Mengisi Jiwa-jiwa Transisi


Aku semakin sadar, bahwa, memasuki sebuah tujuan yang benar dengan pintu yang salah, tetap saja menghasilkan sesuatu yang tidak benar. Ini semua mengajarkanku betapa pentingnya sebuah proses itu. Kendatipun amalan itu tergantung pada ujungnya, tapi, bukan berarti kita mengabaikan prosesnya karena toh ujung yang baik sangatlah bergantung pada proses yang baik.

Baiklah, ini sebuah plajaran berharga untukku, dalam hal “memasuki” jiwa remaja di masa transisinya. Ini, adalah kesempatan untuk mengarahkan pribadi-pribadi itu. Adik-adikku terutama…
Sungguh, aku ingin belajar lebih banyak tentang dunia ini. Tidak hanya anak-anak –dunia yang benar2 ingin kudalami—tapi juga remaja. Karena, ternyata, di sinilah fondasi itu. Bolekah aku menamakannya sebagai “landasan berpijak”? Yak, memang di sinilah kuncinya. Apalagi, di tengah arus modernisasi dan westerninasi sekarang yang semakin menggerus para remaja menuju titi nadhir. Sehingga “millah-millah” mereka yang senang dengan kehancuran islam, menjadi ikutan yang dibangga-banggakan. Yang lebih mirisnya, mereka tidak tahu, entah ke arah mana mereka tengah digiring. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, ke mana dibawa, ikut saja.

Terkadang, aku sedih juga, melihat para aktivis da’wah yang sedang ghiroh-ghirohnya, mengisi kajian kepada remaja-remaja di sekitar kampus, alumni sekolah, atau remaja mesjid. Bagus memang. Tidak ada yang salah. Bahkan, ini memang adalah suatu pekerjaan mulia. Tapi, yang amat disayangkan, ketika kita melupakan keluarga kita sendiri, adik-adik kita sendiri. (maap, aku tidak sedang menuduh siapapun melainkan telunjuk itu sedang di arahkan pada diriku sendiri). Mungkin kita bisa saja berdalih, “Manusia agung sekaliber Nabi Nuh dan Nabi Luth saja, tidak bisa menda’wahi keluarganya, apalagi kita!”. Hei, tunggu dulu! Bukankah kekafiran keluarga mereka BUKAN tanpa peringatan, tanpa ajakan dan da’wah dari manusia agung tersebut? Bukan tanpa ikhtiar! Bahkan, sudah demikian pun, Nabi Nuh tetap berdo’a untuk keluarga mereka, tetap mengajak anaknya naik ke kapal itu, bukan?

Yang kumaksud di sini, adalah tanpa ikhtiar. Asyik masyuk di luar sana, tapi lupa dengan keluarga sendiri. Ikhtiarnya! Prosesnya. Itu yang penting.

Memanglah, da’wah kepada keluarga memiliki rintangan yang berbeda dengan da’wah terhadap orang lain. Apalagi dengan adanya paradigm dari para mad’u bahwa sang da’I adalah selalu yang baik, selalu yang benar dan….jauh dari kesalahan. Padahal, kita pun orang yang begitu dhaif. Begitu banyak khilaf dan alphanya. Dan keluarga, tentulah orang yang paling paham, paling tau, dan paling mengerti bagaimana baik dan buruknya kita. Sehingga, sedikit saja salah, langsung jatuh “imej”nya.

Nah, menurutku, di sini, kita perlu menghindari segala bentuk figuritas. Bahwa, orang lain menjadi baik seharusnya bukan karena kitanya baik. Ketika kita sediit saja mengalami penurunan, maka orang yang memfigurkan itu ikut menurun, bahkan futur dan berbalik arah. Jadi, jangan menggiring orang lain pada pemfiguran. Bukan berarti di sini, khudwah itu tidak menjadi penting. Khudwah tetaplah sesuatu yang penting. Bahkan sangat penting. Karena, sangat besar kebencian di sisi-Nya ketika kita tak berbuat sementara kita berkoar-koar demikian. Tapi, wujudnya adalah, ketika kita mengatakan sesuatu, maka, kitalah yang yang pertama menjadi pelakunya. Pemeran utamanya.

Satu pelajaran berharga yang kudapatkan dari da’wah terhadap keluarga terutama pada adik-adik adalah adalah…MEMASUKI dengan HATI. Yak, masuki dengan hati, dan berbahasalah dengan bahasa jiwa mereka. Bukan dengan bahasa jiwa kita, apalagi keinginan kita yang terlalu dipaksa. Dahulu, ketika masih ghiroh2nya (hehe, memangnya sekarang gak ghiroh yak? Hehe, bukan begitu ding! Dulu teh Ghiroh buta, barangkali), aku begitu ingin (mungkin ambisius) untuk menjadikan dan “menyulap” adik-adikku menjadi seorang akhwat atau ikhwan. Mereka harus berakaian rapi, harus ikut kajian mentoring, lalu, salimul aqidah, shahihul ibadah, matinul khuluq…dst (hehe, muwashofat deh…). Tapi, aku focus pada “out put” bukan proses. Aku seolah-olah tak membiarkan mereka memiliki ruang pada diri mereka, pada pemahaman mereka, pada hati mereka. Dan kau tahu? Pada akhirnya, semua gagal. Tentu saja gagal! Dan, bisa dipastikan GAGAL. Meskipun sukses, hanya sebentar saja. Selagi aku masih bisa membersamai dan mengawasi mereka. Lalu, ketika aku harus balik ke Padang, semua kembali ke sedia kala.

Maka, memanglah sebenarnya yang utama adalah….MELALUI PENDEKATAN HATI…dan TIDAK PERLU “MENYULAP”NYA MENJADI APAPUN, kendatipun itu baik! Sekali lagi, kendatipun itu BAIK! Tapi, kita TIDAK BISA MENJADIKANNYA SEPERTI APA YANG KITA INGINKAN! Itu yang kumaksudkan dengan sepotong kalimat pembuka di atas, meskipun dengan tujuan yang benar, tapi caranya salah tetaplah hasilnya akan salah.

Maka, yang terpenting adalah –sekali lagi—masuki hatinya, masuki dunianya…dan berbahasalah dengan bahasa jiwanya. Karena, apa yang kita pikirkan, harapkan dan pahami, TIDAK lah sama dengan apa yang mereka pikirkan, harapkan dan pahami. Ikuti saja dunianya. Lalu, kemudian, perlahan, baru mengajaknya ke arah positif. JANGAN SEKALI-KALI menetapkan target padanya, “kamu harus begini, begini dan begitu yah Dek.” Tapi, biarkan dia berkembang menjadi dirinya, apa adanya. Pahamkan….cukup pahamkan saja. Dan, biarkan ia melakukan perubahan demi perubahan itu….dengan apa yang mereka pahami, bukan apa kita doktrin!

Ah, maafkanlah aku. Barang kali, aku memang tidak faqih. Mungkin ada yang akan mengatakan, “alaah, sesederhana itukah isi kepalamu?” (hihi, ndak bermaksud cu’ujon koq. Hihi…). Aku memang memiliki sedikit ilmu. Apa yang kusampaikan ini, adalah apa yang kurasakan sahajaa. (hehe, katahuan banget yah, betapa tak berilmunya aku). Tapiiiii, mudah-mudahan dengan begini…aku menjadi lebih banyak belajar. Aku memang tidak perlu malu untuk memperlihatkan betapa sederhananya aku dalam berpikir. Karena, dengannya, menjadikanku harus lebih banyak lagi menggali mutiara hikmah yang bertebaran di manapun. Aku justru malu padamu semua, jika aku seolah-olah tau, padahal aku tak berilmu. Mudah-mudahan belum terlambat untuk “memasuki”mereka. Insya Allah tidak ada kata terlambat untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Mohon, ingatkanlah aku. Di sini, kita saling berbagi. Okeh? ^___~. Semoga ini jadi plajaran juga, buat para orang tua, para calon orang tua dalam hal bagaimana menghadapi anak-anak remaja di masa pubertasnya. Kuberharap, kesalahan yang sama tidak boleh terulang lagi, padaku, padamu dan pada kita semua.

2 comments:

  1. setuju mbak, memang nggak perlu "nyulap dan maksa" orang lain seperti kita, yang penting kita sampaikan saja semaksimal mungkin, lalu serahkan hasilnya kpd Allah, karena hidayah itu kan di tangan-Nya. bahkan kalo kita brusaha terlalu "memaksa" orang biar seprti kita, bisa jadi kita malah kecewa berat kalo gagal, bahkan bisa pula- naudzubillah-efek negatifnya berbalik ke kita yaitu futur. Dan itu yang saya denger dari beberapa temen yang terlalu semangat "mengikhwan dan mengakhwatkan" orang lain, tapi dia nggak sadar kalo hidayah itu ditangan Allah, akibatnya ketika orang yang didakwahinya nggak juga menjadi "ikhwan dan akhwat", dia kecewa berat dan akhirnya? malah dia nya yang butuh "diikhwan/ akhwatkan" lagi. smoga kita semua diberi istiqomah dan ketegaran di jalan dakwah ini hingga akhir hayat nanti, amin..

    ReplyDelete
  2. yaph..spakat banget mas anung....

    syukran yah mas...atas masukannya...^^
    senangnya bisa berbagi di sini...^^

    ReplyDelete

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked