Bagi yang pernah menempuh pendidikan menengah, mau SMA, SMK, MA dan sederajatnya, pasti deh pernah blajar mengenai grafik fungsi kuadrat berikut penghitungan titik maksimum dan titik minimumnya! Yang itu loh, persamaan garis parabol! Iya kan? Hee…
Tapi, pernahkah berpikir, “buat apa siiiiih, blajar beginian? Ngapain juga mesti nyari-nyari titik maksimum segala?!” hayoo….pernah kaga? Hihi.
Belakangan, aku baru menyadari ternyata banyak plajaran yang bisa dipetik dari grafik maksimum dan grafik minimum itu. Mari kita lihat grafik parabol itu. Dan lihatlah, betapa sesungguhnya setinggi apapun grafik itu, ia tetap mengalami penurunan pada puncaknya. Dan, serendah apapun titik minimumnya, tetap saja ia pasti akan memiliki titik balik menuju peningkatan kembali! Mungkin, ini erat kaitannya dengan betapa Yazid wa Yanqus nya keimanan kita. Ada titik-titik dimana kita merasa berada dipuncak maksimum dan ada pula titik-titik dimana ia berada pada nilai minimum. Mungkin, sering kita rasakan itu. Betapa dinamisnya ia.
Tak perlu ada penyalahan untuk titik maksimum dan minimum itu sebab, betapa niscayanya ia. Hanya yang perlu kita lakukan adalah, bagaimana membuat titik maksimum itu pada kuadran positif dengan ordinat setinggi mungkin. Dan, bagaimana agar ordinatnya selalu memiliki nilai yang lebih tinggi pada titik maksimum parabol berikutnya. Ini juga perkara, bagaimana menjadikan titik minimum itu pada ordinat negative terkecil juga pada kuadran yang lebih positif. Allahu’alam.
Aku tahu, semua ini tak mudah! Selain Allah bekali dengan potensi fujur, pasti syetan juga tak tinggal diam untuk merayu dan terus merayu agar kita ‘memanfaatkan fasilitas’ fujur yang Allah bekali itu. Ia selalu berusaha, agar titik minimum kita adalah pada ordinat senegatif mungkin. Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang istiqomah, meskipun harus melawan kedinamisan itu! Memang benar ternyata, dunia ini sungguh begitu berat, dengan godaan-godaan yang begitu dahsyat! Hanya sedikit saja yang sampai pada penghujungnya dengan selamat! Meskipun amat sebentar, tapi…ia begitu menentukan! Semoga Allah menjadikan kita bagian dari golongan yang sedikit tersebut.
*Setelah fase keterpurukkan di titik minimum…
Sungguh, tiadalah kebahagiaan yang lebih indah selain membersamai-Nya dalam setiap jenak kehidupan. Namun, diri sering lupa! Dan, sering lalai!
Diari-Diari
Cobalah lihat tumpukan di samping. Heuu….itu adalah setumpuk diari. Hehe. Dulu, aku hobby banget menulis diari! (Dulu? Berarti sekarang tidak yah? Hihihi. Sekarang masi koq, tapi tak seperti dulu, karena sebagian besar diariku sudah pindah ke blog! Heuu… Yah, artinya, siapapun yang sempet baca blogku, berarti dia udah baca diariku jugak! Heuu..)
[ini niiih, susahnya jadi orang ekstrovert! Tidak misterius sama sekali! Dan sangat mudah ditebak! Heuu…. Tapi, tak ape lah. Aku akan menjadi aku apa adanya! Tidak ingin menjadi orang lain. Hehe]
Uhm….nulis diari memang jadi kebiasaanku dulunya. Jadi, dalam tas ransel item itu, bisa dipastikan akan ditemukan sebuah diari. Hehe. Pada mulanya, aku nulis diari di buku-buku diari yang berwarna-warni bergambar itu, laiknya sebuah diari lah! Tapiii, belakangan, sejak tahun 2007-an lah, diari kayak punyanya anak SMP dan SMA itu tak begitu menarik lagi bagiku. Abisnya, selain kapasitasnya terlalu sedikit, nulisnya jugak kaga puasss! Heuu… Walhasil, setelahnya, aku menobatkan buku tulis isi 200 menjadi sebuah diari! Dan tahukah kau, buku tebel isi 200 lembar itu, bisa ‘ludes’ ditulisi dalam jangka 6-7 bulan saja! Writinghollic! Hihi.
Jangan kira, isi diarinya adalah cerita-cerita melankolik melulu. Heuu….tentu TIDAAAK! Karena aku ga begitu melankolik (walau kadang2 iya. Hihi). Isi diariku, adalah (selain curhatan masalah), lebih banyak opini-opini, ekstrapolasi rumus-rumus, hingga pandangan-pandanganku terhadap sikap-sikap social yang ada di lingkungan sekitar! Kadang-kadang, juga ada itung-itungan SKS segala. Hihi. (eh, aku publish jugak niiih, beberapa halamannya. Jangan disangka itu catatan farmasi fisika yah! Itu diari loh! Hihi). Dan, setiap menulis halaman diari, selain menyertakan tanggal, aku juga menyertakan JUDUL dari tulisan diari hari itu. Heuu….catatan harian yang punya judul di setiap hari! Dan aku nulis diarinya, yah sporadic! Suka-suka ajah! Gak harus malem hari sebelum tidur! Heuu… Kadang di teras mushalla, kadang di ruang kuliah, kadang…ketika dosen menjelaskan kuliah! Ups!
Sejak ada blog (sebenernya ngeblog sih udah dari 2007. Tapi, mulai aktif ngeposting di blog itu taon2 2009-an lah) dan ditunjang dengan kemudahan akses (yang sebenarnya jugak gak beda jauh dari taon sebelumnya. Heuu…) akhirnya, crita-crita and rumus-rumus ntu jadinya diposting ke blog ajah!!
Apa plajaran berharganya? Ternyata, dengan menuliskan segala sesuatunya, semisal ekstrapolasi rumus farmasi fisika (salah satu yang aku tulis di diari itu yang aku posting ini, adalah ekstrapolasi rumus stabilitas obat) ternyata membuat kita lebih memahaminya! Yup, memahami dengan menuliskannya! Memahaminya, dengan menganalogikannya dengan kehidupan kita! Sebab, bagiku, segala apapun yang ada di alam ini, adalah penyederhanaan dari konsep hidup itu sendiri!
Plajaran kedua, di posting di blog ataupun ditulis di diari, kedua-duanya memberikan efek yang sama bagi diriku. Yaitu belajar memahami dengannya. Akan tetapi, mungkin akan berbeda efeknya pada orang lain! Sebab, jika aku menuliskan di diari, hanya aku saja yang dapat membacanya (dan mencoba memahaminya) sendiri, sedangkan dengan diposting di blog, mungkin saja ada orang lain (yang nyasar) dan ikut membacanya. Jadinya, bisa ‘dinikmati’ bersama-sama! Bisa belajar bersama. Dan, bisa memahami bersama. Selain itu, kita jugak dapat ilmu dari teman-teman yang mungkin ikut memberikan masukan di sana. Iya tho?
Kesimpulannya adalah…menulislah…cukup tuliskan saja apa kau kamu pikirkan, jangan dibalik! ‘Tuliskan apa yang kamu pikikan’! Jangan ‘pikirkan apa yang kamu tuliskan’! Maksudnya ‘pikirkan apa yg dituliskan’ di sini adalah, mau nulis, mikirnya panjaaaaaaaaang, “bisa gak yah! Bisa gak yah?” melulu. Padahal, ketika kita mengatakan, “aku tidak bisa menulis”, itu sudah menjadi langkah awal kegagalan kita! Sebab, kita telah memberikan labeling ‘ketidakbisaan’ pada amygdale kita! Spakat!? Heeuu… (Tak harus sepakat! Karena ini bukan paksaan! Jika tidak sepakat, hayuuu…tuliskan ketidakspakatanmu! Hihi. Ngaco!).
[ini niiih, susahnya jadi orang ekstrovert! Tidak misterius sama sekali! Dan sangat mudah ditebak! Heuu…. Tapi, tak ape lah. Aku akan menjadi aku apa adanya! Tidak ingin menjadi orang lain. Hehe]
Uhm….nulis diari memang jadi kebiasaanku dulunya. Jadi, dalam tas ransel item itu, bisa dipastikan akan ditemukan sebuah diari. Hehe. Pada mulanya, aku nulis diari di buku-buku diari yang berwarna-warni bergambar itu, laiknya sebuah diari lah! Tapiii, belakangan, sejak tahun 2007-an lah, diari kayak punyanya anak SMP dan SMA itu tak begitu menarik lagi bagiku. Abisnya, selain kapasitasnya terlalu sedikit, nulisnya jugak kaga puasss! Heuu… Walhasil, setelahnya, aku menobatkan buku tulis isi 200 menjadi sebuah diari! Dan tahukah kau, buku tebel isi 200 lembar itu, bisa ‘ludes’ ditulisi dalam jangka 6-7 bulan saja! Writinghollic! Hihi.
Jangan kira, isi diarinya adalah cerita-cerita melankolik melulu. Heuu….tentu TIDAAAK! Karena aku ga begitu melankolik (walau kadang2 iya. Hihi). Isi diariku, adalah (selain curhatan masalah), lebih banyak opini-opini, ekstrapolasi rumus-rumus, hingga pandangan-pandanganku terhadap sikap-sikap social yang ada di lingkungan sekitar! Kadang-kadang, juga ada itung-itungan SKS segala. Hihi. (eh, aku publish jugak niiih, beberapa halamannya. Jangan disangka itu catatan farmasi fisika yah! Itu diari loh! Hihi). Dan, setiap menulis halaman diari, selain menyertakan tanggal, aku juga menyertakan JUDUL dari tulisan diari hari itu. Heuu….catatan harian yang punya judul di setiap hari! Dan aku nulis diarinya, yah sporadic! Suka-suka ajah! Gak harus malem hari sebelum tidur! Heuu… Kadang di teras mushalla, kadang di ruang kuliah, kadang…
Sejak ada blog (sebenernya ngeblog sih udah dari 2007. Tapi, mulai aktif ngeposting di blog itu taon2 2009-an lah) dan ditunjang dengan kemudahan akses (yang sebenarnya jugak gak beda jauh dari taon sebelumnya. Heuu…) akhirnya, crita-crita and rumus-rumus ntu jadinya diposting ke blog ajah!!
Apa plajaran berharganya? Ternyata, dengan menuliskan segala sesuatunya, semisal ekstrapolasi rumus farmasi fisika (salah satu yang aku tulis di diari itu yang aku posting ini, adalah ekstrapolasi rumus stabilitas obat) ternyata membuat kita lebih memahaminya! Yup, memahami dengan menuliskannya! Memahaminya, dengan menganalogikannya dengan kehidupan kita! Sebab, bagiku, segala apapun yang ada di alam ini, adalah penyederhanaan dari konsep hidup itu sendiri!
Pake Judul euy...hihihi |
Plajaran kedua, di posting di blog ataupun ditulis di diari, kedua-duanya memberikan efek yang sama bagi diriku. Yaitu belajar memahami dengannya. Akan tetapi, mungkin akan berbeda efeknya pada orang lain! Sebab, jika aku menuliskan di diari, hanya aku saja yang dapat membacanya (dan mencoba memahaminya) sendiri, sedangkan dengan diposting di blog, mungkin saja ada orang lain (yang nyasar) dan ikut membacanya. Jadinya, bisa ‘dinikmati’ bersama-sama! Bisa belajar bersama. Dan, bisa memahami bersama. Selain itu, kita jugak dapat ilmu dari teman-teman yang mungkin ikut memberikan masukan di sana. Iya tho?
Kesimpulannya adalah…menulislah…cukup tuliskan saja apa kau kamu pikirkan, jangan dibalik! ‘Tuliskan apa yang kamu pikikan’! Jangan ‘pikirkan apa yang kamu tuliskan’! Maksudnya ‘pikirkan apa yg dituliskan’ di sini adalah, mau nulis, mikirnya panjaaaaaaaaang, “bisa gak yah! Bisa gak yah?” melulu. Padahal, ketika kita mengatakan, “aku tidak bisa menulis”, itu sudah menjadi langkah awal kegagalan kita! Sebab, kita telah memberikan labeling ‘ketidakbisaan’ pada amygdale kita! Spakat!? Heeuu… (Tak harus sepakat! Karena ini bukan paksaan! Jika tidak sepakat, hayuuu…tuliskan ketidakspakatanmu! Hihi. Ngaco!).
Aku Ingin Jadi Guru
Berikut ini hanyalah cerita-cerita tak penting saja. Idenya tiba-tiba ajah, waktu ngebahas silogisme dan angka berseri. Jadiii, refreshing bentar, nulis iniih. Hehe. Mungkin critanya yah Cuma ecek-ecek doang! Menyangkut soal guru nih!
Eh, ngomong-ngomong soal guru (heuu…bertepatan dengan hari guru niih yaah. Walaupun udah lewat dua hari…), sesungguhnya aku baru nyadar kalau aku benar-benar sangat suka menjadi guru! Menjadi guru itu menyenangkan! Kepuasannya bukan ketika mendapat gaji, melainkan ketika orang yang kita terangkan mengerti dengan apa yang kita terangkan itu. Plajaran pertama : kepuasan seorang guru adalah ketika ia berhasil membuat muridnya mengerti!
Dahulu ketika SMP kelas 1, 2 dan 3, aku telah menjadi guruicak-icak, hehe. Ketika itu, ada system tutorial yang dibentuk di asrama, ditunjuklah 2 orang menjadi guru bagi teman-temannya untuk setiap mata pelajaran. Dan aku kebagian jatah, menjadi guru matematika. Aku menikmati peran itu. Aku bahagia, ketika harus belajar lebih keras agar orang lain mengerti dengan apa yang aku ajarkan. Aku belajar, untuk mengajarkan. Dan, dampak positifnya, selain kepuasan batin, jugak membantu sekali dalam menghadapi ujian. Sehingga, sebelum ujian matematika, aku bisa tidur dengan enak. Hahah. Abisnya, semuanya sudah diajarkan sih! Maka, benarlah sudah jika kita mengajarkan, ilmu kita malah nambah!
Di waktu SMA, kalau tidak salah, juga pernah ada system tutorial begitu. Tapi, gak dibentuk secara resmi di asrama. Hanya kesepakatan antar teman2 saja. Kali ini, aku tidak menjadi guru! Heuu… tentu saja tidak menjadi guru! Karena, banyak para master matematika lainnya. Dan aku bukan termasuk golongan itu. (jadiiiii, kesimpulan silogismenya?? Hahay…kebawa2 soal2 tes cpns pulak!).
Di bangku S-1, tak ada matematika, kecuali matematika yang berkaitan dengan farmasi (yah statistic bwt penelitian lah, yah gros-gros-an itu lah, yah menghitung waktu daluarsa obat lah, menghitung partikel backterilah yang rumusnya sudah tertentu..heuu…). Tentu saja aku tidak menjadi guru matematika lagi! Hehehe. Nah, untuk menjadi guru pelajaran farmasi? Heuu….tidak ada system tutorial kali ini. Bahkan, aku tidak pernah menjadi asisten dosen maupun asisten lab (walau hanya asisten lab mikro sekalipun….heuu…). Aku pernah jadi guru, tapi bukan guru farmasi ataupun matematika, melainkan guru photoshop (baca: sotoysop, hihi). Hahahay. Tapi, untuk sotoyshop yang sederhananya saja. Kalo yang mahirnya mah, banyak yang lebih jago! Bahkan aku saja belum bisa digolongkan mahir! Murid sotoyshopnya Cuma satu yaitu Wewen (heuu…peace ewe-ku…). Dan, membahagiakannya, ternyata Wewen sekarang jauh lebih mahir sotoyshop ketimbang akuuuh.
Plajaran kedua : adalah kepuasan guru juga ketika muridnya lebih pintar dari dirinya!
Ah iya, aku jugak pernah jadi guru semasa S-1 ini. Guru matematika dasar, bwt anak-anak yg baru tamat kelas 3 SMA yang lagi bimbel yang kebetulan berdomisili di wisma. Angkatan 2008, 2009 dan 2010. Itu pun tak banyak siiiih. Heuu… Nyang kali ini, tentu saja dengan embel2 “hanya yang kakak tau ajah yah De’. Hihi.”
Setelah tamat apoteker, aku pun kembali menjadi guru matematika. Bukan hanya guru matematika saja bahkan! Tapi, juga guru fisika! Guru matematika untuk anak SMP dan guru matematika dan fisika untuk anak SMA. Muridnya adalah anak kelas X.1 SMAN 1 Solsel, Kelas VII anak MTsN Pastal, dan SMP 19 Solsel. Tentu saja tidak semua muridnya tho! Wong sekolahnya sekolah rumahan. Dan muridnya jugak hanyalah anak-anak tetangga. Hihihi. Kalo dalam bahasa silogismenya adalah kalimat mayor; Semua Murid X.1 adalah murid SMA 1 solsel. Kalimat minor ; Sementara Murid X.1 SMA 1 solsel adalah murid saya. Lalu, kesimpulan silogismenya adalah….Sementara murid X.1 adalah murid saya. Hahahay! Wedeeeeh! Satu hal yang menakjubkan adalah, kenapa tiba-tiba aku menjadi sangat suka fisika setelah tamat apoteker? Heuu…anything wrong?
Plajaran ketiga : sesuatu itu akan lebih mudah dipahami ketika kita sangat enjoy untuk memahaminya tanpa ada tekanan sedikitpun!
Dahulu kala, sbelum pengembalian formulir SPMB di tahun 2005 itu, aku mengisikan Pendidikan Matematika UNP di pilihan ke-dua. Itu artinya, jika aku lulus di pilihan ini, mungkin aku akan menjadi guru matematika! Heuu….betapa menyenangkannya! Hehe. Tapiii, tiba-tiba ajah, sesampainya di FK Unand (ketika itu pengembalian formulir panlok alias panitia local 15 dilaksanakan di kampus FK Unand), aku menghapus lembar abo itu, dan mengganti kode pilihan-2 nya menjadi 152462. Jadinya, formasinya yah farmasi! Nah, di tanggal 6 Agustus 2005, Koran Singgalang menuliskan bahwa No peserta 305-15-00751 ada di formasi 152462. (heuu….saking berkesannya masi inget sama angka iniiih)
Nah, kembali ke silogisme (kayaknya ba’da ngebahas soal tes cpns, aku demen banget ama nyang satu ini niiih! Hihihi). Mari kita buat sebuah silogisme :
Jika Fathel mengambil Pend. Matematika, maka ia akan menjadi guru matematika.
Sementara Fathel mengambil jurusan farmasi.
Kesimpulannya : Sementara Fathel mungkin akan menjadi guru farmasi.
Hehehe….
Berkaitan dengan kesimpulan itu…, do’aku adalah…semoga Allah berkenan mengabulkannya…
Karena aku sangat suka menjadi guru! Heuu….
Eh, ngomong-ngomong soal guru (heuu…bertepatan dengan hari guru niih yaah. Walaupun udah lewat dua hari…), sesungguhnya aku baru nyadar kalau aku benar-benar sangat suka menjadi guru! Menjadi guru itu menyenangkan! Kepuasannya bukan ketika mendapat gaji, melainkan ketika orang yang kita terangkan mengerti dengan apa yang kita terangkan itu. Plajaran pertama : kepuasan seorang guru adalah ketika ia berhasil membuat muridnya mengerti!
Dahulu ketika SMP kelas 1, 2 dan 3, aku telah menjadi guru
Di waktu SMA, kalau tidak salah, juga pernah ada system tutorial begitu. Tapi, gak dibentuk secara resmi di asrama. Hanya kesepakatan antar teman2 saja. Kali ini, aku tidak menjadi guru! Heuu… tentu saja tidak menjadi guru! Karena, banyak para master matematika lainnya. Dan aku bukan termasuk golongan itu. (jadiiiii, kesimpulan silogismenya?? Hahay…kebawa2 soal2 tes cpns pulak!).
Di bangku S-1, tak ada matematika, kecuali matematika yang berkaitan dengan farmasi (yah statistic bwt penelitian lah, yah gros-gros-an itu lah, yah menghitung waktu daluarsa obat lah, menghitung partikel backterilah yang rumusnya sudah tertentu..heuu…). Tentu saja aku tidak menjadi guru matematika lagi! Hehehe. Nah, untuk menjadi guru pelajaran farmasi? Heuu….tidak ada system tutorial kali ini. Bahkan, aku tidak pernah menjadi asisten dosen maupun asisten lab (walau hanya asisten lab mikro sekalipun….heuu…). Aku pernah jadi guru, tapi bukan guru farmasi ataupun matematika, melainkan guru photoshop (baca: sotoysop, hihi). Hahahay. Tapi, untuk sotoyshop yang sederhananya saja. Kalo yang mahirnya mah, banyak yang lebih jago! Bahkan aku saja belum bisa digolongkan mahir! Murid sotoyshopnya Cuma satu yaitu Wewen (heuu…peace ewe-ku…). Dan, membahagiakannya, ternyata Wewen sekarang jauh lebih mahir sotoyshop ketimbang akuuuh.
Plajaran kedua : adalah kepuasan guru juga ketika muridnya lebih pintar dari dirinya!
Ah iya, aku jugak pernah jadi guru semasa S-1 ini. Guru matematika dasar, bwt anak-anak yg baru tamat kelas 3 SMA yang lagi bimbel yang kebetulan berdomisili di wisma. Angkatan 2008, 2009 dan 2010. Itu pun tak banyak siiiih. Heuu… Nyang kali ini, tentu saja dengan embel2 “hanya yang kakak tau ajah yah De’. Hihi.”
Setelah tamat apoteker, aku pun kembali menjadi guru matematika. Bukan hanya guru matematika saja bahkan! Tapi, juga guru fisika! Guru matematika untuk anak SMP dan guru matematika dan fisika untuk anak SMA. Muridnya adalah anak kelas X.1 SMAN 1 Solsel, Kelas VII anak MTsN Pastal, dan SMP 19 Solsel. Tentu saja tidak semua muridnya tho! Wong sekolahnya sekolah rumahan. Dan muridnya jugak hanyalah anak-anak tetangga. Hihihi. Kalo dalam bahasa silogismenya adalah kalimat mayor; Semua Murid X.1 adalah murid SMA 1 solsel. Kalimat minor ; Sementara Murid X.1 SMA 1 solsel adalah murid saya. Lalu, kesimpulan silogismenya adalah….Sementara murid X.1 adalah murid saya. Hahahay! Wedeeeeh! Satu hal yang menakjubkan adalah, kenapa tiba-tiba aku menjadi sangat suka fisika setelah tamat apoteker? Heuu…anything wrong?
Plajaran ketiga : sesuatu itu akan lebih mudah dipahami ketika kita sangat enjoy untuk memahaminya tanpa ada tekanan sedikitpun!
Dahulu kala, sbelum pengembalian formulir SPMB di tahun 2005 itu, aku mengisikan Pendidikan Matematika UNP di pilihan ke-dua. Itu artinya, jika aku lulus di pilihan ini, mungkin aku akan menjadi guru matematika! Heuu….betapa menyenangkannya! Hehe. Tapiii, tiba-tiba ajah, sesampainya di FK Unand (ketika itu pengembalian formulir panlok alias panitia local 15 dilaksanakan di kampus FK Unand), aku menghapus lembar abo itu, dan mengganti kode pilihan-2 nya menjadi 152462. Jadinya, formasinya yah farmasi! Nah, di tanggal 6 Agustus 2005, Koran Singgalang menuliskan bahwa No peserta 305-15-00751 ada di formasi 152462. (heuu….saking berkesannya masi inget sama angka iniiih)
Nah, kembali ke silogisme (kayaknya ba’da ngebahas soal tes cpns, aku demen banget ama nyang satu ini niiih! Hihihi). Mari kita buat sebuah silogisme :
Jika Fathel mengambil Pend. Matematika, maka ia akan menjadi guru matematika.
Sementara Fathel mengambil jurusan farmasi.
Kesimpulannya : Sementara Fathel mungkin akan menjadi guru farmasi.
Hehehe….
Berkaitan dengan kesimpulan itu…, do’aku adalah…semoga Allah berkenan mengabulkannya…
Karena aku sangat suka menjadi guru! Heuu….
CPNShollic
cPNShollic |
وَعَسى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئا ً وَهُوَ خَيْر ٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئا ً وَهُوَ شَرّ ٌ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
(Qs. Al Baqoroh 216)
Bapak Tua Penjual Kresek
Clingak-clinguk kiri kanan. Hmm…di mana si Bapak tua itu? Pikirku. Sudah sering kali aku bertemu si Bapak Tua itu di pasar ini dan selalu saja mengundang mataku untuk memperhatikan lebih lama. Ia yang selalu berteriak-teriak dari lorong ke lorong dengan berlembar-lembar kresek hitam di tangan kiri dan kanannya. Dalam perburuan kali ini (heuu…kenapa pula perburuan yah?) aku kembali mencari sesuatu yang dapat mengepulkan asap dapur (heuu..memangnya dapurnya berasap geetooh!), Yah, sebangsa tomat, cabai, bawang dan teman-temannya lah! Hihi. Dan, kali ini, aku juga ingin mencari si bapak Tua itu!
[sekedar intermezzo, ini kali kelima (apa keenam yah) aku ditanya ibu-ibu tetangga atau ibu-ibu yang bepapasan di pasar dengan pertanyaan yang persis! “Eh, Pi. Lai pandai ka pasa yo?” heuu….pertanyaan yang aneh menurutku. Memangnya, Ke pasar apa susah banget yah, butuh keahlian dan sekolah propesi pulak yah? Hihi. Kan, tinggal Tanya, “Bagapo sasukek Pak? Ndak kughang lai ro? Sapulua la yo Pak.” Lalu, kalo deal, kasi duit ambil barang dan kabuuur. Heuu….]
Back to topic. Uhm….kali ini aku benar-benar ingin membeli kresek pak tua. Tidak seperti sebelumnya, yang aku hanya membiarkan pak tua teriak-teriak dari gang ke gang. Heuu…
“Bagapo, Pak?” tanyaku. Basa-basi sebenarnya. Aku kan sudah tau harganya. Wong si Bapak tereak-tereak, “duo sibu…duo sibuuu…”. Hehe.
“Duo sibu nak.”
“Duo pak”
Kuserahkan selembaran duit seribu. Lalu, sambil memasukkan belanjaan ke kresek, kuamati punggung pak tua yang ringkih. Sambil menelan ludah. Miris!
Aku tercenung. Hmmmphh…dari lelaki tua itu, aku banyak belajar. Mengenai hidup yang tak selalu mudah. Mengenai mahalnya duit seribu rupiah!
Anggap saja ia membawa seratus kresek. Itu artinya, ia mendapatkan 50 ribu utk seratus lembar itu. Itu pun kalau seratusnya laku. Lalu, dikurangi modal kresek, yang kita perkirakan 20 ribu. Artinya, ia memperoleh untung hanya 30 ribu. Nah, hari pasar itu Cuma dua kalis sepekan. Jadi, ia hanya mengantongi 60 ribu untuk satu pekan jika dagangannya laku!
Masya Allah!
Hanya enam puluh ribu! Di sanalah ia, istri dan anak-anaknya menggantungkan hidup dari hari ke hari. Masya Allah, dapat apa sih di jama sekarang dengan segitu duit? Dan, parahnya, bagaimana kalo kehidupannya Cuma diandalkan dari hasil berjualan kresek?
Ah, Pak Tua. Biarkan aku belajar arti kesyukuran darimu. Bahwa, seribu rupiah itu sesungguhnya sangat mahal, dan tetaplah ia adalah sesuatu yang perlu untuk disyukuri. Barang kali kita (aku terutama) yang kurang bersyukur dengan karunia yang Allah beri. Ah, terima kasih Pak Tua, atas plajaran hari ini.
Memang, tak satu pun makhluk-Nya yang tak Allah jamin rizkinya. Pasti Allah tidak akan membiarkan makhluk-Nya kelaparan. Maha Rahman dan Maha Rahim Allah. Tapi, ini semua tetap saja memberi kita pelajaran bahwa KITA MEMANG TIDAK PUNYA ALASAN UNTUK TIDAK BERSYUKUR.
[sekedar intermezzo, ini kali kelima (apa keenam yah) aku ditanya ibu-ibu tetangga atau ibu-ibu yang bepapasan di pasar dengan pertanyaan yang persis! “Eh, Pi. Lai pandai ka pasa yo?” heuu….pertanyaan yang aneh menurutku. Memangnya, Ke pasar apa susah banget yah, butuh keahlian dan sekolah propesi pulak yah? Hihi. Kan, tinggal Tanya, “Bagapo sasukek Pak? Ndak kughang lai ro? Sapulua la yo Pak.” Lalu, kalo deal, kasi duit ambil barang dan kabuuur. Heuu….]
Back to topic. Uhm….kali ini aku benar-benar ingin membeli kresek pak tua. Tidak seperti sebelumnya, yang aku hanya membiarkan pak tua teriak-teriak dari gang ke gang. Heuu…
“Bagapo, Pak?” tanyaku. Basa-basi sebenarnya. Aku kan sudah tau harganya. Wong si Bapak tereak-tereak, “duo sibu…duo sibuuu…”. Hehe.
“Duo sibu nak.”
“Duo pak”
Kuserahkan selembaran duit seribu. Lalu, sambil memasukkan belanjaan ke kresek, kuamati punggung pak tua yang ringkih. Sambil menelan ludah. Miris!
Aku tercenung. Hmmmphh…dari lelaki tua itu, aku banyak belajar. Mengenai hidup yang tak selalu mudah. Mengenai mahalnya duit seribu rupiah!
Anggap saja ia membawa seratus kresek. Itu artinya, ia mendapatkan 50 ribu utk seratus lembar itu. Itu pun kalau seratusnya laku. Lalu, dikurangi modal kresek, yang kita perkirakan 20 ribu. Artinya, ia memperoleh untung hanya 30 ribu. Nah, hari pasar itu Cuma dua kalis sepekan. Jadi, ia hanya mengantongi 60 ribu untuk satu pekan jika dagangannya laku!
Masya Allah!
Hanya enam puluh ribu! Di sanalah ia, istri dan anak-anaknya menggantungkan hidup dari hari ke hari. Masya Allah, dapat apa sih di jama sekarang dengan segitu duit? Dan, parahnya, bagaimana kalo kehidupannya Cuma diandalkan dari hasil berjualan kresek?
Ah, Pak Tua. Biarkan aku belajar arti kesyukuran darimu. Bahwa, seribu rupiah itu sesungguhnya sangat mahal, dan tetaplah ia adalah sesuatu yang perlu untuk disyukuri. Barang kali kita (aku terutama) yang kurang bersyukur dengan karunia yang Allah beri. Ah, terima kasih Pak Tua, atas plajaran hari ini.
Memang, tak satu pun makhluk-Nya yang tak Allah jamin rizkinya. Pasti Allah tidak akan membiarkan makhluk-Nya kelaparan. Maha Rahman dan Maha Rahim Allah. Tapi, ini semua tetap saja memberi kita pelajaran bahwa KITA MEMANG TIDAK PUNYA ALASAN UNTUK TIDAK BERSYUKUR.
Balada Pembagian Rapor
Dahulu, waktu SMA, hal yang paling tidak kutunggu-tunggu adalah pembagian rapor! Hee… Karena, di hari pembagian rapor, aku harus pontang panting (lebay!) mencari “orang tua pinjaman” untuk mengambilkan si rapor itu. Huhu. Selama 3 tahun sekolah dan beberapa kali pembagian rapor (MID and Semesteran), tidak pernah sekalipun ayah atau ibuku bisa datang. Maklum, ada 180 km lebih jarak yang harus ditempuh! Dan lagi, pembagian rapor di skolahku dulunya tidak selalu di hari sabtu akhir semester melainkan beberapa kali di hari Senin pas jam ke-13 di hari pertama sekolah semester berikutnya. Hee… Jam ke-13 maksudnya, jam plajaran ba’da dzuhur di hari senin itu.
Nah, pada hari pembagian rapor itu, rapornya harus diambil oleh orang tua! Dan aku, dengan jarak sekian jauh dan ditambah pula ayah dan ibuku mesti masuk kerja (wong, pembagian rapornya di hari kerja begitu), mesti mencari-cari orang tua pinjaman, biar ada yg bisa ngambilin rapor. Masih ingat aku, ketika kelas satu semester 1, aku pinjem orang tuanya Alif (Ketos SMANSA 2003-2004), yang kebetulan adalah temennya ayahku juga. Semester keduanya, aku pinjem orang tuanya Ayu (Temen satu kamarku di Asrama sekaligus satu kelas). Semester selanjutnya….aku pinjam orang tua siapa lagi yah? Hee… Pernah, di semester 1 kelas 3, aku tak dapat pinjaman orang tua. Wal hasil, di antara teman2 sekelas, akulah satu-satunya siswa di kelasku yang belum menerima rapor. Hingga seminggu lebih. Sampai aku tak niat lagi ngambil itu rapor! (paraaaaah!).
Hmmph…pembagian rapor! Kebahagiaan dan kenelangsaan bagi sebagian orang! Sebagai saksi hidup (halaaaah, gayaaaaa!) kerap kusaksikan di antara kami (termasuk aku), telah menjadi ‘pembunuhan’ karakter sebagian orang2 nelangsa itu.(wedeeeeh! Bahasanya sereem amat yah! Hihi.) Gak Ding! Gak sampai separah itu lah! Hanya saja, hal ‘kecil’ itu sempat terjadi.
Menurut teorinya Pak Maslow (nama lengkapnya si Bapak nyang satu ini adalah Abraham Maslow…hihi) kebutuhan dasar manusia itu ada 5! (heuu…aku yakin, smua ude pade tau kan yah?). Apa ajah? Pertama Kebutuhan Fisiologis. Contohnya adalah : Sandang / pakaian, pangan / makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain sebagainya. Kedua Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan. Contohnya seperti : Bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan lain sebagainya. Ketiga, Kebutuhan Sosial. Misalnya adalah : memiliki teman, memiliki keluarga, cinta dan lain-lain. Keempat, Kebutuhan Penghargaan, contohnya : pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi lainnya. Kelima Kebutuhan Aktualisasi Diri. Ini adalah kebutuhan dan keinginan untuk bertindak sesuka hati sesuai dengan bakat dan minatnya.
Wokeh….wokeh…., sekarang, kita liyat deeh kebutuhan yang keempat. Kebutuhan akan penghargaan atau bolehkah kubahasakan dengan “Pengakuan eksistensi diri.” Nah, pada saat pembagian raport, sepertinya “kesetimbangan” ini mengalami sedikit ketimpangan! (wedeeeh, bahasanya ribet pisan euy. Heuu…)
Heuu…begini. Banyak di antara temen2 yang pada saat nrima raport ini mengalami ‘kenelangsaan’ yang hanya bisa kami rasakan, namun tak bisa dideskripsikan. Hehe. Kenapa? Karena hanya ada tiga orang yang dilabeli juara. Selebihnya tentu tidak. Karena itu, ada “pengakuan” eksistensi yang hilang! Kenapa hilang? Karena, mereka2 ini, sebelumnya (ketika SD dan SMPnya) adalah orang-orang yang telah terbiasa diakui eksistensinya. Sederhananya begini. Mereka yang terbiasa sebagai pemuncak, bahkan juara umum, di saat pembagian rapor kali ini harus rela berada tidak di posisi itu lagi! Dan itu ada banyak orang! Bukan satu atau dua. Nah, dengan begini…seperti ada eksistensi yang hilang! Walaupun ada dampak positifnya, yaitu lebih terpacu untuk lebih giat, tapi, sebagian justru mengalami penurunan! Kehilangan motivasi. Dan, menjadi begitu down. “Dulu aku bisa, koq sekarang aku jadi begini yah? Orang yang semakin pintar atau akunya yang makin bodoh?”. Padahal, memang kulturnya yang membuat begitu. Atmosfiernya yang membuat begitu. Sesungguhnya, secara potensi akademis, hampir sama loh! Yup, hampir sama! Bolehlah sedikit kita ambil kesimpulan dari hasil test IQ (walaupun katanya sih IQ test tak menjamin jugak!) berada di range yang sama! Sama-sama cerdas! (range cerdas itu adalah di 120-140. Nah, yang kuingat, IQ paling rendah adalah 126 dan paling tinggi 135. Itu artinya, semuanya berada di range cerdas! Memiliki peluang, kemampuan, dan potensi yang sama!). Bedanya, hanya pada motivasi yang salah satu pengaruhnya adalah disebabkan pengakuan eksistensi diri itu!). Dan inilah yang kumaksud dengan ‘pembunuhan’ itu. Aku sepakat sih sama si Rancho dalam pilem 3 Idiots,”Kenapa harus ada system perengkingan?”. Iya tho? Heuu…
Hmm…sudahlah. Tidak ingin membahas rapor lebih lanjut. Akan ada cerita panjang nantinya. Hehe. Aku hanya ingin sedikit meng-ekstrapolasi (heuu…koq ekstrapolasi yah? Memangnya grafik apah?) dengan kondisi para ADK barang kali.
Nah, pada hari pembagian rapor itu, rapornya harus diambil oleh orang tua! Dan aku, dengan jarak sekian jauh dan ditambah pula ayah dan ibuku mesti masuk kerja (wong, pembagian rapornya di hari kerja begitu), mesti mencari-cari orang tua pinjaman, biar ada yg bisa ngambilin rapor. Masih ingat aku, ketika kelas satu semester 1, aku pinjem orang tuanya Alif (Ketos SMANSA 2003-2004), yang kebetulan adalah temennya ayahku juga. Semester keduanya, aku pinjem orang tuanya Ayu (Temen satu kamarku di Asrama sekaligus satu kelas). Semester selanjutnya….aku pinjam orang tua siapa lagi yah? Hee… Pernah, di semester 1 kelas 3, aku tak dapat pinjaman orang tua. Wal hasil, di antara teman2 sekelas, akulah satu-satunya siswa di kelasku yang belum menerima rapor. Hingga seminggu lebih. Sampai aku tak niat lagi ngambil itu rapor! (paraaaaah!).
Hmmph…pembagian rapor! Kebahagiaan dan kenelangsaan bagi sebagian orang! Sebagai saksi hidup (halaaaah, gayaaaaa!) kerap kusaksikan di antara kami (termasuk aku), telah menjadi ‘pembunuhan’ karakter sebagian orang2 nelangsa itu.(wedeeeeh! Bahasanya sereem amat yah! Hihi.) Gak Ding! Gak sampai separah itu lah! Hanya saja, hal ‘kecil’ itu sempat terjadi.
Menurut teorinya Pak Maslow (nama lengkapnya si Bapak nyang satu ini adalah Abraham Maslow…hihi) kebutuhan dasar manusia itu ada 5! (heuu…aku yakin, smua ude pade tau kan yah?). Apa ajah? Pertama Kebutuhan Fisiologis. Contohnya adalah : Sandang / pakaian, pangan / makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain sebagainya. Kedua Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan. Contohnya seperti : Bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan lain sebagainya. Ketiga, Kebutuhan Sosial. Misalnya adalah : memiliki teman, memiliki keluarga, cinta dan lain-lain. Keempat, Kebutuhan Penghargaan, contohnya : pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi lainnya. Kelima Kebutuhan Aktualisasi Diri. Ini adalah kebutuhan dan keinginan untuk bertindak sesuka hati sesuai dengan bakat dan minatnya.
Wokeh….wokeh…., sekarang, kita liyat deeh kebutuhan yang keempat. Kebutuhan akan penghargaan atau bolehkah kubahasakan dengan “Pengakuan eksistensi diri.” Nah, pada saat pembagian raport, sepertinya “kesetimbangan” ini mengalami sedikit ketimpangan! (wedeeeh, bahasanya ribet pisan euy. Heuu…)
Heuu…begini. Banyak di antara temen2 yang pada saat nrima raport ini mengalami ‘kenelangsaan’ yang hanya bisa kami rasakan, namun tak bisa dideskripsikan. Hehe. Kenapa? Karena hanya ada tiga orang yang dilabeli juara. Selebihnya tentu tidak. Karena itu, ada “pengakuan” eksistensi yang hilang! Kenapa hilang? Karena, mereka2 ini, sebelumnya (ketika SD dan SMPnya) adalah orang-orang yang telah terbiasa diakui eksistensinya. Sederhananya begini. Mereka yang terbiasa sebagai pemuncak, bahkan juara umum, di saat pembagian rapor kali ini harus rela berada tidak di posisi itu lagi! Dan itu ada banyak orang! Bukan satu atau dua. Nah, dengan begini…seperti ada eksistensi yang hilang! Walaupun ada dampak positifnya, yaitu lebih terpacu untuk lebih giat, tapi, sebagian justru mengalami penurunan! Kehilangan motivasi. Dan, menjadi begitu down. “Dulu aku bisa, koq sekarang aku jadi begini yah? Orang yang semakin pintar atau akunya yang makin bodoh?”. Padahal, memang kulturnya yang membuat begitu. Atmosfiernya yang membuat begitu. Sesungguhnya, secara potensi akademis, hampir sama loh! Yup, hampir sama! Bolehlah sedikit kita ambil kesimpulan dari hasil test IQ (walaupun katanya sih IQ test tak menjamin jugak!) berada di range yang sama! Sama-sama cerdas! (range cerdas itu adalah di 120-140. Nah, yang kuingat, IQ paling rendah adalah 126 dan paling tinggi 135. Itu artinya, semuanya berada di range cerdas! Memiliki peluang, kemampuan, dan potensi yang sama!). Bedanya, hanya pada motivasi yang salah satu pengaruhnya adalah disebabkan pengakuan eksistensi diri itu!). Dan inilah yang kumaksud dengan ‘pembunuhan’ itu. Aku sepakat sih sama si Rancho dalam pilem 3 Idiots,”Kenapa harus ada system perengkingan?”. Iya tho? Heuu…
Hmm…sudahlah. Tidak ingin membahas rapor lebih lanjut. Akan ada cerita panjang nantinya. Hehe. Aku hanya ingin sedikit meng-ekstrapolasi (heuu…koq ekstrapolasi yah? Memangnya grafik apah?) dengan kondisi para ADK barang kali.
Bimbel Test CPNS Gratis!
Iklan di radio kali ini cukup mengusik seisi rumah. Mengenai kebijakan PEMDA yang mengadakan BIMBEL gratis buat para peserta tes cpns solsel yang bekerja sama dengan pihak kampus Widyaswara Indonesia. Ributlah sudah! Aku disuruh ikut bimbel itu. Heuu…dari pada mono, mending ikut. Nambah temeeen. Pikirku. Akhirnya aku ikut bimbel itu. Hmm…berasa jadi mahasiswa lagi. Eh gak ding! Berasa jadi siswa kelas 3 SMA yang ikut bimbel buat SNMPTN. Hehe. Abisnya, kan bahas soal tuh, plus kasi trik dan tipsnya.
Ada hal menarik yang kuambil dari kisah bimbel ini. Ternyata, pemda care banget dengan para calon peserta cpns di kampungku ini. Artinya, animo masyarakat untuk menjadi cpns sama besarnya dengan kepedulian pemerintah daerah setempat untuk memfasilitasi itu. Heuu…
Menjadi pns tetaplah satu-satunya profesi yang diincar oleh banyak lapisan masyarakat di kampungku. Bahkan, ada yang berpikiran, belum bekerja namanya jika bukan pns. Aneh yah? Hehehe. Entahlah!
Aku bukan tidak menyambut positif tindakan pemda ini. Bagus memang. Apalagi gratisan! (hahay, kancang ka nan perai se mah!). Tapiii, alangkah lebih baiknya, jika ini bukan hanya sebatas cpns saja. Kan bisa saja, kasi penyuluhan, kasi “bimbel”, kasi arahan, buka pikiran masyarakat. Missal, dengan mengembangkan kreatifitas. Membuka lapangan kerja sendiri. Wiraswasta dan beraneka ragam hal inovatif lainnya. Yang ini kan serrruuu. Jadiiii, pola pikir dan wawasan masyarakat bertambah! Hehehe. (sok idealis!). Yo wess laah, semoga ke depan, dengan adanya reformasi birokrasi, negeri ini semakin madani! Hayuuu, berdo’a untuk negeri!
Ada hal menarik yang kuambil dari kisah bimbel ini. Ternyata, pemda care banget dengan para calon peserta cpns di kampungku ini. Artinya, animo masyarakat untuk menjadi cpns sama besarnya dengan kepedulian pemerintah daerah setempat untuk memfasilitasi itu. Heuu…
Menjadi pns tetaplah satu-satunya profesi yang diincar oleh banyak lapisan masyarakat di kampungku. Bahkan, ada yang berpikiran, belum bekerja namanya jika bukan pns. Aneh yah? Hehehe. Entahlah!
Aku bukan tidak menyambut positif tindakan pemda ini. Bagus memang. Apalagi gratisan! (hahay, kancang ka nan perai se mah!). Tapiii, alangkah lebih baiknya, jika ini bukan hanya sebatas cpns saja. Kan bisa saja, kasi penyuluhan, kasi “bimbel”, kasi arahan, buka pikiran masyarakat. Missal, dengan mengembangkan kreatifitas. Membuka lapangan kerja sendiri. Wiraswasta dan beraneka ragam hal inovatif lainnya. Yang ini kan serrruuu. Jadiiii, pola pikir dan wawasan masyarakat bertambah! Hehehe. (sok idealis!). Yo wess laah, semoga ke depan, dengan adanya reformasi birokrasi, negeri ini semakin madani! Hayuuu, berdo’a untuk negeri!
Be a Winner!
I'm a WINNER! |
Winner : Always be part of answer
Looser : Always be part of problem
Winner : has answer every problem
Looser : has problem ini each answer
Winner : always has a program
Looser : always has a excuse
Winner says : It may be difficult but it is possible
Looser says : it may be possible but it is difficult
Detik-Detik Terakhir
Mangga Idaman
Mangga di halaman rumah tengah berbuah! Senangnya rasa hati. Hehe. Dan, aku pun men”cup” salah buahnya, tentunya dalam hati saja. Kutunggu-tunggu ia. “Duhai buah, cepatlah matang.” Dan, setiap pagi kuperhatikan ia selalu. Adakah ia baik-baik saja.
Pun begitu dengan pagi di hari raya qurban ini. Sepulang dari menyaksikan penyemblihan, aku kembali mengamati sang mangga. Tapi, sungguh terkejut aku. Buah itu lenyap! Tidak berada di tangkai itu seperti biasanya.
“Ikhlaskan saja.” kata ibu yang tiba-tiba telah ada di sampingku, persis di bawah pohon mangga. Sepertinya ibu dapat menebak ke mana arah pikiranku. “Tadi ibu melihat ada kayu yang digunakan untuk mengambil mangga itu. Sepertinya ada seseorang yang telah mengambilnya.” Rupanya bukan hanya aku, tapi ibu juga mengamati perkembangan sang mangga dan ternyata kami sama-sama kehilangan.
Akhirnya dengan tertawa kami memasuki rumah…
Dalam hati, aku menebak-nebak. Siapakah gerangan yang mengambil mangga itu?
Ini kali kedua mangga itu berbuah setelah 8 tahun. Pohonnya sudah tua dan ringkih. Dahulu, ketika kali pertama berbuah, mangga itu cukup jadi rebutan kami dan juga para tetangga. Karena, buahnya….alhamdulillaah manis sekali. Ah, barang kali anak-anak tetangga yang iseng main di sana.
Hanya saja aku terpikirkan satu hal. Mengenai makanan! Makanan, adalah sesuatu yang perlu kehati-hatian sangat tinggi! Halalan thoyyiban! Halal bukan hanya dari segi dzatnya, tapi juga cara memperolehnya.
“Hai umat manusia, makanlah dari apa yang ada di bumi ini secara halal dan baik…” (Qs. 2 : 168)
Jangan kira, memakan makanan haram dan yang tidak halal cara memperolehnya hanya akan menimbulkan dosa bagi si pengambilnya! Bahkan dampaknya sangatlah luas! Ia juga ngefek pada keluarga dan anak-anak serta cucu-cucunya. Bayangkanlah, makanan yang dimakan itu akan menjadi daging dan darah, yang akan terus mengalir hingga anak dan cucunya. Yaph! Makanan itu terus mengaliri darah hingga keturunannya. Maka, barang kali akan ada korelasi linear antara memburuknya perilaku generasi dengan makanan apa yang mereka kondumsi. Sebab, mereka tumbuh dengan sesuatu yang haram!
“Maka, hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.” (Qs. 80 : 24).
Masih ingat kisah seorang pemuda shalih yang dikabarkan adalah Ayahnya Imam Syafe’i. Terlepas dari shahih atau tidaknya kisah itu, tapi setidaknya kita telah diberikannya pelajaran tentang perlunya kehati-hatian dalam memakan sesuatu! Dalam kisah itu, sang pemuda yang merasa kelaparan, tiba-tiba melihat sebuah apel yang hanyut di sungai. Maka ia pun memakannya. Kemudian, ia begitu merasa bersalah, tatkala ingat kalau ia memakan sesuatu yang belum izin kepada pemiliknya. Bayangkan! Hanya apel yang hanyut saja, yang logikanya gak bakalan mungkin dijemput dipemilik lagi! Tapi apa yang si pemuda itu lakukan? Ia terus menelusuri hulu sungai, demi mencari si pemilik pohon. Pada akhirnya ia bertemu pemiliknya, dan meminta maaf bahwa ia telah memakan apel itu dan minta kerelaannya. Si pemilik itu baru akan memaafkan dan memberikan kerelaan atas apel itu asalkan mau menikahi putrinya yang tidak punya tangan, tidak punya kaki, tidak punya mata, telinga, mulut. Dan, pemuda itu menerima syarat yang berat itu demi keridhaan atas satu apel hanyut saja. Tapi apa? Ternyata istrinya sungguh cantik dan berakhlak mulia! (hehe, ini dikisahkan dalam nasyidnya Rabbani yah?). Dan sosok seperti apa yang lahir kemudian? Seorang Imam besar yang telah hafal AL Qur’an di usia belia 7 tahun, dan telah menjadi guru dalam usia 11 tahun! Barang kali, makanan juga memiliki korelasi linear dengan kecerdasan!
“Setiap daging yang tumbuh dari barang haram, maka neraka itu lebih utama dengannya. (HR. Turmudzy dari Ka’ab bin ‘Ujrah).
Andai para koruptor negeri ini yang prestasi korupnya luar biasa ini, menyadari bahwa harta-harta haram yang dimakannya sungguh hanya akan membuat dirinya, keluarganya, anak cucunya menderita, bodoh dan memiliki akhlak yang begitu bobrok tentu mereka akan berhenti melakukan itu semua! Meskipun mereka kemudian membelanjakannya untuk menghidupi orang banyak atau dengan dalih “nanti aku sumbangkan di jalan Allah.”
“Barang siapa mendapatkan harta dari dosa, lalu dengannya ia bersilaturrahim atau bersedekah atau membelanjakannya (infak) di jalan Allah, maka Allah menghimpun seluruhnya itu kemudian Dia melemparkan ke dalam neraka. Dan Rasulullaah bersabda : Sebaik-baiknya agama adalah Al Wara’ (berhati-hatilah)” (HR. Abu Daud).
Pun begitu dengan pagi di hari raya qurban ini. Sepulang dari menyaksikan penyemblihan, aku kembali mengamati sang mangga. Tapi, sungguh terkejut aku. Buah itu lenyap! Tidak berada di tangkai itu seperti biasanya.
“Ikhlaskan saja.” kata ibu yang tiba-tiba telah ada di sampingku, persis di bawah pohon mangga. Sepertinya ibu dapat menebak ke mana arah pikiranku. “Tadi ibu melihat ada kayu yang digunakan untuk mengambil mangga itu. Sepertinya ada seseorang yang telah mengambilnya.” Rupanya bukan hanya aku, tapi ibu juga mengamati perkembangan sang mangga dan ternyata kami sama-sama kehilangan.
Akhirnya dengan tertawa kami memasuki rumah…
Dalam hati, aku menebak-nebak. Siapakah gerangan yang mengambil mangga itu?
Ini kali kedua mangga itu berbuah setelah 8 tahun. Pohonnya sudah tua dan ringkih. Dahulu, ketika kali pertama berbuah, mangga itu cukup jadi rebutan kami dan juga para tetangga. Karena, buahnya….alhamdulillaah manis sekali. Ah, barang kali anak-anak tetangga yang iseng main di sana.
Hanya saja aku terpikirkan satu hal. Mengenai makanan! Makanan, adalah sesuatu yang perlu kehati-hatian sangat tinggi! Halalan thoyyiban! Halal bukan hanya dari segi dzatnya, tapi juga cara memperolehnya.
“Hai umat manusia, makanlah dari apa yang ada di bumi ini secara halal dan baik…” (Qs. 2 : 168)
Jangan kira, memakan makanan haram dan yang tidak halal cara memperolehnya hanya akan menimbulkan dosa bagi si pengambilnya! Bahkan dampaknya sangatlah luas! Ia juga ngefek pada keluarga dan anak-anak serta cucu-cucunya. Bayangkanlah, makanan yang dimakan itu akan menjadi daging dan darah, yang akan terus mengalir hingga anak dan cucunya. Yaph! Makanan itu terus mengaliri darah hingga keturunannya. Maka, barang kali akan ada korelasi linear antara memburuknya perilaku generasi dengan makanan apa yang mereka kondumsi. Sebab, mereka tumbuh dengan sesuatu yang haram!
“Maka, hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.” (Qs. 80 : 24).
Masih ingat kisah seorang pemuda shalih yang dikabarkan adalah Ayahnya Imam Syafe’i. Terlepas dari shahih atau tidaknya kisah itu, tapi setidaknya kita telah diberikannya pelajaran tentang perlunya kehati-hatian dalam memakan sesuatu! Dalam kisah itu, sang pemuda yang merasa kelaparan, tiba-tiba melihat sebuah apel yang hanyut di sungai. Maka ia pun memakannya. Kemudian, ia begitu merasa bersalah, tatkala ingat kalau ia memakan sesuatu yang belum izin kepada pemiliknya. Bayangkan! Hanya apel yang hanyut saja, yang logikanya gak bakalan mungkin dijemput dipemilik lagi! Tapi apa yang si pemuda itu lakukan? Ia terus menelusuri hulu sungai, demi mencari si pemilik pohon. Pada akhirnya ia bertemu pemiliknya, dan meminta maaf bahwa ia telah memakan apel itu dan minta kerelaannya. Si pemilik itu baru akan memaafkan dan memberikan kerelaan atas apel itu asalkan mau menikahi putrinya yang tidak punya tangan, tidak punya kaki, tidak punya mata, telinga, mulut. Dan, pemuda itu menerima syarat yang berat itu demi keridhaan atas satu apel hanyut saja. Tapi apa? Ternyata istrinya sungguh cantik dan berakhlak mulia! (hehe, ini dikisahkan dalam nasyidnya Rabbani yah?). Dan sosok seperti apa yang lahir kemudian? Seorang Imam besar yang telah hafal AL Qur’an di usia belia 7 tahun, dan telah menjadi guru dalam usia 11 tahun! Barang kali, makanan juga memiliki korelasi linear dengan kecerdasan!
“Setiap daging yang tumbuh dari barang haram, maka neraka itu lebih utama dengannya. (HR. Turmudzy dari Ka’ab bin ‘Ujrah).
Andai para koruptor negeri ini yang prestasi korupnya luar biasa ini, menyadari bahwa harta-harta haram yang dimakannya sungguh hanya akan membuat dirinya, keluarganya, anak cucunya menderita, bodoh dan memiliki akhlak yang begitu bobrok tentu mereka akan berhenti melakukan itu semua! Meskipun mereka kemudian membelanjakannya untuk menghidupi orang banyak atau dengan dalih “nanti aku sumbangkan di jalan Allah.”
“Barang siapa mendapatkan harta dari dosa, lalu dengannya ia bersilaturrahim atau bersedekah atau membelanjakannya (infak) di jalan Allah, maka Allah menghimpun seluruhnya itu kemudian Dia melemparkan ke dalam neraka. Dan Rasulullaah bersabda : Sebaik-baiknya agama adalah Al Wara’ (berhati-hatilah)” (HR. Abu Daud).
Resonansi Sang Jiwa
Kawan, masih ingatkah kau dengan garpu tala? Bukan garpu yang biasa digunakan untuk makan itu loh! Tapi, garpu yang bisa menghasilkan resonansi! Ajaibnya, si garpu tala, bisa bergetar dengan sendirinya ketika garpu tala lainnya digetarkan didekatnya jika frekuensi alamiah antara kedua garpu tala itu sama! Masya Allah. Hal ini akan berbeda jika garpu talanya tidak memiliki frekuensi alamiah yang sama mereka tidak akan menggetarkan. Yup, inilah yang disebut dengan teori resonansi itu.
Begitulah resonansi sang jiwa kita! Resonansi jiwa (kayak judulnya ceramah motivasi itu yah? Hihi). Jiwa-jiwa itu akan beresonansi jika dan hanya jika frekuensi yang dimiliki adalah sama. Ini menjelaskan bahwa kebersamaan dan kedekatan hati itu dibangun atas frekuensi yang sama untuk bisa menghasilkan resonansi. Jika tidak, maka, kedekatan hati itu adalah suatu yang absurb. Hal yang paling jelas terlihat dalam ukhuwah kita. Di tulisan-tulisan sebelumnya sudah kubahas mengenai kesesuaian jiwa ini. Jadi, aku tidak ingin membahasnya lagi. Hanya saja, alam ini menjelaskan bahwa yang dikatakan jiwa-jiwa yang salin mengenal itu adalah jiwa-jiwa dengan frekuensi yang sama. Hanya dengan frekuensi yang samalah, adanya resonansi, adanya kesatuan dan kesesuaian. Alam ini mengajarkan bahwa, sesungguhnya kekuatan yang dimiliki oleh jiwa-jiwa itu adalah hanya karena frekuensinya yang sama!
Apa contoh frekuensi yang sama sehingga menghasilkan resonansi yang sama? Solidaritas untuk palestina! Ini salah satu contohnya! Subhanallaah, bagaimana bisa? Bagaimana bisa? Jawabannya ada pada frekuensi yang sama yang menghasilkan sebuah resonansi! Masya Allah…
Mukmin yang satu dengan mukmin yang lainnya bagaikan suatu bangunan yang slaing menguatkan antara satu dengan yang lainnya. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Musa)
Begitulah resonansi sang jiwa kita! Resonansi jiwa (kayak judulnya ceramah motivasi itu yah? Hihi). Jiwa-jiwa itu akan beresonansi jika dan hanya jika frekuensi yang dimiliki adalah sama. Ini menjelaskan bahwa kebersamaan dan kedekatan hati itu dibangun atas frekuensi yang sama untuk bisa menghasilkan resonansi. Jika tidak, maka, kedekatan hati itu adalah suatu yang absurb. Hal yang paling jelas terlihat dalam ukhuwah kita. Di tulisan-tulisan sebelumnya sudah kubahas mengenai kesesuaian jiwa ini. Jadi, aku tidak ingin membahasnya lagi. Hanya saja, alam ini menjelaskan bahwa yang dikatakan jiwa-jiwa yang salin mengenal itu adalah jiwa-jiwa dengan frekuensi yang sama. Hanya dengan frekuensi yang samalah, adanya resonansi, adanya kesatuan dan kesesuaian. Alam ini mengajarkan bahwa, sesungguhnya kekuatan yang dimiliki oleh jiwa-jiwa itu adalah hanya karena frekuensinya yang sama!
Apa contoh frekuensi yang sama sehingga menghasilkan resonansi yang sama? Solidaritas untuk palestina! Ini salah satu contohnya! Subhanallaah, bagaimana bisa? Bagaimana bisa? Jawabannya ada pada frekuensi yang sama yang menghasilkan sebuah resonansi! Masya Allah…
Mukmin yang satu dengan mukmin yang lainnya bagaikan suatu bangunan yang slaing menguatkan antara satu dengan yang lainnya. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Musa)
Rindu Kita Sama!
Apakah dirimu masih ingat majalah Annida keluaran jaman tempoe doeloe? Kisaran tahun 2003 atau 2004-an lah! Jika ia, maka kita memiliki kerinduan yang sama. Hehe. Bukannya ingin mengecilkan arti pandangan orang-orang yang sama sekali tidak menyukai fiksi dan berpendapat bahwa fiksi memiliki nilai da’wah yang kecil dan memiliki tendensi hanya kepada hayalan semata! Bukannya apa-apa. Fiksi islami sesungguhnya telah begitu banyak menjadi mediator terbukanya pintu hidayah itu bagi banyak orang. Masya Allah. Apakah kamu pernah membaca cerpen Mba Helvy Tiana Rosa yang berjudul “Ketika Mas Gagah Pergi”? Sungguh, cerpen itulah yang pertama kali membuatku menangis, dan cerpen itu pula yang pertama kali mengubah persepsi sempitku mengenai cerita islami. Dan, subhanallaah, ternyata lewat cerpen itu pula, lebih dari seratus orang remaja muslimah mengenakan jilbab di mana kala itu jilbab bukan kewajiban untuk anak sekolah! Luar biasa! ‘Investasi’ pahala yang terus mengalir!
Nah, sore ini, aku kembali membongkar tempat buku-buku SMA-ku. Di sana, semua buku-buku pelajaran, catatan2, sampai majalah2 dan berkas2 kepengurusan Asrama, Mahkamah Asrama, Kesekretariatan KPU Presiden dan deputi asrama dan berkas FSI SMAN 1 Padangpanjang (ternyata aku masih menyimpan semua berkas-berkas itu…ck..ck..ck). Eh,aku menemukan tumpukkan majalah Annida keluaran tahun 2003 hingga 2004. Uhm…ingatanku jadi melayang ke masa-masa itu. Dulu, aku pelanggan Annida. Yang distributornya adalah teman2ku sendiri di FSI SMANSA Papa. Jadi kepingin membaca kisi-kisi dan kisah-kisah inspiratif dalam majalah tersebut lagi.
Nah, ketika aku membuka satu majalah, dan ketika aku sampai pada kolom “Remaja dan Aktivitas”, aku tercenung lama. Tercantumlah di sana, salah satu agenda kegiatan kami dulunya. Daurah FSI SMANSA PAPA. Waaah, masya Allah… Ingatanku seperti diputar ke masa itu. Masa-masa ketika geliat FSI di sekolah sedang marak-maraknya. Masa-masa yang sungguh-sungguh sangat kurindu.
Aku tahu, beberapa teman-teman yang fotonya nampang di kolom ini, juga merasakan kerinduan yang sama. Aku sangat yakin! Hanya saja, aku tidak yakin, semua yang fotonya ‘nampang’ di sini, membaca tulisan ini. Hee….
Geliat kerinduan yang sama! Meski tidak ada satu kendaraan pun yang dapat mengantarkan ke masa lalu, tapi, aku yakin, semua menginginkan geliat semangat ini terus ada, terus bergema, terus menggetarkan Kampus Biru Bumi Hijau! Sampai kapanpun. Kerinduan ini insya Allah, akan senantiasa berbuah manis, dengan lahirnya banyak generasi-generasi Ar-Ruhul Jadiid dari Kampus Biru Bumi Hijau.
Kampus Biru Bumi Hijau, SMA N 1 Padangpanjang!
Nah, sore ini, aku kembali membongkar tempat buku-buku SMA-ku. Di sana, semua buku-buku pelajaran, catatan2, sampai majalah2 dan berkas2 kepengurusan Asrama, Mahkamah Asrama, Kesekretariatan KPU Presiden dan deputi asrama dan berkas FSI SMAN 1 Padangpanjang (ternyata aku masih menyimpan semua berkas-berkas itu…ck..ck..ck). Eh,aku menemukan tumpukkan majalah Annida keluaran tahun 2003 hingga 2004. Uhm…ingatanku jadi melayang ke masa-masa itu. Dulu, aku pelanggan Annida. Yang distributornya adalah teman2ku sendiri di FSI SMANSA Papa. Jadi kepingin membaca kisi-kisi dan kisah-kisah inspiratif dalam majalah tersebut lagi.
Nah, ketika aku membuka satu majalah, dan ketika aku sampai pada kolom “Remaja dan Aktivitas”, aku tercenung lama. Tercantumlah di sana, salah satu agenda kegiatan kami dulunya. Daurah FSI SMANSA PAPA. Waaah, masya Allah… Ingatanku seperti diputar ke masa itu. Masa-masa ketika geliat FSI di sekolah sedang marak-maraknya. Masa-masa yang sungguh-sungguh sangat kurindu.
Ini R&A kegiatan kita...:) |
Kampus Biru Bumi Hijau, SMA N 1 Padangpanjang!
Bahkan kokardenya masih kusimpan.... |
Hanya Ilusi!
Ini masa di mana aku begitu takut mendengarkan denyut jantungku sendiri…
Semoga…semoga hanya sebuah ilusi. Tak lebih!
لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسا ً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرا ً كَمَا حَمَلْتَه ُُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِه ِِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
(Qs. Al Baqarah (2) : 286)
Ikatan Ion pada Hati Bermuatan
Ikatan Ion terbentuk antara atom yang mudah melepaskan electron dengan atom lain yang mudah menerima electron. Bagemana bisa terjadi? Itu karena adanya gaya elektrostatik antara kedua atom tersebut kan yah? Gaya elektrostatik antara muatan positif dan muatan negative. Ini berkaitan dengan elekron valensi yang dimiliki oleh si atom. Keterikatannya tergantung ‘kekurangan’ atau ‘kelebihan’ electron valensinya yang menurut aturan…hmm…siapa sih yang bikin aturannya? Asas-nya Aufbau, Larangannya Si Pauli atau aturan Hund yah? Hihi… Kalo udah ‘berumur’ begini, bawaannya lupaaaa yah. Aih, terserah deh, siapa yang bikin aturan. Yang jelas, yang masi diingat itu, bahwa si kulit valensi tersisi dengan konfigurasi 2 8 8… dst. Jadi, yang punya electron valensi 2 8 1 bakalan berikatan dengan yang punya electron 2 8 7, begithuuuuu! Eh, pada ngerti kaga nih?! Boro-boro! Ngejelasinnya ajah rumit begitu! Hihi…Maap…maapkeun!
Aaaah, tidak usah pusing deeh, membahas electron valensi segala! Kita langsung ajah ke contohnya yuuuk! Contoh yang paling pasaran, paling familiar dan paling dekat di hati (heuu…) adalah ikatan antara Na plus satu (Na+) dan si Cl min (Cl-) yang kemudian saling bersatu membentuk suatu senyawa yang bernama NaCl yang lebih dikenal dengan garam dapur yang tanpanya makanan akan terasa hambar dan hidup menjadi tidak enak! Hoho, lebay! Jadi, ikatan yang terjadi antara Na dan Cl membentuk kesatuan yang tak terpisahkan yang disebut NaCl itu adalah ikatan ion. Naah, pade paham khan dengan ikatan ion! (Paham! Paham! Paham! *sambil angguk-angguk kepala. Hmm….baguuuuuus! pinter anak mama! -Hihi, ndak nyambung!-)
Ngapain jugak bahas-bahas ikatan ion segala! Kaya kaga ada yang lebih penting yang perlu dibahas ajah! Heuu… Jangan emosi dulu yah! Lagi-lagi, aku ingin mengambil analogi dari kisah ikatan ion ini.
Aaaah, tidak usah pusing deeh, membahas electron valensi segala! Kita langsung ajah ke contohnya yuuuk! Contoh yang paling pasaran, paling familiar dan paling dekat di hati (heuu…) adalah ikatan antara Na plus satu (Na+) dan si Cl min (Cl-) yang kemudian saling bersatu membentuk suatu senyawa yang bernama NaCl yang lebih dikenal dengan garam dapur yang tanpanya makanan akan terasa hambar dan hidup menjadi tidak enak! Hoho, lebay! Jadi, ikatan yang terjadi antara Na dan Cl membentuk kesatuan yang tak terpisahkan yang disebut NaCl itu adalah ikatan ion. Naah, pade paham khan dengan ikatan ion! (Paham! Paham! Paham! *sambil angguk-angguk kepala. Hmm….baguuuuuus! pinter anak mama! -Hihi, ndak nyambung!-)
Ngapain jugak bahas-bahas ikatan ion segala! Kaya kaga ada yang lebih penting yang perlu dibahas ajah! Heuu… Jangan emosi dulu yah! Lagi-lagi, aku ingin mengambil analogi dari kisah ikatan ion ini.
Ketika Bayangan Lebih Indah dari Potret Nyata
Tak perlulah kesedihan bertanya pada air mata,
Seperti luka tak perlu bertanya pada darah…
Sebab ia telah terwakilkan,
Sebab ia telah terejawantahkan…
Sering kali bayangan lebih indah dari wajah nyata…
Dan, memang begitu adanya…
Asa yang dibangun, tak selamanya menjadi potret kehidupan…
Bukan berarti tak boleh berharap,
Bahkan tak pernah boleh berhenti melukis harapan!
Hanya saja, harapan itu perlu disandarkan hanya pada ke tempat harapan itu mesti dilabuhkan…
Pada Dzat yang Maha mengabulkan harapan…
Hanya pada-Nya saja…
Insya Allah, Harapan itu masih ada!
‘Budak’ yang Melahirkan Tuan
Wanita setengah baya itu menatapku dengan nanar. Berulang kali ia bertanya-tanya,
“Entah anakku yang durhaka, atau aku yang salah dalam mendidiknya?”
Aku tidak dapat menjawab pertanyaan itu melainkan dengan sebingkai senyum miris. Itu saja.
Dengan sisa tangis yang masih menggenangi kedua pelupuk matanya, ia bercerita padaku. Tentang ia yang telah dijadikan ‘budak’ oleh anaknya sendiri. Nau’udzubillah…
Sesungguhnya tidak imbang jika ia harus bercerita padaku, yang bukan apa-apa. Asam garam kehidupannya terlalu jauh jika harus dibandingkan denganku yang barang kali bisa disebut masih miskin pengalaman. Tapi, ia hanya butuh muara. Ia hanya butuh tempat bercerita. Dan, kali ini, aku menjadi muara itu. Sekedar melepas gundahnya. Dan selama tiga jam itu, aku hanya mendengar! Hanya mendengar saja. Dengan sesekali melempar senyum miris.
Ia bercerita tentang anaknya, yang kini telah menginjak usia dua puluh lima.
Seorang gadis dewasa, tapi menurutnya, tidak sedewasa sikapnya. Dengan peluh dan darah, dengan keringat dan air mata, ia besarkan sang anak. Bahkan, hingga ia berhasil memperoleh gelar sarjana! Dan, bahkan kini telah bekerja. Dan kau mesti tahu, demi menyelesaikan kuliah sang anak, ia harus rela tidak makan enak, harus rela menanggung malu kiri kanan, untuk menghutang! Agar apa? Agar sang anak dapat kuliyah tanpa hambatan. Agar anak tidak kesusahan!
Tapi apa? Apa balasannya? Meski ia sama sekali tak pernah harapkan balasan, dan takkan pernah terbalaskan, tapi, yang ia terima adalah umpatan kasar dari sang anak. Bukan hanya itu saja. Ia telah dijadikan sang anak sebagai ‘budak’. Mencucikan bajunya, memasakkan masakan kesukaannya. Sementara, sang anak asik-asikan berleha-leha, berpacaran dan menghambur-hamburkan uang!
Padahal, kehidupan mereka tengah dibelit perekonomian yang pelik. Dan, ketika sang ia mencoba meminjam (bahkan hanya meminjam saja! Tidak meminta) uang dari kerja anaknya, untuk memenuhi kebutuhan dapur agar asap tetap mengepul dan ini juga untuk makan sang anak, sang anak itu berkata,”Nanti mama takkan sanggup menganti uangnya!” sambil melenggang pergi. Masya Allah!! Na’udzubillah tsumma na’udzubillah…
Sang wanita itu meringis. “Dan jasaku melahirkanmu, membesarkanmu, juga takkan sanggup kau ganti!” katanya kala itu. Tapi, sang anak tetap bergeming dengan angkuhnya, lalu melenggang pergi!
Sampai di sini, aku tak sanggup menahan air yang menggenang di bendungan pelupuk mata. Apalagi wanita di hadapanku ini, yang menjadi pelakunya. Ia, yang bercerita dengan sesuatu yang tersekat di tenggorokkan.
Aduhai anak, kemana rasa kasihmu atas jiwa yang mempertaruhkan nyawanya demi kehidupanmu?
Kemanakah? Aduhai anak, bahkan hewan saja, lebih baik memperlakukan ibunya!
“Kadang…” sambungnya, “ingin rasanya saya mati saja. Ingin rasanya! Tidak tahan menghadapi anak semacam itu.”
Jangankan ia, kita saja yang mendengar tidak sanggup!
Allah telah tuntunkan, jangankan kata-kata kasar, cuku dengan “ah” atau “cis” saja, telah dilarang! Lalu, bagaimana dengan umpatan, tindakan dan sesuatu yang sangat menyakiti? Bagaimana? Ahh…
Mari mencoba belajar sejenak dari kisah ini. Seorang laki-laki di masa kekhalifahan Umar bin Khathab yang memelihara ibunya yang lumpuh. Mengambdi dengan sepenuh pengabdian. Bahkan mencucikan hadastnya. Ia melakukannya, karena itu adalah perintah Allah, perintah setelah ketauhidan kepada-Nya. Dan dengan penu keikhlasan ia melakukannya.
Tapi, ketika ditanya, apakah semuanya sudah cukup membalas pengorbanan ibunya?
Jawabnya adalah, “Tidak! Tidak! Tidak! Karena ia melakukannya, sembari menunggu kematian ibunya. Sementara ibunya merawatnya, sembari mengharapkan kehidupannya.” Tidak! Sungguh tidak ada yang dapat membalasnya, bahkan hanya sekedar menyamainya ataupun mengimbanginya! Dengan darahnya, dengan ruhnya, dengan apa yang ia punya, ia beri penghidupan pada sang anak.
Ah, sungguh… sungguh, perlakuan baik saja takkan sanggup mengimbanginya, lalu bagaimana dengan umpat ketus? Makanya, ini adalah sebuah larangan keras! Larangan keras!
Tapi, ada yang menakjubkan kawan! Ketika cerita wanita itu berlanjut,….Allahu akbar! Sudah demikian sakitnya ia diperlakukan, tetap saja, ia selalu mendo’akan kebaikan untuk sang anak! Allahu akbar!
Sampai di sini….aku tercenung!
Benar-benar tercenung!
Sungguh luar biasa seorang ibu!
Sungguh luar biasa! Telaga kebaikan hatinya yang seluas samudera, bahkan untuk anaknya yang telah menyakitinya sekali pun!
Allahu akbar!
Aku tak sanggup lagi berkata. Yang terbayang olehku adalah wajah ibuku! Wajah yang kucinta yang telah rela mempertaruhkan ruh dan jiwa demi kehidupanku. Aaah, ibuu…cintaku…
Bahkan bakti yang paripurna sekalipun….takkan sanggup membalasinya…sungguh…
“Entah anakku yang durhaka, atau aku yang salah dalam mendidiknya?”
Aku tidak dapat menjawab pertanyaan itu melainkan dengan sebingkai senyum miris. Itu saja.
Dengan sisa tangis yang masih menggenangi kedua pelupuk matanya, ia bercerita padaku. Tentang ia yang telah dijadikan ‘budak’ oleh anaknya sendiri. Nau’udzubillah…
Sesungguhnya tidak imbang jika ia harus bercerita padaku, yang bukan apa-apa. Asam garam kehidupannya terlalu jauh jika harus dibandingkan denganku yang barang kali bisa disebut masih miskin pengalaman. Tapi, ia hanya butuh muara. Ia hanya butuh tempat bercerita. Dan, kali ini, aku menjadi muara itu. Sekedar melepas gundahnya. Dan selama tiga jam itu, aku hanya mendengar! Hanya mendengar saja. Dengan sesekali melempar senyum miris.
Ia bercerita tentang anaknya, yang kini telah menginjak usia dua puluh lima.
Seorang gadis dewasa, tapi menurutnya, tidak sedewasa sikapnya. Dengan peluh dan darah, dengan keringat dan air mata, ia besarkan sang anak. Bahkan, hingga ia berhasil memperoleh gelar sarjana! Dan, bahkan kini telah bekerja. Dan kau mesti tahu, demi menyelesaikan kuliah sang anak, ia harus rela tidak makan enak, harus rela menanggung malu kiri kanan, untuk menghutang! Agar apa? Agar sang anak dapat kuliyah tanpa hambatan. Agar anak tidak kesusahan!
Tapi apa? Apa balasannya? Meski ia sama sekali tak pernah harapkan balasan, dan takkan pernah terbalaskan, tapi, yang ia terima adalah umpatan kasar dari sang anak. Bukan hanya itu saja. Ia telah dijadikan sang anak sebagai ‘budak’. Mencucikan bajunya, memasakkan masakan kesukaannya. Sementara, sang anak asik-asikan berleha-leha, berpacaran dan menghambur-hamburkan uang!
Padahal, kehidupan mereka tengah dibelit perekonomian yang pelik. Dan, ketika sang ia mencoba meminjam (bahkan hanya meminjam saja! Tidak meminta) uang dari kerja anaknya, untuk memenuhi kebutuhan dapur agar asap tetap mengepul dan ini juga untuk makan sang anak, sang anak itu berkata,”Nanti mama takkan sanggup menganti uangnya!” sambil melenggang pergi. Masya Allah!! Na’udzubillah tsumma na’udzubillah…
Sang wanita itu meringis. “Dan jasaku melahirkanmu, membesarkanmu, juga takkan sanggup kau ganti!” katanya kala itu. Tapi, sang anak tetap bergeming dengan angkuhnya, lalu melenggang pergi!
Sampai di sini, aku tak sanggup menahan air yang menggenang di bendungan pelupuk mata. Apalagi wanita di hadapanku ini, yang menjadi pelakunya. Ia, yang bercerita dengan sesuatu yang tersekat di tenggorokkan.
Aduhai anak, kemana rasa kasihmu atas jiwa yang mempertaruhkan nyawanya demi kehidupanmu?
Kemanakah? Aduhai anak, bahkan hewan saja, lebih baik memperlakukan ibunya!
“Kadang…” sambungnya, “ingin rasanya saya mati saja. Ingin rasanya! Tidak tahan menghadapi anak semacam itu.”
Jangankan ia, kita saja yang mendengar tidak sanggup!
Allah telah tuntunkan, jangankan kata-kata kasar, cuku dengan “ah” atau “cis” saja, telah dilarang! Lalu, bagaimana dengan umpatan, tindakan dan sesuatu yang sangat menyakiti? Bagaimana? Ahh…
Mari mencoba belajar sejenak dari kisah ini. Seorang laki-laki di masa kekhalifahan Umar bin Khathab yang memelihara ibunya yang lumpuh. Mengambdi dengan sepenuh pengabdian. Bahkan mencucikan hadastnya. Ia melakukannya, karena itu adalah perintah Allah, perintah setelah ketauhidan kepada-Nya. Dan dengan penu keikhlasan ia melakukannya.
Tapi, ketika ditanya, apakah semuanya sudah cukup membalas pengorbanan ibunya?
Jawabnya adalah, “Tidak! Tidak! Tidak! Karena ia melakukannya, sembari menunggu kematian ibunya. Sementara ibunya merawatnya, sembari mengharapkan kehidupannya.” Tidak! Sungguh tidak ada yang dapat membalasnya, bahkan hanya sekedar menyamainya ataupun mengimbanginya! Dengan darahnya, dengan ruhnya, dengan apa yang ia punya, ia beri penghidupan pada sang anak.
Ah, sungguh… sungguh, perlakuan baik saja takkan sanggup mengimbanginya, lalu bagaimana dengan umpat ketus? Makanya, ini adalah sebuah larangan keras! Larangan keras!
Tapi, ada yang menakjubkan kawan! Ketika cerita wanita itu berlanjut,….Allahu akbar! Sudah demikian sakitnya ia diperlakukan, tetap saja, ia selalu mendo’akan kebaikan untuk sang anak! Allahu akbar!
Sampai di sini….aku tercenung!
Benar-benar tercenung!
Sungguh luar biasa seorang ibu!
Sungguh luar biasa! Telaga kebaikan hatinya yang seluas samudera, bahkan untuk anaknya yang telah menyakitinya sekali pun!
Allahu akbar!
Aku tak sanggup lagi berkata. Yang terbayang olehku adalah wajah ibuku! Wajah yang kucinta yang telah rela mempertaruhkan ruh dan jiwa demi kehidupanku. Aaah, ibuu…cintaku…
Bahkan bakti yang paripurna sekalipun….takkan sanggup membalasinya…sungguh…
Membangun Batu Bata Peradaban
Mungkin kamu sudah sering dengar tentang filosofi tissue dalam kotak, bukan? Bagian putih pada lapis berikutnya, tidak akan muncul ke permukaan, jika lapisan teratasnya tidak diangkat! Iya kan?
Nah, barang kali, ini erat kaitannya dengan bagaimana memberikan kepercayaan kepada orang lain, misalkan kepada seorang anak. Aku percaya, ketika kita memberikan kepercayaan kepada seorang anak, maka, hasilnya akan luar biasa.
Banyak orang menjadi bisa, ketika diberi kepercayaan.
Kalau boleh kubahasakan, kadang kemampuan yang kita punya itu menjadi dorman ketika tidak ada hal-hal potensial yang membuat kemampuan itu dikeluarkan! Persis seperti lapisan tissue yang tidak akan muncul ketika lapisan di atasnya tidak diangkat. Apa buktinya, kita sesungguhnya punya kemampuan? Selemah-lemahnya kita, ketika tidak ada lagi orang kuat disekeliling kita, maka kita pun dengan sendirinya menjadi kuat. Itu menjadi bukti bahwa sebenarnya kita bisa!
Contohnya, seorang ibu yang takut dengan ular, ketika ia bersama anak-anaknya, dan hanya ia yang diandalkan oleh anak-anaknya, bisa saja tiba-tiba menjadi begitu kuat dan berhasil membunuh si ular, karena menlindungi anak-anaknya. Padahal, sesungguhnya si ibu itu sebelumnya sangat takut dengan ular…
Dengan case yang berbeda, seorang yang tengah jatuh cinta, memiliki kemampuan untuk merubah sebaliknya. Seseorang yang kasar, tiba-tiba menjadi lembut. Seseorang yang bodoh, tiba-tiba menjadi begitu pintar. Seseorang yang sangat benci pelajaran mengarang, tiba-tiba bisa menghasilkan bait-bait puisi.
Bukankah itu artinya, sesungguhnya kita memiliki banyak kemampuan?
Yaph, kita punya kemampuan itu! Kita punya potensi itu! Hanya saja, ia dorman. Nah, sekarang bagaimana mencetuskan dan melejitkan kemampuan itu agar ia menjadi tidak dorman lagi? Agar potensi itu menjadi aksi nyata yang menghasilkan karya?
Salah satunya adalah… dengan memberikan kepercayaan! Meyakinkan bahwa mereka sebenarnya BISA melakukannya!
Hal ini pernah dikisahkan Steven Covey kan yah? Tentang anaknya yang lemah secara fisiknya, sehingga selalu diejek oleh teman-temannya, apalagi di mata pelajaran olah raga. Nah, untuk memberikan prokteksi psikologis, ia menemani anaknya ini di setiap jam olah raga, dan memarahi semua anak-anak yang mengejeknya. Tapi apa? Tak ada perubahan! Sang anak tetap begitu dan begitu saja. Akhirnya ia merubah polanya dengan membiarkan si anak itu, tanpa mengawasinya lagi dan memberikan proteksi-proteksi lagi. Ia memberikan kepercayaan itu pada anaknya. Dan hasilnya justru sebaliknya, sang anak tumbuh pesat, hingga di bangku kuliah ia mendapatkan nilai A untuk smua nilai di transkripnya.
Di sini, memberikan kepercayaan bukan berarti memberikan harapan-harapan social yang tinggi sehingga dapat membuat sang anak menjadi frustasi. Misalkan, seorang orang tua yang senantiasa mencapai kesuksesan dalam jenjang kehidupannya, mulai dari akademis, karir, maupun status social…terkadang, mengharapkan anaknya juga harus sepertinya. Ini yang dimaksud harapan social itu. Ibu bapak yang pintar, lalu sang anak dituntut harus sepertinya juga! Tidak! Bukan begini!
Kepercayaan yang diberikan adalah…meyakinkan bahwa segala potensi yang ia punya adalah luar biasa, dan dia PASTI BISA! Bukan dengan mengatakan, bahwa kamu harus begini, begini dan harus mencapai ini. Allahu’alam.
Mungkin, sebagai calon orang tua, kita bisa membuat rancangan-rancangan ini, desain-desain, akan seperti apakah pola didik yang akan diterapkan pada anak-anak kita nantinya. Sesungguhnya, pola didik yang diterapkan oleh orang tua kita dulunya, memiliki andil besar dalam mempengaruhi pola didik kita nantinya pula. Akan tetapi, insya Allah, kita masih bisa belajar, menyerap dari berbagai sumber…, tentang bagaimana yang terbaiknya. Jika kita hanya membiarkan ia mengalir saja, tanpa ada I’tikad untuk merubahnya ke arah yang lebih baik, maka siklus itu akan terus saja berulang. Kesalahan-kesalahan yang sama pun akan terulang. Maka, yang semestinya adalah, merubahnya, mengambil yang positif darinya, dan memperbaiki yang negative darinya. Percayalah, bahwa masa depan Negara ini, sangat tergantung dari bagaimana kita menyiapkan generasi-generasi penerusnya. Kita, sebagai unit sel terkecil dari kesatuan besar Negara ini.
Nah, barang kali, ini erat kaitannya dengan bagaimana memberikan kepercayaan kepada orang lain, misalkan kepada seorang anak. Aku percaya, ketika kita memberikan kepercayaan kepada seorang anak, maka, hasilnya akan luar biasa.
Banyak orang menjadi bisa, ketika diberi kepercayaan.
Kalau boleh kubahasakan, kadang kemampuan yang kita punya itu menjadi dorman ketika tidak ada hal-hal potensial yang membuat kemampuan itu dikeluarkan! Persis seperti lapisan tissue yang tidak akan muncul ketika lapisan di atasnya tidak diangkat. Apa buktinya, kita sesungguhnya punya kemampuan? Selemah-lemahnya kita, ketika tidak ada lagi orang kuat disekeliling kita, maka kita pun dengan sendirinya menjadi kuat. Itu menjadi bukti bahwa sebenarnya kita bisa!
Contohnya, seorang ibu yang takut dengan ular, ketika ia bersama anak-anaknya, dan hanya ia yang diandalkan oleh anak-anaknya, bisa saja tiba-tiba menjadi begitu kuat dan berhasil membunuh si ular, karena menlindungi anak-anaknya. Padahal, sesungguhnya si ibu itu sebelumnya sangat takut dengan ular…
Dengan case yang berbeda, seorang yang tengah jatuh cinta, memiliki kemampuan untuk merubah sebaliknya. Seseorang yang kasar, tiba-tiba menjadi lembut. Seseorang yang bodoh, tiba-tiba menjadi begitu pintar. Seseorang yang sangat benci pelajaran mengarang, tiba-tiba bisa menghasilkan bait-bait puisi.
Bukankah itu artinya, sesungguhnya kita memiliki banyak kemampuan?
Yaph, kita punya kemampuan itu! Kita punya potensi itu! Hanya saja, ia dorman. Nah, sekarang bagaimana mencetuskan dan melejitkan kemampuan itu agar ia menjadi tidak dorman lagi? Agar potensi itu menjadi aksi nyata yang menghasilkan karya?
Salah satunya adalah… dengan memberikan kepercayaan! Meyakinkan bahwa mereka sebenarnya BISA melakukannya!
Hal ini pernah dikisahkan Steven Covey kan yah? Tentang anaknya yang lemah secara fisiknya, sehingga selalu diejek oleh teman-temannya, apalagi di mata pelajaran olah raga. Nah, untuk memberikan prokteksi psikologis, ia menemani anaknya ini di setiap jam olah raga, dan memarahi semua anak-anak yang mengejeknya. Tapi apa? Tak ada perubahan! Sang anak tetap begitu dan begitu saja. Akhirnya ia merubah polanya dengan membiarkan si anak itu, tanpa mengawasinya lagi dan memberikan proteksi-proteksi lagi. Ia memberikan kepercayaan itu pada anaknya. Dan hasilnya justru sebaliknya, sang anak tumbuh pesat, hingga di bangku kuliah ia mendapatkan nilai A untuk smua nilai di transkripnya.
Di sini, memberikan kepercayaan bukan berarti memberikan harapan-harapan social yang tinggi sehingga dapat membuat sang anak menjadi frustasi. Misalkan, seorang orang tua yang senantiasa mencapai kesuksesan dalam jenjang kehidupannya, mulai dari akademis, karir, maupun status social…terkadang, mengharapkan anaknya juga harus sepertinya. Ini yang dimaksud harapan social itu. Ibu bapak yang pintar, lalu sang anak dituntut harus sepertinya juga! Tidak! Bukan begini!
Kepercayaan yang diberikan adalah…meyakinkan bahwa segala potensi yang ia punya adalah luar biasa, dan dia PASTI BISA! Bukan dengan mengatakan, bahwa kamu harus begini, begini dan harus mencapai ini. Allahu’alam.
Mungkin, sebagai calon orang tua, kita bisa membuat rancangan-rancangan ini, desain-desain, akan seperti apakah pola didik yang akan diterapkan pada anak-anak kita nantinya. Sesungguhnya, pola didik yang diterapkan oleh orang tua kita dulunya, memiliki andil besar dalam mempengaruhi pola didik kita nantinya pula. Akan tetapi, insya Allah, kita masih bisa belajar, menyerap dari berbagai sumber…, tentang bagaimana yang terbaiknya. Jika kita hanya membiarkan ia mengalir saja, tanpa ada I’tikad untuk merubahnya ke arah yang lebih baik, maka siklus itu akan terus saja berulang. Kesalahan-kesalahan yang sama pun akan terulang. Maka, yang semestinya adalah, merubahnya, mengambil yang positif darinya, dan memperbaiki yang negative darinya. Percayalah, bahwa masa depan Negara ini, sangat tergantung dari bagaimana kita menyiapkan generasi-generasi penerusnya. Kita, sebagai unit sel terkecil dari kesatuan besar Negara ini.
Cinta Posesif
Kalau sudah ngomong cinta, yah gak ada habisnya kali yah? Hihi. Sebuah kata yang terlalu rumit untuk sekedar didefinisikan oleh si hati. Tapiiii, kali ini aku bukan ingin membahas cinta yang biasa dipersepsi orang tentang sebuah polarisasi antara kutub laki-laki dan wanita. Bukan! Bukan ini! Tapi, cinta dalam pertemanan.
Pertemanan adalah salah satu bentuk cinta jiwa. Bukan seperti cinta ‘misi’ seorang Rasulullaah pada umatnya, atau seorang pemimpin kepada rakyatnya (jika seorang pemimpinnya baik, tentu saja!), cinta dalam pertemanan pun butuh berbalas. Ia tidak bisa ‘bertepuk sebelah tangan’. Jadi, kedekatan itu ada, dengan adanya reaksi yang reversible, berlangsung dua arah. Cinta yang berbalas. Dan, jika demikian, dua orang bisa dikatakan bersahabat.
Mungkin kita tidak perlu rumit untuk memikirkan bagaimana reaksi persamaan itu, hingga sebuah kedekatan hati antara sesama teman itu terjalin. Kadang kala, ada kondisi-kondisi ekstrem tertentu yang membuat seseorang tiba-tiba ‘harus’ jadi teman akrab. Namun, pada kondisi selain fullstress, pertemanan bisa saja terjadi karena adanya ‘kesamaan’, atau terbentuknya keseimbangan yang saling mengisi antara dua atau lebih orang.
Jawabannya ada pada hadits nabi, “Jiwa itu ibarat prajurit yang berbaris. Yang saling mengenal pasti akan saling melembut dan menyatu. Sedang, yang tidak saling mengenal pasti akan terpisah dan berbeda.”
Juga pada Qs. AL Anfaal (8) : 63
Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana.
Tidak perlu heran, jika antara ikhwan sesama ikhwan atau pun akhwat sesama akhwat pun, yang begitu memahami konsep ukhuwah, tingkat kedekatan hatinya berbeda. Bahkan satu wisma sekalipun. Kesesuaian ruh itu tadi. Yah, meskipun, jika dibandingkan dengan yang lain, adanya ‘atap’ yang sama membuat satu sama lain lebih dekat. Tapi, dalam satu ‘atap’ pun, kedekatannya berbeda. Dan ini tidak bisa dipaksakan, tentu saja.
Tapi, di sisi lain, kedekatan itu justru menimbulkan efek samping yang berbeda pada sebuah dimensi lain. Posesif! Rasa ingin memiliki yang sangat tinggi!
Belakangan, aku sempat mendengar curhat dari beberapa orang dengan keposesifan pertemanan, dengan berbagai tingkatan. Mulai dari yang sangaaat parah, hingga yang kadarnya masih kecil.
Case pertama. Anggap saja A dan B adalah dua orang yang berteman akrab dulunya. Karena rentang jarak yang memisahkan, tiba-tiba saja A menjadi asing bagi B. B begitu khawatir A akan mendapat teman lain yang sehingga posisinya di hati A tergantikan. Bahkan, sampai pada taraf B ingin memotong urat nadinya, jika A tidak membalas SMS si B. Hanya SMS saja bahkan. Case yang lain, C dan D yang awalnya berteman akrab. Ketika D berteman dengan akhwat lain (sebut saja E), lalu C merasa ada yang merebutnya lalu malah memusuhi si D dan E. Lalu, ada pula case di mana, X dan Y, di mana hanya karena X menyimpan foto ia berdua dengan akhwat lain (sebut saja Z), Y merasa cemburu berat dan inginnya yang ada di dompet itu adalah fotonnya berdua dengan X.
Sekelumit kisah-kisah keposesifan pertemanan yang terjadi di dunia nyata. Kedekatan, tapi disertai rasa ingin menguasai dan memiliki sehingga tidak menyediakan ruang untuk pertemanan yang lain. Gejala-gejala yang membuat kegonjangganjingan dalam sebuah ukhuwah.
Ini bukan berarti tidak boleh dekat dengan seseorang! Bukan! Toh, bukan kah (kalo kata teorinya Psychodinamic, hehehehe, teoriiiiii!) kita memiliki gaya ‘kelekatan’ yang berbeda tergantung bagaimana lingkungan keluarga membesarkan. Yang berarti, memang ada orang-orang tertentu yang lebih nyaman dengan ersama, dan ada pula yang sendiri. Jadi, kita boleh saja dekat dengan siapapun, tapi, tidak sampai pada taraf ‘menguasai’ dan memiliki. Jika ini terjadi di wisma-wisma, maka sungguh begitu mengganggu stabilitas wisma. Jika A dan B, misalnya, selalu ke mana-mana berdua, makan gak mau kalau tidak setalam, tidur harus sekamar segala, bercerita hanya berdua saja, tentu saja akan membuat stabilitas wisma menjadi terganggu dan membuat kesenjangan social semakin tinggi. Apalagi, yang ‘berdua-duaan’ itu adalah para ‘petinggi’ pula yang semestinya memberikan khudwah pada adik-adiknya.
Sekali lagi, bukan bermaksud membatasi ruang gerak, ‘Ah, masa sih kaga boleh punya teman curhat!’. Aih, bukan beginiiii! Tapi, di sini, hanya bermaksud jangan sampai pertemanan itu menimbulkan ‘rasa kepemilikkan’ sehingga case-case yang semisal di atas gak terjadi. Allahu’alam.
Pertemanan adalah salah satu bentuk cinta jiwa. Bukan seperti cinta ‘misi’ seorang Rasulullaah pada umatnya, atau seorang pemimpin kepada rakyatnya (jika seorang pemimpinnya baik, tentu saja!), cinta dalam pertemanan pun butuh berbalas. Ia tidak bisa ‘bertepuk sebelah tangan’. Jadi, kedekatan itu ada, dengan adanya reaksi yang reversible, berlangsung dua arah. Cinta yang berbalas. Dan, jika demikian, dua orang bisa dikatakan bersahabat.
Mungkin kita tidak perlu rumit untuk memikirkan bagaimana reaksi persamaan itu, hingga sebuah kedekatan hati antara sesama teman itu terjalin. Kadang kala, ada kondisi-kondisi ekstrem tertentu yang membuat seseorang tiba-tiba ‘harus’ jadi teman akrab. Namun, pada kondisi selain fullstress, pertemanan bisa saja terjadi karena adanya ‘kesamaan’, atau terbentuknya keseimbangan yang saling mengisi antara dua atau lebih orang.
Jawabannya ada pada hadits nabi, “Jiwa itu ibarat prajurit yang berbaris. Yang saling mengenal pasti akan saling melembut dan menyatu. Sedang, yang tidak saling mengenal pasti akan terpisah dan berbeda.”
Juga pada Qs. AL Anfaal (8) : 63
Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana.
Tidak perlu heran, jika antara ikhwan sesama ikhwan atau pun akhwat sesama akhwat pun, yang begitu memahami konsep ukhuwah, tingkat kedekatan hatinya berbeda. Bahkan satu wisma sekalipun. Kesesuaian ruh itu tadi. Yah, meskipun, jika dibandingkan dengan yang lain, adanya ‘atap’ yang sama membuat satu sama lain lebih dekat. Tapi, dalam satu ‘atap’ pun, kedekatannya berbeda. Dan ini tidak bisa dipaksakan, tentu saja.
Tapi, di sisi lain, kedekatan itu justru menimbulkan efek samping yang berbeda pada sebuah dimensi lain. Posesif! Rasa ingin memiliki yang sangat tinggi!
Belakangan, aku sempat mendengar curhat dari beberapa orang dengan keposesifan pertemanan, dengan berbagai tingkatan. Mulai dari yang sangaaat parah, hingga yang kadarnya masih kecil.
Case pertama. Anggap saja A dan B adalah dua orang yang berteman akrab dulunya. Karena rentang jarak yang memisahkan, tiba-tiba saja A menjadi asing bagi B. B begitu khawatir A akan mendapat teman lain yang sehingga posisinya di hati A tergantikan. Bahkan, sampai pada taraf B ingin memotong urat nadinya, jika A tidak membalas SMS si B. Hanya SMS saja bahkan. Case yang lain, C dan D yang awalnya berteman akrab. Ketika D berteman dengan akhwat lain (sebut saja E), lalu C merasa ada yang merebutnya lalu malah memusuhi si D dan E. Lalu, ada pula case di mana, X dan Y, di mana hanya karena X menyimpan foto ia berdua dengan akhwat lain (sebut saja Z), Y merasa cemburu berat dan inginnya yang ada di dompet itu adalah fotonnya berdua dengan X.
Sekelumit kisah-kisah keposesifan pertemanan yang terjadi di dunia nyata. Kedekatan, tapi disertai rasa ingin menguasai dan memiliki sehingga tidak menyediakan ruang untuk pertemanan yang lain. Gejala-gejala yang membuat kegonjangganjingan dalam sebuah ukhuwah.
Ini bukan berarti tidak boleh dekat dengan seseorang! Bukan! Toh, bukan kah (kalo kata teorinya Psychodinamic, hehehehe, teoriiiiii!) kita memiliki gaya ‘kelekatan’ yang berbeda tergantung bagaimana lingkungan keluarga membesarkan. Yang berarti, memang ada orang-orang tertentu yang lebih nyaman dengan ersama, dan ada pula yang sendiri. Jadi, kita boleh saja dekat dengan siapapun, tapi, tidak sampai pada taraf ‘menguasai’ dan memiliki. Jika ini terjadi di wisma-wisma, maka sungguh begitu mengganggu stabilitas wisma. Jika A dan B, misalnya, selalu ke mana-mana berdua, makan gak mau kalau tidak setalam, tidur harus sekamar segala, bercerita hanya berdua saja, tentu saja akan membuat stabilitas wisma menjadi terganggu dan membuat kesenjangan social semakin tinggi. Apalagi, yang ‘berdua-duaan’ itu adalah para ‘petinggi’ pula yang semestinya memberikan khudwah pada adik-adiknya.
Sekali lagi, bukan bermaksud membatasi ruang gerak, ‘Ah, masa sih kaga boleh punya teman curhat!’. Aih, bukan beginiiii! Tapi, di sini, hanya bermaksud jangan sampai pertemanan itu menimbulkan ‘rasa kepemilikkan’ sehingga case-case yang semisal di atas gak terjadi. Allahu’alam.
Kuning Merekah
Serumpun bunga di halaman. Tumbuhnya persis di pinggir kolam. Kuning dan orange warnanya.
Sungguh, mengundang senyum kesejukkan tiap kali memandangnya. Warna keceriaan. Sungguh, aku suka jika harus berlama-lama berada di antara rumpun-rumpunnya yang merekah. Ada tunas…lalu…ada pula yang melayu. Berganti, dan terus silih berganti. Begitu seterusnya…
Begitulah tunas-tunas kehidupan!
Selalu silih berganti…
Putaran zaman pun akan terus berlari…
Berpacu dengan waktu…
Akan seperti apa mekarnya si kuncup zaman?
Berakhir pada tangan kedzaliman koruptorkah?
Atau justru pada orang-orang shalih, yang memegang amanat?
Akan seperti apa ujungnya?
Akan seperti apa merekahnya peradaban itu?
Cepat atau lambat, ia PASTI akan merekah. Ini sudah jadi janji-Nya…
Sungguh, yang perlu ditanyakan adalah…ada di manakah kita?
Apakah menjadi bagian dari ronanya, atau hanya penonton yang waktunya habis sia-sia saja?
Semua berpulang pada kita…
Yah kita! Diri kita!
Sungguh, mengundang senyum kesejukkan tiap kali memandangnya. Warna keceriaan. Sungguh, aku suka jika harus berlama-lama berada di antara rumpun-rumpunnya yang merekah. Ada tunas…lalu…ada pula yang melayu. Berganti, dan terus silih berganti. Begitu seterusnya…
Begitulah tunas-tunas kehidupan!
Selalu silih berganti…
Putaran zaman pun akan terus berlari…
Berpacu dengan waktu…
Akan seperti apa mekarnya si kuncup zaman?
Berakhir pada tangan kedzaliman koruptorkah?
Atau justru pada orang-orang shalih, yang memegang amanat?
Akan seperti apa ujungnya?
Akan seperti apa merekahnya peradaban itu?
Cepat atau lambat, ia PASTI akan merekah. Ini sudah jadi janji-Nya…
Sungguh, yang perlu ditanyakan adalah…ada di manakah kita?
Apakah menjadi bagian dari ronanya, atau hanya penonton yang waktunya habis sia-sia saja?
Semua berpulang pada kita…
Yah kita! Diri kita!
Gaya Coloumb
Apa? Si Coloumbus eeh, si Coloumb bergaya? Ahaha! Bukaaan…bukaaaan! Ini mah salah satu plajaran SMA! Iya! Plajaran fisika! Kali ini aku nak ngajak puan dan tuan bernostalgila bernostalgia ke masa-masa SMA itu… (kalo kata sebuah lagu,” ….tiada masa paling Indaaah, masa-masa di SMA…”. Hmm…, buat kali ini aku spakat dah sama itu lagu. Hihi). Tapi…tapi…, konon kabarnya, fisika itu plajaran paling serem yah? Paling rumit dan paling sulit? Aaaah, gak juga! (halaaaaah, gaya cuy! Padahal, dulu juga sempet pusing tujuh keliling kalo udah fisika! Hihi).
Kamu, masih ingat rumusnya gaya Coloumb dalam suatu medan magnet? Jika kamu bukan mahasiswa jurusan fisika or sebagian dari jurusan teknik, atau pengajar fisika, kurasa kamu sudah lupa!! Hihi, cuujon duluan!! Tapiiii, caution! Belajar fisika, kalo Cuma sekedar tau rumus doang, paling-paling bertahan di otak kirinya yah Cuma sebentar tho! Ngafal rumus? Aaaah, paling tahannya juga Cuma sebentar saja. Paling, nanti juga kebalik-balik. Naaah, jurus jitu memahami rumus fisika adalah mengetahui asholah (asholah?? Hihihi), mengetahui keaslian rumus itu datangnya dari mana. Jadi, kalau sudah tau asholahnya dari mana, baru deeh, bisa paham rumusnya. Kalo udah gini, insya Allah, terekam dalam memory jangka panjang! Critanya, skarang ini, bagaimana mengotak-kanankan segalasesuatu yang ngotak kiri. Hihi. (pake otak tengah ajah gih!).
Hayoooo, masih ingat tak? Oke deeh, ta’ kasi bocoran ajah! Gaya coloumb dalam suatu muatan medan magnet adalah…
Nah, di sana, F adalah Gaya Coumb (kuatnya medan magnet), k atadah konstanta yang sampai dunia kiamat pun takkan berubah angkanya, hihi. q1 adalah muatan magnet 1 dan q2 adalah muatan magnet 2. Sedangkan r adalah jarak antara kedua magnet tersebut. Dari si rumus, dapat diambil kesimpulan bahwa, besarnya atau kuatnya medan magnet berbanding lurus dengan muatan yang dimiliki oleh masing-masing magnet dan berbanding terbalik dengan jarak antara kedua magnet tersebut.
Jadiiii, semakin besar muatan yang dimiliki akan semakin besar kekuatan medan magnetnya dan semakin kecil jarak, semakin besar juga kekuatan medan magnitnya. Begitu pula sebaliknya.
Lalu? Apa hubungannya?!
Hmm begini teman, rumus di atas adalah rumus ukhuwah kita! Iya! Rumus ukhuwah!
Kita bisa menganalogikan kuatnya medan magnet itu adalah kekuatan ukhuwah kita, lalu muatan itu adalah muatan iman dari diri kita, dan jarak antara keduanya adalah kedekatan hati kita dengan saudara kita.
Belajar dari rumus tersebut, maka, kuat atau tidaknya ukhuwah itu berbanding lurus dengan muatan iman kita dan saudara kita, dan berbanding terbalik dengan kedekatan hati kita. Semakin kecil jarak, artinya semakin dekat hati kita, maka makin kuatlah medan magnit ukhuwah kita. Pun demikian halnya, semakin besar muatan iman, semakin besar pula kekuatan ukhuwah itu. Hei, bukankah persaudaraan yang paling terindah dan paling kokoh itu adalah bersaudara dalam keimanan? Coba saja, jika iman lagi ngedrop, permasalahan ukhuwah akan lebih mencuat. Pun demikian halnya, jika tak ada kedekatan hati. Ukhuwah pun, dipertanyakan.
Hmm…ukhuwah berikut dinamikanya! Bagaimana pun, ukhuwah adalah suatu anugrah terindah dari Allah. Bayangkanlah, ketika diri kita tiada punya ikatan nasab apapun, tapi kemudian Allah hadirkan rasa cinta, ada kebersamaan, dan ada saling menanggung beban. Masya Allah, sungguh indahnya. Maka, tiadalah yang lebih baik untuk dilakukan dalam meningkatkan kuatnya medan ukhuwah melainkan meningkatkan muatan diri dan memperkecil jarak hati kita…
Kamu, masih ingat rumusnya gaya Coloumb dalam suatu medan magnet? Jika kamu bukan mahasiswa jurusan fisika or sebagian dari jurusan teknik, atau pengajar fisika, kurasa kamu sudah lupa!! Hihi, cuujon duluan!! Tapiiii, caution! Belajar fisika, kalo Cuma sekedar tau rumus doang, paling-paling bertahan di otak kirinya yah Cuma sebentar tho! Ngafal rumus? Aaaah, paling tahannya juga Cuma sebentar saja. Paling, nanti juga kebalik-balik. Naaah, jurus jitu memahami rumus fisika adalah mengetahui asholah (asholah?? Hihihi), mengetahui keaslian rumus itu datangnya dari mana. Jadi, kalau sudah tau asholahnya dari mana, baru deeh, bisa paham rumusnya. Kalo udah gini, insya Allah, terekam dalam memory jangka panjang! Critanya, skarang ini, bagaimana mengotak-kanankan segalasesuatu yang ngotak kiri. Hihi. (pake otak tengah ajah gih!).
Hayoooo, masih ingat tak? Oke deeh, ta’ kasi bocoran ajah! Gaya coloumb dalam suatu muatan medan magnet adalah…
Nah, di sana, F adalah Gaya Coumb (kuatnya medan magnet), k atadah konstanta yang sampai dunia kiamat pun takkan berubah angkanya, hihi. q1 adalah muatan magnet 1 dan q2 adalah muatan magnet 2. Sedangkan r adalah jarak antara kedua magnet tersebut. Dari si rumus, dapat diambil kesimpulan bahwa, besarnya atau kuatnya medan magnet berbanding lurus dengan muatan yang dimiliki oleh masing-masing magnet dan berbanding terbalik dengan jarak antara kedua magnet tersebut.
Jadiiii, semakin besar muatan yang dimiliki akan semakin besar kekuatan medan magnetnya dan semakin kecil jarak, semakin besar juga kekuatan medan magnitnya. Begitu pula sebaliknya.
Lalu? Apa hubungannya?!
Hmm begini teman, rumus di atas adalah rumus ukhuwah kita! Iya! Rumus ukhuwah!
Kita bisa menganalogikan kuatnya medan magnet itu adalah kekuatan ukhuwah kita, lalu muatan itu adalah muatan iman dari diri kita, dan jarak antara keduanya adalah kedekatan hati kita dengan saudara kita.
Belajar dari rumus tersebut, maka, kuat atau tidaknya ukhuwah itu berbanding lurus dengan muatan iman kita dan saudara kita, dan berbanding terbalik dengan kedekatan hati kita. Semakin kecil jarak, artinya semakin dekat hati kita, maka makin kuatlah medan magnit ukhuwah kita. Pun demikian halnya, semakin besar muatan iman, semakin besar pula kekuatan ukhuwah itu. Hei, bukankah persaudaraan yang paling terindah dan paling kokoh itu adalah bersaudara dalam keimanan? Coba saja, jika iman lagi ngedrop, permasalahan ukhuwah akan lebih mencuat. Pun demikian halnya, jika tak ada kedekatan hati. Ukhuwah pun, dipertanyakan.
Hmm…ukhuwah berikut dinamikanya! Bagaimana pun, ukhuwah adalah suatu anugrah terindah dari Allah. Bayangkanlah, ketika diri kita tiada punya ikatan nasab apapun, tapi kemudian Allah hadirkan rasa cinta, ada kebersamaan, dan ada saling menanggung beban. Masya Allah, sungguh indahnya. Maka, tiadalah yang lebih baik untuk dilakukan dalam meningkatkan kuatnya medan ukhuwah melainkan meningkatkan muatan diri dan memperkecil jarak hati kita…
Quorum Sensing
Hehe, mungkin ini istilah asing! Bahkan di kalangan farmasist sendiri, tak semua mengenal istilah ini kecuali yang berkecimpung di dunia per-bioteknologi-an, atau yang sempat mengambil mata kuliah di bidang bioteknologi dan biotoksin.
Hmm…secara sederhana, quorum sensing adalah ‘sebentuk komunikasi’ antara sesama mikroorganisme. Jadi begini, layaknya manusia, antar mikroorganisme juga ada saling miss call-miss call-annya dalam bentuk signal-signal, sehingga terjalinlah komunikasi antara mereka. Nah, missal niiih ya, kayak Mycobacterium Tuberculosis (tau apa kaaan? Itu loooh, bakteri penyebab TBC, penyakit yang cukup tinggi angka kejadiannya di Indonesia gemah ripah loh jinawi, yang obatnya adalah HRZE ituuu, hihi). Mungkin tak perlu kaget, kalo TBC itu eh bukan ding!, si Mycobacterium TB itu bisa ‘tidur lelap’ di paru-paru selama sepuluh taon, tanpa menimbulkan apa-apa. Dia adem-adem ayem ajaaaah tuh, selama bertaon-taon. Namun, tiba-tiba,pas taon ke sebelas, ketika telah terjadi quorum sensing, dan telah dicapai jumlah prajurit yang buanyaaaaak, baru deeh, mulai batuk-batuk berdahak, demam-demam, trus napas tersenagal-sengal, sering kepanasan di malam dingin sekalipun dan sederet manifestasi klinis dari TB lainnya. Intinya, si mycobacterium dalam jumlah yang tidak mencukupi, tidak akan menimbulkan penyakit dulu. Ia dalam kondisi dorman. Kalo udah cukup jumlahnya, baru deh, dia bisa nyerang!
Heee, jadi tambah bingung yak?
Haduuuh, gimana yah?!
Gini aja deeeh, sebenarnya, seganas apapun itu mikroba, kalo tak tercapai jumlah minimum yang dapat menyebabkan kondisi paologis, tak akan menimbulkan penyakit! Contoh sederhananya adalah, e coli (mikroba yang begitu familiar kali yaaaah) selaluuuuu ada dalam lalapan, sayuran, dalam air, dalam apa pun dah! Tapi, kenapa tak mencret? Karena jumlahnya masih sedikit yang gak cukup buat terjadinya quorum sensing tadi. Tapi, jika jumlahnya udah milyaran yang masuk ke tubuh, baru deh terjadi quorum sensing terjadi, dan akhirnya menimbulkan penyakit. Jadi, quorum sensing itu, ibarat konsolidasinya si bakteri laaah! Semacam,’ menyatukan barisan’ begitu!
Hehe, lalu mangain (manga-in ini bahasa minang dari ngapa-in….hihihi! dasaaar, pengacau bahasa!), mangain juga bahas-bahas quorum sensing! Tooh, tidak ada lagi UTS maupun UAS yang bakal dijalanin di kuliyah S-1?! Hihi. Aku hanya sekedar ingin mengajakmu mengambil plajaran dari sini.
Banyak plajaran yang dapat diambil dari alam. Dan sering kali kejadian-kejadian yang ada di alam itu, dapat diekstrapolasi (hehe, emangnya grafik! Pake ekstrapolasi segala!), maksudnya terejawantah dalam kehidupan manusia. Makanya urang Minang berfalsafah, “Alam takambang jadi guru!”.
Quorum sensing itu, ibarat ‘barisan yang kokoh’ fii jasaadil ummaah. Ketika barisannya tak kokoh, meskipun itu sebuah kebenaran, Al Haq, tetap saja, bisa dikalahkan oleh kebathilan yang terorganisir dengan rapi. Jika bakteri saja, yang kecil sangat, bahkan tak dapat dilihat dengan mata langsung, dapat menumbangkan tubuh manusia yang begitu besuaaaaaarrr (bagi si bakteri) yang berakal pulak! Apalagi, sebuah kebenaran yang Allah telah jamin akan kemenangannya…
Belakangan ini, --karena sebelumnya, belum bertemu ‘komunitas’--, aku merasa begitu ‘kesepian’. Dan, begitu terasa bahwa segala sesuatu yang dilakukan secara infirodi, jarang sekali suksesnya. Makanya, hidup berjamaah itu terasa lebih indah. (jika begini, aku senantiasa jadi merindukan hari-hari di wisma!). Ini bukan berarti kita menonjolkan ego ke-firqoh-an, alias fanatisme kelompok loh yah. Bukankah kita dalam Islam adalah satu! Dan juga, bukan berarti, ketika sendiri, kita mesti berhenti melakukan kebaikan. Tapii,aku di sini, hanya ingin mengambil kesimpulan sekaligus plajaran, bahwa segala sesuatu yang dilakukan dengan infirodi sangat cepat sekali menimbulkan degredasi!
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِه ِِ صَفّا ً كَأَنَّهُمْ بُنيَان ٌ مَرْصُوص
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.
Qs. Ash-Shaff : 4
Pohon Ringkih Itu...
Teman, aku ingin bercerita padamu. Tentang sebatang pohon Sunkist yang tumbuh di halaman. Pohon Sunkist itu sudah cukup tua umurnya, sehingga ‘penampakannya’ (loh? Ko penampakan yah? Hihi, maksudnya, posturnya! Iih, postur lagi! Batangnya!) sudah begitu ringkih. Malah ada yang bersisa hanya ranting-rantingnya saja. Ia telah lelah dimakan usia.
Tapi, sungguh menakjubkan si pohon itu. Kendatipun ringkih dan meranggas, tapi, satu hal saja,ia masih saja menghasilkan buah! Masih saja! Subhanallaah!
Dan, buah itu bukan buah ‘ecek-ecek’ yang sekedarnya saja. Buahnya, subhanallaah, manis! Serasa air gula! Meskipun batangnya ringkih, tapi, buahnya manis! Sungguh, apakah saripatinya sudah tersedot untuk menghasilkan buah yang lebat dan manis saja, sementaratubuhnya batangnya begitu ringkihnya?
Mari belajar dari sang Sunkist yang ringkih.
Aku teringat akan nasihatnya ustadz Rahmat Abdullah (semoga Allah merahmati beliau)…
“Dakwah adalah cinta, cinta yang akan meminta semua dari dirimu, sampai pikiranmu, perhatianmu. Berjalan, duduk dan tidurmu, bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang da’wah. Lagi-lagi memang seperti itu da’wah, menyedot saripati energimu sampai tulang belulang.”
Seperti sang Sunkist, meski ringkih, ia memberikan buah-buah terbaiknya, untuk kemanfaatan. Bahkan, saripati untuk dirinya pun tersedot! Selaras dengan nasihat yang ustadz sampaikan…
Sampai di sini, aku tercenung. Sungguh…
Apa yang kuberikan, bahkan belum apa-apa. Jangankan, saripati hingga belulang!
Aku belumlah apa-apa, bahkan tak cukup dengan kata ‘sedikit’ tentang apa yang telah kuberikan!
Ah, Barang kali, ini sebuah refleksi saja…
Sebagai sekelumit muhasabah…untukku, untukmu dan untuk kita semua…
Tapi, sungguh menakjubkan si pohon itu. Kendatipun ringkih dan meranggas, tapi, satu hal saja,ia masih saja menghasilkan buah! Masih saja! Subhanallaah!
Dan, buah itu bukan buah ‘ecek-ecek’ yang sekedarnya saja. Buahnya, subhanallaah, manis! Serasa air gula! Meskipun batangnya ringkih, tapi, buahnya manis! Sungguh, apakah saripatinya sudah tersedot untuk menghasilkan buah yang lebat dan manis saja, sementara
Mari belajar dari sang Sunkist yang ringkih.
Aku teringat akan nasihatnya ustadz Rahmat Abdullah (semoga Allah merahmati beliau)…
“Dakwah adalah cinta, cinta yang akan meminta semua dari dirimu, sampai pikiranmu, perhatianmu. Berjalan, duduk dan tidurmu, bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang da’wah. Lagi-lagi memang seperti itu da’wah, menyedot saripati energimu sampai tulang belulang.”
Seperti sang Sunkist, meski ringkih, ia memberikan buah-buah terbaiknya, untuk kemanfaatan. Bahkan, saripati untuk dirinya pun tersedot! Selaras dengan nasihat yang ustadz sampaikan…
Sampai di sini, aku tercenung. Sungguh…
Apa yang kuberikan, bahkan belum apa-apa. Jangankan, saripati hingga belulang!
Aku belumlah apa-apa, bahkan tak cukup dengan kata ‘sedikit’ tentang apa yang telah kuberikan!
Ah, Barang kali, ini sebuah refleksi saja…
Sebagai sekelumit muhasabah…untukku, untukmu dan untuk kita semua…
How Smart You are?
How Smart You are?
Hehe, ini salah satu kalimat yang sering dipake si pembajak ym kan yaah? Yang kemudian diikuti oleh kata-kata aneh, plus quiz2 tak jelas.
Skarang, sdikit kubajak jugak euy, buat jusudl postingan ini. Hihi. Hmm…baiklah, “How Smart You Are to answer this question?”. Kuyakin kamu…(iya! Kamu nyang lagi baca ini! Yah siapa lagi, coba!? Hihi)…adalah orang cerdas yang bisa menjawabnya kurang dari sepuluh menit!
=========================================================================
Adalah 3 orang yang bersahabat bermaksud untuk berlibur di daerah Puncak di akhir pekan. Mereka kemudian mencari penginapan. Ternyata ada penginapan yang cocok
Harga sewanya 1 hari Rp 300.000,-. Mereka bertiga patungan @ Rp 100.000,-. Setelah membayar, mereka kemudian mendapat kunci dan langsung masuk kamar. Setelah itu, recepsionist baru sadar bahwa hari ini ada promosi. Harga kamar itu seharusnya Rp 250.000,-. Ia kemudian menyuruh office boy untuk mengembalikan kelebihan uang Rp 50.000,-. Tetapi, karena office boy tahu bahwa ketiga orang itu patungan, ia hanya menyerahkan Rp 30.000,-. Ia mengambil Rp 20.000,- untuk dirinya sendiri.
Tapi kemudian office boy itu bingung :
Ketiga orang itu membayar Rp 300.000,-. Setelah dikembalikan, masing-masing hanya membayar Rp 90.000,-. Berarti uang mereka bertiga Rp 270.000,-. Ia sendiri mendapat Rp 20.000,-.
270.000 + 20.000,- = 290.000,-
KOQ NGGAK 300 RIBU ?
SIAPA YANG NGAMBIL 10 RIBU NYA ?
=========================================================================
Haha..
Apakah kamu dapat menjawabnya?
Di mana duit sepuluh ribu yang hilang itu?
Hmmm…yang jelas, aku tidak akan membocorkan jawabannya! Hags…hags….
Hanya saja, ada hikmah yang kita ambil dari teka-teki lucu ini. Bahwasanya, jika kita ikuti sebuah ‘kebodohan’, meskipun yang menyampaikannya adalah seseorang dengan diksi dan retorika yang hebat, dan dengan gaya yang begitu menarik, maka…kita pun jadi ikut bingung dan bodoh!!
Kadang, tanpa sadar, kita sering ‘dipermainkan’ oleh suatu kebodohan yang tampak hebat!
Sekali lagi, kebodohan yang tampak hebat!
Semoga kita tidak menjadi ashabul bodoh…
Hihi…
Hmm…begini, suatu kebodohan bisa saja tampak hebat, ketika ia dipermaks dengan sebegitu mempesona. Sehingga, jika tak kuat-kuat berpegangan pada landasan dan prinsip, kita dengan begitu mudahnya terseret! Tergerus arus di lumpang jaman dengan stamfer bernama ghozwul fikry itu. Tapi, publikasi, media, telah berhasil membentuk opini public, mengenai kebodohan yang tampak hebat. Sehingga, semuanya menjadi trend, dan diikuti oleh jutaan orang! Padahal, itu sebuah kebodohan! Pembodohan yang sadis!
Hmmphh…
PS : teka-tekinya diambil dari postingan millist “ukhuwahfillah” gen sixth SMA N 1 Padangpanjang
Hatiku Teriris Sembilu
Jika hati sudah teriris sembilu…ooh sungguh pedihnya…
Apalagi, ditambah air asam…
Bertambah pedihlah ia…
Eits….tapiiiii, belum tentu pedih juga!
Apalagi jika ditambahkan lado giliang, irisan bawang merah dan tomat lalu dimasukkan ke minyak panas…
Jadilah ia sambalado ati…
*lebih badaceh jika ditambah sedikit patai dan santan…hmm…
Hmm…nyammmy!
===============================================================================
Hahaha!
Ngaur! Sotoy! Asoy!
Hihihi…gak ding!
Itulah salah satu contoh ‘labelling’ yang membuat kata-kata ‘hati teriris sembilu’ senantiasa dilekatkan dengan makna ‘kesedihan, kepedihan, keterpurukkan, kecewa dan rasa-rasa sejenis’ Tapi toh, hati yang teriris sembilu, jika ditambahkan asam (malah tambah pedih?), haha gak jugak!, apalagi ditambahkan komponen lain seperti lado giliang, irisan bawang merah dan tomat (ditambah pula sedikit patai dan santan) lalu dimasukkan ke minyak panas, apakah itu juga sebuah kepedihan? Tentu tidak! Justru lebih nyummmy!
Terkadang, kita—termasuk dan terutama yang nulis ini—terlalu cepat mengambil kesimpulan. Kata-kata yang terpolarisasi menuju energy negative itu seperti T-sel (bukan telk*msel loh yah!) sel-T maksudnya, pada reaksi immunologi di mana ia melakukan memory sehingga suatu saat, jika terpapar lagi, dia akan langsung merememory! Seperti itulah, jika ‘memory’ pada chip hati kita telah meletakkannya pada folder polarisasi energy negative itu. Maka, satu kata saja yang terucap, (jika bisa di ctrl+F , hihi) akan menunjukkan arah negative itu.
So what?
Ah, ini sebenarnya soal bagaimana membuat lingkupnya tidak hanya terdefinitif pada pemaknaan yang sempit sahaja kali yah?
Allahu’alam