Sop dan Merica


Ini sebenarnya kisah lucu yang aku dan Dewi alami. Pasca ‘tumbang’ beberapa hari yang lalu, aku kepingiiiin banget makan sop. Pokonya pengiiin makan sop! Heuu… Karena kita (aku dan Dewi) sudah memutuskan untuk selalu memasak (kaya masih di wisma dulunya), maka aku juga tak ingin membeli sop di luaran. Jadi, siang itu sepulang kuliah, aku putuskan untuk mampir di hypermart dulu, beli bahan-bahan buat sopnya. Lalu istirahat bentar dan mulai memasak sop.

Nah, waktu ngulek merica, aku sebenarnya sudah menyadari kalau merica nya kebanyakan. Tapii, aku pikir, “aihh, sudah cape-cape aku ngulek ini merica, sayang banget kalo dibuang. Mending aku masukin ajah semua kali yaah. Masalah pedes, urusan belakangan ajah aahh…”. Dan tarraaa jadilah aku masukin mericanya (yang sedari semula sudah sadar kalo itu kebanyakaaan…haha). Selain bikin sop, juga ada “Sambalado Uwok”. Sambalado uwok adalah sambalado favoritku. Meski pun aku sering bikin sambalado tanak, tapi sambalado uwok tetep nomor satuu. Apalagi buatan ibuuu. Hehe… Sambalado plus tomat dan teri. Hummm…nyummmmiiyy bangeeett… Dan kloplah sudah, semangkuk sop plus sepiring sambalado Uwok. Itu menu makan malam kitaaa. Hehe…

Seperti yang aku duga, sop itu ditambah si sambalado, jadi dueett mautt yang pedessnya luar biasaaa. Huwaaahhh… Tapiii, pedes-pedes begituuu tetep ajah demen yak? Haha, makluum anak kos! Mesti ngirit! Hihi… Dewi saja yang memang suka pedasss, sampai “Huhaaa..huhaaa….” bangeet saking pedasnyaa. Apalagi aku yang memang tak terlalu suka pedas. Yang bahkan sering diledekin, “ehh, kamu ituu orang Padang nda sihh? Ko nda suka pedess?” haha…  Aku jadi kaya nangisss saking kepedesannyaaa. Aku memang nda suka pedes, tapii aku juga nda suka maniss. Aku nda suka makanan yang ber-kecap juga ko. Kan masih Padang kan yaahh? Hee (Heuu, ko jadi rasis begini sihhh?? Hihi. Tapii, tetep ajah ras menjadi salah satu asesement dalam penilaian riwayat pengobatan pasien kan yah? Itu tandanya ras sebenearnya memberikan kontribusiii yang cukup besuaarr. #apasih, nda nyambung! Ahaha).

Sebenernya, ada pelajaran yang aku petik dari kisah lucu itu. (haha, nda terlalu lucu siih. Tapi bagi aku dan Dewi, ini lucu bangeeett soalnya kita nyantap sop dan sambalado nya sambil ketawa-ketawa). Tentang memilih dan prioritas. Sebenarnya aku punya kesempatan untuk  “memilih mengurangi mericanya meski sudah cape ngulek , atau memilih untuk kepedesan nantinya.” Tapi, aku memilih pilihan kedua. Biarlah kepedesan, dari pada saying harus dibuang mericanya, dan lebih saying lagi tenaga dan energy yang dihabiskan untuk ngulek. Apalagi aku habis tumbang. Jadii, berharga sekali rasanya tenaga yang aku keluarkan. Hihihi… (perhitungan amat sih?? Haha…).

Dalam hidup, kita juga sering dihadapkan dengan berbagai pilihan. Dan setiap pilihan punya konsekuensi masing-masing. Tapi, sering kali (aku barang kali) menyayangkan sesuatu yang sebenarnya kecil, untuk kemudian mengorbankan hal-hal besar. Seperti halnya merica di atas. Jika saja aku bersedia untuk tidak terlalu saying sama tenaga yang aku keluarkan, mungkin aku sudah dapat menikmati sop enaak tanpa pedes kan yah (haha, PD bangettt sop nya enak yaahh?? Haha… Tapiii emang enak kooo, meski nda pake pelezaat. Soalnya dari sononya udah enak. Hahaha…. Kamu Mauu??? Haha… Narsis Mode ON. Padahal nda gituuu jugaaahh. Maaff yaah becandanya berlebihan banget. Hee…).

Back to topic. Yah, memang, kadang kita gagap dalam menentukan prioritas hidup. Menyayangkan hal-hal kecil untuk kemudian mengorbankan hal-hal besar. Padahal, jika saja kita bersedia sedikit mengorbankan hal-hal kecil itu, mungkin kita akan mendapatkan hal-hal besar di kemudiannya. Lagi-lagi, ini kembali kepada bagaimana kita memenej prioritas dalam hidup. Sejujurnya, aku memang gagap soal ini. Terkadang, aku lebih menyenangi melakukan sesuatu yang aku senangi ketimbang sesuatu yang harus aku lakukan. Tapi, aku sedang belajar memenej ini semua. Belajar untuk mendahulukan hal yang penting dan prioritas dari pada hanya sekedar mengikuti apa yang aku senangi belaka. Kadang, aku terlalu mentolerir diri. Dan bukankah terlalu gampang mentolerir diri justru terkadang menyeret kita pada kelalaian yang istimoror. Kalau sudah istimror, hadeuuuhh…merubahnya susaah. Makanyaaaa, yang perlu di-istimror-kan itu adalah habit yang baikkk, Fatheeeeel! Heuu…
(Baiklaaahh, fightiiiiiiiiiiiiiiiing! Semangaaattt! Ganbatte ne! Hamasah! Keep moving forward!).

Tentang prioritas ini juga. Sebenarnya, sebanyak apa yang mendukung untuk melanjutkan studi, maka sebanyak itu pula yang menyayangkannya. Ngapain siih sekolah lagiii? Kamu kan perempuaan. Ngapain juga sekolah tinggi-tinggiii, jika pada akhirnya juga tetep dapur sebagai markaz nya. Hee… Tapii, saat ini mungkin aku sedang belajar untuk mengorbankan hal ‘kecil’ untuk sesuatu yang aku sebut prioritas itu. Hee… Sebab, jika pun tetap ‘dapur sebagai marqaz’, bukan berarti sekolah lagi itu lantas kemudian mengalihkan peran kita dan kemudian merasa lebih tinggi, bukan? Ah, tidak! Tidak begitu adanya bagiku. Sebab peran tetaplah sebuah peran yang memang tergeletak pada posisi yang seharusnya. Ya, posisi yang seharusnya. Tapi, banyak orang yang kemudian paranoid dengan ini semua. Aku bisa merasakan itu. Tapii, sekali lagi, pada prinsipnya, ini hanyalah menyoal bagaimana kita meletakkan sesuatu pada tempatnya, pada sesuatu yang seharusnya. Untuk itu, sekolah lagi, bukanlah sebuah halangan untuk tetap pada peran yang seharusnya, dan tentu saja ini bukan sebuah tiket untuk mendapatkan posisi tinggi ketika peran kita memang harus begitu…
(haha, geje yah? Sudahlah… bahkan aku pun tak begitu mengerti dengan ceracauku kali ini. Hihih…).

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked