Manusia dan "Kabad"nya

Kemarin habis mendengar cerita dari seorang ummahat yang sedang mengantarkan anaknya sekolah di luar negeri lalu setelah itu melihat (qadarullah sampai ke sini aku browsingnya padahal tadinya ga niat mau searching²) ada teman-teman kuliah dulu yang menjadi dosen di Farmasi UI (ada 3 orang yang aku kenal menjadi dosen di sana). Sebagai orang yang pernah bercita-cita jadi dosen, aku surprise daan mbatin "waaah.. ma shaa Allah yaaa ...". Apalagi kalau semisal dosen kita sendiri bilang "sayang yaah Fathel, akhirnya ga 'mengabdikan' ilmunya (cuma di rumah aja jadi ibu rumah tangga-red)."
Sebagai manusia yang memang sunnatullaahnya memiliki banyak keinginan, ada semacam rasa kepengen juga menjadi seperti teman-teman tersebut. Apalagi misalnya ... pernah punya kesempatan untuk itu namun kemudian memilih untuk melepas kesempatan tersebut.

Bukan. Bukan menyesali keputusan untuk tidak mengambil kesempatan tersebut karena keputusan itu adalah demi kebaikan lain yang ingin dikejar. Dan aku sama sekali tidak pernah menyesal telah memilih untuk peran yang sedang aku jalani saat ini, alhamdulillaaah. Tapi, kadang, ketika melihat ada teman yang berada di posisi tersebut (yang dulu pernah kita inginkan) muncullah rasa-rasa seperti ingin juga. Ya, yang namanya qalbu adalah sesuatu yang memang berbolak-balik dan tidak menetap kan yaah.

Tapi, pada akhirnya setelah itu aku merenungi bahwasannya betapa Maha Baik-nya Allah yang telah memilihkan jalan dan peran terbaik ini untukku. Aku bersyukur dengan catatan takdir-Nya yang sungguh sangat Indah. Dia-lah Dzat yang Maha Sempurna dalam memberi ketetapan. Alhamdulillaah, tsumma alhamdulillaah.

Setiap kita, hanyalah pengembara di dunia ini dan PASTI akan kembali pada kehidupan yang sesungguhnya yaitu akhirat. Tiadalah tujuan kita melainkan kebaikan yang tak berujung di akhirat yaitu surga-Nya. Tak ada orang yang ingin "pulang" ke neraka. Pasti semuanya ingin ke surga. Sekelumit dari dunia ini hanyalah ujian-ujian saja, apakah akan mengantarkan kita pada rumah yang sesungguhnya di surga atau malah sebaliknya--nasalullahu al 'aafiyah.

Sejatinya, apapun jalan yang telah dipilih, yang terpenting adalah ia mengantarkan pada surga-Nya. Apakah dengan menjadi dosen dan atau berkontribusi lebih banyak di luaran sana. Atau dengan menetap di rumah. Semuanya sama saja selama itu adalah jalan yang Allah ridha. Yang berada di luar, in shaa Allah bisa memberikan banyak kontribusi untuk ummat. Tapi, bukan berarti yang menetap di rumah tak memiliki kontribusi apa-apa. Boleh jadi, diam di rumah tapi justru banyak kebaikan yang bisa dilakukan. Dan aku termasuk orang yang sangat bersyukur saat ini Allah tetapkan berada di rumah, tidak di luar sana. Meskipun, diri ini masih sangat jauh, masih berjuang untuk berbenah, dan masih tertatih memperbaiki diri.

Allah Maha Mengetahui. Aku dengan tipikal orang yang tidak bisa multitasking, maka Allah tetapkan untuk fokus di satu hal saja. Bisa jadi ketika aku memilih kerja di luar, bisa jadi anak-anak jadi terabaikan, na'udzubillaah. Dan sekali lagi, aku sama sekali tidak menyesal untuk melepas kesempatan demi hanya untuk di rumah saja. Setidaknya sampai saat ini. Mungkin akan berbeda kedapan kalau Allah mentakdirkan lain. Bisa jadi suatu saat Allah takdirkan aku juga berada di luar sana. Allah yang lebih mengetahui.

Sesungguhnya Allah telah menciptakan segala sesuatu dengan "kabad" nya masing-masing. Dengan kesusahannya masing-masing. Sesuatu yang dimiliki oleh orang lain mungkin tampak indah dan menarik di mata kita. Tapi, sejatinya di dunia tidak ada kesenangan yang abadi. Pasti segala sesuatu memiliki kesusahan dan obstacle masing-masing. Apalagi, ketika yang Allah beri kepada adalah banyaaak kenikamatan. Banyaknya kemudahan-kemudahan. Curahan nikmat-Nya yang tak terhitung. Tidakkah kita bersyukur?! Bisa jadi pula banyak orang yang menginginkan posisi kita saat ini. Maka, selalulah syukur ... syukur ... syukur...
Apapun itu, yang terpenting adalah bagaimana agar kita selamat di akhirat. Dunia ini ..., memang sangat indah, melenakan, namun cepat layu. Keindahan dan kemolekannya sering memperdaya, dan justru di sinilah ujiannya. Selain ia terlihat manis, kita pun dibekali dengan hawa nafsu untuk menginginkannya dan bisikan dari syaithan yang punya misi mencegah anak cucu Adam dari surga. Berat. Sangat berat ujiannya. Hanya kepada Allah kita meminta pertolongan agar dalat selamat dari fitnah-fitnah dunia ini (dan juga fitnah setelah kematian). Selama kita masih menyandarkan pada diri kita sendiri, sungguh itu adalah sandaran yang sangat lemah. Ibarat bersandar pada kain lapuk atau bersandar pada angin. Maka, hanya kepada-Nya lah kita bersandar, meminta pertolongan agar Dia selamatkan kita di akhirat dan di dunia. Semoga kita tidak menjadikan dunia ini sebagai tujuan, puncak cita,  sehingga lupa jalan pulang ke akhirat. Aamiin yaa Rabb


#Refleksi
#Merenung

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked