Aku dan Joe [part 1]

Sudah lama sebenarnya aku ingin menceritakan kisah ini. Tapi selalu saja kendala waktu membuatku tak sempat menuliskannya. Ketika sempat pun, tiba-tiba ide menguap entah di mana langitnya. Hee... Dan saat ini, kebetulan kesempatan atawa waktu sedang bersahabat dengan mood dan didukung oleh akses internet yang mumpuni, akhirnya aku tuliskan jua kisah yang sudah lama mengendap ini... Hee...

Aku dan Joe. Pertama berkenalan dengan Joe, aku sudah merasakan sebuah 'kesesuaian' ruh itu. Hee... Ya, "arwahul junud" seperti hadits Rasulullah itu. Tampaknya, aku memang kadang-kadang cukup 'selektif' menyoal sesuatu yang dikatakan 'berkesesuaian ruh atw jiwa' ini. Jiwa-jiwa yang memilih. Dan tampaknya, ini semua adalah sesuatu yang ada di alam bawah sadarku. Jiyyaahhh.... Hee....

Satu tema yang begitu menarik untuk kami ceritakan dan kami sama-sama menyukai tema itu adalah tentang pendidikan anak. Aku sendiri memang sedari dulu menyukai hal-hal yang berbau pendidikan anak (karena memang memiliki tendensi tentang dunia pendidikan anak) dan Joe sendiri adalah ibu dari seorang anak yang masih lucu (sekaligus cerdas) dan juga sedang menekuni tentang pendidikan anak. Jadi, bersualah cerita kami. Hee....


"Eh, tau nda Thel? Meskipun anak masi berumur 9 bulan, tapi kebiasaan si ibu ditiru oleh anak loh. Misal, kamu suka makan sambil berdiri, maka jangan heran jika suatu saat kamu liyat anakmu makan sambil berdiri juga, meskipun kamu nda menyadari hal itu sebelumnya. Mungkin kamu mengira anakmu itu masi belom mengetahui atau masi belom bisa meniru. Tidaaak. Jangan salah-salah. Aku ngerasain banget hal itu terjadi sama anakku." Begitu kata Joe.
"Hah? Iyakah Joe?" Aku sebelumnya pernah mendengar/membaca hal tersebut. Tapi bukan pada anak yang 9 bulan. Lebih besar dari itu. Dan Joe sendiri sudah mempraktikannya.

Dan cerita kami pun berlanjut.
"Satu hal yang banyak terlupa, bahwa kita terlalu sering mengajarkan anak untuk mencapai sesuatu yang tidak pasti, tapi melupakan sesuatu yang pasti. Kita sering mengajarkan anak dan menggenjot mereka untuk pintar di bidang tertentu, misal matematika, tapi lupa mnegisi ruang-ruang jiwa mereka. Coba deh, kita misalnya ingin anak kita jadi dokter lalu dengan segenap upaya kita usahakan agar si anak menjadi dokter dan melupakan bahwa kita juga harus menjadikan dia sebagai anak yang shalih. Menjadi dokter bukan sesuatu yang pasti. Tapi, menjadikannya sosok yang shalih adalah sebuah keharusan. Makanya, seharusnya menjadikan anak itu shalih adalah lebih utama dari pada menjadikan dia sebagai seorang dokter terlebih dahulu. Jika ia menjadi anak yang shalih, maka ia bisa menjadi dokter kemudian. Tapi, menjadikan dia dokter terlebih dahulu, belum tentu dia akan menjadi orang yang shalih kemudian."

"Aku hanya ingin, anak-anakku nantinya hidup di lingkungan yang "sholih dari keluarga". Aku menginginkan lingkungan yang men-shalihkan. Bukan keshalihan yang didapat di lingkungan seperti aku dulu. Tidak dari keluarga."

Cerita kali ini berakhir ketika kami harus berpisah di FKM. Tapi, ada pelajaran yang bisa kupetik kali ini dari cerita Joe. Semoga juga kamu semua yah. Bahwa menjadikan mereka shalih adalah lebih penting dari pada menjadikan mereka menjadi apapun yang kita inginkan. Agar mereka shalih dari unit satuan terkecil bernama keluarga, bukan daapatan dari lingkungan yang belum tentu akan mereka peroleh...

Jazakillaah Joe...

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked