Hafidz

CERPEN

Pagi dengan kicauan burung yang merdu, bertasbih pada-Nya. Embun fajar pun masih terasa menyegarkan. Kania masih saja asyik bergelut dengan mushaf di tangannya dan sibuk komat kamit menghafalkannya. Sesekali diliriknya juga mushaf itu, jika ada yang terlupa. Dia terus mengulang dan lagi-lagi mengulang Surah Annisa’ ayat 24 hingga 26 itu. Inilah rutinitas yang senantiasa di lakoninya, dan dia sungguh sangat menikmati itu. Sebuah kenikmatan yang takkan rela ia tukar dengan apapun kenikmatan dunia lainnya, meskipun seluruh kekayaan bumi dilimpahkan padanya.

Kania, gadis belia yang satu tahun lalu menamatkan studinya di Manajemen, Fakultas Ekonomi di sebuah universitas negeri di kotanya. Orang tuanya, berharap, suatu saat, anak semata wayangnya itu akan mewarisi perusahaan kertas milik ayahnya. Gadis cantik semampai dengan hidung bangir itu pada mulanya, juga diharapkan bisa menjadi public figure dengan modal parasnya yang lumayan. Sebab, pada beberapa kali momen, dia seharusnya menjadi duta wisata, di Propinsinya. Namun, ia melepas semua kesempatan yang justru diidamkan kebanyakan perempuan itu, tepat pada momen puncaknya.

Kehidupan kampus membawanya kepada hidayah yang membuatnya enggan mengikuti momen2 yang lebih mengutamakan menampilkan fisik itu, kendatipun kedua orang tuanya sangat ingin. Ia lebih memilih menutupinya dengan jubah lebar dan jilbab panjangnya.

Setelah melakukan muraja’ah hafalannya ba’da subuh, Kania turun ke dapur membantu mamanya menyiapkan sarapan pagi.
“Bagaimana, Kania? Katanya mau Hafidz? Itu, sudah ditawarkan, koq malah ndak mau?” Ini adalah kalimat pembuka dari mulut sang mamanya ketika ia baru saja sampai di dapur. Bibirnya langsung mengkerucut. Ia tersenyum kecut.

Haduuuh, mama, lagi-lagi masalah itu!Ia membatin.

“Kok diem aja sih?” Mamanya kembali bertanya.
“Haduuuh, mama kusayang….” Hanya itu gumaman yang keluar dari mulutnya.

Ingatannya melayang pada peristiwa demi peristiwa. Mamanya, yang pengin menimang cuculah. Dan, tawaran-tawaran yang datang dari relasi bisnis papanya. Mulai dari yang sesama SE, hingga yang sudah MBA. Mulai yang mengelola perusahaan kecil hingga direktur dan eksekutif muda yang kaya raya. Tapi, semuanya hanya menjadikan uang sebagai standardisasi. Dan, bagi Kania, itu semua belum memenuhi criteria!

Hingga, setelah lelah dengan semua penolakkan itu, mamanya akhirnya pasrah dan bertanya sebenarnya, maunya Kania yang seperti apa.
Dijawabnya dengan sekulum senyum kala itu, “Mama, Kania pengennya siiih, belajar Al Qur’an dulu, barulah nanti memikirkan berkeluarga.”
“Tapi Nak, kamu itu sudah 24 tahun! Sudah cukup dewasa. Sekarang cerita deh ke mama, maunya yang bagaimana. Kalau Kania suka, meskipun dia bukan seorang menejer yang punya perusahaan, mama setuju koq.”
Lagi-lagi, Kania hanya mengulum senyum. “Ma, apa yang mama sampaikan itu baik, dan Kania pun tidak ada alasan untuk mengelak. Dan, jika itu baik buat urusan dunia dan akhirat Kania, baiklah Ma, Kania pun akan berusaha untuk melirik ke arah sana.” Kania berkata bijak. “Kania maunya yang Hafidz , Ma”

Dan, selang beberapa minggu setelah itu, mama benar-benar membawa seorang Hafidz ke rumahnya. Kania kaget bukan main. Lalu ia pun tertawa, tapi mati-matian ia tahan cukup dalam hati. Pasalnya, sang mama tercintanya membawa seorang yang BERNAMA HAFIDZ. Haduuh, mamaku sayang. Bukan yang bernama Hafidz, Mama! Tapi, yang Hafidz.

Mamanya kontan heran, dan bertanya-tanya, Hafidznya yang bagaimana. Sudah dibawakan seorang Hafidz pun, masih saja ditolak. Dengan sabar, akhirnya Kania pun menjelaskan Hafidz yang ia maksud adalah seorang penghafal Al Qur’an. Dan, pagi ini pun, mamanya masih mengusik masalah yang sama. Masalah hafidz.

“Ma, bisnis kita sekarang mulai menanjak naik.” Kania berusaha mengalihkan topic. Dan, akhirnya dua ibu dan anak itu pun larut dalam perbincangan menyoal bisnis mereka. Dan, kania pun menarik nafas lega.

***


Beberapa bulan setelah itu, pembicaraan Hafidz pun mulai mereda. Mungkin mamanya juga sulit menemukan seseorang yang Hafidz. Dan, untuk sementara, Kania bisa bernafas lega.

Sesungguhnya Kania bukan tidak memikirkan apa kehendak mamanya. Dan ia pun menyadari akan masalah umurnya. Apalagi perempuan. Tapi, ia serahkan bulat-bulat urusan ini pada Allah semata. Jika ditanya soal keinginan hatinya, aa sesungguhnya ingin terlebih dahulu mendalami ilmu Al Qur’an dan pengamalannya. Ia ingin menikmati ini terlebih dahulu. Toh, bukankah Allah tidak akan menyia-nyiakan ima hamba-Nya? Allah lebih tau mana yang terbaik untuknya. Ia, tidak terlalu khawatir soal jodoh, seperti kekhawatiran mamanya, sebab, ia SANGAT YAKIN dengan apa yang Allah tengah siapkan untuknya. Apalagi, ketika ia berusaha menjadi “keluarga Allah”. Menjadi

Hingga, suatu hari mamanya dengan sumringah menyuruhnya berganti pakaian dan mengatakan dengan bangga bahwa akan ada seseorang yang datang. Pada akhirnya, Kania mengikuti apa maunya sang mama, dan berganti pakaian. Ia bertanya-tanya dalam hati, siapakah gerangan itu?

“Kali ini benar-benar Hafidz lho, Kania. Bukan seseorang yang bernama Hafidz. Tamatan sekolah tinggi agama gituh.” Sang mama seperti tahu saja apa yang ada di benak Kania. Kania kaget. Benarkah?

Sore itu, Kania di hadapkan pada sosok yang katanya Hafidz. Masya Allah benar-benar hafidz. Ia dapat menyebutkan dan membacakan ayat yang diminta Kania, juz berapa, ayat berapa, surat apa pun. Namun, satu hal yang Kania tidak habis pikir, kenapa pula asap rokoknya tidak berhenti mengepul? Dan, dengan bangga pula menyatakan bahwa dalam satu setengah tahun ia telah hafal Al Qur’an karena IQ-nya yang tinggi. Baginya, menghafal itu mah gampang. Sungguh, Kania tidak habis pikir dibuatnya. Bagaimana seorang penghafal Al Qur’an bisa bersikap demikian?

Pun, ketika laki-laki itu berlalu dari rumahnya, dan mamanya menanyakan kesediaanya, ia langsung menggeleng dengan hati sedih. Amat sangat sedih. Bukan karena ia tidak mendapatkan seorang hafidz tersebut, tapi karena ia sangat sedih, ada seorang Hafidz yang sikapnya begitu, yang tidak henti-hentinya menghisap rokok. Yang sikapnya sedemikian rupa congaknya.

Beberapa menit setelah itu, ia telah sampai di rumah guru ngajinya, dan menumpahkan segala apa yang menyesakki jiwanya. Tentang kesedihannya, mengapa ada seorang penghafal Al Qur’an yang akhlaknya demikian?

Sang guru ngajinya kemudian tersenyum. Dan menjelaskan, bahwa ada orang-orang yang membaca dan menghafalkan Al Qur’an, akan tetapi Al Qur’an itu melaknat dirinya, ini seperti yang dikatakan oleh Anas bin Malik, ra. Ia membaca “ala la’natullah ‘ala dzalimin, sementara ia la orang yang dzalim itu. Mengapa hal itu terjadi? Karena ia menghalalkan apa yang diharamkan Al Qur’an dan mengharamkan apa yang dihalalkan Al qur’an.

“Intinya di sini adalah siddiqunniyah. Kejujuran dan kebenaran hati kita dalam niat mempelajari ayat-ayat-Nya. Jika hanya ingin mendapatkan pujian manusia, ingin dikatakan sebagai seorang Hafidz, yaah, tentu saja akhlaqnya tidak mencerminkan demikian.
Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abi Hurairah ra., Rasulullaah saw bersabda, “Orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah seseorang yang dinilai mati syahid. Orang itu dihadirkan, kemudian kepadanya dibeberkan nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepadanya, lalu dia mengetahui hal itu. Kemudian Allah swt bertanya, ‘Apa yang kamu lakukan terhadap nikmat-nikmat itu?’ ia menjawab, ‘Aku berperang membela agama-Mu hingga aku mati syahid’. Allah SWT berfirman, ‘Kamu berdusta karena kamu berperang hanya untuk dikatakan pemberani dan itu sudah dikatakan orang.’ Kemudian diputuslah perkaranya, ia diseret dnegan tertelungkup dan ia dilemparkan ke neraka. Kemudian seseorang yang telah mempelajari Al Qur’an, mengajarkannya, dan membaca Al Qur’an. Orang itu dihadirkan, kemudian kepadanya disampaikan nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepadanya, lalu dia mengakuinya. Kemudian Allah swt bertanya, ‘Apa yang kamu lakukan terhadap nikmat-nikmat itu?’ ia menjawab, ‘Ak mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya kepada manusia dan ak membaca Al Qur’an demi Engkau.’ Allah SWT berfirman, ‘kamu berdusta karena kamu mempelajari Al Qur’an agar dikatakan sebagai orang alim, dan engkau membaca Al Qur’an agar manusia mengatakanmu sebagai qari. Dan itu sudah dikatakan orang.’ Maka kemudian diputuskan, ia diseret dengan tertelungkup dan ia dilemparkan ke neraka. Selanjutnya seseorang yang Allah SWT berikan keluasan harta dan bermacam-macam kekayaan. Orang itu dihadirkan, kemudian kepadanya dibeberkan nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepadanya, lalu dia mengetahui hal itu. Kemudian Allah swt bertanya, ‘Apa yang kamu lakukan terhadap nikmat-nikmat itu?’ ia menjawab, ‘setiap aku mendapati jalan dan usaha kebaikan yang Engkau senangi agar aku nafkahkan hartaku untuknya, aku segera infaqkan hartaku demi-Mu.’ Allah SWTmengomentari jawaban itu, ‘Kamu berdusta karena kamu melakukan itu semua agar dikatakan sebagai seorang dermawan dan itu telah dikatakan orang.’ Maka kemudian diputuskan, dan ia ia diseret dengan tertelungkup dan ia dilemparkan ke neraka.”
Masya Allah….
Tiada yang dapat menjamin diri kita. Tiada!
Bahkan, pun ketika Alla putuskan bagi seseorang itu surga, belum tentu ia memasukinya karena amalan-amalan yang dilakukannya. Itu, tiada lain adalah karena Rahmat Allah. Jadi intinya, kita berusaha untuk selalu mendekatkan diri pada-Nya, merayu-Nya. Adakah sesuatu yang lebih tingi dari pada keridhaan-Nya?

Sungguh, tidak pantas bagi seorang penghafal Al Qur’an ikut wara-wiri dengan kemaksiatan2 itu.

Kania tercenung mendengarkan penjelasan guru ngajinya. Benar0benar tercenung. Sungguh, dirinya pun begitu banyak maksiatnya. Begitu banyak. A
staghfirullaah…. Nastaghfirullaah…

Maka, muncul tekad di hatinya, untuk memperbaiki, dan menjadi lebih baik lagi. Tidak! Yang aku inginkan bukan hafidz yang demikian. Tapi, seseorang yang berafiliansi terhadap Al Qur’an. Membacanya, mengamalkannya, hanya karena Allah. Sungguh, akan berbeda ruh orang-orang yang memiliki siddiqunniyah dalam mempelajari Al Qur’an dengan orang-orang yang hanya sekedar meghafalkannya sebagai sesuatu utinitas, apalagi ingin dikatakan sebagai seorang hafidz/hafidzah!

“Kalau para penghafal A Qur’an mengambilnya dengan haknya apa yang seharusnya, niscaya mereka akan dicintai Allah. Namun, mereka mencari dunia dengan Al Qur’an itu, sehingga Allah SWT marah terhadap mereka dan mereka pun menjadi hina di hadapan manusia.”

Diriwayatkan dari Abu Ja’far bin Ali dalam firman Allah SWT, “Maka mereka (sembahan-sembahan itu) dijungkirbalikkan ke dalam neraka bersama orang-orang yang sesat. (Qs. Asy Syu’ara’ : 94). Ia berkata, “Mereka adalah kaum yang menceritakan kebenaran dan keadilan dengan lidah mereka, namun mereka justru melakukan yang sebaliknya.”

Astaghfirullaah lii wa lakum…
Na’udzubillahi min dzalik…
Berselindung kita kepada Allah… semoga Allah senantiasa tunjuki kita jalan kebenaran.


nb : Potongan cerita di atas tentu saja hanyalah fiktif belaka (namanya jugak cerpen yang notabene fiksi yak? Hihih). Jika ada kesamaan nama, tokoh, sifat, tempat de es be, itu hanyalah kebetulan belaka tanpa perlu adanya tendensi kepada siapapun.


Dzulqo'dah 1431 H

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked