Kalau sudah ngomong cinta, yah gak ada habisnya kali yah? Hihi. Sebuah kata yang terlalu rumit untuk sekedar didefinisikan oleh si hati. Tapiiii, kali ini aku bukan ingin membahas cinta yang biasa dipersepsi orang tentang sebuah polarisasi antara kutub laki-laki dan wanita. Bukan! Bukan ini! Tapi, cinta dalam pertemanan.
Pertemanan adalah salah satu bentuk cinta jiwa. Bukan seperti cinta ‘misi’ seorang Rasulullaah pada umatnya, atau seorang pemimpin kepada rakyatnya (jika seorang pemimpinnya baik, tentu saja!), cinta dalam pertemanan pun butuh berbalas. Ia tidak bisa ‘bertepuk sebelah tangan’. Jadi, kedekatan itu ada, dengan adanya reaksi yang reversible, berlangsung dua arah. Cinta yang berbalas. Dan, jika demikian, dua orang bisa dikatakan bersahabat.
Mungkin kita tidak perlu rumit untuk memikirkan bagaimana reaksi persamaan itu, hingga sebuah kedekatan hati antara sesama teman itu terjalin. Kadang kala, ada kondisi-kondisi ekstrem tertentu yang membuat seseorang tiba-tiba ‘harus’ jadi teman akrab. Namun, pada kondisi selain fullstress, pertemanan bisa saja terjadi karena adanya ‘kesamaan’, atau terbentuknya keseimbangan yang saling mengisi antara dua atau lebih orang.
Jawabannya ada pada hadits nabi, “Jiwa itu ibarat prajurit yang berbaris. Yang saling mengenal pasti akan saling melembut dan menyatu. Sedang, yang tidak saling mengenal pasti akan terpisah dan berbeda.”
Juga pada Qs. AL Anfaal (8) : 63
Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana.
Tidak perlu heran, jika antara ikhwan sesama ikhwan atau pun akhwat sesama akhwat pun, yang begitu memahami konsep ukhuwah, tingkat kedekatan hatinya berbeda. Bahkan satu wisma sekalipun. Kesesuaian ruh itu tadi. Yah, meskipun, jika dibandingkan dengan yang lain, adanya ‘atap’ yang sama membuat satu sama lain lebih dekat. Tapi, dalam satu ‘atap’ pun, kedekatannya berbeda. Dan ini tidak bisa dipaksakan, tentu saja.
Tapi, di sisi lain, kedekatan itu justru menimbulkan efek samping yang berbeda pada sebuah dimensi lain. Posesif! Rasa ingin memiliki yang sangat tinggi!
Belakangan, aku sempat mendengar curhat dari beberapa orang dengan keposesifan pertemanan, dengan berbagai tingkatan. Mulai dari yang sangaaat parah, hingga yang kadarnya masih kecil.
Case pertama. Anggap saja A dan B adalah dua orang yang berteman akrab dulunya. Karena rentang jarak yang memisahkan, tiba-tiba saja A menjadi asing bagi B. B begitu khawatir A akan mendapat teman lain yang sehingga posisinya di hati A tergantikan. Bahkan, sampai pada taraf B ingin memotong urat nadinya, jika A tidak membalas SMS si B. Hanya SMS saja bahkan. Case yang lain, C dan D yang awalnya berteman akrab. Ketika D berteman dengan akhwat lain (sebut saja E), lalu C merasa ada yang merebutnya lalu malah memusuhi si D dan E. Lalu, ada pula case di mana, X dan Y, di mana hanya karena X menyimpan foto ia berdua dengan akhwat lain (sebut saja Z), Y merasa cemburu berat dan inginnya yang ada di dompet itu adalah fotonnya berdua dengan X.
Sekelumit kisah-kisah keposesifan pertemanan yang terjadi di dunia nyata. Kedekatan, tapi disertai rasa ingin menguasai dan memiliki sehingga tidak menyediakan ruang untuk pertemanan yang lain. Gejala-gejala yang membuat kegonjangganjingan dalam sebuah ukhuwah.
Ini bukan berarti tidak boleh dekat dengan seseorang! Bukan! Toh, bukan kah (kalo kata teorinya Psychodinamic, hehehehe, teoriiiiii!) kita memiliki gaya ‘kelekatan’ yang berbeda tergantung bagaimana lingkungan keluarga membesarkan. Yang berarti, memang ada orang-orang tertentu yang lebih nyaman dengan ersama, dan ada pula yang sendiri. Jadi, kita boleh saja dekat dengan siapapun, tapi, tidak sampai pada taraf ‘menguasai’ dan memiliki. Jika ini terjadi di wisma-wisma, maka sungguh begitu mengganggu stabilitas wisma. Jika A dan B, misalnya, selalu ke mana-mana berdua, makan gak mau kalau tidak setalam, tidur harus sekamar segala, bercerita hanya berdua saja, tentu saja akan membuat stabilitas wisma menjadi terganggu dan membuat kesenjangan social semakin tinggi. Apalagi, yang ‘berdua-duaan’ itu adalah para ‘petinggi’ pula yang semestinya memberikan khudwah pada adik-adiknya.
Sekali lagi, bukan bermaksud membatasi ruang gerak, ‘Ah, masa sih kaga boleh punya teman curhat!’. Aih, bukan beginiiii! Tapi, di sini, hanya bermaksud jangan sampai pertemanan itu menimbulkan ‘rasa kepemilikkan’ sehingga case-case yang semisal di atas gak terjadi. Allahu’alam.
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked