Tumis Entah Apa Namanya :D

Pagi yang cerah, ba'da subuh, aku sudah stay di depan netbuk. Mulai mengetikkan huruf demi huruf yang memuat persenyawaan multimedia (animasi) dan farmasi, hehe, maksudnya: tesis. Sekalian searching beberapa tools patient education gituuhh, karena topik yang aku angkat kali ini bukan berbasis laboratorium dan formulasi obat (sebagaimana gambaran umum masyarakat tentang farmasi), tapi lebih ke masyarakat.Tak sadar, ternyata jarum jam sudah menunjukkan angka tujuh dan alhamdulillaah batrai netbuknya sudah low juga sehingga mesti di-cas. Baguslah. Jadi, ga ngetem terus di depan laptop. Hihi. Abisnya, kalo udah fokus, kadang aku juga suka lupa waktu :(


Nah, karena sudah nyanyi keroncong nih perut dan memang harus masak dulu untuk bisa makan, dengan semangat '45, aku ke warung Bu Dhe', satu-satunya warung di dekat kosan yang menjual berbagai keperluan bahan mentah untuk masak-memasak. Karena satu-satunya,--selain tukang sayur yang biasa lewat--, maka warung Bu Dhe' adalah warung langganan. Ude apal tuuh si Bu Dhe'nya sama kita-kita anak kosan. Hihi. Saking apalnya, Bu Dhe selalu tanya, "beli bawangnya seribu apa dua ribu?", karena kita jarang belinya dalam ukuran satuan saentifik (halaah,apa-apaan ini istilahnya, hihi ;D), maksudnya dalam ons, saparapat, apalagi satuan kilogram. Jadi, satuan yang sering kita pake adalah "Seribu bawang, dua ribu cabe merah, tiga ribu tahu". Hehe.

Sepanjang jalan, aku udah nge-skedulin kalo nanti aku mau beli A, B, C dan seterusnya. Ya, yang standar-standar ajah, paling goreng tahu plus ebi and telor balado ama sayur bening. Maklum, anak kosan. Hehe. Tapi, pas nyampe di Bu Dhe, ternyata warungnya tutup. Yaahh... :( . Mana tukang sayur yang biasa lewat juga kaga keliatan batang idungnya (tapi kalo batang idungnya doang yang keliatan juga bakalan serem banget yah? hihi... :D). Ohh iyaa, aku baru ingeet... semalem itu berisiiiiikkk bangeeett bunyi kembang api cetar membahana dan suara terompet. -_-" . Padahal aku kan ndak ikutan tahun baruan. Tapi kenak dampaknya juga rupanya. Puncaknya midnight dan ampe jam 3.30 itu masi ajah berisik. Gangguin tidurr ajah niih. :(. Udah gituu, karena (katanya tahun baru) stock di warung-warung juga kaga ada. Ckckck...

Akhirnya, aku cuma bisa bawa pulang satu kaleng kecil sarden dan se-kresek telor, dari warung bang Ucok yang preferednya lebih ke warung grosir yang jualan kue-kuean, roti-rotian, teh-teh-an, kopi-kopian, beras-berasan, aqua, humm apa lagi yah (masa' aku sebutin semua dagangannya bang Ucok?? hihi :D), tapi tidak available bahan mentah seperti warung Bu Dhe. Hemm....Lumayanlah. Alhamdulillah.

Di kosan, aku ngubek-ngubek isi kulkas kosan, berharap masih ada sesuatu yang available. Aku cuma nemu satu wortel dan kira-kira setengah ons buncis sisa belanjaan kemarin-kemarin. Itu doang. Tak ada bawang, merah maupun putih. Tak ada cabe. Dan minyak goreng yang sudah sekarat (ampir abis), sekaligus gas yang sudah mendekati batas empty. Waduuhh, semuanya serba minimalis. Serba kaga ada. Coba deh, apa yang kamu pikirkan dan apa idenya jika yang tersedia itu hanya wortel 1 buah, buncis setengah ons, garam, telur dan sarden serta minyak goreng yang hanya sekitar 2 sendok makan saja? Bingung kaaan? Mau dibikin apah niiihh? Kebayang ndak, jika sarden dicampur telur, campur wortel dan buncis? Heheuu... *nguing-nguiing.
Kalo mau nge-goreng sardennya, minyaknya cuma cukup buat tumis doang. Kalo sardennya kaga dimasak dan cuma diangetin doang itu bakalan amis. Sambil ngiris-ngiris wortel dan buncisnya, aku muter akal, "mau dibikin apa nih yaahh dengan bahan seadanya dan kaga cukup kaya gini?". Alhamdulillaah, kemudian Atul masih punya dua siung bawang merah dan satu siung bawang putih serta dua buah cabe yang disumbangkan ke aku. Hehe.  Smoga Allah balasi kebaikan Atul.

