Buku DiPiro

Sebulan yang lalu, di agenda kami ke toko buku Jarir (semacam "gramed" nya Indo), aku melihat buku pharmacotherapy handbook edisi 10 mejeng dengan manisnya plus diskon nya. Karena yang terbaru adalah edisi 11. Jadi, yang edisi 10 nya dapat diskon sekitar 67% yak. Diskon dari 275 SAR ke 89 SAR. Kalau dirupiahkan sekitar 1jt an ke 330rb an.

Melihat ini, mata emak² modis (a.k.a modal diskon wkwkwk) langsung berbinar-binar. Ekekekeke... Tapi, enggak beli sih kala itu.

Aku punya "kenangan" dengan buku Pharmacotheraphy handbook ini. Buku ini adalah buku rujukan ketika kami kuliah plus ketika bolak balik Depok ke RSCM. Salah satu teman kami menyebutnya buku DiPiro. Akhirnya, teman seangkatan kami lebih familiar dengan nama buku DiPiro dibanding judul buku aslinya (pharmacotherapy handbook). 

Nah, ketika di Riyadh, aku melihat buku Dipiro mejeng cantik. Jadi mbatin, "Oo.. ternyata ini bentuk asli buku dipiro itu" ahahahaha... look like ndeso banget deh akunya. Tapi, dulu-dulu memang aku belum tertarik untuk memasukkan buku itu ke keranjang dan membelinya.

Nah, pas lihat diskon itu apakah aku membelinya? Jawabannya enggak! Karena memang aku merasa belum membutuhkan buku itu. Tapi bukunya jadi mengingatkan aku kembali ke masa-masa dulu.

Nah, beberapa hari ini, aku agak membutuhkan referensi di bidang kefarmasian lagi. Akhirnya, aku memutuskan untuk membawa pulang (bayar dulu di kasir tentunya kekeke) buku itu (dan juga buku farmakologi). Tapi, butuh mikir agak panjang sejujurnya sebelum aku memutuskan untuk membelinya. Karena aku ingin mepertanyakan "what the puropose ketika aku beli?", "apakah aku akan membaca keseluruhannya?", dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
○●○●○●○●
Di rumah kami, alhamdulillaah ada perpustakaan mini yang kami sebut sebagai "Our Library". Tempat baca, nulis, menggambar dan juga si Uni sekolah online. Sedangkan kakak, sekolah online di meja kerja Ayah di ruang lain karena Ayah sudah WFO lagi. Ya, meskipun case di Saudi sudah turun (dibawah 50 cases sehari) alhamdulillah ma shaa Allah tabarakallah dan vaksinasi sudah tinggi (lebih dari 60%) tapi pemerintah masih belum mengijinkan anak-anak yang dibawah 12 tahun yang belum vaksin untuk sekolah tatap muka. Jadi, anak-anak masih sekolah onlen. Dan di library adalah tempat sekolah uni. Sebenernya ruang library ini adalah 1 ruangan keluarga. Namun, aku partisi dengan rak buku anak² jadi setengah untuk library dan setengahnya lagi untuk ruang keluarga plus tempat makan lesehan bareng. Salah satu pojoknya adalah tempat bunda berkreasi (aka menjahit). Eh, jadi cerita panjang lebar kemana-mana lagi ehehe. Ah, back to topik lagi deh.

Kadang menatap buku-buku di rak itu membuat aku evaluasi diri. Sudah % berapakah buku-buku ini aku baca? Berapa persentase baca buku dibanding melihat HP? Sungguh, saat ini membaca terkalahkan dengan henpon pinter. Tetap baca sih. Tapi malah baca status atau baca timeline sosmed. Akhirnya, buku-buku jadi malah terabaikan. Astaghfirullaah. Padahal buku-buku ini akan menjadi hisab kelak di yaumil akhir. Untuk apa dibeli? Dari mana dibeli? Dan seterusnya. Lalu, apa jawabanku? 🤧🤧😰😰

Semoga ini menjadi reminder buatku terutama untuk kembali baca buku dan dapat mempertanggungjawabkan buku-buku yang aku beli dengan menuntaskan membacanya. Semoga Allah memudahkan. Aamiin yaa Rabb.

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked