Cita-cita Si Kakak


Ini kisah aku dan keponakanku. Namanya Ilfa. Tapi, kami biasa memanggilnya dengan sebutan “kakak”, karena ia anak pertama. Umurnya 7 tahun lebih. Sebentar lagi memasuki angka delapan.

Suatu hari, aku bertanya padanya, “Kakak, cita-citanya apa?”
Dengan semangat si Ilfa menjawab, “Mau jadi dokter!”, aku tersenyum. “Kalau Tek Pi?” Tanyanya polos.
“Hmm… jadi apoteker…”
“Apoteker itu apa?”
Hehe, aku sudah menduga pertanyaan ini akan muncul, toh sebelum aku menjawabnya, aku sudah begitu yakin si Kakak bakalan mempertanyakan pertanyaan ini.

Jangankan si Kakak, orang umur tiga puluhan atau empat puluhan aja, juga banyak yang mempertanyakan hal yang sama. “apoteker itu apa?”
Wah, parah yah? Padahal, dokter dan apoteker kan juga sama-sama mengikuti pendidikan profesi.
Dan, secara strata kependidikan, kan juga sama. Tapi, dokter lebih dikenal yah?

Hoo..iya! dokter! Hmm…cita-cita yang begitu generic. Begitu generalisata. Jika ada rating cita-cita, maka aku yakin, dokter adalah cita-cita dengan nilai tertinggi (setidaknya di negeri ini…). Dahulu, ketika MOSA berlangsung (MOSA adalah masa orientasi siswa asrama SMA 1 Padangpanjang) di mana, untuk mendapatkan seperdelapan tanda tangan (haha, tanda tangan ada seperdelapan, bahkan sepertigapuluhdua nya segala! Yang begini niih, cuma ada di MOSA), aku memberikan syarat kepada adik2 peserta MOSA, bahwa mereka harus menyerahkan biodatanya, lengkap! Itu syarat untuk mendapatkan setengah tanda tangan. Dan, setengahnya lagi, dengan syarat “Nanti temui kakak di kelas ipa satu yah.” Hihihi. Ada bermacam-macam syarat yang ada di MOSA itu, mulai dari ngitung jumlah cubadak di belakang kantor manjlis guru, bikin puisi, bikin cerpen, bernasyid ria hingga yang ngafal surat Annaba’. Ada yang menyaratkan seperdelapan tanda tangannya untuk 5 ayat surat An-Naba’. Jadi, untuk menggenapkan menjadi satu tanda tangan utuh, ia harus menyetorkan 40 ayat annaba’. Masya Allah. Dan, harus mendapatkan 120 tanda tangan Uda-Uni—untuk kelas2—Abang-dan Kakak—untuk kelas 3. Jika tidak mendapatkan semuanya, siap-siap nguras kocek buat bayar pengacara di persidangan Mahkamah Asrama. [halaah, buat apa sih bahas2 MOSA segala! Hehe. Tapiiii, bagemanapun, bagi siswa asrama SMAN 1 Pdg Panjang, MOSA adalah momen menarik yang tak terlupakan. Hihi].
Dari 60 orang siswa asrama yang menyerahkan biodatanya kepadaku, lebih dari dua pertiganya menuliskan dokter sebagai cita-cita. Hmm…dan seingatku, tidak satupun yang menuliskan apoteker. Hehe, sama sepertiku yang sama sekali tak pernah bercita-cita menjadi apoteker dulunya. Bedanya dengan kebanyakan mereka, akupun tidak menuliskan dokter sebagai cita-cita. Hehe.

Tapi, ya sudahlah… sebagai seorang apoteker (cieee, sebagai seorang apoteker skarang cuy! Hihi) aku emang harus terima kenyataan ini, bahwa profesiku ini belumlah dikenal. Lagian, aku pun sudah sering bertemu pertanyaan yang sama, yang membuat aku harus punya segudang cerita untuk menjelaskan apa itu apoteker. Sudahlah…sedang tak ingin membahas hal ini.

Hanya saja, mari kita petik satu hal saja. Kenapa, cita-cita harus senantiasa dilekatkan dengan kata profesi?
Tanya : “Apa cita-citanya?”
Jawab : “Mau jadi dokter, apoteker, polisi, pilot, hakim, guru, arsitek, atau programmer”. Hmm…kenapa?!
Jika memang demikian, maka sungguh sangat terbatas sekali cita-cita itu. Tidak bisa dilakukan sekaligus. Misalnya, tidak ada apoteker yang merangkap sebagai polisi. Tidak ada arsitek yang merangkap sebagai dokter. Iya tho?!

Kenapa tidak dari dahulu, diajarkan, bercita-citalah sebanyak-banyaknya! Setinggi-tingginya (kalau setinggi-tingginya sih sering. Tapi, sebanyak2nya…hmm…jarang!) Dan, jangan hanya kaitkan dengan profesi saja, sebab, menjadikan mereka memburu kerja, bukan?
Coba misalnya, cita-citanya, nanti mau masuk surga… Cita-citanya nanti, mau lebih pinter dari orang Yahudi. Cita-citanya nanti, jadi ibu rumah tangga yang baik (ups! Hihi). Cita-citanya nanti pengin kaya’ Abdurrahman bin Auf, yang kaya tapi dermawan. Cita-citanya, mau bikin peradaban islami. Cita-citanya, jadi penyuplai dana untuk kegiatan-kegiatan yang melawan arus global warming….eh salah…arus ghozwul fikry. Cita-citanya, mau mengusai dunia informasi dan teknologi, biar pencitraan islam lebih baik lagi, biar paradigm masyarakat dunia tidak melekatkan islam dengan teroris. Hayooo….

Hehe…
Hanya sekedar wacana saja. Mari meluaskan arti cita-cita, karena panjang pendeknya nafas perjalanan kita, sejauh mana cita-cita kita (haha, kata2 yang begitu sering diulang2. Apakah membosankan membacanya? Hihi. Tapi, kuberharap, semoga memberikan semangat. Itu saja.)

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked