GERBONG KERETA PERJALANAN INI

Kuingin bertanya, adakah kedinamisan itu adalah sebuah keniscayaan? Adakah? Apakah kita boleh terhenyak dengan sebuah perubahan? Dan apakah perubahan itu adalah sesuatu yang nisbi? Bolehkah kita terperangah pada keterasingan itu? Pada sesuatu yang sama sekali tidak lagi sama, tidak lagi linear dan bersisian. Pada kenyataan yang menghentak-hentak di bilik jiwa. Ah…, bolehkah aku menangisi itu semua?

Sungguh, terlalu dalam luka itu tertoreh di hati ini. Perih sekali ketika dihadapkan pada kenyataan yang menyakitkan bahwa jiwa-jiwa sahaja yang dulu dari lisan mereka kudengar nasehat-nasehat yang menyejukkan hati, kini seperti sangat…sangat….jauh. Ketika rangkulan itu begitu jauh dari saudara-saudari yang telah ‘pergi’. Begitu jauh, meninggalkan ‘gerbong’ ini. Ke manakah perginya jiwa-jiwa penuh ghiroh itu, yang setiap teriakannya adalah lecutan semangat? Yang setiap kata-katanya adalah butiran makna. Yang setiap jenak-jenak kehidupannya adalah dalam rangka satu per satu menyusun batu bata peradaban itu. Ke manakah?

Salah seorang sahabat pernah berkata padaku dengan teramat lirih, “Sudahlah. Tidaklah pantas bagi kita untuk kecewa.” Penggal-penggal kata itu hanya cukup sampai di sana, namun, dengan suatu kedalaman makna. Ah, sungguh ada yang tercekat dikerongkongan ini, setiap mengingat satu-persatu kenangan itu. Aku sangat tahu, tidaklah boleh kita kecewa, dengan semua itu. Tidaklah boleh…!! Tapi, bolehkah aku sedih?

Jika boleh bernostalgia, dahulu, dulu sekali, ketika di sebuah ‘stasiun’, aku tersesat tak tentu arah. Lalu, mereka mengulurkan tangan untuk ikut dalam gerbong itu dengan tiket yang Cuma-cuma. Gerbong yang telah memberikan begitu banyak warna hidup. Seperti pelangi, bahkan lebih banyak dari mejikuhibiniu. Ada keterombang-ambingan. Ada tikungan. Ada terowongan gelap. Namun, juga jalan mulus yang di pinggir relnya ada wewangian bunga cerah merekah. Yah, kita melaju bersama. Pada rel yang sama, gerbong yang sama.

Lalu, ketika kereta itu berhenti di stasiun berikutnya, satu per satu mulai turun, berhenti di stasiun itu saja. Ada yang menaiki gerbong ini, ada pula yang turun. Mereka, yang dulu mengulurkan tangan kepadaku, sebagian juga ikut turun. Dan, betapa bodohnya aku ketika baru menyadari bahwa mereka yang dahulu dengan jiwa sahajanya telah turun, ketika peluit kereta telah dibunyikan dan perlahan-lahan kereta kembali berangkat. Betapa naifnya aku baru menyadari, ternyata mereka telah menaiki gerbong dari kereta yang berbeda, bukan lagi dengan arah dan tujuan yang sama. Padahal, aku masih ingat, bagaimana lantunan spirit itu bergema dahulunya dari lisan-lisan mereka, bahwa betapa inginnya kita tetap berada di gerbong ini hingga ke stasiun akhir.

Aku sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa gerbong inilah yang paling baik. Aku sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa aku lebih baik. TIDAK! SAMA SEKALI TIDAK! Aku barangkali jauh lebih buruk. Namun, bukankah dengan kebersamaan itu, kita saling mengingatkan, saling melengkapi, saling mengokohkan pijakkan, saling mengingatkan, dan saling menularkan semangat? Aku hanya ingin mengatakan bahwa ada jarak ribuan mil yang seperti seolah-olah telah memisahkan kita. Memisahkanku dengan orang-orang yang telah mengulurkan tangannya padaku dahulunya. Terasa begitu jauh. Padahal, aku sangat rindu wahai saudariku, untuk kembali bersamamu menukil jalan ini. Menukil jenak demi jenak perjalanan ini. Teramat rindu mendengar nasehat-nasehat yang terlantun dari bibirmu. Teramat rindu membersamaimu di setiap suka dan duka jalan ini.

Aku masih ingat dengan salah satu kalimat yang menggetarkan dari Rabb Pemilik Hati dan Maha Membolak-balikkan hati yang disampaikan oleh mereka yang dahulunya mengulurkan tangan dan memberikan tiket Cuma-Cuma itu kepadaku. Sungguh, membuatku amat tergugu :

“Dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkanmu daripadanya” (Qs. Ali Imran : 103)

“Ya Tuhan kami, jangan Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami dan karuniakanlah rahmat kepada kami di sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (Karunia).” (Qs. Ali Imran : 8)

Oh, alangkah rindunya aku padamu, wahai jiwa-jiwa yang telah memberikan tiket Cuma-Cuma padaku. Adakah kau rindu jua?





homeSWEETSyakuro, 14 April 2009, Dini Hari (Ba’da ngerjain proposalku)

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked