Martabak Telor : Kreatifitas dari Keterpaksaan

Setelah sebulan bercengkarama dengan udara dingin Riyadh, setidaknya ada dua hal yang membuat aku "terpaksa kreatif" dalam hal masak-memasak; hobby baru yang terbentuk oleh sebab 'tuntutan keadaan'. Pertama, soal mobilitas perempuan yang sangat terbatas, membuat kita--wanita--tidak bisa begitu saja ngacir ke warung atau resto tempat menjual makanan yang lagi dipengen. Kedua soal menu. Meskipun misalnya kita bisa ngacir ke resto tertentu, tentu saja kali ini tersangkut soal selera dan menu di mana citarasa Indonesia (apalagi masakan Minang) tidak semua bisa dijumpai di sini.

Kalau boleh jujur, dulu pas di kampungku yang damai, ketika pengen sesuatu makanan, aku lebih prefer untuk beli saja. Tidak terpikir sedikitpun untuk bikin sendiri, wong, penjualnya bertebaran di mana-mana. Mau soto, segera ngacir ke penjual soto. Mau Bakso, tinggal cau ke Jembatan 1. Mau sate Padang, rasanya jarang sekali aku melewatkan sate Pak Wo Mowek (sate yang paling enak sedunia bagiku *lebay*), tinggal starter motor dan beli deeh. Mau Martabak Telor (di kampungku namanya martabak mesir, ga tau apakah emang bener berasal dari Mesir. Tapi yang pasti, ga dibikin di Mesir, soalnya aku belinya di Mualab, wkwkwk), tinggal beli di depan Cuaca. Heuu... Apaaa ajah, tinggal beli. Dan lagi, mobilitas tidak seterbatas di sini.

Nah, oleh sebab mobilitas yang terbatas dan tidak semua menu yang kita pengen available di Riyadh, tidak ada jalan lain bagiku ketika menginginkan suatu makanan, mau gau mau, HARUS BIKIN SENDIRI, dengan bahan-bahan seadanya. Yaa, terpaksa kreatif deeh, walaupun sebenernya aku sudah kreatif juga. Ups... Maksudnya, walaupun aku ga ada kreatip-kreatipnya soal bikin makanan. Sebagai contoh nyata; suatu ketika aku lagi bener-bener amat sangat pengen makan Limpiang Abuih (hehe, ini makanan khas Mualab yang bahkan ga aku temuin di Jakarta sekalipun, wong di kota Padang aja kayaknya ga ada, hehe). Karena sangat bisa dipastikan tidak ada Limpiang Abuih di sini, aku mau ga mau harus bikin, meski pembungkusnya yang semestinya daun pisang (yang juga belum aku temukan di sini), mesti diganti dengan cake cup. Ya, lumayanlaa, yang penting bisa makan Limpiang Abuih, meski rasanya ga sekualified Limpiang Abuih made in Mualab.
Martabak Telor karya pertama :)

Nah, seperti 3 hari terakhir ini, aku lagi pengeeeeennn bangeeett makan Martabak Telor (yaa Martabak Mesir lah, kalo bahasa kampungku). Ga ada jalan lain selain mesti bikin sendiri. Akhirnya... tarraaaa... jadi deehhh Martabak Telor ala Fathel :). Pelajaran berharga; terkadang ada kondisi tertentu yang membuat kita mau tak mau harus bisa. Suka ga suka tapi harus, sehingga sesuatu yang sebelumnya tidak kita bisa (bahkan tidak terpikirkan sebetikpun), ternyata kita bisa menjadi buah karya. Dan tanpa kita sadari, kadang itu membuat kita malah menyukainya, seperti hobby baruku : MEMASAK. Hehe...

Pelajaran kedua; aku mau berbagi resepnya. Resep membuat Martabak Telor.

Read More

Riyadh~Makkah Al Mukarramah

Sudah (agak) lama tidak posting. Hemm...
Kali ini cerita apa yaa?
Cerita perjalanan menuju one of two the best place in the world; Makkah al Mukarramah. Perjalanan yang sungguh mengesankan sekaligus menakjubkan.

Sebagai orang 'baru' yang menginjakkan kaki di tanah Saudi, mengunjungi two the best place in the world; Makkah dan Madinah, adalah cita-cita yang ingin segera ditunaikan. Rasa-rasanya sungguh menakjubkan, bisa mengunjunginya (Makkah Al-Mukarramah) di menjelang umur 27 tahun, sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Dua tahun yang lalu, masih tidak terbersit sedikitpun harapan akan segera mengunjungi dua kota terbaik di dunia--menurutku--itu, disebabkan karena alasan yang sangat klasik : belum memiliki uang yang cukup. Apalagi, biaya umrah dari Indonesia terbilang sangat mahal, bisa sampai 17 juta. Nabung berapa lama tuuh untuk mahasiswa yang tidak berpenghasilan sepertiku? Heuu...

Alhamdulillaah, setelah dipertemukan-Nya dengan imam terbaik, Allah memberikan hadiah menakjubkan lainnya; mengunjungi the holy land bersama sang imam :). Ini honeymoon paling mengesankan bagiku tepat ketika 18 hari aku berada di Saudi... :).
Alhamdulillaah...

Read More

Living in Riyadh [Part 6]

Et daaah, sekaliyaan deeh aye borongan posting hari ini. Itung-itung bayar utang sebelum-sebelumnyeee. Boleee nyaaak... ^__^

Culture di Saudi mengharuskan perempuan untuk stay di rumah. Jarang sekali perempuan "beredar di jalanan" (kaya leaflet ajah, beredar segalaaa, hihihi), kecuali bersama suami atau ayah atau kakak adek laki-laki pokoke muhrim. Menurutku ini bagus, sesuai syariat islam. Tapi, bagi nyang suka keluyuran ups ke mana-mana dan dengan angka kesibukan di luar yang tinggi (yang jelas itu bukan aku), ini cukup menyulitkan. Mau ngumpul emak-emak, mesti dianter suami. Mau ke rumah tetangga pun (kalo untuk struktur apartemen kayak yang kami tinggalin) mesti dianter suami. Kecuali kalo rumah kontrakan yang tetanggaan orang Indonesiaaah, kalo yg begini lebih luwes. Mau ngacir ke warung sebelah, mesti dianter suami jugaa. Bahayaaa banget kalo perempuan ke baqolah sendiri. Hiiiyy, syereeeemm.

Read More

Living in Riyadh [Part 5]

Sudah agak lama juga aku ga cerita di Blog yaah :)

Baiklah, mari kita lanjutkan cerita seri Living in Riyadh. Udah part 5 yaa sekarang?
Kali ini kita bahas soal Iqama. Iqama adalah Resident Permit. Ijin tinggal di Riyadh. Iqama adalah kartu super penting di Riyadh bagi expat. Tanpa Iqama kita ga bisa ke mana-mana. Ngumpet di rumah doang. Tanpa Iqama kita ga bisa beli nomor HP baru, ga bisa isi ulang pulsa, ga bisa bikin SIM, ga bisa urus asuransi kesehatan, ga bisa berangkat umrah ke Al Haram, Baitullah. Pokonya ga bisa ngapa-ngapain daah. Ga aksesibel. Dan yang lebih parah, jika kita lagi jalan-jalan di luaran rumah, trus tiba-tiba ada check point dan ketahuan ga ada Iqama, dendanya bessuuuaaarr sekaliii, bisa 3-10juta. Bahkan bisa penjara atau deportasi. Waouuw! Untuk kartu kecil itu. Oh iyaa, untuk sementara sebelum ada Iqama, aku menggunakan passport dan visa (sebagai pengganti iqama) untuk bepergian ke mana-mana, termasuk ke klinik. Tapi, umur visanya hanya 3 bulan, dan kalo selama sebulan pertama ga diurus, kita bisa didenda. Deuuh, banyak banget denda di sini. -_-"
Read More

Living in Riyadh [Part 4]

Baiklah Bloggie, yuk kita lanjutkan seri "Living in Riyadh" yuuk... Lagi-lagi sependek pengamatanku selama dua minggu ini :)
Pertama soal HUJAN.
Kalau di Indonesia mendapati hujan adalah hal sangat biasa dan teramat lumrah. Bahkan ada yang menggerutu dengan mulut mencong sana sini karena tiba-tiba hujan membatalkan acara nge-date nya saking hujan bukanlah sesuatu yang terlihat bernilai dan berharga di Indonesia. Nah, di Riyadh berbeda adanya. Hujan adalah barang langka di sini. Makanya, mendapati hujan di sini, adalah anugrah yang indah bagi penduduk sini. Kata suamiku, bahkan "tempat penampungan hujan" menjadi area wisata yang menyenangkan. Mereka sangat excited mendapati hujan. Kecuali, yaa... banjir yang disebabkan olehnya. Karena jarang hujan, mungkin sistem drainase di sini ga sekomplek dan sebagus di Indonesia yang notabene curah hujannya tinggi, sehingga hujan bisa menyebabkan banjir di sini. Ah, di Jakarta juga gitu kali yaah? Hujan menyebabkan banjir. Berarti sistem drainase nya gak lebih bagus dari pada di sini tho? Itu kesimpulanku saja. Hehe...
Read More

Living in Riyadh [Part 3]

Mari kita lanjutkan seri "Living in Riyadh" yang kuamati dan kualami sependek pengamatan dan pengalamanku selama di Riyadh...
Membahas makanan tentulah hal yang selalu menarik. Apalagi untuk orang yang suka kuliner seperti aku. Tapi, sekarang bukan masalah kuliner di sini yang pengen aku bahas, tapi prosesi masak memasaknya dan semua yang berkaitan dengannya...

Sejak dahulu, keluarga kami (dan mungkin umumnya semua masyarakat Minang, entah di luar minang yaa) selalu menggunakan tuduangnasi atau bahasa indonesianya, tudung saji, untuk menutupi makanan yang sudah dihidangkan tapi belum siap-siap di santap. Biar ga ada lalat-lalat nakal yang iseng mencari pengganjal perut di sana. Hehe... Tudung saji sangat bermanfaat sekali, apalagi makanan yang masih anget berasap gittuuhh, mereka tetap bebas mengepul tanpa gangguan lalat. Dulu ketika masih di Mudiak Lawe, kami menggunakan tudung saji. Di Sawahlunto, pakai tudung saji. Di Sungai Pua, di Payakumbuh, di Solok, di setiap daerah yang pernah berdomisili, di sana pasti ada tudung saji. Sepintas, aku ga sadar bahwa tudung saji seberharga itu saking telah terbiasanya dengan si tudung saji. Tapi ketika sudah sampai di Riyadh, tudung saji menjadi barang langka. Setidaknya, aku belum menemukannya. Sebagai gantinya, di sini orang-orang nutupin pake wrapping plastic. Setelah di sini, aku menyadari betapa berharganya tudung saji. 


tudung saji, manaah tudung sajiii? cuma ada wrapping plastics ternyataaahhh -_-"

Read More

Living in Riyadh [Part 2]

Baiklah mari kita lanjutkan kisah living in Riyadh... Kali ini gak panjang panjang yaa... mau silaturrahim ama keluarga Indonesia yang satu apartemen nih.

Kisah selanjutnya soal "palala". Hihi...
Bagi kamu yang ga tau palala itu apa... bahasa Indonesianya Suka Jalan-Jalan... aheeeyy... bukan Kelayapan loh yaa... wkwkwk...
Sewaktu di indonesia... aku termasuk 'anak nekad' yang sok-sok berani ke mana mana sendiri... Waktu pertama kali kuliah di Depok..belum ngerti jakarta, aku datang ke jakarta-depok sendirian...bawa koper geuudee, belum tau jalan bahkan kosan pun belum tau.

Di jakarta.. cuma mengandalkan mengingat peta yg terpajang besuuaarr di dinding kosan (karna ga punya hape canggih yang ada GPS nya selama di jakarta/depok) aku berani ke mana-mana sendiri. Berangkat ke Riyadh sendirian juga alhamdulillaah berani. Tapi pas udah di Riyadh... sepertinya keberanianku utk ke mana mana sendiri sepertianya menciut seciut-ciutnya. Aku mulai ngerti caranya ke taman kota bagaimana... ke supermarket terdekat sendiri bagaimana... secara aku kan minat banget yang namanya spasial semacam peta begituu... tapi teteup ga berani sendiri. Bahkan pas belanja di supermarket juga ga berani jauh-jauh dari suami.... hihihi... Tapi ada untungnya juga sih yaa... jadinya kemana mana ada pangeran di sisiku yang selalu nemenin... asoooyy... :D

[btw, aku silaturrahim dulu yaaa. In syaa Allah lanjuut lagii pas udah balik.... ]
Read More