Mempersepsi Hidup


Beberapa hari yang lalu, telpon selulerku berdering nyaring. Rupanya, sebuah panggilan dari Psikolog-ku. (Halaaaaaah, gaya cuy! Pake psikolog segalaa. Hehe). Kami berkenalan secara tak sengaja ketika duduk bersebelahan di atas bus, ketika hendak menghadiri suatu dauroh dulunya. Tiga tahun silam tepatnya. Rupanya, kami menuju maksud dan tujuan yang sama. Dan, masya Allah, luar biasanya, sang psikolog ini, tiba-tiba saja, aku merasa begitu dekat dengannya. Barang kali karena, kami ‘nyambung’ banget kali yaah? Bukankah ruh-ruh itu ibarat prajurit yang berbaris? Yang saling mengenal akan saling menyapa ramah, dan yang tak saling mengenal akan saling menjauh. (haduh, lupa nih, redaksionalnya. Intinya ya gitu deh…). Ini adalah….kesesuaian ruh, barang kali. Yang jelas, yang kurasakan adalah…aku mencintainya karena Allah, meskipun ia bukan tipe orang yang suka kata-kata gombal. Hihi.

Kami bercerita panjang lebar dan tertawa. Lalu, aku bertanya mengenai kabarnya, bagaimana kondisinya? Ia menjawab, “Uni dalam keadaan baik-baik saja. Dan kondisi di sini, luar biasa menyenangkan!”
Aku mengernyitkan dahi.
Sebab, sebelumnya, aku juga ditilpun oleh ukhty fulanah yang berada di tempat yang sama dan waktu yang sama dengan si Uni, dan menceritakan kondisi yang sebaliknya. Ia mengatakan, “kondisiku hari ini tidak begitu baik. Sangat menyesakkan.”
Lalu, kepada uni psikolog kutanyakan, “kenapa Uni bisa mengatakan hal yang sangat bertolak belakang dengan ukhty fulanah, sementara uni berada di tempat dan waktu yang sama?”
Lalu, si uni menjawab, “HIDUP ITU TERGANTUNG BAGAIMANA KITA MEMPERSEPSINYA.”

Yup, I got the poin! Tergantung bagaimana mempersepsinya. Kita mungkin, sudah sering mendengar filosofi sesendok garam, segelas air dan sebuah telaga. Di mana, jika sesendok garam jika dimasukkan ke dalam segelas air akan membuat air itu asin. Sementara jika di dalam telaga, sedikitpun telaga tak berasa asin. Dan, garam itu adalah masalah sementara air dalam gelas dan telaga, adalah sempit atau lapangnya hati kita dalam mempersepsi suatu masalah. Hehe, kau pasti sudah sering membaca cerita ini, bukan?

Memang, begitulah. Namun kadang, jika kita berada di posisi si ukhty fulanah, mungkin tanpa kita sadari kita juga berada dalam kungkungan persepsi yang sama. Yang dibutuhkan adalah, energy bagaimana agar kita bisa keluar dari kungkungan itu.

Mari sejenak belajar dari si bocah kecil yang bermain air di atas. (fotonya di ambil di telaga murni, Parak Gadang , Sol Sel. Haha, jangan kamu suudzhan pula kalau aku ‘mancigok’ orang mandi! Hihihi). Lihatlah ekpressinya. Begitu bebas, tanpa beban.

Meskipun anak-ana yang baru mengenal dunia, mereka tetap memiliki masalah. Kita pun dulunya, ketika masih anak-anak, kita pun punya masalah kan yah? Masalah yang tentu saja sesuai dengan umur kita kala itu. Tapi, anak-anak begitu cepat menyelesaikan masalah! Hanya sebentar saja, lalu sudah lupa. Kembali ceria. Kembali tanpa beban. Lalu, kenapa ketika sudah dewasa, kita memikul masalah begitu berat di pundak? Mengapa kita tidak belajar saja dari si bocah yang berkspressi lepas tanpa beban itu? Bukankah kadar masalah itu berbanding lurus dengan kemampuan kita menyelesaikannya?

Naah…so what?
Hayuuk, mari merubah persepsi! Hayuk..hayuuk…

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked