Lagi-lagi episode pasar. Seperti biasa, meninggalkan banyak inspirasi. Di suatu lorong, aku berpapasan dengan seorang laki-laki. Di tangannya sekantong belanjaan. Wah, masya Alloh. Lelaki yang menghidupi keluarganya sekaligus berbelanja untuk keluarganya. Jarang sekali aku berjumpa laki-laki seperti itu. Lelaki yang berbelanja cabai, bawang, tomat dan berbagai perkakas dapur lainnya. Rasanya, tak banyak laki-laki yang seperti ini. Melihatnya, aku jadi tersenyum sendiri, teringat tentang percakapan orang-orang tentang bagaimana laki-laki yang ditinggalkan isterinya untuk selama-lamanya. Bahkan mereka bisa menikah lagi sebelum kering pusara isterinya. Berbeda dengan perempuan. Kesetiaan perempuan yang luar biasa. Entahlah, tak bisa digeneralisir kurasa. Dan lagi, bukan kapasitasku juga untuk membahas ini. Heuu….[ini OOT].
Pada ujung selatan pasar, sampailah aku di kios buah-buahan. Karena ini musim rambutan, tampaklah berjejer beberapa penjual rambutan. Pandanganku tertuju pada sosok wanita penjual rambutan yang asyik masyuk memisahkan antara rambutan yang sudah kisut dan berwarna kehitaman dengan rambutan yang masih terlihat segar dan memerah. Barang kali saja, rambutan tersebut adalah sisa jualan pekan lalu yang tak habis terjual. Rambutan kisut apalagi berwarna kehitaman terlihat tak begitu menarik, sehingga tak begitu dilirik pembeli. Jikapun ada yang ingin membeli, itu karena uang yang dipunya dirasa tak cukup untuk membeli rambutan berkualitas bagus. Atau, mungkin yang berpikiran, “mending dapat yang begini, dari pada tidak sama sekali”. Sementara di sudut lain, rambutan yang merah besar, berkualitas bagus, cenderung dikerubungi pembeli walau pada akhirnya tak semua ikut membeli karena harganya yang lebih mahal.
Aah…teringat aku pada pepatah minang,
Condong mato ka nan rancak, condong salero ka nan lamak
(mata lebih cendrung kepada yang bagus, dan lidah/selera lebih cendrung pada makanan yang enak)
Kemudian, ada pelajaran yang bisa kupetik kali ini.
Bahwa harga akan selalu berbanding lurus dengan kualitas. Selalu.
Maka, ketika kita ingin dihargai dengan ‘harga yang mahal’, sungguh, ianya menuntut kualitas diri yang lebih baik dan mumpuni. Jika seseorang ada di posisi memilih, dan ia bisa lebih leluasa memilih, sungguh jelas sekali bahwa pilihan pasti akan jatuh pada yang lebih berkualitas? Siapa sih yang tidak ingin yang lebih baik? Iya kan? Pun begitu juga halnya kita ketika memilih,PASTI kita cendrung untuk memilih yang lebih baik dan lebih berkualitas kan yah? Jika kita tak mendapatkannya, itu barang kali kita yang harus mempertanyakan seperti apa kualitas yang kita punya, dan seberapa ‘uang’ yang kita miliki. Barang kali itu pula sebabnya, Allah menganjurkan kita untuk senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan. Sebab menjadi baik dan terus lebih baik, adalah bagian dari peningkatan kualitas diri itu sendiri.
Kepada kita, juga Allah bekali sebuah perasaan iri. Yah, iri. Dia bisa saja dikanalkan pada drainase keburukkan dan mendatangkan dosa jika iri itu ditempatkan pada hal-hal keduniaan. SMS, kata orang. ‘Susah melihat orang senang’, ‘senang melihat orang susah’. Tapi, iri bisa juga dikanalkan kepada hal-hal positif sehingga akan lebih memacu kita untuk terus memproses diri agar lebih baik, dan lebih baik lagi.
Sungguh—sekali lagi—harga akan selalu berbanding lurus dengan kualitas. Dan, hanya kualitas terbaiklah yang akan dihargai dengan harga tinggi. Sungguh, dagangan Allah itu mahal. Dan dagangan Allah itu adalah surga-Nya. Dan bukankah, hanya diri-diri yang berkualitas dan memenuhi kualifikasi-Nya sajalah yang berhak mendapatkannya? Yakinlah, bahwa parameter fisik bukanlah bagian dari kualifikasi Allah, sebab Allah tak pernah meletakkan itu sebagai bagian dari penilaiannya. Seperti apapun adanya kita, penciptaan Allah terhadap diri kita adalah sebaik-baiknya bentuk. Sungguh, kualifikasi Allah hanyalah ketakwaan. Sungguh, ketaqwaan sajalah.
Tentang ini semua, sungguh, diriku ini pun masih jauh. Masih sangat jauuuh. Dan sungguh, masih sangaaaattt banyak yang mesti diperbaiki. Tapi, setidaknya….mari kita bersama-sama berlomba-lomba untuk itu. Saling meningkatkan kualitas diri, untuk diri yang lebih berkualitas. Saling mengingatkan di kala saudara yang lain terjatuh, dan saling menguatkan di kala yang lainnya lemah. Sebab, kita pasti ingin bersama-sama lebih berkualitas, memenuhi kualifikasi-Nya. Bukan hanya sendiri-sendiri saja. Saudara-saudariku, jangan lupa, ingatkanlah aku. Ingatkanlah aku. Sungguh, tiadalah yang lebih indah dalam ukhuwah selain ketika kita saling mengingatkan dalam ketaatan, dalam kebenaran, dalam kesabaran.
------------
Sumber gambar di sini
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked