Hidup Bermatematika


Fungsi, persamaan kuadrat, titik maksimum, akar persamaan, pertidaksamaan. Lha, ini kan ‘bahasa’ anak SMA? Haha, iya, betul! Ini bahasa yang menjadi bahasan anak SMA. Tapi, kemudian juga harus menjadi ‘bahasa’ku. Yaaah, itung-itung buat ngasah otak kirilah. Hihi.

Sebenarnya, ini adalah plajaran-plajaran yang sudah ‘kutinggalkan’ sejak 8 tahun silam. (eh, 5 tahun silam ding! Karna kan masi berguna buat SPMB..hehe). Lima tahun di bangku perkuliyahan, aku tentu sama sekali tidak menyinggung grafik x di titik (3,5) dengan persamaan y=f(x)=4x-8. Haha, kaga nyambung! Maksudnya, aku sama skali kaga menyinggung plajaran2 yang berbau-bau persamaan kodrat (dan harkat dan martabat begini. Hihi). Tapi, tiba-tiba saja, aku harus menjadi guru (dadakan) matematika SMA. Hehe. (Kapan2, mending bikin bimbel atau ngajar privat gituuh, biar ada pemasukannya jugak. #OtakBisnis a.k.a MatreMulaiJalan#. Hihi).

Jika ingat belajar matematika, maka, aku ingat pernyataan salah seorang ukhty yang kebetulan adalah mahasiswa matematika dulunya. (Kusebut ‘dulunya’, karena sekarang ia sudah S.Si, bukan mahasiswa lagi. Hehe). Begini kira-kira kalimatnya, “Hidup bukan untuk matematika, tapi Matematika untuk hidup.”
Sebetulnya, aku susah payah memahami maksuddi ukhty. (Aaah, payah lo!). Matematika untuk hidup?!

Dan, sekarang aku mulai sedikit paham maksud ukht tsb, walaupun tak sepenuhnya paham. Hehe. Satu hal saja sebenarnya yang akan diajarkan kepada adik-adik tersebut, terhadap plajaran-plajaran semacam matematika, dan fisika, dan sejenisnya dah! MEMAHAMKAN KONSEP dari PLAJARAN itu sendiri. Yep, memahami konsepnya! Jika konsepnya tidak ‘duduk’, maka, sedikit saja dirubah gaya soalnya, maka, mereka akan kebingungan. (ini bukan berarti aku semasa SMA selalu paham sepenuhnya konsep matematika loh yah. Bisa Tanya temen2 SMA-ku deh, bahwa aku sesungguhnya bukan orang-orang yang berada di papan atas soal plajaran. *Nasheeeeb jadi orang menengah kebawah yah begini. Hehe.) Dan, kalo boleh jujur, aku baru paham konsepnya, justru ketika aku akan mengajarkannya kepada adik-adik SMA ini. Intinya, memandangnya dari sisi yang gobal, bahwa ini niiih, begini loh!

Tapi, ada plajaran berharga yang perlu kita petik di sini, tentang pemahaman atas konsep yang mendasari. Memahami diin ini, dan memahami apa yang mendasarinya. Yep, diin ini! Sama seperti memecahkan matematika. Ketika paham konsep, mau seperti apa gaya soalnya, ia akan dapat menyelesaikan dengan baik. Berbeda dengan orang gak paham konsep, ketika bentuk soal diubah sedikit, ia menjadi kebingungan menjawabnya. Nah, dalam diin ini, konsep yang mendasari itu, adalah ‘aqidah. Jika ‘aqidahnya sudah ‘duduk’, maka, mau bentuk apa saja penyimpangannya, maka ia pasti akan dapat memfilternya. Makanya, muwashofat pertama itu adalah salimul ‘aqidah. Aqidah yang bener dulu.

Mungkin di masyarakat kita melihat, adanya tradisi-tradisi yang telah ‘mencampuradukkan’ antara ‘aqidah yang benar dan salah. Membakar kemenyan untuk memperingati kematian. Memakai rempah-rempah biar anak tidak terkena ‘palasik’. Berobat ke dukun dan mengambil tanah kuburan, memberikan sesajen. Dan masi buanyaaaaak lagi, hal-hal lain yang seolah-olah menjadikan makhluk sebagai perantara turunnya kelapangan dari Allah. Dan, ini seolah-olah telah mengakar dan membudaya. Astaghfirullaah. Barang kali, tiadalah yang dapat kita lakukan, kecuali membekali diri kita dengan ilmunya, pengamalannya, lalu, mulai perlahan-lahan ‘membersihkannya’, dari keluarga kita, lingkungan kita. Sulit memang, tapi, insya Allah bisa. Perlahan-lahan.
Allahu’alam bish showab.

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked