Sepulang dari puskesmas beberapa waktu lalu, aku mampir sebentar ke TK IT Marhamah untuk bertemu seorang akhwat. Nah, karena angkotnya nda nyampe ke TK IT nya, aku harus jalan kaki deeh, dan jalannya melewati sebuah SMP Negeri. Sebut saja SMP X. Pas ngelewatin SMP itu, aku menjumpai seorang anak perempuan, masih 14 tahun kali yaah umurnya, gadis manis, tapi sedang berurai air mata. Awalnya aku mau cuek ajah. Toh, aku tak mau mencampuri urusan si gadis manis yang sedang menangis itu. Tapii, aku kayanya nda bisa diam deeh. Penasaran. Lagian, kasian jugaa ituu anak SMP nangis, kaya abis diusir dari kelas gituuh. Soalnya dia jalan pulang dan arahnya sama dengan arahku. Ya udah, bismillaah. Aku sapa si gadis manis berjilbab putih itu.
"Kenapa, Dek?"
"Dikerjain sama teman sekelas, Kak. Aku dibilang macam-macam gituuh, trus semua teman sekelas mengejek aku. Huk..huk..."
"Sekarang mau pulang ya? Apa kata gurunya?"
"Gurunya nyuruh pulang, Kak. Gurunya percaya sama apa yg dibilang teman-teman. Gak ada yang percaya sama aku kak."
"Udah bilang apa yang sebenernya kan Dek?"
"Iya Kak, aku sudah bilang. Tapi mereka tidak ada yang percaya."
"Sabar yaa Dek. Nanti kalo dah tenang, jelaskan baik-baik yaa sama gurunya."
"Iya kak, makasih yaa kak."
Okeh, kisah si gadis manis aku cukupkan sekian. Aku hanya sedang belajar mengambil analog, kisi dan pelajaran dari sepenggal kisah gadis manis berjilbab putih itu. Tentang apah? Iyaakkk bettoooll (siapa yang jawaab sih Fatheeel? hihihi...), Yapph, Tentang kepercayaan publik.
Sepertinya, memang, "hukuman" yang lebih berat itu adalah hukuman "publik".
Mungkin seorang koruptor tidak keberatan untuk didenda ratusan milyar asalkan kepercayaan publik mereka tidak "rusak". Dicap "Koruptor" di hadapan khalayak publik sepertinya justru lebih berat karena itu berarti akan menghilangkan segenap kepercayaan publik kepada si pelakunya. Bagi seorang siswa, mungkin dihukum membersihkan WC sekolah akan lebih baik dari pada kehilangan kepercayaan seluruh teman sekelas dan guru-gurunya. Bukankah "hukuman" yang seperti ini justru lebih "memukul"? Entahlah... Menurutku sih begitu. Kalau kamu punya pendapat yang berbeda, yaa boleeh saja sih yaa. Gratis ko. Hihihi :P
Nah, kelihangan kepercayaan publik sebagai hukuman yang berat dan jauh lebih berat dari kehilangan harta benda inilah yang kemudian mungkin dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu dalam laga politik. Uhuuukk... Uhuuukk... NGOMongin POLitik (Selanjutnya kita singkat jadi NGOMPOL ajah yaa, biar lebih asyiik [lohh?]), memang bikin aku rada-rada kaga PD. Secaraa akuu tuuh awam bangeet laah yaaa. Diajak debat politik, aku udaah kedeerr duluan niih. Hihi. Tapi, ijinkanlah aku NGOMPOL dengan segenap ke-awam-an yang kupunya. :)
Kehilangan kepercayaan publik adalah salah satu upaya untuk menjatuhkan lawan di mana si lawan itu dengan sendirinya akan gugur di hadapan halayak. Kalo kepercayaan publik sudah lenyap, apatah dayaa. Begitulah logika sederhananya. Dan dalam hal ihwal pencapaian upaya tersebut, digempurlah segenap senjata--melalui media misalnya. Maka ramelah yang namanya Black Campaign sebelum pemilihan apapun mulai dari Pak eRTe hingga Pak Presiden. Entah kenapa (apakah karena suudzan ku semata kah? Jika iya, mohon ingatkan yaa), aku ko ngerasa media itu selalu saja "punya kepentingan" di balik semua itu. Expose yang peling menguntungkan dan Hidden yang menguntungkan lawan. Jadi, sulit sekali mempercayai media dan mencari sumber yang terpercaya. Hebatnya, media adalah "device" yang paling dahsyat untuk menguasai dan mempengaruhi pikiran orang, mengarahkan opini tertentu dan menggiring orang kepada satu pemikiran. Sehingga seolah-olah itu "nyata" dan memang adanya begitu. Padahal, sungguh banyak mungkin sisi-sisi "hidden" nya yang sebenarnya justru jadi keyword dari sebuah permasalahan yang sedang dipaparkan.
Media, kadang juga mengambil sepotong-sepotong, dan entah kenapa ko aku ngeliat issue yang beredar di halayak publik ini kebanyakan dan malah didominasi oleh issue2 kebobrokan semata? Apa karena Indonesia "kurang" berprestasi? Aku rasa sih Indonesia ini juga hebaat. Tidak melulu bobrok. Tapi yang muncul malah issue-issue bobrok belaka (Dan kadang kebobrokan itu adalah "rekayasa" pihak tertentu yang sebenarnya tidak begitu adanya). Apa karena isu bobrok itu lebih seksi dan lebih menarik untuk dibicarakan? Entahlah...
Sebenarnya, bukan masalah jika media "punya kepentingan", asalkan tetap memaparkan kebenaran, fakta dan tidak mempelintir apalagi memutar balikkannya demi kepentingan itu. Sungguh, segalanya akan dimintai pertanggungjawabannya.
Tentang "hukuman publik" terhadap orang-orang yang mungkin tidak bersalah. Sungguh, itu ujian dari Allah. Allah tak pernah lengah dan tak pernah tidur, tak pernah lalai terhadap segala urusan hamba-Nya. Dan Allah-lah yang mengangkat derajat seseorang dan Allah pula lah yang menghinakan seseorang. Seberapapun makar yang dilakukan dengan pem-bombardir-an issue terhadap seseorang, yakinlah selama ia benar dan berada di jalan kebenaran, Allah pasti menolong. Dan kebenaran itu, pastilah akan menunjukkan wujud nyatanya dengan caranya sendiri. Allah-lah deckingan atas semua itu. Dan bukan berarti sesuatu yang terlihat buruk itu akan menjadi buruk pada akhirnya. Bisa jadi, itu adalah jalan menuju kebaikan yang lain meskipun pada kasat mata pada mulanya terlihat buruk.
Aku teringat kisah nyata seorang ustadz yang ditangkap dan dijebloskan ke penjara dengan tuduhan menerima uang suap. Padahal tidak begitu adanya. Ceritanya begini. Si ustadz mengurus suatu yayasan sudah berpuluh tahun. Nah, suatu ketika suatu pemilik perusahaan Y (katakan lah begitu), memberikan dana sebesar 75juta rupiah ke si ustadz itu. Katanya itu adalah ucapan terima kasih dari perusahaan Y karena si ustadz sudah berjasa mengurus yayasan perusahaan tersebut selama puluhan tahun. Si ustadz menerimanya. Tanpa beliau tahu bahwa si pengusaha Y ini ternyata terlibat skandal KKN atas sebuah tender. Nah, ketika diperkarakan, si pemilik perusahaan Y bilang bahwa dananya dia kasih ke ustadz tsb. Akhirnya si ustadz dijebloskan ke penjara. Si ustadz yang tak tahu menahu soal skandal tender itu justru menerima getahnya, beliau masuk penjara. Apakah itu buruk? Tampak buruk iya. Tapi tak selalu buruk akhirnya. Di penjara itu si ustadz justru membuat bertaubat puluhan orang dan membina kelompok halaqoh dan memberikan pengajian kepada para napi. Maa shaa Allah.. Ketika beliau keluar penjara, beliau selalu dirindukan oleh banyak orang. Ini salah satu jalan kebaikan dengan sesuatu yang tampak buruk pada mulanya. Penjatuhan "hukuman publik" kepada orang tak bersalah mungkin sekilas tampak buruk. Tapi Allah-lah yang mengangkat derjat seseorang. Allahu'alam...
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked