih cerah. Sangat riang sekali. Beberapa kali dia melompat-lompat.

Hingga,

”Ng...brmm...zzrr” Panggilnya. Aku menoleh. ”Ng...brmm...nda” Panggilnya lagi.

”Ada apa sayang?”

”Saa...saayy yang...Ndaa...” Ucapnya. Bola mata bening itu berpendar. Wajah lugu itu menatapku sesaat. Hanya sesaat.

Allahu akbar!!!

Segera kupeluk erat malaikat kecilku itu. Oh Allah, the dream comes true! Betapa aku bermimpi mendengarkan dia mengucapkan kata ”sayang” kepadaku. Carikan mozaik itu seolah kutemukan kembali untuk kupasangkan pada puzzle kehidupan ini. Oh, sungguh semuanya seperti terbayar. Kelelahan seperti tertebus. Adakah yang lebih membahagiakan dari ini semua? Atau, inikah hadiah spesial untukku dihari yang istimwa bagi para ibu ini?***END***

Sepenggal Nelangsa

Titik saturasi!

Yah, jenuh. Aku benar-benar mencapai titik jenuh. Jenuh atas semua ini. Tolong jelaskan padaku, apa yang harus aku lakukan. Ini sama saja dengan menyuruhku melarutkan segelas gula dalam segelas air. Sampai dunia kiamat pun takkan pernah larut. Lalu, akan kunamakan apa lagi semua ini?

Aku jenuh atas ketidakbiasaan ini. Aku jenuh menjadi makhluk asing di rumahku sendiri. Aku jenuh dengan atmosfir kehidupan yang sama sekali tak lagi sama. Aku kehilangan semuanya. Aku kehilangan Kak Faiz, juga Rhian. Tak ada lagi Kak Faiz dan Rhian yang dulu.

”Maaa..., Ian mau mandiii. Mandiin yaaa...” Satu wajah cute dan innocent muncul di balik daun pintu kayu jati. Teriakan kecil itu semakin membuat saturasi yang mengendap di otakku jadi mengkristal. Membatu. Beku.

”Mandi sendiri sana!” Usirku galak.

”Ih...Mamaaa...” Bocah tiga tahun itu mengkerut. ”Mama jahat!” Teriaknya, lalu berlari meninggalkanku. Di kondisi seperti ini, kedar emosiku memang sangat meningkat tajam.

Tiba-tiba aku tersadar atas kesalahan fatalku. Ya ampun, bahkan Rhian turut menjadi korban. Padahal, aku baru saja sedang berusaha membangun hubungan baik dengan pangeran kecilku itu. Mencoba terbiasa dengan perubahan. Mencoba berdamai dengan keadaan. Lantas, apa yang barusan kulakukan? Oh my God! Segera kususul langkah kecilnya yang berlari meninggalkanku.

”Iaan..., di mana kamu sayang? Iaan....” Kupanggil namanya. Tak ada sahutan.

”Iaaaa...n.” Panggilku lagi.

Tiba-tiba,

”Mbak Ina! Ayo, kita maen pelang-pelangan.” Terdengar teriakan cadel dari arah kamar mandi. Lalu terdengar guyuran-guyuran air. Suara itu makin ribut dan makin ribut, ditingkahi teriakan dan suara tawa.

Huh! Perempuan itu lagi! Dasar sumber petaka! Kehadirannya di rumah ini sudah cukup membuat aku terguncang! Dasar penghacur rumah tangga orang lain. Tak tahu diri! Sejak kedatangnnya suasana rumah ini menjadi sangat aneh. Membuatku seperti alien nyasar di bumi, padahal aku adalah ratu di rumah ini. Dia? Siapa dia!? Hanya seorang pembantu rumah tangga. Sekali lagi kubilang, PEMBANTU! Arghhh…! Ini benar-benar sangat menyebalkan.

”Grrhh....” Sosok mungil itu keluar dengan menggigil. Disusul kemudian dengan satu sosok lainnya yang menunduk takut-takut.

”Ngapain aja kamu sama Rhian di dalam?” Tanyaku ketus.

”Eng...anu Bu, mandiin Rhian.” wajahnya semakin dilipat.

”Kenapa sampai teriak-teriak gitu?”

”Mama kok malah cih?? Kan Cuma maen pelang-pelangan...” Rhian ikut membela. Bahkan anakku lebih berpihak padanya!

”Ian, sini mama pasangin baju. Kamu, cepet ke belakang sana!” Usirku sambil menarik lengan Rhian.

”Permisi,Bu.” gadis itu berlalu dengan takut-takut.

”Mama kok malah cama Mbak Ina? Kan Mbak Ina gak calah!” Protes pangeran kecilku itu.

”Rhian sayang, kamu tahu gak?” Aku mencoba melunak. Meredakan emosi yang sudah sampai di puncak ubun-ubun.

”Enggak!” Jawabnya polos.

”Maen guyur-guyuran itu gak baek.”

”Emangnya kenapa, Ma?”

”Nanti airnya masuk ke telinga. Telinga kamu bisa infeksi.”

”Incek..fi? incekfi tuh apaan, Ma?”

Ups, aku lupa kalau aku bukan tengah berbicara dengan relasi bisnis. Tapi, dengan anak usia tiga tahun yang kritis, sangat suka protes dan sangat suka bertanya. Sang pangeran kecilku yang cerdas.

”Infeksi, sayang.” Ralatku, membuat kening wajah tampan itu berkerut. ”Maksudnya, entar kalo’ masuk air, telinganya jadi bau, sakit, dan bernanah. Gak mau kan?” Aku selesai memasangkan piyama untuk pangeran kecilku.

”Gak mauu...” Rhian menggeleng ngeri. Kuulaskan sebingkai senyum untuk permataku yang tampan itu. Sungguh, seperti ada ribuan mil jarak yang memisahkan kami, hingga aku seperti tak mengenal sosok cerdas itu lagi. Dia bukan orang lain, tapi anakku! Sosok yang deminya kupertaruhkan nyawa. Tapi, sungguh, ada yang hilang!

”Eh, Mama...Ian maunya pake baju koko.”

”Kenapa baju koko sayang?” Tanyaku heran. Bahkan aku tak terbiasa dengan permintaannya ini.

”Kan mau ke mesjid. Ian udah janji cama Papa.” ke Mesjid? Sejak kapan kebiasaan ini berlaku? Mau tak mau, kuikuti jua permintaan pangeran kecilku itu.

Dengan gaya eksekutif muda, Rhian mematut dirinya di depan kaca. Lalu, mulai berkacak pinggang. Aku dibuatnya gemas. Dan, ini semua berhasil membuat kejenuhanku sedikit menguap, berganti ketidakmengertian. Ah, pangeran kecilku yang cerdas dan tampan!

”Ma, cuklon ya...” Katanya kemudian dengan wajah ceria.

”Cuklon? Apaan tuh sayang?” istilah apa lagi ini?

”Cuklon itu artinya makaciih.” terangnya seperti seorang guru kepada murid.”Ian pegi dulu Ma,...Calamu’alaikum.” Langkah-langkah kecilnya meninggalkanku. Aneh! Aku benar-benar dibuatnya heran. Aku seperti murid kelas satu SD yang sedang belajar kalkulus. Sunggu-sungguh tak mengerti.

Beberapa saat kemudian satu sosok juga berbaju koko memasuki kamar, tempat di mana aku terpaku saat ini. Kamar yang kukunjungi hanya ketika pulang dari kantor untuk menciumi si tampan Rhian dan menyelimutkannya, atau ketika pagi-pagi, sebelum berangkat kerja, ketika pangeran kecilku itu masih terlelap. Sosok itu mengulum senyum teduh.

”Mama, mau ikut tidak? Jarang-jarang loh, liat Mama pulang maghrib begini.” tawar sosok itu. Aku bengong. Asli.

”Eng...” otakku sedang sibuk mencerna, ada apa ini sebenarnya?

”Ayolah Mamaa, ikut yuu...k” Sosok yang berada di belakangnya ikut merajuk.

”Eng...emm..., Mama di rumah aja ya sayang?”

”Yaaah..., cayang cekaleee..”

”Ya udah. Yuk Ma, kami berangkat dulu. Eh jangan bengong terus donk, kayak sapi ompong tuh.” Sosok itu mencoba bercanda. Canda yang sesungguhnya kurindu. Sudah sangat lama sekali. Aku hanya mengangguk saja, sembari melempar senyum.

Ah, Kak Faiz. Benarkah perubahan itu adalah suatu keniscayaan? Bukankah ia adalah suatu yang nisbi? Kalaupun iya, apakah harus secepat ini? Sungguh, aku tak siap dengan kejutan-kejutan ini. Tak siap dengan jalan kita yang tak lagi linear! Seperti tak lagi bersisian.

”Gimana kalo’ Dek Lia gak usah kerja aja? Kan udah ada Rhian.” Tawarnya suatu hari, jauh sebelum aku menyadari perubahan ini. Aku terbelalak kaget mendengar permintaannya waktu itu.

”Apa? Kak Faiz pasti bercanda ya?”

”Ini serius Dek.”

”Masalahnya, sayang banget Kak. Karir Lia kan lagi menanjak? Kita sudah punya begitu banyak relasi bisnis. Perusahaan kita Cimanggis sudah buka cabang.”

”Lalu, kompensasinya kamu harus pergi pagi pulang malam, begitu?”

”Yahh...itu kan sudah konsekuensi, Kak. Lagian, Rhian itu anak yang cerdas. Dia punya daya tangkap yang tinggi. Tidak salah kalau dia masuk les dan sekolah. Itu baik untuk perkembangan otaknya.”

”Justru itu tidak baik untuk perkembangannya. Rhian tak hanya harus cerdas secara intelektual, tapi pribadinya, agamanya, emosinya, semuanya. Dia butuh figur seorang ibu. Lagian, penghasilan Kakak sudah jauh lebih dari cukup, Dek. Buat apa semua harta dunia itu?”

”Aduh, gimana ya Kak?! Dunia bisnis adalah impian Lia sejak dulu. Masak sih harus dilepas begitu saja? Masalah Rhian, gampanglah! Lia udah konsul dengan banyak psikolog mengenai masalah pendidikan anak. Lia juga sudah meng-hunting berbagai referensi di buku-buku parenting, majalah, dan di internet. Apa itu masih kurang?”

”Percuma saja referensi sehebat apapun kalau gak ada aplikasinya. Pagi-pagi kamu sudah pergi. Lalu pulangnya sudah malam. Kapan kamu punya waktu untuk Rhian?”

”Kan hari minggu Lia selalu full untuk Rhian.”

”Tak cukup hanya dengan satu hari saja, Dek. Pun hari minggu itu kamu masih sering kerja. Jarang sekali kamu punya waktu. Iya kan?” Aku tak menjawab. ”Dek, anak itu butuh teladan. Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Akan jadi apa Rhian nantinya kalau Adek hampir-hampir tak punya waktu untuk dia?”

Perbincangan itu seperti mengambang begitu saja. Tak ada penyelesaian. Aku tetap dengan pendirianku. Pun juga beliau. Aku sesungguhnya heran dengan permintaan itu. Sangat berbeda sekali dengan Kak Faiz yang dulu kukenal pertama kali ketika sama-sama menjadi pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa di almamater kami. Kak Faiz yang seorang mentri di kabinet lembaga yang cukup bergengsi di tataran kampus dulunya, tentu akan sangat mengerti betapa loyalnya aku terhadap organisasi. Betapa aku hanya akan menjadi pesakitan jika harus berdiam diri di dalam rumah. Tapi sekarang??

Hingga, suatu hari, tak lebih berselang dua bulan setelah itu, lagi-lagi ada kejutan darinya. Tiba-tiba Kak Faiz yang dulunya sangat anti dengan pembantu karena telah dikecewakan beberapa kali dan mengumumkan tidak akan pernah lagi mengangkat pembatu, tiba-tiba ingin mengangkat seorang pembantu untuk Rhian. Meskipun Kak Faiz tak pernah membahasakannya pembantu. Tapi, tetap saja pembantu kan?

”Sarinah itu anaknya santun, Dek. Gak neko-neko. Dia tamat SMA dan pernah mondok dulunya. Masih keluarga jauh Kakak. Dan yang baru Kakak tau, ternyata dia saudara sepersusuan Kakak. Dahulu, ibu kakak sakit sehabis melahirkan Kakak. Masnya Sarinah yang seumuran dengan Kakak akhirnya harus berebut air susu ibunya karena beliau menawarkan air susunya untuk Kakak.” Kak Faiz mencoba berargumen waktu itu. ”Kalau Dek Lia memang belum bisa berhenti dari pekerjaan, akan lebih baik rasanya kalau kita meminta Sarinah untuk membantu kita menjaga Rhian. Apa kamu mau, Rhian dikasih obat tidur terus sama pembantu-pembantu kita dulunya itu, biar Rhian gak bawel? Atau, apa kamu masih bisa berlapang dada dengan pembantu yang pemalas yang kerjanya selalu nonton gosip? Atau kamu mau, Rhian dititipkan terus diberbagai tempat yang katanya les dan sekolah diusianya yang masih tiga tahun?”

“Apa?! ini tidak adil, Kak! Pokoknya Lia tidak setuju!”

”Kamu tetap harus setuju!”

”Lia tidak mau! Bukankah sekolah, les, dan semacamnya itu sudah cukup untuk menjaga Rhian?”

”Setuju tak setuju, saya akan tetap meminta Sarinah.”

”Kakak egois!”

”Kamu yang egois!”

Hal yang aku takutkan itu terjadi. Petaka itu datang ketika perempuan kampungan dengan pakaian aneh itu hadir di rumah kami. Perempuan berikut dengan pakaian serba longgar dan jilbab yang panjang. Bagaimana mungkin aku bisa menerima ini semua? Sedang untuk menerima keputusan Kak Faiz secepat ini aku sesungguhnya tak siap, apalagi perempuan itu adalah perempuan yang sangat tak biasa. Bukankah aku paling anti dengan perempuan macam begituan? Aku tidak bisa menerima begitu saja kehadiran seorang perempuan yang selama ini teman-teman sejawatnya habis kucaci-maki. Kolot. Kampungan. Gak bisa berdandan atau sedikit lebih modis. Dan mungkin saja pengikut aliran sesat. Jangan-jangan dia ingin meracuni fikiran Rhian, lagi!

Tapi, bagaimana pula aku hendak menentang keputusan Kak Faiz? Aku sudah terlalu mengerti dengan karakternya yang keras kepala. Hitam baginya hitam dan putih baginya putih. Jika dia sudah bilang putih, siapa yang sanggup merubahnya jadi hitam? Lagian, aku tak ingin terus-terusan bertengkar dan adu argumen dengannya.

Oh, adakah yang lebih menyiksa dari ini semua? Adakah yang lebih menjemukan dari ini semua? Tolong, tolong beri tahu aku.

”’Amma ya tacaaa aluun. ’aninnabail ’ajiim. Allajiii hum fii hii muktalipuun. Kalla caya’lamuuu..n. ” Suara cadel Rhian membuyarkan lamunanku. Aku tersentak. Membaca apa pangeran kecilku itu? Serta merta aku keluar dari peraduanku. Yah, lagi-lagi kamar! Tempat persembunyian paling ampuh.

”Membaca apa sayang?” Tanyaku? Oo...oww, rupanya permataku sedang belajar Al-qur’an. Ya ampuu..n, apakah ini kebiasaan baru juga?? Bahkan aku tidak tahu bahwasannya yang tengah dibaca Rhian itu adalah bagian dari ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur’an kalau saja tidak melihat langsung dia memegang kitab itu.

”Mama udah colat?” Rhian mengalihkan perhatian dari hafalan Al-Qur’annya. Aku tersentak! Bahkan Rhian mengingatkan aku untuk sholat. Sementara sosok berpakaian koko putih yang tengah bersama Rhian itu seperti membiarkan saja aku terkejut dengan bingkai senyumnya yang terkulum.

”Eh..., astaga...belum.” Dari tadi aku terlalu asyik melamun hingga tak menyadari putraku itu sudah kembali dari mesjid. Dan sholat? Boro-boro! Ah, sungguh betapa sering dengan entengnya aku meninggalkannya, dengan tanpa rasa berdosa. Bagiku, ibadah toh hanyalah di mesjid saja. Kehidupan dunia dan ibadah itu kan berbeda. Kalau memang sama dan sejalan, gak mungkin kan di kitab suci tertulis kata dunia dan akhirat yang terpisah?

”Mama, enggak boleh bilang astaga. Kan enggak ada altinya. Kata Mbak Ina, bilangnya astakfilullah...”

”Astaghfirullah sayang. Bukan astakfilullah...” Ralat sosok yang dari tadi hanya menyaksikan aku digurui oleh anak umur tiga tahun.

”Iya.... gitu dee. Mama cepet colat yaa. Ental, dengelin Ian ngaji ya Ma. Mama kan pulangnya malam telus. Enggak pelnah liyat Ian ngaji. Iya kan Ma?”

Dug! Kalau bukan anakku, tentulah aku sudah mencubitnya. Seorang Yulia, top maneger diberbagai perusahaan berkelas, yang kiprahnya sudah skala nasional, lulusan terbaik fakultas ekonomi universitas nomor satu di Indonesia dengan predikat cumlaude, tiba-tiba diajari anak kecil.

Persaanku benar-benar tak menentu. Sungguh aku tak dapat mendefinisikan entah bernama rasa apa yang kini bersemayam di bilik dadaku. Malu. Kesal. Heran. Marah. Ah, entah apa lagi. Semuanya seperti menjadi satu membentuk godam yang siap menghantam kepalaku kapan saja. Aku seperti makhluk paling goblok sedunia. Di mana letak harga diriku? Menguap. Menyublim.

”Dek, subhanallah. Lihat! Rhian sudah nyaris hafal surat-surat di juz 30. An-Naba’, An-Nazi’at, ’Abasa,...semuanya.” Kak Faiz berkata dengan wajah sumringah ketika kupaksa menyeret langkah ke ruang tengah itu setelah menunaikan perintah pengeran kecilku yang benar-benar asing dimataku. Setidaknya saat ini. ”Tau gak, Dek? Gimana Rhian bisa hafal?” Masih dengan semangat yang sama Kak Faiz bercerita. Aku hanya menggeleng kecut.

”Sarinah itu ternyata sudah hafal sepuluh Juz waktu dia mondok dulunya. Sambil membereskan rumah, dia menghidupkan kaset murattal juz 30. Dan itu terus berulang-ulang. Eh, gak taunya ternyata memori Rhian merekam semua itu. Sama seperti ketika pembantu kita yang dulu ngidupin kaset dangdut. Ingat gak, Rhian juga sampai hafal lagu dangdut karena keseringan dengar kaset dangdut. Kakak bahkan sampai takjub lho, Dek. Dan, satu hal lagi, Rhian juga hafal begitu banyak do’a-do’a. Yang Adek bilang emang benar. Rhian memang anak yang cerdas. Semua berkat Sarinah yang telah ngajarin Rhian. Ah, beruntung yaa... kita meminta Sarinah sebagai pengasuh Rhian. Coba aja kalau yang ngajarin Rhian banyak hal kayak gitu adalah Dek Lia, pasti akan lebih baik lagi.”

Blarrr!!!

Seperti dismbar petir. Kata-kata Kak Faiz seperti listrik voltase tinggi yang siap menyentakkanku dengan sengatannya. Aku seperti tersentuh pagar kawat yang mengandung muatan listrik itu. Sakit. Perih. Dan, sudah terakumulasi.

”Kenapa sih Kak, Sarinah melulu? Dari kemaren-kemaren Kakak selalu saja membanding-bandingkan Sarinah dengan aku! Aku terlalu jelek di mata Kakak!” Aku meledak. Sesungguhnya aku tak dapat lagi menyusun huruf agar menemukan padanan kata yang tepat untuk mewakili nama rasa yang berkecamuk dihariku. Air mata. Marah. Kecewa. Kesal.

”Lho, kenapa Dek Lia marah? Seharusnya bangga dong!”

”Kak Faiz tidak mengerti!” cetusku. Segera kutinggalkan sosok yang terbengong-bengong itu. Tak kuhiraukan lagi wajah tak enak dan rasa bersalah perempuan brengsek yang tengah mengajari Rhian hafalan ayat sholat itu. Semuanya sungguh menyebalkan!

***

Di kamar, aku tergugu. Kutumpahruahkan semuanya. Sudah cukup rasanya aku bertahan dengan rasa aneh tak bernama ini, dengan perubahan drastis yang terjadi di rumah ini setelah kedatangan perempuan itu. Tentang perubahan Kak Faiz yang semakin membuatku tak mengenal sosoknya, dengan sikap kritis Rhian yang sering memojokkanku, dengan semuanya! Benar-benar mencapai titik saturasi.

”Maa, kok enggak pake jib..lab kayak Mbak Ina?? Jiblab itu kan bagus, Ma.” perkataan Rhian beberapa hari yang lalu, ketika aku mengantarkannya tidur, seperti hadir begitu saja tanpa kucegah. Bahkan, bibirku kelu untuk menjawab pertanyaannya itu. Jilbab seperti Sarinah, perempuan kolot itu? Oh no!

”Maa, tidul yuk. Tapi, kata Mbak Ina, halus baca do’a dulu. Bacain dong Maa..” Ini ujarnya di lain kesempatan. Otakku seperti diperas untuk mengingat do’a ketika hendak tidur. Walhasil, tetap saja aku tak berhasil me-recall memori do’a akan tidur itu. Sebab, sudah lama sekali aku tak membacanya. Sudah sangat lama.

”Maa do’anya gini loh, pertama baca kul huwallahu ahad dulu. Abis tu, kul’audzubilabbil falaq tiga kali. Telus, kul ’audzublabbinnas tiga kali. Baru baca do’anya. Gitu Ma.... yuk mama, kita baca cama-cama.”

Aku merasa menjadi orang paling tolol sedunia dihadapan Rhian. Bahkan, semua orang boleh mengklaim aku idiot. Bodoh. Dungu. Entahlah. Aku capek . Sungguh. Capek aku mengarikan dan mecoba berdamai dengan semua ini. Mungkin esok. Atau lusa.





Syakuro, Jumadil Awwal 1429 H

“special for my Madrasatul ‘ula”