Aku dan Joe [part 2]

Masih lanjutan kisah aku dan Joe sebelumnya. Kala itu adalah minggu-minggu sebelum UAS. Joe mengajakku belajar bareng. Kala itu kami bingung memilih tempat. Akhirnya perpus pusat jadi pilihan. Kami memilih lantai empat saja. Tapi, bukannya belajar malah akhirnya kami mengobrol. Temanya masih sama. Masih seputar pendidikan anak. Hee....

"Aku di rumah nda punya waktu belajar, Thel. Soalnya kalo udah di rumah, berarti itu waktu buat anakku." Aku manggut-manggut. Yah, wajar sajalah. Itu juga hal yang penting. Teramat penting malah yang tentu saja tak bisa diabaikan begitu saja. Apalagi di umur-umur emas perkembangan sang anak. "Walau kadang aku kadang-kadang harus nyuekin anakku juga, hee... Tapi biasanya, aku nunggu anakku tidur dulu, baru aku bisa belajar."


"Tapi, ada satu hal yag memang harus kulakukan scara rutin buat anakku." Kata Joe kemudian.
"Apa?" tanyaku
"Membacakan buku apa saja buat anakku. Biasanya sudah dibikinkan jadwalnya oleh suami, jadi aku tinggal menjalankan saja."
"Waahh? Benarkah?"
"Iya. Minggu pertama, bacain bab 1, minggu kedua bab 2 dan seterusnya. Di minggu ke 4, ulangi bab 1 dan seterusnya."
"Waouwww..." Aku berseru amazing. Dalam logikaku, mengapa anak di umur 9 bulan dibacakan buku yang 'berat' semacam itu? Jangan kira buku yang dibacakan itu adalah dongeng si kancil. Tapi, buku semisal "Siroh Nabawiyah" atau "Al Wafi'" dan sejenisnya. Aku lupa judul buku yang sedang dibacakan Joe untuk anaknya. Waahh, luar biasa. Aku berdecak kagum. Sekaligus menyimpan sebersit tanda tanya. Anak umur 9 bulan dengan siroh nabawiyah? ck..ck...ck...

"Tapi jangan melulu dibacakan, Thel. Berhentilah ketika dia meresponmu. Ketika dia mengeluarkan sebuah 'kata' (atau suara) dan tertawa misalnya, kita sebagai orang tua harus merespon itu dan menanggapi dia. jadi, komunikasinya berjalan dua arah."
Waahh, pola didik yang bagus, kupikir. Dan mereka telah merancang pola didik untuk sang anak dengan begitu baiknya. Aku kagum. Sungguh.

Beberapa hari kemudian, aku menekuni bukunya Sherwood tentang fisiologis berpikir dan segala sesuatu yang berkaitan dengan otak. Dan masya Allah, aku bersua sesuatu yang menakjubkan. Bahwa, kemampuan berbahasa seorang anak bukan hanya dimulai sejak ia mulai mengeja atau meniru. Bahkan sejak baru lahir! Makanya, seorang ibu perlu menegnali jenis tangis sang anak, sebab dalam tangis ada bahasa yang sedang dia ungkapkan. Pusat bahasa sendiri itu sesungguhnya sudah berkembang sejak bayi dan didominasi oleh otak bagian kiri. JIka terjadi kerusakan di bagian kiri otak, bagian kanan dapat mengambil alih peran itu. Itulah sebabnya, penting mengajari anak berbahasa sejak mereka bayi, membacakan sesuatu yang baik-baik, sebab kemampuan berbahasa mereka mestilah sudah dirangsang semenjak mereka bayi. Maka, benarlah apa yang dilakukan Joe. Aku benar-benar terinspirasi dari cara Joe memperlakukan putrinya. Setelah membaca itu, aku langsung menelpon Joe dan memberitahukan tentang apa yang aku baca dan men-sinkronkan dengan apa yang dia lakukan.

Ah, benar...
Menjadi ibu haruslah cerdas. Dan itulah yang dilakukan Joe. Diam-diam, aku mengagumi cara Joe. Sebagaimana sedari awal aku memang mengagumi kecerdasan akhwat itu. Hee...

Aku jadi teringat suatu ketika, aku berpapasan dengan seorang ibu dan dua anaknya. Satunya masih berada di baby walker. Si anak mulai belajar bicara. Padahal sang anak itu nyeletuk sesuatu yang baik--mungkin hanya bertanya--tapi si ibunya menjawab,
"Halaaaah, itu saja lu nda tau, Bego!"
Masya Allah... Betapa tidak cerdasnya kata-kata itu. Betapa itu akan menjadi sesuatu yang tertanam di alam bawah sadarnya, bahwa ia memang bego.
Ah, sekali lagi, menjadi ibu haruslah cerdas. Sebab tentang anak-anak, sang orang tua akan dimintai pertanggungjawabannya (bukan hanya soal materi di dunia) tapi juga tentang men-shalihkan mereka, yang pertanggungjawabannya sampai ke akhirat sana.
Allahu'alam...

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked