Tragedi Jalan Bebatuan


Hmm…teman, aku punya cerita yang cukup menggelikan. :D
Jadi begini, tadi aku berangkat menuju Pasar untuk suatu keperluan. Karena gak ada Adek yang biasanya jadi ‘supir’, hee…terpaksalah diriku pergi sendiri. Nah, sesampainya di pasar, di jalan pinggiran pasar itu, aku bersorak ria dalam hati, “waah, Alhamdulillah, jalannya sudah diperbaiki” (sebelumnya, jalannya masi jalan tanah begitu, belom ada aspalnya). Rupanya, tak dinyana, itu jalan, ternyata jauh lebih ‘parah’ dari jalan sebelumnya, penuh bebatuan dan pasir (yang siap diaspal begitu), dan ternyata bikin roda motor jadi susah bergerak gituuh. Akhirnya, aku terjebak di sana, dan terpaksa nge-gas2 biar motorku bisa keluar dari ‘jebakan’ bebatuan dan pasir. Nah, ketika ‘peristiwa naas’ (halaaaah, lebay!) itu terjadi, lewatlah sebuah motor yang di atasnya bertengger tiga orang anak muda, seumuran SMA lah. Mereka menertawakanku. Ish…Ish….ish…, bukannya ngebantu malah menertawakan! Tapii, aku tak begitu ambil peduli dengan tawa mereka. Cuek ajah, sambil mikir…” Aaah, santai….santai…, besok juga belum tentu ketemu sama tuh orang.” Hihi.

Beberapa saat setelah berjuang, akhirnya, aku terlepas dari ‘jebakan’ dan bisa melenggang dengan bebas. Hehe. Tapiiiii, tak disangka-sangka, 3 orang pemuda yang tadi menertawakanku itu, malah akhirnya terjatuh di lokasi yang tidak jauh dari sana. Jatuh terjerembab ke jalan yang penuh bebatuan dan pasir, tempat di mana aku terjebak. Sejujurnya, aku jadi gak bisa menahan senyum melihat mereka itu. Bukan karena balik menertawakan mereka, tapi karena rentetan peristiwa sebelumnya.

Hehe…

Tapi, ada plajaran yang dapat diambil di sini.
Hmm…ketika kita menertawakan orang lain yang dalam kesusahan, bisa jadi kesusahan itu bahkan lebih berat bisa tertimpa juga pada diri kita.

Dari Watsilah bin Al Aqsa’ ra., berkata, Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kamu memperlihatkan kegembiraan atas kesusahan yang menimpa saudaramu, bila tidak maka Allah akan mengasihani saudaramu itu dan akan memberi cobaan kepadamu.” (HR. At Turmudzy)
Read More

Guru yang Membunuh Muridnya

Suatu hari, seorang siswa SMP kelas 1 itu dengan semangatnya berangkat menuju sekolah… Di genggamannya, ada segulung kertas. Yah, itu adalah pajangan struktur kelasnya di mana ia mendapat kepercayaan untuk membuatnya. Dan pagi itu, ia akan menyerahkan karyanya kepada gurunya tersebut.
Betapa riangnya ia, karena ia telah membuat pajangan struktur kelas itu dengan sungguh-sungguh. Dan hasilnya, tentu saja jauh berbeda dari kelas-kelas lainnya yang hanya membuatnya di sebuah kertas polos, tanpa motif. Tapi ia, membuat struktur itu begitu berbeda. Penuh warna, penuh keceriaan. Dan hasilnya sungguh cantik.

Ketika sampai di kelas, ia menyerahkan pajangan struktur kelas itu dengan riang. Namun, ketika sang guru melihat karya muridnya itu, dia langsung berkata,
“Apaan ini! Struktur kelas itu tidak begini! Ada bagan-bagannya! Ini apa ini? Cuih!?”
Ceria kontan berganti muram di wajah sang murid. Jangankan apresiasi, ucapan terima kasih saja tidak ia terima dari sang guru! Justru yang ia terima adalah penyalahan! Dan, yang parahnya lagi, yang dipersalahkannya tidaklah salah! Itu sebuah kreativitas, yang bahkan tidak dimiliki oleh anak-anak lainnya!
Dan sang murid itu pulang, dengan tangis!

Andai guru itu tahu, bahwa sang murid telah mati-matian membuatnya, bahkan merelakan waktu belajarnya! Dua hari! Yap, dua hari ia membuatnya dengan penuh semangat!
Aku, sungguh merasa kasihan pada murid itu dan merasa sangat geram pada sang guru. Beginikah cara mendidikmu, Bu Guru?
Jika memang demikian, sungguh, kaulah pembunuh berdarah dingin!
Pembunuh yang membunuh karakter-karakter muridmu!
Jika banyak guru-guru lain yang bermental sepertimu, maka, negeri ini akan kehilangan banyak harapan!

Meski geram, aku pun sangat kasihan padamu, Guru macam ni! Kasihan sekali anak-anakmu. Tumbuh dalam asuhan ‘pembunuhan’mu!

Mari kita meneladani Rasulullah dalam memperlakukan seorang anak…
Dari Anar ra., berkata : “belum pernah saya memegang sutra baik yang tebal maupun yang tipis, yang lebih halus dari tangan Rasulullah saw.; dan saya belum pernah mencium bau yang lebih harum dari bau Rasulullah saw. Saya pernah menjadi pelayan Rasulullah selama sepuluh tahun, beliau sama sekali tidak pernah mengatakan ‘”hus” kepada saya, begitu pula beliau tidak pernah menegur dengan ucapan, “kenapa kamu berbuat seperti itu?” terhadap apa yang saya kerjakan, dan beliau juga tidak pernah menegur dengan ucapan “kenapa kamu tidak berbuat demikian” terhadap apa yang tidak saya kerjakan. (HR. Bukhari dan Muslim).

Masya Allah…
Perhatikanlah kalimat Manusia Agung yang ma’shum ini. Yang tidak punya kesalahan dan dosa ini. “kenapa kamu berbuat seperti itu?”, adalah kalimat-kalimat penyalahan. Dan beliau tidak pernah melakukannya kepada anak-anak! Lalu, apa hak kita untuk melakukan penyalahan itu, sementara kita juga banyak salah, banyak dosa dan begitu dhaif.
Read More

Pink Viruses

Berikut ini, bukan tulisanku loh. Hee... Hasil selancar niiih… Kebetulan terdampar di 'pulau' ini. Yaah, akhirnya 'kubawa' pulang...
Lucuuu banget....sekaligus menggelitik, dan mengena!
Yo wis, selamat membaca sahajaa...

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Akhi.....
Kemarin, Aku jatuh cinta padamu...
Sebuah rasa yang tak seharusnya singgah di hati ini. Ku biarkan bersemayam dan terus bersemi di sela-sela percakapan kita kala itu. Aku mungkin tak mengenalmu, kecuali di sini, di dunia maya ini. Tapi, sejuknya tuturmu dalam membahas setiap kemelut masalahku, mendekatkan jarak yang tak tersentuh itu di bilik hati.

Akhi,
Segalanya dimulai dari sini. Awalnya padamu, hanya rasa kagum saja yang ku beri. Kagum pada pemikiran-pemikiran mu yang cemerlang, kagum pada kesholehan yang kau tampilkan di ruang mayamu, kagum pada kata-kata penuh hikmah yang kau coret di sela-sela catatanmu. Tak lebih.
Lalu...
Kekaguman itu membuahkan rasa penasaran, betapa aku ingin mengenal pribadimu. Dekat.. dan lebih dekat lagi. Tapi, sebagai seorang akhwat, aku terlalu malu untuk mulai sekedar menyapamu terlebih dahulu (takut engkau menganggapku akhwat centil), berharap engkau menghampiri akupun tak lebih hanya sebuah mimpi (toh, aku tak begitu penting bagimu, bahkan engkau tak mengenalku walau secuil pun).

Hari-hari ku lalui sembari memikirkan cara untuk bisa memulai perkenalan denganmu. Aha!!! Aku tau!!! Kenapa aku tak memulainya dengan pura-pura bertanya masalah seputar fikih, politik atau bertanya apa sajalah. Aku yakin, engkau pasti akan membantu menjawabnya sebisamu. Nanti, perkenalan yang kuinginkan bisa dirajut dari sini.

Ekspedisi pun dimulai. Dugaan ku benar. Segala tanya ku kau jawab dengan sangat memuaskan. Atau bila ragu, kau janjikan menjawabnya di lain hari. Aku senang. sangat – sangat senang. Sebenarnya kau tak perlu menjelaskan lebih banyak lagi. Toh, terkadang aku sudah tau jawabannya. bahkan lebih tau banyak darimu. Di google bisa ku temukan beragam jawaban dari tanya yang ku lontarkan padamu. Dunia maya mempermudah segalanya.

Detik waktu berlalu. Atas kecerewetanku yang tak henti-hentinya mengejarmu dengan beragam pertanyaan, membuat Kita semakin akrab, lebih akrab dari yang ku duga. Selanjutnya aku tak hanya sering bertanya padamu, bahkan mulai berani menceritakan beragam masalah pribadi yang ku hadapi padamu (curhat gettoh). Engkau tak pernah menolak, bahkan kau tenangkan segala pikiranku yang kusut akibat kemelut masalah yang datang di segenap aktivitasku. Solusi yang berisi Kata-kata menyejukkan dan bijaksana itu menghadirkan rintik-rintik rasa yang entah, rintik-rintik rasa yang menggetarkan perasaan, menghadirkan gamang ketika percakapan-percakap an yang kita lalui sore itu harus berakhir ketika adzan maghrib memanggil. Huuuffttt...
Suatu ketika, kesibukan aktivitas yang menguras tenaga membuat ku tak sempat menyinggahi dunia maya hingga hitungan minggu. Ada rindu tak menentu (andai kau tau... bahkan ketika duduk, berdiri, berjalan, makan, bahkan mimpi-mimpiku semua berisi tentang kamu) menggodaku untuk kembali menapaki hari-hari penuh tawa bersamamu (shaaaaaaaaaaaaaaaa aaaap).
kubuka inbox pada emailku...
Waw!! Ada pesan darimu...
"Ke mana aja ukh, lama gak keliatan. Sepi juga nih gak ada anti"
Pada sederet kalimat itu, Senyum ku mengembang. Pipi ini merona merah jambu. Bahagia menelusup pada rindu-rindu yang ku pendam. Aku yang mudah tersanjung, yang mudah melambung, seketika merasa, perasaan yang ku biarkan tumbuh ini tak bertepuk sebelah tangan. Segera saja aku meluncur pada sebuah ruang tempat kita biasa berbagi cerita. Tak sabar ingin segera menyapamu lagi. Sayang, kau yang biasanya selalu duduk manis did aftar bangku sahabat-sahabat mayaku, kali ini tak kutemukan bersemayam disana. Kecewa ? tentu saja. Sebab tujuanku gentayangan disini hanya untuk bertemu denganmu.
Satu detik, satu menit, satu jam, terus kutunggu.. nyatanya kau tak jua hadir hari itu. Gerimis membasahi hatiku atas segenap rindu yang tak terbayar kali ini. Biarlah... mungkin kau sibuk, toh besok-besok aku bisa mencarimu lagi di sini. Aaah... coba kalo aku punya no. hape mu..

Esoknya kucoba lagi menunggumu disini, kau masih tak datang. 2 hari, 3 hari, 1 minggu.. tetap tak ada kabar. Lantas, malu-malu kucoba tanyakan keberadaanmu pada sahabat ku yang juga mengenalmu disini. Ternyata ia juga mencarimu.. >_< cemburu terbit dihatiku. Kemudian, dari deret-deret kalimatnya mengalirlah beragam cerita tentangmu malam itu. Ternyata ia mengenalmu jauh melebihi aku. Ia tahu segalanya tentang kamu. Bahkan tentang apa saja yang kau suka dan tak kau suka. Lama aku tenggelam dalam gemuruh curhatnya. Ternyata ia menyukaimu. Bahkan bermimpi untuk membangun rumah tangga bersamamu. Aku kaget. Bahkan tak percaya. "tapi ukhti....." ucapnya kala itu ... ada akhwat selain aku yang juga menyukainya, dan berharap sama seperti yang kuharapkan dan ku impi-impikan. " Kali ini kagetku berlipat-lipat. Aku pikir hanya aku satu-satunya wanita yang rajin kau sapa, tempat kau berbagi cerita, akhwat yang tak henti kau semangati untuk terus menuntut ilmu dan mengaji. Aku pikir hanya aku satu-satunya yang menaruh harap kepadamu. T_T. Nyatanya.... huuuuuuuuuuufft. . kutarik nafas dalam-dalam atas sesak yang menggerogoti rongga dadaku. Mataku mulai panas. Aku tak ingin berlama-lama disini, membaca seribu sikapmu yang tak pernah kuketahui. Kututup percakapan itu, lantas pulang dengan seribu kecewa dan mata berkaca-kaca.

Berminggu-minggu tak kusinggahi dunia semu penuh hayalan palsu yang sempat melukai hatiku itu, sampai akhirnya. kuputuskan untuk menemuimu lagi. Kali ini tak ada lagi nuansa rindu, secuilpun tidak. Kontemplasi panjangku di sudut kamar beberapa malam yang lalu, telah menyadarkan aku pada perasaan yang seharusnya tak pernah kubiarkan bersemi sebelum waktunya itu. Sebuah perasaan yang Allah haramkan menggerogoti hatiku. Zina perasaan. Aku sadar, hubungan kita di dunia maya kala itu adalah sebuah kesalahan. Dan syaithon membumbuinya dalam kegilaanku padamu. Aku hanya ingin memperjelas sikap-sikapmu padaku dan pada akhwat-akhwat yang kau tumbuhkan bibit cinta di hatinya itu.

Alhamdulillah, ternyata kali ini kau tak ke mana-mana. Ragu-ragu aku menyapamu. Kau membalas hangat sapaku, seperti biasa. Menanyakan kabarku, aktivitasku, dakwahku, semua tentang aku. Kujawab seadanya. Aku tak ingin terjebak kedua kalinya pada rasa yang salah.
"Akhi... adakah akhwat yang rajin bertanya padamu selain aku ?"
"Ya.." jawabmu datar. "Kenapa, ukh ?" lanjutmu penuh tanda tanya.
"Berdasarkan survey yang kulakukan belakangan ini, ternyata anta termasuk jajaran top ikhwan di fesbuk ini. Ternyata banyak akhwat yang mengidolakanmu. " Paparku.
"Oh ya ?? kok bisa sih ?? padahal ana biasa-biasa aja tuh." Masih datar.
"Mereka bilang.... dari sekian banyak ikhwan yang berkelana di dunia maya ini, antumlah yang paling bijaksana, paling ramah, paling baik, paling luas wawasannya, paling pengertian, paling perhatian, paling....."
"Eh ?? ntar..ntar.. " potongnya.
"Paling perhatian ? paling pengertian ?? paling ramah ?? waddoohh... ana gak ngerasa gitu kok ukh. Perasaan, ana biasa-biasa aja deh menyikapi mereka yang sering bertanya ke ana, ya.. seperti sikap ana ke anti lah..."
Aku tersedak. Kaget. Sumpah. kamu bilang sikapmu ke akhwat lain itu biasa aja, seperti layaknya kamu meladeni percakapanku ??
Tidakkah kamu sadar, bahwa sikapmu padaku –yang kau bilang biasa- itulah yang membuatku jatuh cinta padamu ?? lalu, bagaimana dengan berpuluh-puluh akhwat yang kau ladeni obrolannnya ?? ckckckckck.. . pantas saja banyak akhwat yang berpikir bahwa kau juga menyukai mereka, seperti aku.
"Akhi, bolehkah ana mengoreksi sikap anta itu sedikit saja"
"Ya, tafadhol ukh" jawabmu.
"Mungkin anta gak sadar bahwa kebaikan, keramahan, serta sikap-sikap yang anta bilang biasa itu telah menimbulkan sebersit rasa yang seharusnya gak timbul di hati akhwat yang anta bantu pecahkan masalah"nya, yang anta henti-henti anta semangati hari-harinya, yang tak putus-putus anta nasehati segala lakunya..."
"Rasa apa ??" selamu.
"Rasa cinta"
"Hah ???
Aku tau kau kaget.
"Ana gak berniat begitu ukh. sungguh. Mereka bertanya, ya ana jawab. Mereka konsultasi, ya ana kasih solusi donk. Mereka cerita, ya ana ladeni. Mereka menyapa, ya ana jawab. Ana gak mau disangka sombong. Semuanya ana sikapi biasa-biasa aja ukh. Tapi, kalo akhwatnya merasa begitu....."
Kutunggu kelanjutan pembelaanmu. Ternyata memang sengaja kau gantung hingga disitu. Kulanjutkan perkataanku "mungkin sikap seperti itu memang akan biasa-biasa saja, kalo lawan bicara anta itu sekaum dengan anta. Masih sebangsa ikhwan. Tapi, mereka akhwat akh.. perasaannya sensitif, mudah tersanjung, sedikit saja anta perhatian, mereka –termasuk ana- akan jadi berbunga-bunga (sebenarnya tergantung akhwatnya juga sich ^__^ kalo ana sih gak begitu Rei... Suuuerrrrrrr! !!!! Hihi). mereka akan berpikir, bahwa anta pun ada rasa terhadap mereka. anta tau kan.. semakin sering bertemu, semakin sering berbagi cerita, maka persentase djatoeh tjinta itu semakin besar ??"
"Lalu ana harus gimana ukh ?? cuek aja waktu mereka nanya ?? ana gak bisa sesombong itu...."
"Menurut ana..." jawabku
"Seharusnya dari awal-awal anta udah kasih lampu merah ke mereka. saat mereka bertanya ke anta, untuk yang pertama kali bolehlah anta jawab. Tapi selesai menjawab.. bukankah ada baiknya anta tawarkan mereka untuk berkenalan dan bertanya tentang apa yang tak mereka ketahui pada akhwat yg juga luas wawasannya, juga fakih dalam masalah agama seperti anta. Lantas jelaskan padanya berbagai kemudhorotan yang ditimbulkan dari interaksi ikhwan wa akhwat di dunia maya yang penuh teppu dayee ini. Bukankah ini lebih menjaga hatinya, juga hati anta ?? agar dikemudian hari tak kan ada sentakan-sentakan rasa segala. Yang penting.. jangan biarkan percakapan anta dan mereka berlangsung lama, berlarut-larut, bahkan sampe curhat-curhatan segala. Anta tau kan, khalwat di dunia maya juga berbahaya. ^__^. Ada setan di bangku tiga. (opleeeet kaleeeeeeeee)
"Yelah.. tapi jangan ana aja donk yang dinasehatin, akhwatnya juga dong. Biar gak nodong-nodong ana lagi dengan beribu pertanyaan" sewotnya.
"Yuuppz.. akhwatnya juga, jangan sekali-kali nanya ke ikhwan. Toh, di dunia maya ini juga banyak akhwat-akhwat yang lebih cerdas daripada anta. :p selain itu, pertanyaan-pertanya an yang timbul ini sebenarnya bisa dicari jawabannya di kamar mbah google, tul gak ??"
"Yaaaaaaaaaaaaaaaaa aaa…"
"Pada dasarnya, kita –akhwat atau pun ikhwan- tau bahaya keseringan interaksi di dunia maya ini bisa merusak hati. Tapi, kadangkala ghorizah nau' ini mudah terpancing untuk disalurkan. Merasa butuh perhatian dari lawan jenis (Padahal di rumah ada ayah, adik, atau abang-abang kita yang juga berlawanan jenis dengan kita, lebih suuaayang lagi ama kita) Kalau sudah begitchu, kenapa gak merit aja sekalian yah..
Duit mah, urusan belakangan. Toh, anak ayam yang baru lahir aja udah disiapkan Allah rezekinya. Apalagi kita, anak manusia yang udah dewasa, punya akal yang top cerrrr lagi.

copas dari : http://adreem68.multiply.com/journal/item/34/VMJ_Video_Music_Jokey_Atw_yg_Lain...

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Haha, sebenarnya sih, ‘ngeri’ jugak euy, mempaste tulisan orang, apalagi bertajuk ini. Hmmpphh… Tapi, sekali-sekali bolehlah… Hihi. Abis, kenak protes siih, “kenapa siih, masih bahas2 beginian? Bukankah ini manjagoan nan lah lalok?”
Hmmph….manjagoan nan lah lalok? Permasalahannya adalah ini semua, telah terjadi semacam pergeseran gituh. (sebenarnya, lebih tepatnya, menasihati diri sendiri loh…sstttt!)

Nah…nah…, dalam batasan interaksi ini, salah seorang sahabat pernah member masukan, dan sekaligus memberikan ‘definisi’ bagaimana dalam berinteraksi tersebut.

Dalam hal mu’amalah, konsepnya adalah semua hal boleh sampai ada dalil qath’I yang melarangnya. Lalu, bagaimana jika case nya adalah, SMS-an antara ikhwan dan akhwat? Adakah dalil qath’I yang melarangnya? Bagaimana sih, bagaimana interaksi itu masih digolongkan boleh, dan bagaimana yang tidak?”
Nah… nah…, dalam interaksi tersebut, dalam komunikasi, Cuma melibatkan dua hal. Petama pengirim dan penerimanya dan kedua isinya.
Jika isinya tidak bermasalah yah tidak apa-apa. Hati pun tidak akan bermasalah. Nah, berarti tiggal keadaan pengirim dan penerimanya. Jika hati mereka, atau salah satu mereka bermasalah, ya bisa jai masalah. Boleh jadi, putih yang dikirim, merah jambu yang diterima. Makanya, biar pesan yang disampaikan pas sesuai makna, kata-kata yang digunakan kudu jelas.

Alat dan sarana itu dihukumi sesuai tujuannya. Contoh, pisau, dia bisa jadi baik, jika tujuannya baik, missal buat qurban. Jadi buruk jika dipakai buat bunuhin orang. Nah, SMS dan media lain juga begitu. Tetaplah jaga adab. Jagalah Allah, maka Allah akan menjagamu.

