Desain Cover "Surat Cinta untuk Murabbi"

Dibawah ini desain sampul buat buku Mba Ifa Avianty, Bg Fauzul Izmi, Uni Sisri Dona, Bg Adrian Fetriskha, Dewi Kumala Sutra, de el el...judulnya "Surat Cinta Buat Murabbi" yang insya Allah akan rilis bulan Juni 2011. Wuihh...ngiri saia.... Sayang sekali diriku ndak jadi partisipant dalam penulisan buku itu...heeuuu....
Yaah, setidaknya ngedesain sampulnya ajah deh (menghibur diri mode : ON)...
Ini juga baru kandidat..Belum tentu jg bakalan diterima..hihi..
Yaahh setidaknya, sebagai sarana buat belajar ajah kali yah? Sekalian menyalurkan hobby corat-coret desain....

____________________________

okeh, buat yg sempet menyambangi blog ini, aku nak tanya,
"WHICH ONE DO YOU WANT to be a COVER?"

desain 1

Biji-Biji Kebajikan

tanaman bertumbuhan....
Pagi ini, aku melaksanakan gotong royong kecil-kecilan di pekarangan dan membersihkan kebun bersama ibuku tercinta. Hanya berdua saja. Menghabiskan akhir pekan ini dengan sebuah cangkul, sebatang sapu lidi dan sebuah gunting tanaman sambil tertawa dan bercerita dengan berbagai tema.

Ketika ayunan ringan si cangkul sampai pada segerombol tanaman bunga baru yang begitu banyak, mendadak aku dibuat takjub. Ada begitu banyak batang yang tumbuh di sana dengan tinggi rata-rata 10 cm. Masya Allah, kenapa selama ini luput oleh perhatianku? Batinku.

Dahulu, tanaman bunga itu hanya satu atau dua batang saja. Bunga itu sudah mekar dan menjulang tinggi. Warnanya ungu tua dan sangat cantik. Setelah ia meranggas dan mati, rupanya ia meninggalkan begitu banyak bibit. Ya, bahkan setelah ia tercerabut dari tanah dan menjadi lapuk bersama bakteri, bersamaan dengan itu pula, bertumbuh begitu banyaaak bunga-bunga lainnya. Sepeninggalnya.

Lama kuperhatikan tanaman itu. Hingga sebingkai senyum kuulas untuk sebuah pelajaran berharga yang diajarkan oleh sang bunga itu kepadaku. Ya, bunga itu dan segenap kejadian alam telah memberikan banyak pelajaran pada kita. Dari sang bunga, aku memetik sebuah hikmah, ibroh dan pelajarn berharga.
Ket : tempat yang dilingkari itu adalah tempat tumbuh satu tanaman yg menyemai biji..
yang pake tanda panah menunjukkan tanaman yg tumbuh setelahnya...

Bunga itu mengajarkan soal menebarkan kebaikan dan memberikan kemanfaatan pada banyak orang. Lihatlah, satu atau dua batang saja, lalu setelah ia meninggalkan begitu banyak biji-bijinya, bertumbuhanlah begitu banyak bunga sejenis. Masya Allah…. Barang kali, begitu pula halnya dengan kebaikan yang kita semaikan biji-bijinya. Mungkin, ketika pertama kali, hanya kita atau mungkin satu dua orang saja. Akan tetapi, ketika kita terus menyebarkan biji-biji kebaikan dan senantiasa mengajak pada kebaikan, masya Allah… setelah kita, di sekeliling kita, bertumbuhanlah kebajikan yang banyak. Bahkan, setelah kita sudah tak lagi berada di atas bumi ini.

Untuk ini, Allah memberikan ganjaran yang tidak tanggung-tanggung. Nilai kebajikan yang sama seperti orang yang melaksanakan kebajikan itu, tanpa mengurangi pahala mereka. Jika kita semaikan ajakan dan biji kebajikan itu dan diikuti oleh banyak orang, maka sungguh, ia akan menjadi investasi yang Allah ganjar dengan nilai pahala yang banyak. Sebanyak orang yang melakukannya tanpa mengurangi sedikitpun bagian investasi mereka. Masya Allah…

Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al Anshary Al Badry ra. Berkata, Rasulullah saw bersabda : “Barang siapa yang member petunjuk kepada kebaikan maka ia mendapat pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim)

Dari Abu Hurairah ra. Bahwasannya Rasulullaah bersabda : “Barang siapa yang mengajak pada petunjuk/kebenaran maka ia mendapat pahala seperti pahala-pahala orang yang mengerjakannya dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesatan maka ia mendapat dosa seperti dosa-dosa orang yang mengerjakannya dengan tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun. (HR. Muslim)

Dan ternyata, ini berlaku juga untuk biji-biji kejahatan dan keburukkan. Ketika ajakan kepada kesesatan membuat biji-biji kesesatan itu bersemai di sekeliling kita, maka, kita pun menabung investasi dosa. Astaghfirullaah…. Na’udzubillaah tsumma na’udzubillah….

Wahai diriku, juga dirimu… Semoga ini menjadi pengingat bagi diri kita semua untuk senantiasa MELAKSANAKAN dan juga sekaligus menyemaikan biji-biji kebajikan di sekeliling kita. Agar yang bertumbuh adalah pohon-pohon kebaikan, bukan pohon-pohon kemungkaran. Jangan pernah remehkan ajakan sederhana baik itu kebajikan maupun keburukan. Karena, boleh jadi, biji-biji kebajikan yang kita kira sederhana itulah yang akan membuat bertumbuhnya banyak kebajikan yang sama di sekeliling kita. Pun begitu halnya dengan biji keburukan. Jangan remehkan biji-biji keburukan sekecil apapun itu, karena boleh jadi saja, biji-biji itu akan bertumbuh pula yang akan menjadi ‘investasi dosa’ bagi kita, Karena pada kitalah bermulanya…

Astaghfirullaah lii walakum….
Mari saling berlomba untuk menyemai biji-biji kebajikan….
Mari saling mengingatkan ketika diri kita atau saudara kita (terutama diriku) tergelincir…
Alhaqqu min rabbik…falaa takunanna minal mumtariin…

Never Stop to Study

Never Stop to Study....


Karena hidup ini tak lain adalah pembelajaran…,
Maka tiada kata berhenti untuk Belajar…
Teruslah Belajar….
Teruslah Belajar….
Sebab hikmah itu adalah milik seorang muslim, yang berhak ia punguti di mana pun ia berjumpa…
(Fathelvi Mudaris, Solok Selatan, 29 Mei 2011)


__________________
NB : Foto diambil ketika mati lampu selama 24 jam di kampung ku tercinta, homeSWEEThome, tanggal 29 Mei 2011 jam 09.00 pm,… Mencoba belajar, meski gelap..Hehe…

Aku dan Kemenangan

Banyak orang menyangka, aku adalah laki-laki, karena namaku seperti nama laki-laki.. Hihi. Setiap kali ada orang baru via dunia maya semisal via e-mail, aku selalu disapa dengan sebutan “Mas”. Ya, tak apa-apalah. Tentu aku tak perlu mempersalahkan apalagi protes karena mereka memang tidak tahu. Ada pula yang bilang namaku unik (seunik orangnya. Hahaaa…. Bukan narsis dink. Karena setiap diri itu unik kan yah?). Ada juga yang bilang, menyebut namaku membuat lidah patah-patah (hmm…apa perlu kubelikan lem untuk menyambung lidah yang patah? Hihi…)

Yaah, what ever lah. Apapun komentarmu, yang penting aku tak pernah merasa sedih dengan nama itu. Aku pun tak pernah keberatan dengan nama itu, karena dengannya ada sebuncah do’a dan harapan yang sedang dititipkan oleh kedua orang tuaku. Nama itu, kemudian menjadi sebentuk motivasi tersendiri bagiku untuk terus mengarungi jenak demi jenak kehidupan.

Ayah dan ibuku terlahir dari rahim kegetiran. Kesusahan hidup. Tapi, kemudian motivasi besar dan visi dan misi besarlah yang membuat beliau beranjak dari kegetiran itu. Meski hari ini tentulah belum bisa digolongkan kepada orang-orang papan atas karena hidup kami pun masih sederhana, tapi setidaknya sudah jauh lebih baik dari 23 tahun silam. Alhamdulillaah, maka nikmat Tuhan mana lagikah yang engkau dustakan, wahai diri?

Aku lahir di hari Jum’at waktu dhuha, 15 hari setelah ayah ujian komprehensif. Jadi, sebab dua pekan pasca sidang sarjana itulah maka namaku punya sejarah. Ayah memberiku nama “Fathelvi”, yang kemudian di suku kata kedua dibubuhkan nama beliau sendiri. Akar katanya adalah”Fathul” dan “Alvi” (seperti yang tertera dalam judul blog-ku ini. Hehe). Artinya, “Seribu Keberhasilan”, atau “Seribu Kemenangan”. Karena keberhasilan itu bagi ayah adalah sebuah anugrah luar biasa setelah hampir sepuluh tahun duduk di bangku kuliah. Sebenarnya bisa lebih cepat dari itu, tapi karena ayah harus ikut TKS (tenaga kerja sukarela) dulu 2 tahun, jadi kuliah sempat terundur. Ayah mencapai gelar sarjana itu setelah melewati kegetiran panjang. Biaya hidup yang sulit dan perjuangan-perjuangan lainnya.

Aku lahir lebih cepat dari yang seharusnya. Hanya 8 bulan saja dengan berat 2,25 kg. Kecil dan ringan yah? Hihi. Alhamdulillaah, tak perlu masuk incubator karena semua organnya sudah berfungsi dengan baik. Hee…

Di umur 10 bulan, aku tak lagi dapat ASI. Hehe. Kala itu kesulitan hidup masih setia menemani kami. Aku kecil, bahkan pernah makan hanya dengan ber-lauk-an garam saja, sebab begitu sulit dan pelik nya kehidupan. Dan wajar saja, jika berat badanku kala itu berada di bawah garis merah. (Kasihan sekali kau, nak! Hihi). Di umur segitu (satu tahun) aku sudah bisa lari-lari dan bicara. Aku lari-lari ke kamar ibu dan berteriak, “Abuuu….”. hehe.

Sekarang, hampir seperempat abad berlalu. Aku, dengan sebuah harapan agar seribu keberhasilan itu dapat kugenggam, tetap saja masih tertatih-tatih mengarungi kehidupan. Belum. Belumlah banyak capaian itu. Belum lagi seribu. Bahkan seratus pun belum. Tapi, aku akan terus menuju kepada titik itu, insya Allah. Pada titik kemenangan. Ya, kemenangan! Yang kurindu, adalah kemenangan hakiki… Kemenangan yang lebih dari pada kemenangan-kemenangan pada kesejenakan dunia. Ya Rabb, ijinkan aku untuk memenangkan itu ya Allah…

Dalam episode hampir seperempat abad, hampir dua setengah dasawarsa, sudah begitu banyak jatuh dan bangunnya. Aku pernah terhempas. Aku pernah terpuruk. Aku pernah gagal. Bahkan sering gagal. Tapi, aku selalu percaya, bahwa Allah senantiasa menyediakan takdir terindah bagi hamba-Nya. Ya, aku percaya itu. Hanya perlu menyediakan dua perisai. Kesyukuran dan kesabaran, terhadap apapun scenario-Nya. Ketika dua perisai itu sudah kupegang, maka, itulah sebuah kemenangan. Itulah seribu kemenangan. Sulit memang. Bahkan sering terlepas perisai itu dari kedua tanganku. Tapi, sebuah upaya untuk senantiasa memegagnya erat, juga adalah sebuah kemenangan. Memenangkan diri sendiri, memenangkan nafsullawwamah, memenangkan keterpurukkan. Ya, meski masih tertatih-tatih. Meski aku masihlah sangat jauh dari itu, tapi… adalah sebuah pilihan terbaik ketika aku terus mencoba untuk menggapainya. Bukankah begitu?!

Jika Albert Enstein pernah berkata, “Jangan pernah bercita-cita jadi orang sukses, tapi berpikirlah untuk menjadi manusia yang bernilai.” Maka, bagiku…menjadi orang sukses itu adalah ketika ia menjadi orang yang bernilai. Maka, tetaplah kucita-citakan sebuah kesuksesan. Kesuksesan yang bernilai dan memberikan kemanfaatan.

Dua Berita Bahagia yang Menyapa

Tahniah buat Adik dan Bg Anto (NB : sumber foto di dokumentasi FLP ^^)
Masya Allah…
Lagi-lagi, dua berita bahagia menyapa FLP Sumbar di waktu yang berdekatan…
Kali ini bukan takicuah di nan tarang, tapi… “menggemparkaaaann…” (hehe, lebay!) Tahniah buat Siska Oktavia (Ketua Umum FLP Sumbar 2010-2012) yang akan menggenapkan setengah agamanya insya Allah pada tanggal 3 Juni 2011 di Agam….
Tahniah juga buat Bang Yunianto (Ketua Divisi Kerohanian FLP Sumbar 2008-2010) yang juga akan menggenapkan setengah agama insya Allah pada tanggal 2 Juni 2011 di Jambi…

Tahniah buat FLP’ers….
Sungguh, turut berbahagia dengan berita bahagia ini…
Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah….
Diberkahi oleh-Nya, lebih produktif berkarya….

-------------------------
Biasanya pertanyaan yang akan menyusul selanjutnya,
“Fathel kapaaaaaan??”
Hadeuuuhh….bawaannya labil deh, kalo ditanya beginian…hihi…
Okeh, jawabannya adalah…. “Insya Allah, kapan-kapan. Hee…”
Sebab, jikalah aku tahu ‘kapan’nya, maka tentu sudah kujawab “Tanggal sekian, bulan sekian, tahun sekian, jam sekian.” Tapi, saat ini masih jadi rahasia-Nya. Tentulah jawaban pertanyaan itu adalah jawaban yang tak bisa kujawab saat ini. Bahkan dengan nyontek, mencenet ataupun tebak jenggo sekalipun. Apalagi liyat jimat. Hahaa. Gak bakalan ketemu deeeh, jawabannya…. Hehe.
Jadii, insya Allah, suatu saat nanti, tepat pada saat Allah mengijinkan. Jika pun misalnya bukan Allah takdirkan di dunia (sebab, ini bukanlah sesuatu yang PASTI, sedangkan KEMATIAN adalah sesuatu yang PASTI), maka aku berharap semoga di akhirat-Nya. Amiin…

Memungut yang Terserak

Memungut (hikmah) yg terserak.....
Alhamdulillaah, Bloggie…. Setelah berkutat semalaman di depan lepi, sampai mata bengkak, tangan tremor, badan sempoyongan, dan bumi serasa sengaja memperlihatkan rotasinya, plus bintang-bintang muter-muter kayak di pilem kartun itu (lebay! :D) akhirnya selesai juga buku “Memungut yang Terserak”… Hmm… Cuma 150 halaman spasi 1,5 times new roman 12 pt. Ini setengah dari target, Bloggiee… Setengahnya lagi masih terbengkalai. Heuu…. Insya Allah nanti diriku gabungkan setengahnya lagi, Bloggie. Trial dulu dah yang setengah ini. (hahayy, bilang ajah cape’ ngerjain..hihihi). Gak ding, sebenarnya ngeditnya yang lama sih… Apalagi banyak bahasa lebay dan alay nya yang mesti dikurangin volumenya… Hee… (ketauan banget lebaynya saia, soalnya..hehe).

Bloggie, aku lagi semangat-semangatnya niih… Do’ain diterbitkan yak. Kalo gak diterbitkan (heuu..udah pesimis duluan nih..hihi), insya Allah kapan-kapan mau nyoba “indie” deh. Tapi, ngumpulin modal dulu deh Bloggie, buat Indie. Soalnya, kalo indie, harus siap-siap rugi. Hehe. Kali ini bukan nya pesimis sih, Cuma perlu juga kan, nyiapin diri untuk segala kemungkinan terburuk? Ahayy…

Hayuuu, semangaaaatt lagi Bloggiee, buat ngeborong yang setengahnya lagi… Program “tiga hari jadi buku” belom kelar niih bloggie. Heuu…, Abiisss…feelnya udah mulai memudar sih, jadiii, gak berasa kalo Cuma sekedar ngetik doang. Ya gak?

Aihh, Bloggie….
Kutuliskan ini semua, biar BERSEMANGAT Bloggie…. Juga buat mengingatkan diri sendiri lah!
Diri ini niiih, yang terlalu banyak rombengannya! Masih buanyaaaaaaaaaakkk sangat yang mesti diperbaikin. Masih banyak yang mesti ditambal. Dan, tentu MASIH HARUS BANYAK BELAJAR! Hari ini, masih belum apa-apa, masih sangat jauh dari baik….

Hayuu….hayuuu… Semangat lagiiiiiiiiiiii!
Semangat untuk terus memperbaiki… Semangat untuk terus belajar…..
Sing penting, TETAP SEMANGAT!
Ganbatte….!
Keep moving fordward!
Hamasah!

Memilih untuk Tidak Memilih?

Seperti biasanya “hari pakan” di kampungku, aku memang senantiasa ke pasar untuk membeli segala sesuatu yang akan dimasak. Meski amak-amak di sekeliling, mantan tetangga dulu, atau segenap lainnya yang mengenaliku kebanyakan sangsi padaku dan bertanya dengan kalimat pertanyaan tak yakin, “Eh, lai pandai babalanjo yo?”. Hehe. Pikirku, memangnya kenapa? Tinggal Tanya harganya, pilih-pilih, tawar sedikit, jika OK, transaksi selesai. Bukankah begitu?

Nah, suatu hari, aku bermaksud mengunjungi los penjual ayam (lagi) setelah sekian lama tidak. Apalagi, issue-issue H5N1 sempat kembali mencuat yang membuat banyak orang enggan membeli ayam. Sesampai di depan sebuah lapak yang memajang ayam-ayam yang telah siap dikuliti, aku dikejutkan oleh beberapa orang yang berteriak-teriak memanggil namaku.

“Bali di siko se laah!!” Teriak orang itu. Seorang perempuan dan adik iparnya laki-laki. Sementara, aku sudah hampir mencapai lapak seorang wanita beserta anaknya, yang juga masih ada hubungan keluarga jauh.
“Bagapo? Saiku? Satanga?” perempuan itu siap memotongkan untukku. Sementara itu, si pemanggil dari lapak sebelah juga tak henti-hentinya memanggil-manggilku sebab aku memang sudah biasa langganan dengannya. Dan lagi, ia juga adalah tetanggaku.

Aku bingung menentukan pilihan!
Jika aku memilih si Ibu dan anak yang merupakan keluarga jauh itu, tak enaklah aku sama si uni dan adik iparnya di mana aku adalah pelanggan setianya. Hee… Jika aku memilih si uni dan adik iparnya itu, tak pula enak sama ibu itu. Apalagi anaknya yang begitu imut-imut dan masih TK itu berkata dengan nada cukup memelas, “Kakaaaak, bali di siko se lah kak. Kaaak…bali di siko se lah kak…”

Akhirnya aku hanya bisa tertawa bingung. Sungguh, tak ingin menyakiti siapapun meski menentukan pilihan ini adalah hakku. Jika mau pakai ego, aku bisa saja kan berdalih, “eeh, suka-suka saia dong, mau beli di mana!” Pada akhirnya, aku memilih untuk tidak memilih! Ya, memilih untuk tidak memilih. Agar tak menyakiti siapapun. Biarlah tak jadi beli ayam. Hehe…

Hmm…dalam perjalanan pulang, aku tercenung. Mencoba mengambil pelajaran dari peristiwa sederhana itu. Bahwa, sesungguhnya bukan perkara mudah dalam menentukan pilihan. Jika memang boleh untuk tidak memilih, terkadang aku lebih ingin memilih untuk tidak memilih. Ya, memilih untuk tidak memilih pilihan-pilihan itu. Bukan hanya soal membeli ayam itu saja, juga dari banyak pilihan hidup. Tapi, itu adalah pilihan paling pengecut. Sebab, hidup akan selalu menghadapkan kita pada banyak pilihan-pilihan. Meski kemudian akan menyakiti salah satunya (bila memang terpaksa harus menyakiti), memilih tetaplah seharusnya menjadi sebuah pilihan.

Ini sudah kali keberapa yah, aku menuliskan soal memilih pilihan? Sudah begitu banyak, kurasa. Tapi, semakin lama, semakin kusadari, bahwa tak selamanya pilihan itu hanyalah memaksakan ego pribadi, meskipun itu untuk kehidupan kita sendiri. Takkan selamanya kita bisa sendiri memutuskan. Sebab jua, kita tak hidup sendiri. Ada banyak orang-orang di sekeliling kita yang sesungguhnya menjadi bagian dari poin penting atas pilihan-pilihan itu selama masih berada dalam koridor hal-hal prinsip dan syari’at-Nya. Memaksakan diri mengejar idealisme tanpa memikirkan orang-orang tercinta di sekeliling kita bukan suatu hal yang baik, meski idealisme itu adalah idealisme kebaikan, selama segala pertimbangan dari orang-orang sekeliling kita itu bukanlah hal-hal buruk.

Pada akhirnya, memilih juga berarti siap memilih segala konsekuensi. Kadang, semua pilihan terdengar menyenangkan. Punya kebaikan masing-masingnya, sekaligus punya konsekuensi masing-masingnya. Tapi, lagi-lagi memang HARUS MEMILIH. Tidak boleh tidak.

Ya. kembalikan pada-Nya… Yang terbaik menurut-Nya, adalah yang terbaik bagi pilihan hidupmu, wahai diri. Hendak melangkah ke arah manakah? Allah lebih tahu, sementara engkau tak mengetahuinya, wahai diri…

Perempuan yang Trauma Jatuh Cinta

Ini tentang pertemuanku dengan seseorang itu. Gadis ceria yang selalu terlihat bahagia. Tapi, kali ini aku seperti dikejutkan oleh sebuah pernyataannya yang tak biasa. Mungkin karena hati kami sudah merasa dekat semenjak perjumpaan pertama.

“Aku…benar-benar trauma jatuh cinta.” Itu katanya. Aku mengernyitkan dahi. Hei, bagaimana bisa? Bukankah jatuh cinta adalah sesuatu yang menyenangkan? Bahkan sampah saja bisa jadi bunga jika jatuh cinta…(heuu…pengolahan limbah kali! Hihi).
“Benarkah?” aku meyakinkan.
Ia mengangguk. Pelan. Tapi pasti.
“Mengapa?”
“Karena sangat menyakitkan.”
“Hei, kenapa?” kupegang kedua bahunya. Mencoba mencerna pancaran sendu bola matanya.
“Tidak. Tidak mengapa. Aku tidak apa-apa. Hanya saja, semua jatuh itu sangat menyakitkan. Kadar sakitnya, tergantung sejauh apa jatuhnya, dan seperti apa landasan yang menantinya. Masih lebih baik jika ada tumpukan kasur empuk yang menanti. Bagaimana dengan jika jurang yang penuh duri?” kali ini ia berbicara cukup panjang. Aku kembali dengan kernyitan di dahi. “Dan hari ini, aku telah mengenyahkan semuanya dari satu pojok itu.” Ada getar dalam nada suaranya. Seperti tengah menahan sesuatu. Hmm…benar saja. Bisa dipastikan sebentar lagi bendungan di pelupuk matanya akan jebol.

“Mungkin butuh waktu untuk dapat kubangun kembali perlahan. Tapi, entah berapa lama…. Hanya saja aku tak ingin kembali jatuh, melainkan bangun! Ya, membangunnya!” Ia melanjutkan. Dipencetnya cuping hidung, memeras cairan bening yang seperti aliran rheology itu. Aku bungkam. Meneliti setiap pergantian mimik wajah di hadapanku.

Ia bangkit. Lalu mengulum sebingkai senyum. “Ah, sudahlah. Tak usah pula kau pikirkan. Aku tidak sedang bersedih atau pun meratapi keadaan.”
Seperti ombak. Begitu cepat menghempas bibir pantai, dan secepat itu pula kembali ke tengah lautan. Ia adalah perempuan mimikri. Yang warnanya begitu cepat berubah. Bahkan aku tidak sempat menafsir bagaimana definisi warna rasanya dari detik ke detik.

“Aku hanya ingin satu saja.” kali ini ia menatapku lurus. Mendung yang tadi bergelantung telah jauh memudar. Benar-benar mimikri. “Bahwa aku, akan sepenuhnya menyerahkan cintaku, pada Sang Maha Pemilik cinta. Dan, aku tidak ingin lagi terjatuh! Aku hanya ingin, berada pada garis cinta-Nya, pada kehendak-Nya, pada titik terdekat dengan-Nya. Hanya Dia. Cukuplah hanya Dia saja.”

Kutatap dia. Wajahnya. Keceriaannya. Hampir-hampir aku tak percaya, bahwa dia sanggup berkata seperti ini setelah yang kulihat darinya hanyalah senyum penuh kebahagiaan saja. Ia yang sangat jarang bersedih. Tapi, setidaknya, separuh kecil kisahnya yang dia bagi, meninggalkan pelajaran bagiku, tentang lukanya. Ah, banyak! Sungguh banyak orang ternyata yang pernah terluka. Seperti uni psikolog-ku pernah bilang, bahwa cinta adalah menyoal ikatan emosional. Ia melibatkan segenap emosi dan rasa. Dan memang tak sedikit yang tumbang di sini, ketika mereka bisa kuat pada hal-hal lainnya. Sebab, ikatan emosional itu begitu unik. Unik. Rasa yang mengerahkan segala upaya, dan memiliki power luar biasa…

Kami sama-sama menghembuskan nafas berat. Dalam hatiku, ada sebuah catatan, bahwa banyak dari kesakitan itu ternyata justru mengantarkan kita pada pemaknaan esensi hidup yang sesungguhnya. Ini jauh lebih berharga dari pada sekedar ingin-ingin kita yang sederhana itu…

Inspirasi yang Terus Hidup

Beberapa hari ini, bahkan tak cukup seminggu, aku kaget sekaligus berduka dengan berita-berita kepergian banyak sosok. Bukan saja sosok-sosok yang dikenal public, tapi juga salah satu anggota keluargaku.

Innalillaahi wa inna ilaihi rooji’un…
Allahummaghfirlahum warhamhum wa’afihum wa’fuanhum…

Kematian.
Sesuatu yang paling dekat jaraknya dengan kita. Bahkan lebih dekat dari pada satu detik waktu yang telah kita lalui. Sebab, hitungan masa yang berlalu, lantas akan menjadikan jarak kita begitu jauh dengannya. Tak satu pun kendaraan dapat menjemputnya.

Dekatnya kematian bukan milik kakek nenek yang telah renta saja, ataupun si pesakit yang hanya tinggal menunggu waktu, tapi, semuanya, siapapun kita! Tanpa kecuali untuk raga-raga dengan kebugaran, dengan derai gelak tawa. Ah, kematian itu tetaplah sesuatu yang begitu PASTI! PASTI! Yah, kita PASTI akan menghadapinya. Mungkin beberapa menit lagi. Mungkin hitungan jam. Hitungan hari, bulan atau tahun.

Rahasia mengapa waktu kematian tak terprediksi yang berarti SEWAKTU-WAKTU, bisa kapan saja, adalah agar setiap saat kita bersiap diri untuk itu. Tapi, kelalaian manusia sering kali mencipta alasan-alasan dan memberikan pembenaran-pembenaran bahwa ia-nya masih begitu jauh. Padahal, tak sedikitpun kita dapat mengatakan ia masih jauh hanya karena umur kita yang masih belia ataupun badan yang masih sehat. Ya, sering kita lupa.

Kisah kepergian sosok-sosok luar biasa itu, mengeluarkanku pada sebuah kesadaran, hendak seperti apa akhir dari kisah episode demi episode itu? Sungguh, ada sosok-sosok luar biasa, yang mengakhiri ending episode itu dengan sebuah lakon luar biasa. Mereka yang meninggalkan sebuah inspirasi dan penyadaran bahkan setelah usia di dunia berakhir. Inspirasi yang terus hidup, meskipun mereka telah tutup usia. Sungguh, inspirasi itu terus hidup, dan umurnya JAUH LEBIH PANJANG DARI USIA mereka. Jangankan kehidupan, bahkan kematian pun meninggalkan ibroh dan inspirasi serta penyadaran bagi banyak orang. Sungguh, lakon yang indah dan ending yang membahagiakan…

Ada lagi, mereka yang berpulang setelah menuliskan begitu banyak torehan sejarah… Catatan yang mereka ukir masih terus hidup meskipun mereka telah kembali pada-Nya. Catatan-catatan yang mereka ukir, bahkan masih sampai di hati banyak orang jauh setelah ia menghembuskan nafas terakhir. Sebuah inspirasi yang terus hidup dan sebuah investasi kebaikan yang terus mengalir. Ya, ia-nya adalah satu di antara tiga, ilmu yang bermanfaat yang ia tinggalkan.

Mereka yang pergi dengan lafadz-lafadz ayat-ayat-Nya. Mereka yang pergi dengan kalimah syahadat. Mereka yang pergi dengan senyuman yang terukir indah di bibir. Masih kuingat, salah satu sosok penulis yang masih meninggalkan catatan-catatan kebaikan dan kemanfaatan setelah Tsunami Aceh menyeretnya. Tapi, jilbabnya, gamisnya, kaus kakinya, bahkan mansetnya tak satupun yang terlepas dari badannya setelah jasad itu ditemukan. Di tengah sebagian orang-orang yang berpakaian bodypress dan jeans ketat yang justru malah terbuka. Allahuakbar! Allah selamatkan ia dan kehormatannya. Bukankah logika manusia, pakaian longgarlah yang justru dengan mudah terlepas oleh terjangan air yang begitu dahsyat dibandingkan dengan pakaian ketat dan jeans rapat yang bahkan ketika membukanya saja sudah sangat susah? Tapi, kebesaran Allah jauh melintasi logika-logika sederhana manusia.

Semua ini, mengantarkanku pada sebuah titik penyadaran; INGIN SEPERTI APAKAH ENDING HIDUP KITA? Ingin diakhiri dengan bagaimanakah? Dengan epilog pahit yang kemudian menjadi gerbang pada kesengsaraan yang tak berkesudahankah? Ataukah, dengan epilog manis yang menjadi pintu bagi kenikmatan yang takkan pernah sanggup dilukiskan oleh kanvas apalagi kata. Ingin diakhiri dengan sebuah senyuman maniskah? Atau ringisan ketakutankah? Akan meninggalkan inspirasi kebaikankah atau menjadi catatan keburukkan yang mungkin akan dipergunjingkan banyak orang?

Sungguh, dunia ini hanyalah kesejenakan belaka, wahai diri. Dunia, bukanlah tujuan akhir hidup kita. Namun, kesejenakkan inilah yang akan menjadi penentu, akan berada di ranah manakah kita pada hari yang tiada akhir itu? Pada hari ketika segala sesuatunya dibalaskan itu? Dan bukankah gerbang menuju hari tak berkesudahan itu, adalah gerbang yang tak pernah kita prediksi kapan, di mana, dengan cara bagaimana?

Wahai diri, hendak dengan cara bagaimanakah engkau ingin mengakhiri dunia? Hendak dengan cara bagaimanakah? Sungguh, cara itulah yang akan menjadi gerbang. Tiada yang dapat menjamin dirimu, wahai diri, selain Allah saja. Maka, berharaplah dengan segenap harap pada Rabb-mu, bahwa penutup hari-hari itu adalah dengan sesuatu yang terbaik, dengan amalan terbaik, pun dengan cara terbaik. Maka, tiadalah engkau berjumpa dengan segenap harap itu, jika hari ini kau masih berlalai-lalai, masih lena dan masih terbuai dengan godaan dunia. Bagaimana jika akhir episode itu adalah ketika kau bermaksiat di hadapan Rabb-mu, wahai diri?

Chelsea Khairani and Other [fathelvifotografi part 2]


Sekarang..episode orang-orang^^
Ngejepret orang-orang...
Bintang utama Chelsea Khairani...(Caca; 1,5 tahun) Menggemaskaaan...Lucuuu...Imuut...Maniiisss...
hehehe

Caca dan Ka' Dedek

Caca dan si Kakak

Tawa yg manis...

Hampir jatuh..hehe

Melayaaang...^^ (agak buram sih..ada yg jelas nya, cuma gak di aplod krna satu dan lain hal..^^)
Nikahan Ni Iya dan Mas Gatot^^

Anak-anak baiknya emang belajarrr kek ginii^^

Oleh-Oleh Malala [fathelvifotografi part 1]

Foto-foto berikut diperoleh setelah malala salingka solok selatan dan tanjung pati...^^
sebenarnya masih ada sebagian lagi, insya Allah kapan2 di aplod...^^

Jembatan Aishiteru, Lokasi Pauh Duo Solok Selatan. Hmm...Jembatan Aishiteru?? Hm..hm....
Aishiteru Bridge...hehehe
Awan dalam kolam^^ lokasi di halaman rumah saia

Harau cantiq..^^ My Second sweethometown..Tanjung Pati...^^

Harau lagi
Rangkiang lah lapuak







Selamat Jalan Mba Nurul F Huda

Hari ini, aku mendapat 3 SMS pemberitahuan tentang berita duka ini....
Innalillaahi wa inna ilaihi Rooji'un....
Telah berpulang ke rahmatullaah Mba Nurul F Huda....di RSUD Sardjito Jogjakarta, 18 Mei 2011 jam 3.15

Mba Nurul F Huda


Semoga segala amalan beliau diterima di sisi-Nya dan mendapatkan tempat yang mulia...
Allahumma amiin....

__________________

Ada kesedihan yang teramat sangat mendengar berita ini. Mba Nurul F Huda adalah salah satu sosok akhwat yang isnpiratif, karya-karya yang inspiratif.... Semoga, segala ilmu yang telah beliau tinggalkan lewat tulisan-tulisannya menjadi inspirasi bagi anyak orang kemudiannya...yang investasi pahalanya terus mengalir...
amiin...
Jika ada yang ingin membaca Tulisan Mba Nurul F Huda, tafadhol dikunjungi sajablog beliau : http://nurulfhuda.multiply.com/






Oh iya,  aku juga ingin melampirkan dan meng-kopaskan sebuah penuturan Teh Pipiet Senja tentang Karya Terakhir Mba Nurul F Huda...

___________________

Kenangan Bersama Nurul F Huda: Buku Senantiasa Menautkan Kita

Innalillahi wa Inna ilaihi Roji’un…. Telah berpulang ke Rahmatullah : Nurul F Huda, penulis senior, aktivis Forum Lingkar Pena, 18 Mei 2011 pk. 03.15 di RSUD Sardjito Yogyakarta, akan dimakamkan di Purworejo.

Selamat jalan, adikku cinta, buku terakhirmu telah kusunting; Hingga Detak Jantungku Berhenti.

Karya terakhirmu ini seakan ingin menggemakan; inilah lakon hidupmu, sukaduka, nestapa dengan kelainan jantung bawaan, seumur hidup harus memakai obat pengencer darah, dan lelaki yang dicintai meninggalkan dirimu, demi perempuan lain. Duhai, dindaku cinta, selamat jalan, sampai jumpa bila waktuku tiba.

Aku mengenalnya pertama kali dalam komunitas Forum Lingkar Pena, ada acara bedah buku di Solo. Dia telah menantiku dengan rombongan dari Jakarta, Remon Agus dan Yusuf Mansur. Kami berkeliling Yogya dan Solo, saat itu Nurul belum lama melahirkan anaknya yang pertama.

Sosoknya sangat bersahaja dengan gamis dan jilbab lebar, terkesan low profile. Hingga Remon Agus, bos Zikrul Hakim, berkomentar begini:”Saya senang sekali bisa mengenal para penulis FLP, smart-smart, sederhana dan rendah hati macam Nurul F Huda.”

Ada buku antologi bareng, karyaku dengan Nurul F Huda, diterbitkan oleh Pak Jalal, Penerbit FBA. Editornya Asma Nadia, kalau tak salah 2003, judulnya: Kisi-Kisi Hati Bulan. Kemudian buku cerita anak-anak, karyanya, diterbitkan oleh Bestari Kid, judulnya; Ada Pocong, dan dicetak ulang.

Kutahu karyanya lumayan banyak, puluhan, dan semuanya kebanyakan inspiratif. Baik serial novel remaja, cerita anak, maupun kiat-kiat, motivasi.

Berselang tahun kemudian, kutemui sosoknya di Batam. Dia sukses dengan bisnis Herba-nya. Kami selalu berhubungan via telepon atau SMS, kami diskusi buku dan curhatan. Bahkan dia sengaja menjemputku di pelabuhan Batam, mentraktirku makan siang bersama putriku, Butet.

“Subhanallah, Teteh senang, Dek, dikau sehat dan sukses di sini,” pujiku polos. “Nah, ini mobilnya, ya, wooooow! Masih baru nih!”

Dia hanya tersenyum renyah, masih bersahaja dengan gamis dan jilbab lebarnya. Bedanya saat itu dia sudah memiliki konter Herba di 25 titik di pelosok Batam. Luar biasa!

Awal 2010, rumahku kedatangan Nurul F Huda bersama dua anak dan seorang temannya. Dia sempat curhatan mengenai kondisi kesehatan dan kemelut rumah tangganya.

“Ini hanya kepada Teteh, mohon jangan disampaikan kepada teman-teman kita, ya,” katanya sambil menahan kepedihan yang dalam di matanya. “Sepertinya, saya akan memutuskan satu pilihan dalam sejarah hidupku,” ujarnya pula.

“Jika menurutmu itu lebih baik, ya, ambil sajalah. Tidak mengapa hidup menjadi seorang janda, Dek. Insya Allah, Teteh percaya, dirimu tangguh, muslimah yang istiqomah.”

Sejak itulah, saya mengomporinya terus-menerus agar menuliskan kisahnya, lakon hidupnya. “Rekam sejarahmu, Dek, ayo, jangan pernah malu untuk menuliskannya!”

“Bagaimana nanti kata teman-teman kita?” tanyanya bimbang.

“Menulis ini bisa menjadi terapi jiwa untuk kita, Dek, biarlah apa kata orang. Kita menulis, menulis, menulis sajalah.”

Suatu hari, akhirnya, setelah diteror terus-menerus via SMS, duh, maafkan daku ya Dek… Terkirimlah dari tangan Nurul sebuah naskah, kisah inspirasi. Sepanjang menyunting bukunya ini, terus terang, air mataku sering mengalir deras. Sampai si Butet terheran-heran.

“Memangnya ada, ya, lakon penulis yang lebih parah dari Mama?” cetusnya.

“Psssst!” Kuusir dia buru-buru agar tak mengusik penyuntinganku.

Dan akhirnya sekitar dua bulan yang lalu, kukabarkan via SMS bahwa bukunya telah turun cetak.

“Senangnya, beneran ya Teteh?”

“Iya, nanti dihubungi Pur untuk segala sesuatunya, ya Dek.”

Terakhir kami jumpa di Kaliurang, Munas FLP. Dia tampak kurus sekali, napasnya tersengal-sengal saat menaiki undakan tangga dan dia memang khusus menemuiku.

“Demi Tetehku sayang aku ke sini,” kesahnya riang, kami berpelukan erat sekali. Seolah-olah takkan pernah berpelukan lagi, dan ternyata demikianlah adanya.

“Insya Allah karyamu akan diterbitkan,” kataku menegaskan. “Itu baru satu sekuel, ya, hayo ditambah lagi.”

“Ya, Teteh, aku akan terus menulis…yah, hingga detak jantungku berhenti!”

“Harus tebal, ya Dek.”

“Iya, Teteh…, doakan ya, doakan,” kembali ia memelukku, kami akhirnya bertangisan, entah untuk apa.

Mungkin karena merasa senasib, sebagai penulis dan punya kelainan bawaan. Sepanjang hayat kami harus terhubung dengan dokter, peralatan medis dan berbagai hal urusan obat. Kami pun sama mengalami berbagai hal keajaiban dalam hidup; pertolongan dari Sang Maha Kasih, setiap kali kami merasa terpuruk, terzalimi atau teraniaya.

“Dinda lebih hebat dariku, jantung gitu loh,” kataku selalu menyemangatinya. “Kalau Teteh kan hanya darah. Jika sudah ditransfusi, ya, segarlah. Masih bisa wara-wiri ke mana-mana.”

“Ya, Teteh sayang,” muslimah itu mengangguk perlahan. “Kalau baca kisahmu, waduuuuh, aku masih beruntung, ya….”

“Ya, tentu saja. Dikau kan sarjana, sementara daku ini ijazah SMA pun gak punya,” ujarku sambil ketawa.

Kami kembali berpelukan, ya Allah… Mengapa pertemuan terakhir kita banyak peluk-memeluknya, ya Dek? Sampai aku meledekmu: “Pssst, kita ini kok kayak teletabis saja. Nanti disangka orang, digosipkan deh, kita pasangan sejenis.”

“Iiih, Teteh, apa!” Dan kami kali ini, berpelukan sambil tertawa, meskipun kami tahu ada airmata menggenang di mata masing-masing.

Duhai, Cinta, adikku, entah siapa yang lebih beruntung. Tetapi yang jelas kita sama-sama banyak yang menyayangi, iya kan Dek? Kita memiliki dua bintang kecil, sebagai sumber kekuatan diri manakala kita merasa terpuruk. Dan terutama, kita senantiasa yakin dengan kemurahan Sang Pencipta!

“Aduh, betapa aku ingin seperti Teteh. Kelak bisa punya cucu-cucu juga, ya,” cetusnya sambil menatap wajahku dalam-dalam, seolah ingin menyelami; semesta apakah yang ada di balik sepasang mataku yang terkadang berwarna kuning, karena komplikasi ini.

“Iya, Dek, aku doakan, aku doakan, insya Allah. Kelak dikau pun akan memiliki cucu-cucu seperti Teteh, ya Dek. Makanya, jangan pernah putus asa, semangaaaat!”

Kami berdua mengaminkan segera. Kemudian masih berbincang seputar kondisi kesehatan, kepenulisan, anak-anak. Sempat kupaksa dia masuk ke ruangan yang sedang diselenggarakan Diskusi Sastra. Dia mematuhiku, beberapa saat duduk bersisian denganku, menyimak segala hal yang sedang dibincang oleh para pemateri.

Beberapa kali kucuri pandang sosoknya dari samping, sungguh, dia sangat kurus untuk ukuran tingginya. Hanya 37 kilo, katanya, masya Allah!

“Teteh aku pamitan, ya, ndak bisa ikut Munas. Kasihan anak-anakku di rumah dengan Eyangnya. Ibuku juga sudah sepuh,” ujarnya pamitan.

Kami pun kembali berpelukan erat sekali, kudengar dengan jelas isaknya yang ditahan. Kuusap-usap punggungnya, kubisikkan kata-kata penyemangat dan doaku di telinganya. Kupandangi sosoknya saat menjauhiku, menuruni undakan, dan dia akan melakoni perjalanan ke Yogya pada petang hari yang mendung itu dengan motor.

Aneh, dia masih saja melambaikan tangannya ke arahku dengan senyumannya yang lembut dan bersahaja itu. Sungguh, tak pernah kusangka bahwa itulah lambaiannya dan senyumannya yang terakhir kali kulihat.

Ya, itulah pertemuan kami yang terakhir. Dia dibonceng adiknya dengan motor, melintasi jalanan panjang dari Yogya. Serasa terngiang-ngiang di telingaku bahwa dia datang hanya demi diriku, duhai!

Terimakasih, Dindaku sayang, persaudaraan kita ini sungguh indah.

Aduhai, daku menangis saat kutuliskan semuanya ini. Maafkan, ya Dek, waktu niatku untuk galang dana buatmu masih dipending, rencananya pekan ini akan dilaksanakan di TIM. Tetapi Allah Swt berkeputusan lain, inilah kisahmu, Dek, aku salut dan kagum kepada dirimu.

Maafkan juga, kemarin saat diriku banyak dilimpahi ucapan selamat milad, sementara dirimu sedang berjuang dan telah masuk ruang ICU RSUD Sardjito. Kita masih SMS-an, ini masih kurekam SMS darimu:”Doakan, ya Teteh, kondisiku memburuk. Jaga kesehatan, ya Teteh sayang.”

Duh, dikau masih mengingat diriku yang sedang promosi buku keliling Madura dan Jatim.

Ya, sekali lagi, selamat jalan, adikku cinta…Insya Allah, dirimu akan mendapat tempat terindah di jannah-Nya. Karena engkau muslimah yang solehah, tangguh, mandiri dan pantang menyerah.

Doaku untukmu, Dinda Nurul F Huda!

@@@

Berikut prolog bukunya yang terakhir dan kebetulan diserahkan kepada saya sebagai penyuntingnya, diterbitkan di divisi yang saya gawangi, Jendela, grupnya Zikrul Hakim.

Prolog Nurul F Huda:

Saat ini, aku menjadi single mother bagi dua anakku, Fathin (saat buku ditulis umurnya 8 tahun) dan Azizah (7 tahun). Secara fisik, anak-anakku tumbuh dengan sehat, relatif gemuk (makan sehari kadang 4 kali, pagi-siang-sore-malam). Belum termasuk cemilan dan susu. Mereka juga menikmati bermain, melakukan apa yang disenangi.

Fathin hobi ilmu pengetahuan dan teknologi, Azizah hobi seni, dan relatif tidak mengalami kendala psikologis yang berarti meski harus menghadapi kenyataan memiliki keluarga yang berbeda.

Ya, tentu mereka pernah menanyakan, dengan nada protes ataupun sedih, tetapi tidak sampai membuat mereka murung. Aku berusaha menciptakan kondisi senyaman mungkin bagi mereka agar kesedihan terkurangi. Membangun kedekatan, optimisme, dan keyakinan bahwa kondisi ini adalah yang lebih baik dari sebelumnya. Tentunya dengan terus berusaha membawa kondisi kami menjadi semakin baik, semakin baik lagi.

Fathin dan Azizah bagiku adalah mukjizat. Di saat ada ibu-ibu sehat yang melahirkan bayi cacat, ibu-ibu yang tidak mengkonsumsi obat “berbahaya” dan ternyata melahirkan bayi tidak sempurna, maka atas nama apa aku memaknai keberadaan Fathin dan Azizah jika bukan mukjizat-Nya? Karena itu, aku berusaha agar selalu ingat bahwa mereka harus aku didik menjadi hamba-Nya yang sepenuhnya mengabdikan hidup untuk jalan Tuhan. Semoga aku mampu, dengan pertolongan-Nya. Amin.
__________________________
Sumber Ceriita di sini
Sumber Gambar di sini


Diary Ke-13

Akhirnya, kisah ini kubukukan setelah diary ke-12 terisi. Yak, inilah akhir episode ke 12 diary itu. Episode selanjutnya adalah diary ke-13, dimulai dengan sebuah alur sebuah cerita baru. 12 Diary tebal-tebal ini, insya Alloh sudah cukup (bahkan sudah lebih dari cukup) untuk dijadikan sebuah buku baru yang terkemas rapi dengan fragmen-fragmen yang lebih terstruktur. Kali ini programnya adalah “TIGA HARI JADI BUKU!”

Jika Novel Rapsodi Sepotong Hati selesai dalam 3 minggu, lalu novel “The Green Palace” selesai dalam 12 hari, maka ceritera kali ini harus selesai dalam 3 hari. Sebab, ini hanyalah soal mengetik ulang 12 diary tebal ke dalam halaman-halaman MS word. Tak perlu lagi membaca sekian banyak referensi dan studi pustaka (seperti ketika menulis novel The Green Palace). Referensinya sudah terangkum lengkap di dalam benak dengan 12 diary sebagai navigasinya.

Semoga. Semoga bisa kelar dalam target yang ditetapkan. Semoga, semoga juga melibatkan segala unsure emosional. Boleh jadi itu tawa, apalagi tangis. Dan, kali ini tak berharap muluk-muluk. Jika tak satu pun penerbit yang bersedia menerbitkan, cukup kusimpan saja untuk anak cucu kelak. Hehe. Kendatipun demikian, aku masih berharap agar suatu saat bisa diterbitkan secara indie. Walau untuk indie ini, serasa masih mimpi saja. Yang jelas, ada kemauan, PASTI ada jalan!

Yeah, fighting buat BUKU cerita episode 12 Diary!
Sebagai penutup kisah, untuk dilanjutkan pada diary ke-13, insya Alloh….
Sebagai epilog kisah, atas episode hampir satu dasawarsa…

Serenade Seberkas Cahaya

debu dan cahaya...

Suatu hari, aku hendak beristirahat di sebuah kamar. Tapi ternyata, cahaya dan panasnya matahari menembus lewat jendela yang gordennya terbuka, sehingga istirahat di sana akan membuatku kepanasan. Akhirnya, kuputuskan untuk menutup gordennya. Tak dinyana, ternyata ada seberkas cahaya yang melewati celah gorden itu. Bekas cahaya itu kemudian membuatku memandanginya cukup lama.

Mengapa?

Karena pada seberkas cahaya itu setelah gorden ditutupi, memperjelas debu-debu yang berterbangan. Debu yang tak terlihat ketika tak ada seberkas cahaya itu. Adanya cahaya, telah membuat debu-debu yang semi mikroskopik itu menjadi terlihat dalam kesat mata.

Kemudian, ada pelajaran berharga yang bisa kupetik dari ini semua. Melihat kejadian ini, aku teringat pada surat cinta-Nya,

“…Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [Qs. An-Nuur : 35]

“….Itulah gelap gulita yang berlapis-lapis. Apabila dia mengeluarkan tangannya hampir tidak dapat melihatnya. Barang siapa tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, maka dia tidak mempunyai cahaya sedikitpun.” [Qs. An-Nuur : 40]

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu bertaqwa pada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqaan (kemampuan membedakan antara yang haq dan yang bathil) kepadamu dan menghapuskan segala kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Allah memiliki karunia yang besar.” [Qs. Al Anfaal : 29]

Seperti halnya berkas cahaya yang menunjukkan kepada kita tentang debu, begitu pula cahaya-Nya barang kali. Hanya dengan cahaya-Nya lah kita dapat melihat adanya al haq dan bathil. Ketika kebenaran itu terasa nyata dan yang salah pun terasa nyata.

Sungguh, hal yang paling mahal dalam hidup ini, adalah hidayah-Nya. Tak ada yang lebih mahal dari pada itu. Harganya adalah seharga bumi dan langit. Sebab, ketika ada seseorang menjadi perantara bagi hidayah terhadap orang lain, ia diganjar dengan sesuatu yang harganya seharga bumi langit dan seisinya. Hidayahlah yang kemudian menuntun hati kita untuk terpolar pada kebenaran dan menjauhi polarisasi kebathilan. Hidayah jualah yang kemudian mengeluarkan manusia dari kedangkalan terhadap persepsi dunia yang begitu sejenak ini. Sungguh, tak ada lagi yang lebih mahal harganya dari pada ini…

Wahai diriku, sahabatku, saudara-saudariku, sungguh, ketika tiba-tiba kita rasakan hati kita merindukan ketenangan, merindukan kedekatan dengan-Nya, merindukan ketentraman, maka janganlah abaikan rasa ini, wahai diri. Sungguh, inilah karunia-Nya. Sebanyak apapun harga yang kita bayarkan, sungguh tak pernah dapat kita membelinya. Hanya kesungguhan kita untuk terus mencarinya lah yang kemudian insya Alloh akan menuntun kita pada hidayah itu sendiri. Sungguh, wahai diri, jika diri kita abai terhadap hal ini, maka belum tentulah kita berjumpa dengan rasa ini lagi dikemudiannya. Rasa yang begitu mahal adanya… Apalagi, syetan akan senantiasa berupaya untuk menjauhkan kita dari-Nya. Menjauhkan kita dari keinginan untuk terus menerus mengejar hidayah-Nya. Menghalangi kita dari keinginan untuk menuju jalan kebenaran.

Nasihat ini, adalah nasihat yang kutujukan untuk diriku sendiri. Juga untukmu. Tiada dari diri kita yang dhaif ini dapat menjamin, akan seperti apa ujungnya nanti. Tiadalah dapat menjamin, akan seperti apa hari kita ke depannya. Apakah lebih baik ataukah lebih buruk. Maka dari itu wahai sahabat, saudara-saudariku, ketika engkau melihat aku lengah, ingatkanlah aku. Sanggalah pundakku ketika aku lemah. Adalah bagian dari terpenting dalam berukhuwah ketika kita saling menguatkan, saling mengingatkan dan saling memperkokoh pijakkan. Bukankah kita tak ingin meniti jalan ini sendirian? Bukankah cita-cita tertinggi kita adalah ingin bersama-sama memasuki jannah-Nya? Dan, bukankah juga adalah keinginan tertinggi kita untuk dapat melihat wajah-Nya? Dan bukankah, kita hari ini tak dapat menjamin itu semua?

Allahumma arina haqqo haqqan warzuknattibaa’ah, wa arinal bathila bathilan warzuknattinaabah…

Ya Allah, tunjukkanlah pada kami bahwa kebenaran itu adalah benar dan berilah kami kekuatan untuk melaksanakannya. Dan tunjukkanlah kepada kami yang bathil itu adalah bathil, dan beri pula kami kekuatan untuk menjauhinya.

Anak Mama Anak Papa

Anak Mama-Anak Papa^^
Hehe…lagi-lagi ini adalah cerita komentator, bukan pelaku sejarah. Cerita tukang pengamat yang punya hobbi mengamati lingkungan. Jiyaaahh…

Alhamdulillaah, aku berkesempatan untuk mengamati macam tipe pola asuh anak dan akibat yang ditimbulkannya kemudian. Hee… Lagi-lagi, ini hanya karena aku menyukai sesuatu yang berbau psikologi anak (ahayy, bau psikologi? Bau apah coba? Hihi). Dan lagi, perlu berulang kali kujelaskan, bahwa aku tidaklah memiliki ilmu tentang ini. Jadi, apa yang aku tuliskan ini adalah murni hasil pengamatanku sahaja yang sangat mungkin salah, walau pun mungkin juga ada benarnya (haha). Jika dirimu….(iya! Dirimu yang lagi baca ini!) punya pengetahuan, punya sesuatu yang bisa dikritisi, punya masukan, punya latar belakang basis keilmuan di bidang ini, atau pun punya pendapat berbeda, tafadhol di share aja yaah…)

Ini soal “Anak Mama-Anak Papa” yang cukup sering (mungkin tidak banyak) kita temukan di sekeliling kita. Perkara, beda-membedakan anak.

Adalah sebuah keluarga yang memiliki tiga orang anak. Ketiganya kini sudah memasuki tahap remaja akhir atau pun dewasa. Pada mulanya, aku cukup heran dengan sebaran kedekatan antar mereka. Anak pertama yang tak pernah bisa akur dengan sang ibu. Anak kedua yang ling-lung merasa tak memiliki siapa-pun dan anak ketiga yang tidak begitu dekat dengan bapaknya. Keherananku semakin bertambah ketika sang anak pertama seperti menyimpan api permusuhan dengan sang ibu. Tak pernah ada kecocokan. Bahkan, tak jarang si ibu menangis sesegukkan melihat tingkah polah sang anak yang begitu jauh darinya. Padahal, si ibu itu sangat mencintai anaknya. Apapun upaya, dilakukannya untuk memenuhi keinginan sang anak. Tapi, tetap saja ia tak mengerti kenapa anaknya tampak tak mencintainya.

Aku bukannya merasa keluargaku lebih baik! Bukan! Hanya saja, aku melihat, ini sesuatu yang sangat aneh (bagiku! Dilihat dari kacamataku! Tentu saja, kamu atau siapapun itu, bisa jadi punya pandangan yang berbeda yah?!). Bagaimana mungkin seorang anak merasa begitu tidak cocok, begitu jauh, begitu (limit mendekati) benci pada ibunya yang jelas-jelas mencintainya, memberikah kehidupan padanya, dan memberikan yang terbaik untuknya? Bagiku, ini mengherankan! Sebab, bagi semua anak, ibu adalah sosok paling luar biasa yang menjadi madrasah mereka. Dan bukankah, kedurhakaan anak—sekecil apapun itu—adalah hal ihwal dari segala kesusahan hidup sang anak itu sendiri di kemudian hari? Sesuatu yang Alloh tunjukkan secara nyata akibatnya selagi di dunia. Kedurhakaan anak pada sosok yang telah mempertaruhkan nyawanya demi kehidupan sang anak itu sendiri.

Akhirnya, aku memperoleh kesempatan untuk mendengar curahan hati sang ibu, dan curahan hati sang anak tersebut, pada dua waktu yang berbeda. Si anak bercerita, tentang ketidakcocokkannya dengan ibunya. Dan si ibu pun bercerita, betapa sulitnya meraih dan mencairkan kerasnya hati sang anak. Dari cerita itu, kesimpulanku terpolar pada satu titik : adanya pola asuh “anak mama-anak papa” (anggap saja istilahnya begini yah. Hee….). Entah ini penyebabnya atau tidak, Allahu’alam. Hanya saja, aku cukup tergelitik dengan pola asuh ini.

Semenjak kecil, sang anak sudah dibesarkan dengan paradigm bahwa ia adalah “anak papa”. Pun, pada kenyataannya, sang Papa memang menunjukkan kasih yang berlebih padanya di banding anak lainnya. Sang papa sering pula menyebut “anak sayang papa” padanya, tapi tidak pada anak lainnya. Sedangkan anak bungsu adalah “anak mama”, anak sayang mama. Sangat mungkin, sang anak yang merasa tak begitu cocok dengan ibunya ini semenjak kecilnya sudah ditanamkan pada amygdalanya tentang ibunya yang lebih sayang pada adiknya sehingga dia merasa “tak berhak” memiliki ibunya. Bisa saja, kesedihan yang terpendam di alam bawah sadarnya ini yang kemudian membuat ia merasa “ditinggalkan” dan merasa ibunya begitu jauh darinya—bahkan (merasa) membencinya. Sebagai akibatnya, ia menaruh sebuah kebencian ataupun mulai merentang jarak dan jauh dengan ibunya. Semua ini adalah sangat mungkin. Ini pelajaran berharga bagiku, untuk tidak membeda-bedakan siapapun. Anak terutama, yang hampir 24 jam selalu bersama, yang pola asuhnya adalah tergantung bagimana orangtuanya mendidiknya. Ini ternyata juga berlaku pada penempatan sikap kepada adik-adik, pada tetangga, dan juga soal pertemanan (walaupun dalam pertemanan, tetap saja ada sebentuk kluster-kluster kedekatan dan sangat berbeda case-nya dengan relasi anak-orang tua). Tapi, setidaknya, ini soal bagaimana bersikap dan tidak menunjukkan perbedaan yang begitu meruncing tersebut. Sebab, amat besar ternyata after effect-nya, terutama pada anak. Apalagi, ketika sang anak sudah memasuki dunia yang luas.

Ada contoh lain yang kuamati dengan rentang usia anak yang tak jauh beda dengan case di atas. Pola asuh yang diterapkan amatlah baik. Tidak ada istilah anak mama-anak papa. Setiap anak diperlakukan dengan sama, dengan tetap memperhatikan karakter masing-masing anak. Bahkan, ketika kedua anaknya memperoleh nilai berbeda (anak pertama mendapat nilai 7 dan anak kedua mendapat nilai 8), pada keduanya tetap diberikan apresiasi yang sama, “Bagus! Kalian semua sama pintarnya! Ke depan, pasti bisa lebih baik!”. Tanpa ada perbedaan, “Kakak pintar sih. Dapat tujuh. Tapi adek lebih pintar, nih adek dapat delapan”. Memperbandingkan anak (apalagi di hadapan mereka) adalah boomerang yang akan mengancam perkembangan mereka.

Ada mode kesalahan yang lain. Mungkin ada sebagian orang tua yang berusaha memotivasi anaknya dengan seolah menasihati anaknya untuk menjadikan kakaknya sebagai teladan dan khudwah. Misalnya, “Dek, coba tengok deh si Kakak. Kakak selaluuu juara satu. Kakak rajin. Kakak ngerjain PR-nya sendiri. Masak sih Adek begini?”
Ups! Ini bisa saja ‘membunuh’ si Adek. Secara tak langsung di alam bawah sadarnya, ada beban berat yang dititipkan pada si Adek, bahwa ia haruslah menyamai si Kakak. Padahal, PASTI kemampuan si Adek berbeda dengan kakak. Jaman yang membesarkan si Adek juga berbeda dengan si Kakak. Teman-teman dan lingkungan luar keluarga yang membesarkan mereka juga berbeda. Karakter mereka berbeda. Lalu, bagaimana mungkin si adek harus mencapai apa yang kakaknya capai? Membiarkan mereka berkembang sesuai bakat dan potensi mereka masing-masing adalah pilihan terbaik.

Lalu, ada lagi yang lainnya. (hee…banyak banget yah “adalagi-adalaginya”? heuu….maklum, punya hobbi ‘mengamati orang’! Hehe). Ada bapak yang bilang sama anaknya ketika anaknya dapat nilai 100 “Waaaahh, Kamu dapat 100,Nak? Ini baru namanya anak Papa dan Mama namanya.” So What? Berarti, kalo Cuma dapat 99 bukan anak Papa-Mama dong? Jadi, si anak merasa, setelah mencapai nilai 100, barulah dia diakui sebagai anak dari orang tuanya. Si anak berupaya untuk mencapai nilai seratus bukan karena dia mengoptimalkan potensi yang dia punya melainkan hanya agar dia diakui sebagai anak. Beruntung memang dia bisa selalu dapat seratus. Bagaimana kalau dia tidak mencapai itu semua? Si anak bisa saja frustasi ketika ia tidak bisa menjadi anak dari orang tuanya sendiri. Hmm….sebenarnya, masih banyak sih yang ingin diriku ceritakan. Tapiiii, ini udah puanjaaaaaang banget! Bagi yang parno buat ngebaca tulisan panjang, biasanya yang begini nih hanya dilewatkan saja. Hehe. Hanya saja, hasil pengamatan-pengamatan itu membuatku kembali banyak belajar. Toh, jika pun aku berada di posisi sebagai orang tua, belum tentu aku dapat menjalankannya dengan sebaik apa yang aku tuliskan. Sebaik teorinya. Kenyataannya, pelajaran realita jauh berbeda dengan pelajaran teori. Tapi, mempelajarinya (kendatipun kemudian pada pelaksanaannya tak sebaik itu) tetap lebih baik dari pada tidak ada sama sekali. Ini tentu berlaku untuk semua ilmu, bukan hanya dalam hal children education. Iya tho?! Dan lagi, sesedikit apapun itu, sesederhana apapun itu, membagikannya tetaplah lebih baik dari pada menyimpannya sendiri. Oleh sebab itulah, aku—yang memang jelas-jelas bukan praktisi dan bukan pula memiliki ilmu tentang ini—tetap berusaha menuliskannya, meskipun ini semua masihlah sangat sederhana. Hayuk….hayuk….mari berbagi.

Dari An Nu’man bin Basyir ra., bahwasannya ayahnya membawanya ke hadapan Rasulullah saw dan berkata: “Sesungguhnya saya telah memberikan seorang budakku pada anakku ini.” Kemudian Rasulullah saw bertanya: “apakah semua anakmu diberi budak seperti yang diberikan pada anak ini?” Ayah menjawab : “Tidak.” Rasulullaah saw lantas bersabda : “tariklah kembali pemberianmu itu.” Dalam riwayat lain dikatakan : “Rasulullaah saw bertanya : “Apakah kamu berbuat seperti itu kepada semua anakmu?” Ayah menjawab : “Tidak.” Beliau bersabda : “Takutlah kamu sekalian kepada Allah dan berlaku adillah kepada anak-anakmu.” Kemudian ayah menarik kembali pemberian itu.”
Dalam riwayat lain dikatakan: “Rasulullaah saw bertanya: “Wahai Basyir, apakah kamu mempunyai anak selain ini?” Ayah menjawab : “Ya.” Beliau bertanya lagi : “apakah semua anakmu diberi budak seperti yang diberikan pada anak ini?” Ayah menjawab : “Tidak.” Beliau bersabda : “Kalau begitu, janganlah kamu mempersaksikan kepadaku karena sesungguhnya aku tidak akan menjadi saksi terhadap perbuatan yang tak adil.”
Dalam riwayat lain dikatakan : “persaksikanlah kepada selain aku.” Kemudian beliau bertanya : “Bukankah kamu merasa senang bilamana anak-anakmu sama dalam berbakti kepadamu?” ayah menjawab : “Benar”. Beliau lantas bersabda : “Kalau begitu, janganlah kamu membeda-bedakan pemberian pada anak-anakmu.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Tahniah Buat Dewi dan Bang Mata

(tahniah buat dewi dan bang mata. NB : foto diambil dari dokumentasi FLP yang ada di ana..^^V)
Ketika menerima SMS Undangan yang satu ini dari Bang Mata, langsung surprise banget. Wuihh… Masya Alloh… Kaget banget! Wuizzz…, takicuah tagak awak dek nyo! Takicuah di nan tarang! Ini berita paling heboh sepanjang lima tahun belakang di dunia per-FLP-an Sumbar. (hihi, Lebay!). Mungkin berbeda surprise-nya waktu mendengar berita walimahan Bang Ade (Ragdi F Daye), Kak Yeyen (Tadzkiyatun Nafs), Kak Fadlilah Raflis, Metha Bidadari Hijau Bulan, Ustadz Barangin (Novelia Musda), Hardes Swastika, Ni Desra Esofita dan segenap FLP’ers lainnya dengan berita yang satu ini. Apa pasal? Ini perseteruan antara Ketua dan Bendahara, ternyata. Hihi… (peace Dewi dan Bang Mata).

Tentu saja kita semua, para FLP’ers turut berbahagia sangat dengan berita bahagia ini. Saking bahagianya, sampai2 saia pun turut meramaikannya di blog ini. Hehe. Diriku, mewakili segenap FLP’ers Cabang Padang (di ujung-ujung kepengurusan yang sudah show off ini…huhu, maafkanlaah) mengucapkan Barokallaahu buat Dewi Kumala Sutra (bendum FLP Sumbar ‘08-‘10 dan Bendum FLP Sumbar 10-12) dan Bang Mata (Ketum FLP Sumbar ‘08-‘10 dan Dewan Penasihat Pengurus FLP Sumbar ‘10-‘12). Inii…serius nih, diem2 menghanyutkan banget!!. Semoga jadi keluarga SAMARA yaah. Dan, semoga, jadi momentum penyatuan dua ide, fikiran dan semangat berkarya sehingga karya-karyanya makin produktif. Kalo dua orang penting FLP wil sumbar udah bersatu, tentulah karyanya makin mantab dong yah?! Hehe.

Tahniah…Tahniah…Tahniah…
Semoga berkah dari Alloh senantiasa membersamai keluarga Bang Mata dan Dewi…

Muara Rasa

Muara....muara...(pantai muara)
Segalanya perlu muara. Sebab, jika tidak, ia akan men-sedimen, mengendap, membusuk, laiknya air—yang meskipun bening—tetap saja pada akhirnya ia mengeruh, dan kemudian mengerak jika ia hanya diam dan terus didiamkan. Begitulah. Sebab rasa perlu muara… Boleh jadi itu adalah kebahagiaan, apalagi kesedihan.

Filosofis ini sering sekali digunakan untuk membakar semangat agar tetap moving forward, di kampus-kampus dan di berbagai lajnah. Bergeraklah…atau engkau akan mengerak. Begitulah yang sering kita dengar. Tapi, kali ini, ijinkan aku menggunakan analog ini, bukan untuk itu. Tapi untuk permisalan lainnya…

Sering kali aku mengamati, ada ekpressi berbagai rasa, semisal di jejaring social. Senang. Sedih. Marah. Kecewa. Apapun jenis rasanya, semua tercoret-coret di dinding jejaring maya itu. Bahkan, tak perlu heran dan kaget, jika ada orang yang dikenal sebagai sosok yang begitu cool, dingin dan pendiam, tiba-tiba saja melukiskan segenap ekpressi rasanya di dinding-dinding maya itu. Mungkin tak berlebihan jika ini kita sebut sebagai sebuah : MUARA.

Atau, jika ingin lebih leluasa memuntahkannya, note ataupun blog dengan senang hati memfasilitasinya. Jika tidak, mungkin kepada sahabat terdekat dan terpercaya. Atau, mungkin lewat diary dan catatan harian. Bahkan, ada yang justru memang menyengajakan diri untuk mengunjungi muara sungai atau tepian pantai hanya untuk memuarakan rasa. Berteriak-teriak sepuasnya. Ada juga yang justru diam, dengan berbagai luapan rasa di balik wajah dingin. Apapun caranya, setiap orang punya muara untuk mengekspresikan setiap gelegak rasanya. Ekpresi yang sangat bergantung pada bagaimana ekpresifnya seseorang. Hee…

Ya, bagaimana pun itu, semua adalah : MUARA dari sebuah kanal rasa.

Tapi, ada satu muara yang maha dari segala muara. Muara itu adalah Alloh. Tiadalah segalanya, kecuali adalah ketetapannya. Maka, apapun muara kita, janganlah sampai lupa bahwa muara tertinggi itu tetaplah Dia. Nasihat ini adalah nasihat yang aku tujukan untuk diriku sendiri. Untuk diriku, yang masih sangat jauh dari itu.

Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah ra. Dari Nabi Saw., di mana beliau bersabda : “Seorang Muslim yang tertimpa kecelakaan, kemelaratan, kegundahan, kesedihan, kesakitan maupun kedukaan, sampai-sampai tertusuk duri; niscaya Alloh akan menebus dosanya dengan apa yang menimpanya itu.”
(HR. Bukhori dan Muslim)

Dari Abu Hurairah ra., berkata, Rasulullaah saw bersabda : “Barang siapa yang dikehendaki Alloh menjadi orang baik maka ditimpakan musibah (ujian) kepadanya”.
(HR. Bukhori)

Nabi saw Bersabda : “sesungguhnya besarnya pahala itu tergantung pada besarnya ujian. Dan sesungguhnya apabila Alloh ta’ala mencinta suatu bangsa maka Alloh menguji mereka; barang siapa yang ridha maka Alloh akan meridhainya dan barang siapa yang murka maka Alloh akan memurkainya”. (HR. At Tarmudzy)

Ambang Idealis

Akhir-akhir ini, aku lebih sering mencoba berdialog dengan hati, atas setiap rentetan peristiwa yang Alloh sajikan untuk diriku… Ya, aku yang dilingkupi dengan segenap kekuranganku, ilmu yang benar-benar masih sangat sedikit, dan segala sesuatu yang masih sangat banyak yang mesti ditambali.

Jika segala sesuatunya memang akan dan harus kita jalani, kenapa tak kita jalani dengan cara terbaik yang kita punya, yah? Meski itu berat. Meski itu menyakitkan. Karena, hidup tetaplah perputaran dua episode : kesedihan dan kebahagiaan. Tak ada sedihan tanpa kebahagiaan. Dan sebaliknya.

Setelah berjumpa dengan banyaknya realita, sepertinya aku memang harus banyak berdamai dengan realita itu sendiri. Menggeser sedikit ambang idealisme. Mungkin seperti ini. Semoga tak menggeser dari sekian banyak mimpi. Hanya saja, aku harus lebih banyak bersiap diri, untuk sebuah kemungkinan terburuk. Bukan terburuk semestinya, tapi, sesuatu yang di luar lingkar garis mimpi lebih tepatnya. Sebab segala yang terjadi tetaplah yang TERBAIK adanya. Kadang kala, kita tak perlu bersiap diri untuk sebuah kemungkinan bahagia, namun kita perlu bersiap diri untuk segala kemungkinan yang tak bahagia. Tapi, apapun itu : segalanya adalah sesuatu yang tercatat di Lauhul Mahfudz. Tergantung kita, apakah menjalankannya dengan sebuah upaya dan laku paling optimal ataukah hanya untuk memenuhi saja.

Hayuuu…
Mannajah!
Ingatlah, apapun itu, SEGALA KEADAAN ADALAH BAIK ADANYA!

Cerita Suka Duka Sang Durian

ini namanya SANOK....Mauuu???
Musim durian selalu saja meninggalkan cerita suka, sekaligus duka. Ada durian yang membahagiakan, seperti laiknya pencinta durian yang memburu sang durian ditemani sepiring ketan. Namun, juga ada cerita duka. Durian yang mematikan. Baru-baru ini, dikabarkan ada bayi yang meninggal akibat disusui oleh ibunya yang maniak durian. Ia terlalu banyak makan durian sehingga durian itu juga disekresikan melalui air susu itu. Sebagai ganjarnya, ia harus membayar mahal atas itu. Kematian bayinya. Innalillaahi. Lain lagi cerita, tentang laki-laki yang juga maniak durian. Terlalu banyak durian yang ia masukkan ke dalam saluran cerna. Dan, sebagai gantinya, ia harus kehilangan nyawanya. Sudah ajal juga barang kali. Innalillaahi wainna ilaihi rooji’un. [Tetap saja terlalu berlebihan itu lebih mendatangkan mudharat ketimbang manfaat yah? Hee…]

Dari pada hanya cerita duka, marilah kita bercerita sedikit tentang cerita suka. Bagi kamu yang suka durian, gaya makan apa yang menarik untuk menikmati seulas durian? Jangan bilang gaya bebas, gaya kodok maupun gaya batu yah. Hihi. Bukan itu. Maksudnya, cara makan yang bagaimana yang menarik? Apakah ditemani nasi ketan? Ataukah dibuat kolak? Hmm…boleh pilih mana saja.

Tapi, aku punya resep baru, cara makan durian yang lebih menarik, nyummy dan beuuhhh….eunaaak bet dah! Jika kamu pernah makan es durian yang nyummy bener di kawasan Pondok (apa yah? “Ganti Nan Lamo” kalo ndak salah namanya, yang mana Dr. Yoshitsugu Nakaguchi aja sampai makan dua mangkok gede dulunya), maka rasanya nyang ini tak jauh beda. Cuma beda es nya doang. (kalau versi narsis saia sih, yang ini lebih maknyuuusss…wkwkwkwk).

Namanya : SANOK. Hmm…bukan sianok loh yaah. Itu ngarai. Hee… Spellingnya : ES-A-EN-O-KA. Cara bikinnya adalah : baca basmalah dulu, trus siapkan santan (yang agak kentel deh, kira-kira 1 buah kelapanya atau kira-kira satu setengah gelas santan atau 300 cc), trus gula pasir, garam, durian, dan beras ketan hitam. Cara bikinnya guammpaaaaaaaaaang banget!

Pertama, masak dulu ketan hitam. Karena memasak ketan agak lama, jadi ketan dulu yang dimasak. Masaknya sama kayak masak nasi biasa, namun butuh waktu yang lebih lama. Trus, di wadah yang lain, santan di masak sampai mendidih, lalu ditambahkan sedikit garam dan gula. Sementara mendidih santannya, daging buah durian disuir-suir sehingga terpisah dari bijinya. Duriannya leage artis ajah, suka-suka ajah berapa banyaknya. Tapi jangan kebanyakan yaaah… Setelah santannya mendidih, biarkan dingin dulu. Kalo udah dingin, masukkan durian yang sudah disur-suir, aduk hingga membentuk kayak pasta gituh (kental deh pokoknya). Nah, kalo udah gitu tinggal disajikan. Sendokkan ketannya di dalam piring, siram dengan pasta durian. Humm….nyummmiiyy… Berasaaa rasanya!
Hehe…

Selamat menikmati…. ^___^