Masalah VMJ, adalah masalah yang benar-benar menganggu da’wah. Nah plajaran yang dapat diambil adalah, “Janganlah pernah engkau sandarkan hatimu pada seseorang, sebelum ia halal bagimu.” Jadinya, segera tepis was-was syetan dengan senaniasa menjaga Allah di hati kita.
Read More

Duhai Diriku....!!!



Duhai diriku, apa yang kamu lakukan jika guru agamamu melakukan tes gerakan dan bacaan sholat, lalu member nilai atas praktek sholatmu itu?
Pasti kau akan menampilkan dengan penampilan sholat terbaik dan bacaan terfasih lagi khusyu’, bukan?
Dan, bukankah di kala itu, pikiranmu terfokus pada ujian itu, sehingga setiap gerakkan dan bacaannya kau lakukan dengan sebaik mungkin?
Dan bukankah yang kau harapkan adalah, gurumu memberikan nilai terbaik atas gerakan dan bacaan sholat yang kau peragakan, agar nilai yang tertera di ijazahmu tidak memalukan?
Bukankah demikian?


Duhai diriku,
Lalu bagaimana jika yang melakukan ‘tes’ itu adalah Rabbmu, yang hanya kepada-Nya lah ibadah itu dilaksanakan, yang langsung di hadapan-Nya? Yang mengetahui segalanya dengan sangat detil, jauh berkali lipat tak berhingga, dibandingkan pengawasan guru agamamu yang terbatas itu?
Adakah kau lakukan gerakkan paling sempurna dan bacaan paling fasih yang dilakukan dengan khusyu’?
Adakah kau lakukan yang terbaik?
Padahal, ini bukan lagi sekedar tes, namun, adalah yang sesungguhnya!


Wahai diri,
Adakah kau memberikan penampilan terbaik di hadapan Rabbmu?
Dan, adakah kau berusaha agar ‘nilai jazahmu’ di akhirat kelak bernilai baik dan tidak memalukan?

ÙˆَÙ‚ُومُوا Ù„ِÙ„َّÙ‡ِ Ù‚َانِتِينَ...
...Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyu'
Qs. Albaqarah : 238


Wahai diri,
Ingatlah, ketika amalan manusia diperlihatkan Allah kepada manusia, maka manusia itu akan tenggelam dalam keringatnya karena malu. Malu, karena semua yang pernah disembunyikan terkuak sudah. Tenggelam dalam keringat sendiri. Semata kaki,selutut, sepinggang, sebahu, bahkan termegap-megap. Lalu, apakah kau akan tengelam dalam keringatmu sendiri wahai diri?
Read More

Cita-cita Si Kakak


Ini kisah aku dan keponakanku. Namanya Ilfa. Tapi, kami biasa memanggilnya dengan sebutan “kakak”, karena ia anak pertama. Umurnya 7 tahun lebih. Sebentar lagi memasuki angka delapan.

Suatu hari, aku bertanya padanya, “Kakak, cita-citanya apa?”
Dengan semangat si Ilfa menjawab, “Mau jadi dokter!”, aku tersenyum. “Kalau Tek Pi?” Tanyanya polos.
“Hmm… jadi apoteker…”
“Apoteker itu apa?”
Hehe, aku sudah menduga pertanyaan ini akan muncul, toh sebelum aku menjawabnya, aku sudah begitu yakin si Kakak bakalan mempertanyakan pertanyaan ini.

Jangankan si Kakak, orang umur tiga puluhan atau empat puluhan aja, juga banyak yang mempertanyakan hal yang sama. “apoteker itu apa?”
Wah, parah yah? Padahal, dokter dan apoteker kan juga sama-sama mengikuti pendidikan profesi.
Dan, secara strata kependidikan, kan juga sama. Tapi, dokter lebih dikenal yah?

Hoo..iya! dokter! Hmm…cita-cita yang begitu generic. Begitu generalisata. Jika ada rating cita-cita, maka aku yakin, dokter adalah cita-cita dengan nilai tertinggi (setidaknya di negeri ini…). Dahulu, ketika MOSA berlangsung (MOSA adalah masa orientasi siswa asrama SMA 1 Padangpanjang) di mana, untuk mendapatkan seperdelapan tanda tangan (haha, tanda tangan ada seperdelapan, bahkan sepertigapuluhdua nya segala! Yang begini niih, cuma ada di MOSA), aku memberikan syarat kepada adik2 peserta MOSA, bahwa mereka harus menyerahkan biodatanya, lengkap! Itu syarat untuk mendapatkan setengah tanda tangan. Dan, setengahnya lagi, dengan syarat “Nanti temui kakak di kelas ipa satu yah.” Hihihi. Ada bermacam-macam syarat yang ada di MOSA itu, mulai dari ngitung jumlah cubadak di belakang kantor manjlis guru, bikin puisi, bikin cerpen, bernasyid ria hingga yang ngafal surat Annaba’. Ada yang menyaratkan seperdelapan tanda tangannya untuk 5 ayat surat An-Naba’. Jadi, untuk menggenapkan menjadi satu tanda tangan utuh, ia harus menyetorkan 40 ayat annaba’. Masya Allah. Dan, harus mendapatkan 120 tanda tangan Uda-Uni—untuk kelas2—Abang-dan Kakak—untuk kelas 3. Jika tidak mendapatkan semuanya, siap-siap nguras kocek buat bayar pengacara di persidangan Mahkamah Asrama. [halaah, buat apa sih bahas2 MOSA segala! Hehe. Tapiiii, bagemanapun, bagi siswa asrama SMAN 1 Pdg Panjang, MOSA adalah momen menarik yang tak terlupakan. Hihi].
Dari 60 orang siswa asrama yang menyerahkan biodatanya kepadaku, lebih dari dua pertiganya menuliskan dokter sebagai cita-cita. Hmm…dan seingatku, tidak satupun yang menuliskan apoteker. Hehe, sama sepertiku yang sama sekali tak pernah bercita-cita menjadi apoteker dulunya. Bedanya dengan kebanyakan mereka, akupun tidak menuliskan dokter sebagai cita-cita. Hehe.

Tapi, ya sudahlah… sebagai seorang apoteker (cieee, sebagai seorang apoteker skarang cuy! Hihi) aku emang harus terima kenyataan ini, bahwa profesiku ini belumlah dikenal. Lagian, aku pun sudah sering bertemu pertanyaan yang sama, yang membuat aku harus punya segudang cerita untuk menjelaskan apa itu apoteker. Sudahlah…sedang tak ingin membahas hal ini.

Hanya saja, mari kita petik satu hal saja. Kenapa, cita-cita harus senantiasa dilekatkan dengan kata profesi?
Tanya : “Apa cita-citanya?”
Jawab : “Mau jadi dokter, apoteker, polisi, pilot, hakim, guru, arsitek, atau programmer”. Hmm…kenapa?!
Jika memang demikian, maka sungguh sangat terbatas sekali cita-cita itu. Tidak bisa dilakukan sekaligus. Misalnya, tidak ada apoteker yang merangkap sebagai polisi. Tidak ada arsitek yang merangkap sebagai dokter. Iya tho?!

Kenapa tidak dari dahulu, diajarkan, bercita-citalah sebanyak-banyaknya! Setinggi-tingginya (kalau setinggi-tingginya sih sering. Tapi, sebanyak2nya…hmm…jarang!) Dan, jangan hanya kaitkan dengan profesi saja, sebab, menjadikan mereka memburu kerja, bukan?
Coba misalnya, cita-citanya, nanti mau masuk surga… Cita-citanya nanti, mau lebih pinter dari orang Yahudi. Cita-citanya nanti, jadi ibu rumah tangga yang baik (ups! Hihi). Cita-citanya nanti pengin kaya’ Abdurrahman bin Auf, yang kaya tapi dermawan. Cita-citanya, mau bikin peradaban islami. Cita-citanya, jadi penyuplai dana untuk kegiatan-kegiatan yang melawan arus global warming….eh salah…arus ghozwul fikry. Cita-citanya, mau mengusai dunia informasi dan teknologi, biar pencitraan islam lebih baik lagi, biar paradigm masyarakat dunia tidak melekatkan islam dengan teroris. Hayooo….

Hehe…
Hanya sekedar wacana saja. Mari meluaskan arti cita-cita, karena panjang pendeknya nafas perjalanan kita, sejauh mana cita-cita kita (haha, kata2 yang begitu sering diulang2. Apakah membosankan membacanya? Hihi. Tapi, kuberharap, semoga memberikan semangat. Itu saja.)
Read More

Bukit Ladang

Cihaaa….asyiiik, masuk hutan lagih! Hehe. Jadi ingat KL dulu uy. Masuk hutan, kluar hutan. Nah, nyang ini tak jauh beda. Masuk hutan ke luar hutan juga. Banyak acek juga. Banyak karo juga. Dan, disangek panyangek juga. Hehe. Hmm…, kali ini perburuannya menuju lading, di sebuah perbukitan. Hiiyy…, rada-rada serem sih. Tapi, banyak objek menarik di sini. Hee…

Dapet oleh-oleh deeeh..^__^















Read More

Kenapa PNS???


Perjalanan 70 km pp, menuju Ibu Kota Kabupaten. Hmmph… Sejujurnya, aku jarang sangad mengunjungi ibu kota Kabupaten sendiri. Hehe. Abisnya, posisinya bertolak belakang siiih, sama perjalanan menuju Padang. Tapi, kalo udah ke sana, biasanya, begitu banyak objek photo menarik. Pemandangan kebun teh yang luaaaaaaasss sangadh, di kaki gunung kerinci. Waah, subhanallah, cantiq banget.

Kali ini, tujuannya ke kantor depnaker. Hahay…, mulai jadi pencaker niih saia. Hmmph… *nasheeeb jadi pengangguran. Bahkan, pulsa aja kaga kebeli. Hiks…hiks….

“Ibuk, apoteker yah?” Tanya Bapak dengan kisaran umur 40 tahun itu. Aku mengangguk. Ini berlangsung Ketika aku mengurus surat-surat itu.
“Apoteker, kenapa maujadi PNS Buk?” si Bapak mengeluarkan pertanyaan retoris.
“Ng…uhm….” Aku hanya bisa menggumam saja, sambil nyengir. Abisnya, aku sendiri pun tidak bisa menjawab pertanyaan itu dengan yakin.
“PNS itu gajinya kecil, kerjanya setumpuk. Ini nih, lihat nih.” Si Bapak menunjukkan setumpuk berkas-berkas yang entah apa isinya.
Lalu, keluarlah ‘taujih’ dari si bapak, betapa tanggungan Negara itu cukup banyak, dengan gaji pegawai tersebut. Sebagai seorang apoteker, dengan beban kerjanya yang sebegitu, harus mendesain bagaimana harga obat bisa murah, sementara produksi obat itu sendiri mahal harganya. Aku akui ini. Semua menjadi polemic tersendiri bagi pharmacist. Yup, soal harga obat ini. Betapa, mendesain suatu formula, dari API (active pharmaceutical ingredient) itu, hingga jadi obat jadi yang siap dipasarkan, butuh dana hingga trilyunan. Pantas saja, Negara kita hanya bisa “nyontek” formula dari Negara maju. Semuanya import. Jika begini, bagaimana bisa menekan obat? Sementara, jika dilihat di kalangan masyarakat yang ekonominya menengah ke bawah, tentu tidak snaggup beli obat semahal ini. Dan disinilah letak kerja berat pharmacist itu. Di antara polemik2 itu. Hmmphh…

Pada dasarnya, aku tidak suka kemonotonan. Aku suka berkreasi, dan begitu fluktuatif. Sebenarnya, apapun bisa ‘dijadikan’ duit. Mau dari kreatifitas, mau dari “otak kiri”, mau dari hobby. Tapiiii, yah itu tadi. Modalnya? Investasinya? Aah, bukankah kebanyakan pengusaha sukses berawal dari nol? Berawal dari susah-susah dulu. Berawal dari kepahitan dulu. Setelah ia banyak makan asam garam Bronsted Lowry kehidupan, barulah kemudian mulai menapaki kesuksesan.

Humph…, PNS…
Tapi, jika ditelik dari sudut pandang lain, Menjadi PNS tentu ada baiknya juga. Reformasi Birokrasi misalnya? (hahay, gaya cuy!). Tapi, reformasi mana bisa dilakukan dengan infirodi yah? Hee… Setidaknya, jika menjadi PNS, maka menjadi tugaslah ia, apa yang disebut dengan profesional pharmacist di bidang pengadaan. Bagaimana, biar orang miskin dapat obat. Tidak hanya orang kaya saja yang bisa beli obat. Ini tentulah bukan tugas yang ringan.
Ah, yang terpenting, lakukan yang terbaik… di mana pun itu, dan menjadi apapun itu.


*Aih, jadi rada ngaur yah, tulisan ini. Abisnya, aku menuliskannya ketika idenya udah menguap siiih. Ya sudahlah! Hee…
Read More

Ruh-Ruh Baik, Penuh Kebaikan


Sungguh beruntunglah mereka… sungguh beruntunglah… Beruntunglah mereka yang apabila kita membersamainya, membuat kita ingat kepada Allah…

Tapi sodaraku, bukan berarti begini. Bukan berarti ketika kita naek angkot, lalu sang nakhoda, eeh…sang supir maksudnya, melarikan itu andong..ehh..angkot dengan kecepatan 180 km per jam, lalu membuat kita langsung beristighfar dan langsung ingat mati, langsung ingat Allah, dan langsung ingat bahwa amal-amal kita masih sedikit… Hehe. Bukan….bukan yang seperti ini yang kumaksudkan.

Tapi, orang-orang yang ketika kita bersamanya, jangankan mendengarkan kalimatnya saja, cukup memandangi wajahnya, telah menyejukkan hati kita dan membuat kita ingat kepada Allah, dan membuat kita ingin melakukan kebajikan karenanya. Masya Allah. Sungguh luar biasa mereka itu. Sungguh luar biasa, mereka yang memiliki ruh-ruh yang baik itu.

Pernahkah kau rasakan? Mungkin pernah. Ada kalanya, ketika kita berjumpa dengan seseorang, lalu, yang kita rasakan hanyalah sekedar mimpi-mimpi dunia belaka. Atau, bahkan hanya ngalor-ngidul saja. Hanya canda-canda saja. (Astaghfirullaah…astaghfirullaah…barangkali kita—terutama diriku—adalah pelakunya).

Namun, ada kalanya, ketika berjumpa dengan seseorang, yang kita rasakan justru pancaran kebaikan. Mungkin ia tak banyak berkata-kata. Tapi, sedikit nasihatnya saja, sudah membuat kita ingin berlama-lama dengan kebajikan. Karena mereka berbicara birruh… dengan ruh, dengan bukti nyata amal perbuatannya. Tidak sekedar kata. Sungguh, beruntunglah mereka itu.

Memang, ruh, iman, adalah sesuatu yang yazid wa yanqus. Ada kalanya naik, ada kalanya turun. Dan, sungguh adalah suatu yang absurb jika seseorang terus berada di puncak grafik keimanan, selalu. Bukankah sudah fitrahnya begitu? Bahkan, kata seorang ustadz, “tidak masalah jika kita ‘kehilangan’ hafalan, karena dengan demikian, kita akan berusaha untuk menjemput dan kembali menjemputnya. Dengan demikian, ia akan menjadi salah satu ceruk amalan bagi kita. Ia yang akan menjadi pendapar bagi ruhiyah kita.” Bukan berarti ini membenarkan atas ‘kehilangan’ itu. Tapi, ini menyoal kontinutas barang kali.

Maka, sungguh, berkumpul dengan ruh-ruh shalih itulah yang kemudian menjadi salah satu ‘obat hati’ bagi kita. Orang-orang yang dengan melihatnya, akan mengingatkan kita kepada Allah. Ruh itu, akan senantiasa mempengaruhi, satu sama lainnya.

Jika memang demikian, tidaklah salah, jika kesendirian (tanpa jama’ah) atau memisahkan diri dari jama’ah akan lebih cepat mengoksidasi iman. Akan lebih cepat membuat kita menurun ke lembah ter-kritis grafik sinus keimanan. Karena, ruh-ruh itu saling mempengaruhi.

Dahulu, dalam sebuah diskusi pernah dipertanyakan, “hei, buat apa siih, ngumpul2 begitu? Bikin halaqoh—bikin lingkaran—begitu? Apalagi, kapasitas sang pembicaranya tidak selalu dari latar keagamaan yang jelas-jelas kafa’ah ilmunya bukan fiqh, ‘aqidah, hadits, apa pun itu?” Maka, jawabannya ada pada ruh-ruh yang saling mempengaruhi. Bahkan—seperti yang sudah kita singgung tadi—jangankan bicara, berkumpul saja, menatap wajah saja, sudah memberikan charger energy ruhiyah buat diri kita. Dan, jika hanya mengandalkan ilmu dari pertemuan yang singkat dengan kelompok-kelompok kecil saja, barang kali kita sudah salah persepsi. Karena, toh, sarananya bukan hanya ada kelompok itu saja. Masi tersedia sarana-sarana lain yang memang diisi oleh orang-orang yang berkafa’ah di bidangnya. Iya kan?
(haduuuuh, maap yaah, pembicaraannya jadi melenceng nih).

Jadi, sungguh…berkumpul dengan orang-orang shalih itu, akan mendatangkan obat hati bagi kita.
Read More

Hidup Bermatematika


Fungsi, persamaan kuadrat, titik maksimum, akar persamaan, pertidaksamaan. Lha, ini kan ‘bahasa’ anak SMA? Haha, iya, betul! Ini bahasa yang menjadi bahasan anak SMA. Tapi, kemudian juga harus menjadi ‘bahasa’ku. Yaaah, itung-itung buat ngasah otak kirilah. Hihi.

Sebenarnya, ini adalah plajaran-plajaran yang sudah ‘kutinggalkan’ sejak 8 tahun silam. (eh, 5 tahun silam ding! Karna kan masi berguna buat SPMB..hehe). Lima tahun di bangku perkuliyahan, aku tentu sama sekali tidak menyinggung grafik x di titik (3,5) dengan persamaan y=f(x)=4x-8. Haha, kaga nyambung! Maksudnya, aku sama skali kaga menyinggung plajaran2 yang berbau-bau persamaan kodrat (dan harkat dan martabat begini. Hihi). Tapi, tiba-tiba saja, aku harus menjadi guru (dadakan) matematika SMA. Hehe. (Kapan2, mending bikin bimbel atau ngajar privat gituuh, biar ada pemasukannya jugak. #OtakBisnis a.k.a MatreMulaiJalan#. Hihi).

Jika ingat belajar matematika, maka, aku ingat pernyataan salah seorang ukhty yang kebetulan adalah mahasiswa matematika dulunya. (Kusebut ‘dulunya’, karena sekarang ia sudah S.Si, bukan mahasiswa lagi. Hehe). Begini kira-kira kalimatnya, “Hidup bukan untuk matematika, tapi Matematika untuk hidup.”
Sebetulnya, aku susah payah memahami maksuddi ukhty. (Aaah, payah lo!). Matematika untuk hidup?!

Dan, sekarang aku mulai sedikit paham maksud ukht tsb, walaupun tak sepenuhnya paham. Hehe. Satu hal saja sebenarnya yang akan diajarkan kepada adik-adik tersebut, terhadap plajaran-plajaran semacam matematika, dan fisika, dan sejenisnya dah! MEMAHAMKAN KONSEP dari PLAJARAN itu sendiri. Yep, memahami konsepnya! Jika konsepnya tidak ‘duduk’, maka, sedikit saja dirubah gaya soalnya, maka, mereka akan kebingungan. (ini bukan berarti aku semasa SMA selalu paham sepenuhnya konsep matematika loh yah. Bisa Tanya temen2 SMA-ku deh, bahwa aku sesungguhnya bukan orang-orang yang berada di papan atas soal plajaran. *Nasheeeeb jadi orang menengah kebawah yah begini. Hehe.) Dan, kalo boleh jujur, aku baru paham konsepnya, justru ketika aku akan mengajarkannya kepada adik-adik SMA ini. Intinya, memandangnya dari sisi yang gobal, bahwa ini niiih, begini loh!

Tapi, ada plajaran berharga yang perlu kita petik di sini, tentang pemahaman atas konsep yang mendasari. Memahami diin ini, dan memahami apa yang mendasarinya. Yep, diin ini! Sama seperti memecahkan matematika. Ketika paham konsep, mau seperti apa gaya soalnya, ia akan dapat menyelesaikan dengan baik. Berbeda dengan orang gak paham konsep, ketika bentuk soal diubah sedikit, ia menjadi kebingungan menjawabnya. Nah, dalam diin ini, konsep yang mendasari itu, adalah ‘aqidah. Jika ‘aqidahnya sudah ‘duduk’, maka, mau bentuk apa saja penyimpangannya, maka ia pasti akan dapat memfilternya. Makanya, muwashofat pertama itu adalah salimul ‘aqidah. Aqidah yang bener dulu.

Mungkin di masyarakat kita melihat, adanya tradisi-tradisi yang telah ‘mencampuradukkan’ antara ‘aqidah yang benar dan salah. Membakar kemenyan untuk memperingati kematian. Memakai rempah-rempah biar anak tidak terkena ‘palasik’. Berobat ke dukun dan mengambil tanah kuburan, memberikan sesajen. Dan masi buanyaaaaak lagi, hal-hal lain yang seolah-olah menjadikan makhluk sebagai perantara turunnya kelapangan dari Allah. Dan, ini seolah-olah telah mengakar dan membudaya. Astaghfirullaah. Barang kali, tiadalah yang dapat kita lakukan, kecuali membekali diri kita dengan ilmunya, pengamalannya, lalu, mulai perlahan-lahan ‘membersihkannya’, dari keluarga kita, lingkungan kita. Sulit memang, tapi, insya Allah bisa. Perlahan-lahan.
Allahu’alam bish showab.
Read More

Mempersepsi Hidup


Beberapa hari yang lalu, telpon selulerku berdering nyaring. Rupanya, sebuah panggilan dari Psikolog-ku. (Halaaaaaah, gaya cuy! Pake psikolog segalaa. Hehe). Kami berkenalan secara tak sengaja ketika duduk bersebelahan di atas bus, ketika hendak menghadiri suatu dauroh dulunya. Tiga tahun silam tepatnya. Rupanya, kami menuju maksud dan tujuan yang sama. Dan, masya Allah, luar biasanya, sang psikolog ini, tiba-tiba saja, aku merasa begitu dekat dengannya. Barang kali karena, kami ‘nyambung’ banget kali yaah? Bukankah ruh-ruh itu ibarat prajurit yang berbaris? Yang saling mengenal akan saling menyapa ramah, dan yang tak saling mengenal akan saling menjauh. (haduh, lupa nih, redaksionalnya. Intinya ya gitu deh…). Ini adalah….kesesuaian ruh, barang kali. Yang jelas, yang kurasakan adalah…aku mencintainya karena Allah, meskipun ia bukan tipe orang yang suka kata-kata gombal. Hihi.

Kami bercerita panjang lebar dan tertawa. Lalu, aku bertanya mengenai kabarnya, bagaimana kondisinya? Ia menjawab, “Uni dalam keadaan baik-baik saja. Dan kondisi di sini, luar biasa menyenangkan!”
Aku mengernyitkan dahi.
Sebab, sebelumnya, aku juga ditilpun oleh ukhty fulanah yang berada di tempat yang sama dan waktu yang sama dengan si Uni, dan menceritakan kondisi yang sebaliknya. Ia mengatakan, “kondisiku hari ini tidak begitu baik. Sangat menyesakkan.”
Lalu, kepada uni psikolog kutanyakan, “kenapa Uni bisa mengatakan hal yang sangat bertolak belakang dengan ukhty fulanah, sementara uni berada di tempat dan waktu yang sama?”
Lalu, si uni menjawab, “HIDUP ITU TERGANTUNG BAGAIMANA KITA MEMPERSEPSINYA.”

Yup, I got the poin! Tergantung bagaimana mempersepsinya. Kita mungkin, sudah sering mendengar filosofi sesendok garam, segelas air dan sebuah telaga. Di mana, jika sesendok garam jika dimasukkan ke dalam segelas air akan membuat air itu asin. Sementara jika di dalam telaga, sedikitpun telaga tak berasa asin. Dan, garam itu adalah masalah sementara air dalam gelas dan telaga, adalah sempit atau lapangnya hati kita dalam mempersepsi suatu masalah. Hehe, kau pasti sudah sering membaca cerita ini, bukan?

Memang, begitulah. Namun kadang, jika kita berada di posisi si ukhty fulanah, mungkin tanpa kita sadari kita juga berada dalam kungkungan persepsi yang sama. Yang dibutuhkan adalah, energy bagaimana agar kita bisa keluar dari kungkungan itu.

Mari sejenak belajar dari si bocah kecil yang bermain air di atas. (fotonya di ambil di telaga murni, Parak Gadang , Sol Sel. Haha, jangan kamu suudzhan pula kalau aku ‘mancigok’ orang mandi! Hihihi). Lihatlah ekpressinya. Begitu bebas, tanpa beban.

Meskipun anak-ana yang baru mengenal dunia, mereka tetap memiliki masalah. Kita pun dulunya, ketika masih anak-anak, kita pun punya masalah kan yah? Masalah yang tentu saja sesuai dengan umur kita kala itu. Tapi, anak-anak begitu cepat menyelesaikan masalah! Hanya sebentar saja, lalu sudah lupa. Kembali ceria. Kembali tanpa beban. Lalu, kenapa ketika sudah dewasa, kita memikul masalah begitu berat di pundak? Mengapa kita tidak belajar saja dari si bocah yang berkspressi lepas tanpa beban itu? Bukankah kadar masalah itu berbanding lurus dengan kemampuan kita menyelesaikannya?

Naah…so what?
Hayuuk, mari merubah persepsi! Hayuk..hayuuk…
Read More

Meranggas



Sungguh, aku tak ingin meranggas sepertimu, Sunkist…
Menguning, dan jatuh perlahan…
Yang kemudian tak sanggup memberikan manismu, untuk mereka yang memetikmu…


Aku tak ingin meranggas…
Sungguh aku masih ingin di sini…di jalan ini…
Dan, aku hanya ingin, jika sampai waktuku, dengan sebuah pengakhiran yang manis…juga di jalan ini…
Read More

Horison Senja


Kutatap horison di langit senja…
Pada garis-garis lembayung dan nila…
Senja-senja pada masa-masa yang tak lagi sama…


Senja, meredup…berharap fajar asa kan menyingsing…


Ingin segera kutinggalkan senja, menuju benang putih sang fajar itu…
Tapi, siapakah yang dapat menjamin, akan ada senerai fajar esok, membersamaiku bersama asa baru?
Read More

Tujuh Negeri


Hehe, maaf teman. Aku hanya ingin sedikit berceritera saja. Barang kali tak banyak yang bisa kau bawa pulang dengan ceritaku kaliini. Tapi, sudahlah! Aku hanya ingin sedikit bercerita saja…

Dua tahun lagi, insya Allah—jika Dia berkenan menyampaikanku pada masa itu—aku berada di lini seperempat abad. Sungguh, begitu kencang waktu berlari. Padahal, masi kemarin sore rasanya, aku gegap gempita melarikan sepeda baru hadiah dari ibu karena ikut lomba matematika dengan masi mengenakan rok merah kembang dan seragam putih berlengan sesiku.

Pada masa nyaris seperempat abad ini, setidaknya aku telah memiliki tujuh negeri yang dijejaki. Negeri-negeri, dengan cerita-cerita yang berbeda.

Negeri pertama dan paling utama itu, adalah…kampungku, Solok Selatan. Muara Labuh. Lebih kecil lagi, Nagari Pasir Talang. Dulu, waktu masi kanak-kanak, nama desaku adalah BSM yang kepanjangannya (tentu saja bukan Bandung Super Mall), sebab di kampungku yang permai ini, tidak ada mall. Kepanjangannya adalah Bandar Gadang, Sipotu, Mudiak Lawe. Jadi, desa BSM ini adalah gabungan ketiga negeri kecil ini. Dan, aku berada di satu kampong kecil yang bernama Mudiak Lawe ini. Masa kecilku, sejak mengenal kata dan huruf, adalah di sini, di pinggir bukit ini. Rumahku, adalah rumah kayu. Bekas rumah gadang dulunya, yang dirombak pasca gempa besar. Tentu saja ketika gempa besar itu aku belum lahir, karena ibuku saja belum lahir. Hihi. Di sini, kuhabiskan sebagian besar masa SD-ku. Masa kanak-kanak. Masanya bermain. Di pinggir bukit, bersama sungai-sungai jernih.
Aku menyebut negri ini…negeri pelabuhan!

Lalu, negri kedua…adalah Sawah Lunto. Kota Sawah Lunto, adalah kota kuali, karena ia seolah terkurung dilereng-lereng yang dikelilingi perbukitan. Ini kepindahan pertamaku menuju negri yang lebih kota, sejak aku “bapangana”. Karena ibuku, dipindahtugaskan ke kota ini. Di kota ini, pada mulanya, aku semacam orang kampong yang sesekali menginjak kota. Bahasa Indonesia yang belepotan (hingga sekarang pun, hihi). Dan, gedung sekolah yang jauh lebih megah ketimbang sekolahku di kampong yang di kaki bukit itu. Aku, anak kampong yang lugu. Sehingga, diperebutkan genk-genk di kelasku.
Aku menyebut negri ini..negeri prestasi!

Negri ketiga adalah…Padangpanjang.
Jika sudah bercerita tentang negri ini, maka, mungkin aku takkan kehabisan bahan. Tapii, tentu takkkan kuurai sepanjang itu. Yang jelas, bagiku…setiap sudut kota ini, adalah kenangan. Jika aku boleh membuat skala prioritas negri, maka, negri ini akan menjadi nominasi kedua setelah kampungku. Enam tahun masa adolensia, masa pencarian jati diri kuhabiskan di kota ini. Selalu saja menarik bagiku. Dan, di sini pula kutemukan cinta. Cinta sejati. Di sini kutemukan cahaya. Cahaya yang menerangi. Cahaya di atas cahaya.
Maka, aku pun menyebut negri ini…negeri cinta!

Negeri keempat adalah…Padang.
Padang adalah kota dimana aku dilahirkan, dan kota dimana aku mulai mengeja kata. Sebutan “Abuuu…” untuk ibu, kala itu. Ketika umurku genap satu tahun. Lalu, 17 tahun kemudian, aku kembali lagi ke kota ini, dengan tujuan yang berbeda. Kali ini, perburuan ilmu. Perjuangan.
Maka…, aku menyebut negeri ini…negeri perjuangan!

Negeri kelima adalah…Bukittinggi.
Di antara semua negeri yang kusebut, negeri inilah yang paling singkat masa domisiliku. Hanya seumur PKP saja. Tapi, cukup meninggalkan kenangan yang membuat aku jatuh cinta, pada setiap jengkalnya. Apalagi soal jalan-jalan dan kuliner. Hehe. Maka, aku menyebut negeri ini…negeri rehat!

Negeri keenam adalah…Payakumbuh.
Sebenarnya, kurang tepat disebut Payakumbuh juga. Lebih tepatnya, Tanjung Pati. Tapi, kusebut Payakumbuh saja. Seperti laiknya Agam yang sering disebut Bukittinggi karena lebih terkenal, maka barang kali begitu pula ceritanya negeri ini. Jika, di masa dulu, ibuku yang harus mukim ke Sawahlunto karena pindah tugas, kali ini giliran ayahku. Meskipun wajah negeri ini belum terekam jelas dalam ingatan, tapi, setidaknya, insya Allah untuk empat tahun kedepan, negeri ini akan menjadi negeri paling sering kusambangi. Jika umur, kesempatan, dan kesehatan masih dianugrahkannya. Setelah ini, akan ada tiga atau empat ‘periuk’. Dan di mana-mana, tetap saja perpisahan, apalagi dengan orang yang dicintai, adalah suatu hal yang sangat tidak menyenangkan! Aku menyebut negeri ini…negeri divergen!

Lalu, negeri ketujuh?
Negeri ketujuh ini….kusebut negeri X. Negeri yang jelas saja tidak ada dalam rekam ingatan, karena masa itu belum terjadi. Meski, pada sketsa hidup kutuliskan, bahwa aku ingin menghabiskan separuh masa dengan pengabdian pada kampungku tercinta, tapii, tetap saja kehendak Allah pasti berlaku. Pasti yang terbaik!! Entah itu di kampungku, atau akan ada nama-nama negeri lain.

Negeri-negeri…
Kita tidak pernah tau, entah di negeri mana kita akan mengakhiri kefanaan dunia ini. Tapi, yang bisa kita lakukan adalah menyiapkan, endingnya seperti apa. Semoga Allah menjadikan penutup hari-hari kita, adalah dengan sebaik-baik amal penutup. Sungguh, amalan itu tergantung pada ujungnya. Pada seperti apa akhirnya.
Read More

Launching : Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu

Jika kamu keliling2 gramed, maka datangilah salah satu rak fiksinya, dan temukanlah buku bersampul merah ini. Judulnya, menarik, menurutku. PEREMPUAN BAWANG dan LELAKI KAYU. Karya ini merupakan hasil goresan tangan penulis muda Sumatera Barat dengan nama pena Ragdi F Daye. Karya Bang Ade ini, sudah bertebaran di berbagai media dan sangat ‘menggelitik’. Pemilihan diksinya baik, dan begitu deskriptif, sehingga ketika kita membacanya, kita bisa membayangkan bahwa kita tengah menyaksikan adegan langsung ceritanya. Uhm…menarik bukan?

Dari dulu, aku memang selalu tertarik dengan tulisan-tulisan Bang Ragdi F Daye, yang juga Mantan Ketua Umum FLP Wilayah Sumbar periode 2006-2008 ini. Kritikan dan masukan dari Bang Ade dalam setiap bedah karya (sekarang akrab dengan sebutan KRISTAL=Kreasi Menulis Tapi Lauik) selalu nyelekit dan mengena sasaran. Dua novelku (yang tentu saja masi sangat amatiran itu) tidak lepas dari kritikan dan masukan dari teman-teman FLP smuanya, dan salah satunya adalah dari Bang Ragdi F Daye, yang mencoret-moretnya dengan spidol merah. Hehe, syukran Bang.

Jika ingin berkenalan langsung dengan beliau, ini niiiih, ta’ kasi photonya bersama keluarga. Bahkan Syafa, putri pertama beliau, juga ikut meramaikan acara ini. Hehe.

Nah…nah…., berkaitan dengan terbitnya buku Bang Ade ini, maka, segenap pengurus FLP Sumbar, mengadakan Launching dan Bedah Buku, yang bekerja sama dengan FKWPI FBS UNP, tepatnya tanggal 17 Oktober 2010 (yang juga bertepatan dengan MILAD ketua Umum FLP Sumbar 10-12, Ukhty Siska Oktavia).

Alhamdulillaah….bedah buku ini terangkatkan dengan sukses. Wah, menyesal sekali rasanya, aku tidak banyak berpartisipasi dalam salah satu rangkaian agenda milad FLP Sumbar yang ke-10 tahun ini. Waah, masya Allah, pesertanya melebihi batas quota. Hee…

Di sini, ketemu penulis-penulis euy. Juga para ‘dedengkot’ FLP’ers dari jamannya Bang Melvi Yendra (Ketua Umum Pertama FLP Sumbar). Juga diramaikan oleh FLP Kids Solok dibawah asuhan Kak Tadzkiyah (Yeyen Syafrina). Serruuuu euy…

Tak ketinggalan, kami ‘memburu’ Papa Rusli jugak euy, minta foto maksudnya. Hihi. Papa Rusli adalah penulis lintas generasi. Beliau, dilahirkan di Bukittinggi, pada tahun 1936 Silam. Salah satu buku beliau adalah “Mangkutak di Negeri Prosaliris.”

Satu plajaran berharga bagiku dalam acara ini….yaitu….betapa, aku sudah jauh ketinggalan. Dari buku-buku yang berjejer di rak bazaar, ada banyak bertebaran karya-karya teman-teman sesama FLP’ers. Tinggallah aku, yang sama sekali belum tercantum namanya di buku-buku itu. Uhm…., kapan yah? Smoga suatu saat nanti. Hayuuu, bersemangat laaagiiii!

Teringat aku, akan apa yang disampaikan Ukhty Siska Oktavia ketika menutup acara ini. “FLP…adalah salah satu organisasi yang bergerak di bidang kepenulisan dimana “da’wah bil qalam”, berda’wah lewat pena adalah sebagai tujuan utamanya.”


Menulis, insya Allah adalah pekerjaan mulia. Dan, ia adalah investasi masa depan yang barang kali umurnya lebih panjang dari umur kita. Mungkin ketika kita telah menyatu dengan tanah, dan jika karya kita masih dibaca orang dan diamalkan, itu artinya kita telah menabung investasi untuk akhirat kita, insya Allah. Ia bisa saja berumur sampai ratusan tahun.

Jika menyampaikan kebaikan sebagai ‘tujuan terapeutik’ dari menulis maka, kita barang kali juga akan bertemu ‘efek samping’ nya yaitu : mendapatkan royalty dari penerbit, Koran or majalah dan berpeluang menjadi orang terkenal yang tanda tangannya dihunting banyak orang. Hehehe. Dalam teori obat, sebaiknya efek samping diminimalisir dan efek terapeutik dioptimalkan. Begitu juga dalam menulis. Jangan mengejar efek sampingnya dulu, dan melupakan efek terapeutiknya.

Kesimpulannya…hayuuuuu, semangat lagi yuuuk, nulisnya!
Read More

Misteri Tepung Gula


Uhm...Bagi kamu nyang suka bikin kue, pasti deeh, pada tau, kue mentega. Haha, ya iyalaah, yang suka makan kue (bukan yang membuat kue) ajah tau apa itu kue mentega. Apalagi nyang bikin!
Nah, salah satu komponen pembuat kue mentega itu adalah tepung gula alias gula yang sudah dihaluskan sehingga menjadi bubuk kan yaah?

Hee...
Ngomong-ngomong soal tepung gula, aku punya pengalaman menarik niih.
Jadi, begini ceritanya.
Suatu hari, aku pengin membuat secangkir teh.
Nah, kala itu ada gula yang dalam bentuk serbuk alias tepung gula dan ada yang gula saja.
Menurut teori yang kupelajari, semakin luas permukaan suatu partikel, maka kelarutannya akan semakin meningkat. Karena, dengan adanya luas permukaan yang sedemikian rupa, akan memperluas pula ikatannya dengan H2O (alias air) sehingga kelarutannya akan semakin cepat. Semakin halus suatu partikel, maka semakin luas permukaannya.
Begitulah kira-kira yang kuplajari (kalo tak salah, dalam pelajaran farfis atau kimfis. hehe. Aku pun sudah (agak) lupa, di mata kuliah yang mana dan pada semester berapa. hihihi).

Nah...nah..., critanya, skaliyan mempraktekkan apa yang kuplajari, pun saat itu aku juga tidak begitu punya banyak waktu untuk sekedar mengaduk secangkir teh (halaaaah, macam orang sibuk ajaaaah. hihihi). Nah, kupilihlah serbuk gula. Biar cepat larut. Begitu, pikirku.

Eeh,...Masya Allah...
Tak dinyana, ternyata, serbuk gula itu hanya mengambang saja di atas permukaan air. Justru ia tak larut.
Aku jadi heran setengah mati. Koq bisa begini yah? Padahal, menurut teorinya kan begitu yah? Ataukah, dalam bentuk serbuk, berta jenis gula menjadi lebih ringan dari air sehingga ia tak larut? Ataukah, terjadi juga pemutusan ikatan kimia dengan adanya penumbukkan? Tapi, ini kan perubahan fisis yang tidak mengubah sifat kimia suatu partikel? Aku jadi bingung sendiri. Dan, sampai saat ini, aku belum menemukan jawaban, kenapa tepung gula (yang notabene) juga berasal dari gula, bisa tidak larut dalam air. Ada yang mau mengajariku?

Ah, mari kita lupakan saja misteri tak melarutnya gula ini buat sejenak, dan mari kita ambil plajarannya dari kisah ini...
Pelajaran yang dapat kita ambil di sini adalah, meskipun dengan maksud yang sama, dengan precursor yang sama, pun dengan tujuan yang sama, tapi cara penyampaiannya yang berbeda, TERNYATA HASILNYA MENJADI BERBEDA. Seperti gula dan tepung gula di atas. Meskipun sama-sama dari gula, dan meskipun sama-sama dilarutkan dengan air yang sama, ternyata, masing-masingnya memberikan kelarutan yang berbeda.
Dalam berkata-kata pun demikian. Ada kata-kata yang benar, dengan maksud dan tujuan yang benar, tapi cara penyampaiannya yang salah, akan menimbulkan reaksi yang berbeda bagi si penerimanya. Bisa jadi, sesuatu yang awalnya tujuannya baik, malah lebih buruk akibatnya disebabkan salah dalam memilih sikap dalam penyampaiannya.

Barang kali, demikian pula hikmahnya, dalam mengajak orang lain pada kebaikan...pada yang ma'ruf itu, mestilah BILHIKMAH...dengan cara yang baik pula. Agar tujuannya pun tersampaikan. Jangan seperti tepung gula (yang penuh misteri itu).
Allahu'alam bish showab...

Read More

Para Pencari Kebahagiaan


Kita barang kali tidak perlu rumit untuk memikirkan bagaimana mekanisme bahagia. Bahagia, sesungguhnya hanyalah sebuah perkara sederhana. Namun, tak banyak yang Cuma-Cuma mendapatkannya.

Jika kita telik dan telusuri, maka sesungguhnya, setiap perilaku manusia akan menuju pada satu ordinat kecil saja. Yah, kebahagiaan itu sendiri. Jika banyak yang memikirkan, bahwa dengan memperoleh uang banyak akan melahirkan kebahagiaan, maka sebanyak itu pula orang-orang berlomba-lomba untuk mendapatkan uang, yang pada akhirnya menuju ordinat kebahagiaan itu sendiri. Pertanyaannya, apakah benar uang akan menjanjikan kebahagiaan? Belum tentu! Jika yang menjadi titik goal dari kebahagiaan itu adalah serentetan gelar di ujung dan pangkal nama, maka kita melihat begitu banyak pula orang yang mengejarnya. Ordinatnya apa? Lagi-lagi kebahagiaan. Lalu, apakah benar ia menjanjikan kebahagiaan hakiki?

Pada sisi lain, banyak orang yang mengakhiri hidupnya, dengan cara yang begitu tragis. Juga karena, sisi kebahagiaan yang tiada lagi bersemayam di hati mereka. Maka, sesungguhnya, lagi-lagi, arus gradient itu terkonsentrasi pada kata sederhana bernama kebahagiaan!

Coba, kita renungkan sejenak. Dahulu, jika kita masih duduk di bangku sekolah dasar, kita membayangkan, “bagaimana yah, nanti kalo sudah SMP?”. Lantas, ketika sudah SMP, semua terasa biasa-biasa saja. Euporianya, hanyalah sesaat saja. Pun begitu seterusnya. Sama halnya dengan ketika kita bertanya, bagaimana sih rasanya mendapat gelar sarjana, magister atau bahkan professor? Barang kali, bahagianya hanya sesaat saja. Namun, setelahnya, semua kembali terasa biasa-biasa saja. Hal senada, barang kali juga kita rasakan ketika dahulu kehidupan kita serba susah. Lalu, ketika Allah mulai melapangkan rizki. Euphoria yang sesaat lalu kemudian semuanya terasa biasa-biasa saja. Hal ini semua sudah cukup menjelaskan betapa uang, kedudukan, gelar dan hal-hal yang bersifat duniawi lainnya hanyalah menjanjikan kebahagiaan sesaat. Hanya sesaat saja. Bahkan, barangkali ia kemudian menjadi begitu adiktif, selalu minta lebih dan lebih, yang katanya untuk mendapatkan kebahagiaan. Tapi, jika memang demikian, terlalu sempit makna bahagia itu.

Lalu, bagaimana sebenarnya buffer kebahagiaan itu, hingga ia tetap “long term” di dalam hati?
Bagaimanakah?

Hanya ada satu kata dalam mengkatalis terjadinya kebahagiaan. Yaitu, CINTA!
Karena, cinta adalah energy yang begitu menggerakkan. Mungkin, adalah hal klise jika dikatakan, “seorang pemalas tiba-tiba menjadi rajin, karena jatuh cinta. Dan, seorang yang begitu kasar dan keras, tiba-tiba menjadi lembut dan puitis karena cinta.” Tapi, memang begitulah adanya cinta. Kekuatan besar yang mengubah. Tak lekang oleh zaman, dan tak mengenal kata klise.

Coba, kita rasakan sejenak. Bukankah adalah kebahagiaan, ketika kita bisa membuat orang yang kita cintai bahagia? Ketika kita mencintai ayah dan ibu kita, maka adalah kebahagiaan ketika kita bisa membuat beliau berdua bahagia, tak peduli diri kita berpeluh payah? Dan, itu juga sebaliknya. Bahkan, barangkali secara eksponensial sudah berpangkat tak berhingga. Seorang ayah, atau ibu, tidak pernah peduli dengan peluh payahnya, bahkan berdarah-darah, hanya karena ia ingin, anak yang ia cintai bahagia! Lagi-lagi, sebenarnya, kata kunci atas bahagia adalah cinta!

Seorang pencinta, akan selalu ingin membuat apa yang dicintainya bahagia. Bahagia. Yah, bahagia! Ia, akan begitu cemas dan khawatir, jika sedikit saja ia melukai seseorang yang ia cintai itu. Apa yang ia cintai itu.

Dan, cinta pula yang menjawab, kenapa seorang Bilal bin Rabbah, budak Ethiopia, itu rela menerima siksaan yang amat pedih. Karena, kebahagiaan yang ia rasakan atas cintanya pada Allah, jauh di atas kebahagiaan semu ketika ia dilepaskan dengan siksaan itu. Kebahagiaan yang merdeka dan letaknya di hati. Cinta pula yang membuat sosok Agung Rasulullaah, tidak pernah rela menukar da’wah beliau dengan tawaran harta, kedudukan dan wanita-wanita. Bahkan, beliau membuat metaphor yang jauh lebih dahsyat. “Andai matahari di tangan kananku, dan rembulan di tangan kiriku, maka aku takkan rela meninggalkan da’wah ini.” Semuanya karena cinta. Dan, cintalah yang kemudian melahirkan kebahagiaan.

Cinta yang tak terjamah logika lah, yang menghadirkan kebahagiaan itu. Kebahagiaan yang takkan pernah terjajah, dan ia tak pernah lekang. Kenapa para syuhada’ itu justru sangat bahagia, jika ia terkena panah, padahal sesungguhnya secara logika itu menyakitkan? Karena, ada kebahagiaan hakiki atas cinta itu.

Iman itu…sesungguhnya menjanjikan kebahagiaan. Karena, hanya dengan imanlah, seseorang bisa menangis, kala ia tak terbangun malam. Hanya karena imanlah.
Dan, kunci semua itu adalah cinta….

Rahasianya, adalah….
“….Dan orang-orang yang beriman SANGAT BESAR CINTANYA kepada Allah…”
(Qs. AL Baqaroh : 165)

Cinta yang di atas segala cinta. Dan, bahagia yang di atas segala kebahagiaan. Yap, inilah rahasianya. Ada pada surat cinta-Nya ini…


Dzulqo’dah, 1431 H… Terinspirasi dari Qs. 2 : 165
Read More

Dose Tapering Off


Teman, barangkali kita pernah mempelajari, membaca ataupun sedikit tau tentang tapering off? Bagi teman-teman yang pada kuliyah di farmasi ataupun barangkali (mungkin) di FK tentulah yah, ngerti mengenai tapering off ini. Bagi temen-temen yang lain selain pharmacist, uhm….baiklah, sedikit kita jelaskan mengenai dose tapering off ini. Tapering off merupakan penurunan dosis obat tertentu ketika hendak dihentikan penggunaannya. Tujuannya adalah agar tubuh kita tidak ‘kaget’ dengan adanya penghentian obat yang tiba-tiba. Tidak semua obat dilakukan dose tapering off nya. Hanya untuk obat-obat tertentu yang memiliki efek sama tubuh, yang dilakukan tapperingnya. Contohnya adalah deksamethason, prednisone, dsb. Tapering off juga berlaku buat obat-obat psikotropika semisal diazepam, alprazolam dan obat-obat sejenis.

Nah…nah…, berhubung sekarang aku lagi tidak pengin membahas masalah obatnya (insya Allah kalo masalah obat-obat dan dunia yang terkait kefarmasiannya, kita bahas di lain waktu, dan insya Allah di postingnya di blog satu lagi… yang khusus membahas masalah kefarmasian yaitu www.fathelvi.wordpress.com). Aku hanya ingin mengambil analog dengan adanya tapering off ini.

Mari kita telik mengenai tapering off dan poin apa sebenarnya yang menjadi goalnya. Di sini,kita lihat, goalnya itu adalah, penurunan dosis sehingga sang tubuh yang ‘gak nyadar’ kalo itu dosis telah dikurangi dan dihentikan dari tubuh. Jika dihentikan secara ekstrim, secara langsung, maka tubuh serta merta akan bereaksi atas itu.

Jika di atas adalah dose tapering off, maka sekarang kita berbicara soal ‘dosa tapering on’. Astaghfirullah… Sungguh, barang kali kita sering mengabaikan dosa-dosa kecil. Sungguh, setiap keburukan dan kemaksiatan yang kita lakukan itu, akan perlahan-lahan mengalami ‘adaptasi’ dengan hati yang penuh dengan dosa. Kemaksiatan yang mengalami tapering on. Yang perlahan-lahan. Dahulu, mungkin kita merasa sangat risih dengan dosa yang kita lakukan itu, dengan kemaksiatan kecil saja. Tapi, perlahan-lahan, ia menjadi biasa-biasa saja, dan hati kita tidak lagi peka dengan dosa-dosa itu. Yah, ia telah mengalami tapering on. Dan masya Allah, hati kita, sebagai makhluk yang paling sensitive, sampai-sampai tidak peka lagi dengan dosa-dosa itu. Astaghfirullaah…

Bukankah setiap kebaikan yang kita lakukan, akan mendatangkan keinginan kita untuk melaksanakan kebaikan lainnya, dan bukankah kejahatan yang kita lakukan pun akan menghendaki kejahatan yang lain untuk dilakukan?

Smoga ini semua menjadi pelajaran bagi diriku terutama, dan bagi kita semua, bahwa jangan sampai kita melakukan DOSA TAPERING ON, sebuah tapering atas segala kemaksiatan, sehingga sensitivitasnya atas noktah itu menjadi lemah. Sehingga, tak terbedakan lagi mana yang masih dalam koridor-Nya dan mana yang tidak. Semoga dengan ini, menjadi bahan evaluasi bagi kita, agar kita tidak meremehkan dosa-dosa kecil.

Dari Anas ra berkata: “Sesungguhnya kamu sekalian sekarang melakukan perbuatan-perbuatan yang kamu anggap sangat enteng padahal pada masa Rasulullah saw perbuatan-perbuatan semacam itu kami anggap termasuk hal-hal yang merusak agama.” (Hadits Riawayat Bukhori)

Dari Abu Hurairah ra, berkata, Rasulullah SAW bersabda : ”“Termasuk kesempurnaan Islam sesorang yaitu ia meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi dirinya. (HR. At Tarmudzy)
Read More

Hafidz

CERPEN

Pagi dengan kicauan burung yang merdu, bertasbih pada-Nya. Embun fajar pun masih terasa menyegarkan. Kania masih saja asyik bergelut dengan mushaf di tangannya dan sibuk komat kamit menghafalkannya. Sesekali diliriknya juga mushaf itu, jika ada yang terlupa. Dia terus mengulang dan lagi-lagi mengulang Surah Annisa’ ayat 24 hingga 26 itu. Inilah rutinitas yang senantiasa di lakoninya, dan dia sungguh sangat menikmati itu. Sebuah kenikmatan yang takkan rela ia tukar dengan apapun kenikmatan dunia lainnya, meskipun seluruh kekayaan bumi dilimpahkan padanya.

Kania, gadis belia yang satu tahun lalu menamatkan studinya di Manajemen, Fakultas Ekonomi di sebuah universitas negeri di kotanya. Orang tuanya, berharap, suatu saat, anak semata wayangnya itu akan mewarisi perusahaan kertas milik ayahnya. Gadis cantik semampai dengan hidung bangir itu pada mulanya, juga diharapkan bisa menjadi public figure dengan modal parasnya yang lumayan. Sebab, pada beberapa kali momen, dia seharusnya menjadi duta wisata, di Propinsinya. Namun, ia melepas semua kesempatan yang justru diidamkan kebanyakan perempuan itu, tepat pada momen puncaknya.

Kehidupan kampus membawanya kepada hidayah yang membuatnya enggan mengikuti momen2 yang lebih mengutamakan menampilkan fisik itu, kendatipun kedua orang tuanya sangat ingin. Ia lebih memilih menutupinya dengan jubah lebar dan jilbab panjangnya.

Setelah melakukan muraja’ah hafalannya ba’da subuh, Kania turun ke dapur membantu mamanya menyiapkan sarapan pagi.
“Bagaimana, Kania? Katanya mau Hafidz? Itu, sudah ditawarkan, koq malah ndak mau?” Ini adalah kalimat pembuka dari mulut sang mamanya ketika ia baru saja sampai di dapur. Bibirnya langsung mengkerucut. Ia tersenyum kecut.

Haduuuh, mama, lagi-lagi masalah itu!Ia membatin.

“Kok diem aja sih?” Mamanya kembali bertanya.
“Haduuuh, mama kusayang….” Hanya itu gumaman yang keluar dari mulutnya.

Ingatannya melayang pada peristiwa demi peristiwa. Mamanya, yang pengin menimang cuculah. Dan, tawaran-tawaran yang datang dari relasi bisnis papanya. Mulai dari yang sesama SE, hingga yang sudah MBA. Mulai yang mengelola perusahaan kecil hingga direktur dan eksekutif muda yang kaya raya. Tapi, semuanya hanya menjadikan uang sebagai standardisasi. Dan, bagi Kania, itu semua belum memenuhi criteria!

Hingga, setelah lelah dengan semua penolakkan itu, mamanya akhirnya pasrah dan bertanya sebenarnya, maunya Kania yang seperti apa.
Dijawabnya dengan sekulum senyum kala itu, “Mama, Kania pengennya siiih, belajar Al Qur’an dulu, barulah nanti memikirkan berkeluarga.”
“Tapi Nak, kamu itu sudah 24 tahun! Sudah cukup dewasa. Sekarang cerita deh ke mama, maunya yang bagaimana. Kalau Kania suka, meskipun dia bukan seorang menejer yang punya perusahaan, mama setuju koq.”
Lagi-lagi, Kania hanya mengulum senyum. “Ma, apa yang mama sampaikan itu baik, dan Kania pun tidak ada alasan untuk mengelak. Dan, jika itu baik buat urusan dunia dan akhirat Kania, baiklah Ma, Kania pun akan berusaha untuk melirik ke arah sana.” Kania berkata bijak. “Kania maunya yang Hafidz , Ma”

Dan, selang beberapa minggu setelah itu, mama benar-benar membawa seorang Hafidz ke rumahnya. Kania kaget bukan main. Lalu ia pun tertawa, tapi mati-matian ia tahan cukup dalam hati. Pasalnya, sang mama tercintanya membawa seorang yang BERNAMA HAFIDZ. Haduuh, mamaku sayang. Bukan yang bernama Hafidz, Mama! Tapi, yang Hafidz.

Mamanya kontan heran, dan bertanya-tanya, Hafidznya yang bagaimana. Sudah dibawakan seorang Hafidz pun, masih saja ditolak. Dengan sabar, akhirnya Kania pun menjelaskan Hafidz yang ia maksud adalah seorang penghafal Al Qur’an. Dan, pagi ini pun, mamanya masih mengusik masalah yang sama. Masalah hafidz.

“Ma, bisnis kita sekarang mulai menanjak naik.” Kania berusaha mengalihkan topic. Dan, akhirnya dua ibu dan anak itu pun larut dalam perbincangan menyoal bisnis mereka. Dan, kania pun menarik nafas lega.

***


Beberapa bulan setelah itu, pembicaraan Hafidz pun mulai mereda. Mungkin mamanya juga sulit menemukan seseorang yang Hafidz. Dan, untuk sementara, Kania bisa bernafas lega.

Sesungguhnya Kania bukan tidak memikirkan apa kehendak mamanya. Dan ia pun menyadari akan masalah umurnya. Apalagi perempuan. Tapi, ia serahkan bulat-bulat urusan ini pada Allah semata. Jika ditanya soal keinginan hatinya, aa sesungguhnya ingin terlebih dahulu mendalami ilmu Al Qur’an dan pengamalannya. Ia ingin menikmati ini terlebih dahulu. Toh, bukankah Allah tidak akan menyia-nyiakan ima hamba-Nya? Allah lebih tau mana yang terbaik untuknya. Ia, tidak terlalu khawatir soal jodoh, seperti kekhawatiran mamanya, sebab, ia SANGAT YAKIN dengan apa yang Allah tengah siapkan untuknya. Apalagi, ketika ia berusaha menjadi “keluarga Allah”. Menjadi

Hingga, suatu hari mamanya dengan sumringah menyuruhnya berganti pakaian dan mengatakan dengan bangga bahwa akan ada seseorang yang datang. Pada akhirnya, Kania mengikuti apa maunya sang mama, dan berganti pakaian. Ia bertanya-tanya dalam hati, siapakah gerangan itu?

“Kali ini benar-benar Hafidz lho, Kania. Bukan seseorang yang bernama Hafidz. Tamatan sekolah tinggi agama gituh.” Sang mama seperti tahu saja apa yang ada di benak Kania. Kania kaget. Benarkah?

Sore itu, Kania di hadapkan pada sosok yang katanya Hafidz. Masya Allah benar-benar hafidz. Ia dapat menyebutkan dan membacakan ayat yang diminta Kania, juz berapa, ayat berapa, surat apa pun. Namun, satu hal yang Kania tidak habis pikir, kenapa pula asap rokoknya tidak berhenti mengepul? Dan, dengan bangga pula menyatakan bahwa dalam satu setengah tahun ia telah hafal Al Qur’an karena IQ-nya yang tinggi. Baginya, menghafal itu mah gampang. Sungguh, Kania tidak habis pikir dibuatnya. Bagaimana seorang penghafal Al Qur’an bisa bersikap demikian?

Pun, ketika laki-laki itu berlalu dari rumahnya, dan mamanya menanyakan kesediaanya, ia langsung menggeleng dengan hati sedih. Amat sangat sedih. Bukan karena ia tidak mendapatkan seorang hafidz tersebut, tapi karena ia sangat sedih, ada seorang Hafidz yang sikapnya begitu, yang tidak henti-hentinya menghisap rokok. Yang sikapnya sedemikian rupa congaknya.

Beberapa menit setelah itu, ia telah sampai di rumah guru ngajinya, dan menumpahkan segala apa yang menyesakki jiwanya. Tentang kesedihannya, mengapa ada seorang penghafal Al Qur’an yang akhlaknya demikian?

Sang guru ngajinya kemudian tersenyum. Dan menjelaskan, bahwa ada orang-orang yang membaca dan menghafalkan Al Qur’an, akan tetapi Al Qur’an itu melaknat dirinya, ini seperti yang dikatakan oleh Anas bin Malik, ra. Ia membaca “ala la’natullah ‘ala dzalimin, sementara ia la orang yang dzalim itu. Mengapa hal itu terjadi? Karena ia menghalalkan apa yang diharamkan Al Qur’an dan mengharamkan apa yang dihalalkan Al qur’an.

“Intinya di sini adalah siddiqunniyah. Kejujuran dan kebenaran hati kita dalam niat mempelajari ayat-ayat-Nya. Jika hanya ingin mendapatkan pujian manusia, ingin dikatakan sebagai seorang Hafidz, yaah, tentu saja akhlaqnya tidak mencerminkan demikian.
Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abi Hurairah ra., Rasulullaah saw bersabda, “Orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah seseorang yang dinilai mati syahid. Orang itu dihadirkan, kemudian kepadanya dibeberkan nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepadanya, lalu dia mengetahui hal itu. Kemudian Allah swt bertanya, ‘Apa yang kamu lakukan terhadap nikmat-nikmat itu?’ ia menjawab, ‘Aku berperang membela agama-Mu hingga aku mati syahid’. Allah SWT berfirman, ‘Kamu berdusta karena kamu berperang hanya untuk dikatakan pemberani dan itu sudah dikatakan orang.’ Kemudian diputuslah perkaranya, ia diseret dnegan tertelungkup dan ia dilemparkan ke neraka. Kemudian seseorang yang telah mempelajari Al Qur’an, mengajarkannya, dan membaca Al Qur’an. Orang itu dihadirkan, kemudian kepadanya disampaikan nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepadanya, lalu dia mengakuinya. Kemudian Allah swt bertanya, ‘Apa yang kamu lakukan terhadap nikmat-nikmat itu?’ ia menjawab, ‘Ak mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya kepada manusia dan ak membaca Al Qur’an demi Engkau.’ Allah SWT berfirman, ‘kamu berdusta karena kamu mempelajari Al Qur’an agar dikatakan sebagai orang alim, dan engkau membaca Al Qur’an agar manusia mengatakanmu sebagai qari. Dan itu sudah dikatakan orang.’ Maka kemudian diputuskan, ia diseret dengan tertelungkup dan ia dilemparkan ke neraka. Selanjutnya seseorang yang Allah SWT berikan keluasan harta dan bermacam-macam kekayaan. Orang itu dihadirkan, kemudian kepadanya dibeberkan nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepadanya, lalu dia mengetahui hal itu. Kemudian Allah swt bertanya, ‘Apa yang kamu lakukan terhadap nikmat-nikmat itu?’ ia menjawab, ‘setiap aku mendapati jalan dan usaha kebaikan yang Engkau senangi agar aku nafkahkan hartaku untuknya, aku segera infaqkan hartaku demi-Mu.’ Allah SWTmengomentari jawaban itu, ‘Kamu berdusta karena kamu melakukan itu semua agar dikatakan sebagai seorang dermawan dan itu telah dikatakan orang.’ Maka kemudian diputuskan, dan ia ia diseret dengan tertelungkup dan ia dilemparkan ke neraka.”
Masya Allah….
Tiada yang dapat menjamin diri kita. Tiada!
Bahkan, pun ketika Alla putuskan bagi seseorang itu surga, belum tentu ia memasukinya karena amalan-amalan yang dilakukannya. Itu, tiada lain adalah karena Rahmat Allah. Jadi intinya, kita berusaha untuk selalu mendekatkan diri pada-Nya, merayu-Nya. Adakah sesuatu yang lebih tingi dari pada keridhaan-Nya?

Sungguh, tidak pantas bagi seorang penghafal Al Qur’an ikut wara-wiri dengan kemaksiatan2 itu.

Kania tercenung mendengarkan penjelasan guru ngajinya. Benar0benar tercenung. Sungguh, dirinya pun begitu banyak maksiatnya. Begitu banyak. A
staghfirullaah…. Nastaghfirullaah…

Maka, muncul tekad di hatinya, untuk memperbaiki, dan menjadi lebih baik lagi. Tidak! Yang aku inginkan bukan hafidz yang demikian. Tapi, seseorang yang berafiliansi terhadap Al Qur’an. Membacanya, mengamalkannya, hanya karena Allah. Sungguh, akan berbeda ruh orang-orang yang memiliki siddiqunniyah dalam mempelajari Al Qur’an dengan orang-orang yang hanya sekedar meghafalkannya sebagai sesuatu utinitas, apalagi ingin dikatakan sebagai seorang hafidz/hafidzah!

“Kalau para penghafal A Qur’an mengambilnya dengan haknya apa yang seharusnya, niscaya mereka akan dicintai Allah. Namun, mereka mencari dunia dengan Al Qur’an itu, sehingga Allah SWT marah terhadap mereka dan mereka pun menjadi hina di hadapan manusia.”

Diriwayatkan dari Abu Ja’far bin Ali dalam firman Allah SWT, “Maka mereka (sembahan-sembahan itu) dijungkirbalikkan ke dalam neraka bersama orang-orang yang sesat. (Qs. Asy Syu’ara’ : 94). Ia berkata, “Mereka adalah kaum yang menceritakan kebenaran dan keadilan dengan lidah mereka, namun mereka justru melakukan yang sebaliknya.”

Astaghfirullaah lii wa lakum…
Na’udzubillahi min dzalik…
Berselindung kita kepada Allah… semoga Allah senantiasa tunjuki kita jalan kebenaran.


nb : Potongan cerita di atas tentu saja hanyalah fiktif belaka (namanya jugak cerpen yang notabene fiksi yak? Hihih). Jika ada kesamaan nama, tokoh, sifat, tempat de es be, itu hanyalah kebetulan belaka tanpa perlu adanya tendensi kepada siapapun.


Dzulqo'dah 1431 H
Read More