Akhirnya, dengan keterbatasan dan segala yang serba kurang ini, ada ide juga. Ahaaaa.... *Blink! "Gimana kalo semua dicampur jadi satu ajah?" itu idenya. Hoho. Sukses atau tidaknya, mungkin ini tergantung bagaimana meraciknya. Soalnya, seumur-umur, aku tak pernah memadukan buncis dan wortel dengan sarden apalagi ditambahin telor. Hihi :D. Aku bismillaah ajah. Enak gak enak, sukses gak sukses, insya Allah bakalan abis. Kan lapeerrr judulnyaa. Hihi :P. Dan prosesi masak-memasak pun dimulai. Tina ampe ngakak abis mendengar ideku untuk mencampurkan semua bahan itu jadi satu. Hihi... Pada mulanya, sama seperti Tina, aku pikir juga gak masuk akal. Hehe. Tapi berkat 'ide' itu, aku pikir, masuk akal jugaa mencampurkan semuanya dengan teknik tertentu barang kali, gak sekaligus dicampurin jadi satu. Hehe.

Tanpa berbagi resepnya ke sahabat Bloggie sekalian dan tanpa memperpanjang mukaddimah tulisan ini yang dari tadi udaah panjaaang sangat, alhamdulillaah Tumis Entah Apa Namanya ini jadi jugaaa. Mari kita namakan "Tumis Entah Apa Namanya" hihi :D. Dan alhamdulillaah setelah di-icip-icip, taste nya juga lumayanlah. Lumayan untuk orang yang lagi lapeeerr. Hehe. Menurut pengakuan sebagian orang sih, alhamdulillaah gak mengecewakan. *Gak PD juga bilang enak. Tapi aku batambuah juga loooh makannya. Mungkin bukan karena enaknya, tapi efek laperr kali yah? Wkwkwk...

Ini niih, hasilnyaaa. Tarraaaaaaa.....
Tumis Entah Apa Namanya :D
Hemm... Sebenarnya bukan prosesi masak-memasaknya yang menjadi poin aku kali ini. Tapi mukaddimahnya puanjaaang bener yak? Heuu...
Aku cuma pengen berbagi pelajaran dari kisah ini saja.

Hemm...begini. Di banyak waktu, kekurangan yang kita punya, keterbatasan yang kita punya, sering membuat kita merasa down dan merasa tak sanggup untuk melakukan sesuatu yang katakanlah spektakuler. Berdalih "Aku kan tidak bisa ini, kurang pinter itu, IPK-ku kecil, modal yang aku punya sedikit, kayanya aku gak bisa deeh melakukan dan menghasilkan sesuatu". Atau, kalimat pesimis, "dengan aku yang segini doang, kayanya kaga mungkin deh aku bisa berbuat lebih banyak". Kalimat putus asa semisal, "Aahh, gak mungkin deh. Gak mungkin. Coba lihat. Yang kita punya apa sih? masa harus bermimpi besar melakukan hal-hal besar, padahal yang kita punya hanyalah segini?". Kekurangan dan keterbatasan, membuat kita merasa lemah, putus asa dan merasa takkan bisa berbuat apa-apa. Lalu, tanpa kita sadari, mungkin kita membanding-bandingkan dan mengukur diri dengan orang lain, "waah, kalo aku seperti si A yang punya ini dan itu, pasti aku bisa berbuat lebih banyak." Padahal, boleh jadi saja A itu pada mulanya juga tak memiliki apa-apa tapi dia menyikapi hidup dengan cara pandang yang berbeda.

Sesungguhnya, dengan keterbatasan dan kekurangan yang kita miliki, justru itu menjadi sebuah potensi besar, apalagi dalam kerja amal jama'i. Ya, ini menyoal merubah kekurangan dan keterbatasan menjadi sebuah potensi. Sama seperti prosesi memasak di atas. Mungkin dengan bahan yang serba kurang dan minimalis, di banyak waktu kita lebih cendrung untuk undur diri dan memilih tidak usah memasak saja, beli di warung jadi saja misalnya. Tapi, jika kita mau, kita bisa meramu dan mengubah keterbatasan dan kekurangan itu menjadi sesuatu yang berdaya guna semisal Tumis Entah Apa Namanya itu. Heuu.... Tanpa kekurangan dan keterbatasan itu, mungkin kita takkan pernah berpikir untuk membuat tumis yang tak pernah dibuat oleh orang lain. Katakanlah tumis ini bukanlah sesuatu yang spektakuler, tapi ia menjadi sesuatu yang ada ketika sebelumnya tak pernah kita pikirkan.

Keterbatasan dan kekurangan itu akan menjadikan kita lebih potensial dari pada kita pada zona nyaman, pada sesuatu yang serba ada. Keterbatasan dan kekurangan itu membuat kita lebih kreatif dalam menyelesaikan sebuah persoalan. Kata Dewi, Kincia-kincia labiah jalan katiko kekurangan kaya giko. Hehe. Ya, keterbatasan dan kekurangan membuat kita lebih bijaksana dalam menyikapi hidup. Keterbatasan dan kekurangan akan membuat kita lebih mengerti makna kesyukuran, bahwa karunia-Nya sangatlah banyak pada diri kita dan bukan sebuah keniscayaan belaka yang memang seharusnya begitu adanya.
Begitulah, bahwa kekurangan dan keterbatasan itu sebenarnya adalah sesuatu yang membuat kita lebih potensial. Makanya, aku justru lebih mengagumi orang-orang yang perjuangan hidupnya susah luar biasa dan ia terlahir menjadi sosok-sosok tangguh, ketimbang orang-orang yang 'tinggal enak' saja tanpa perlu berpeluh payah.

Smoga ini menjadi pelajaran bagiku terutama, semoga juga bagimu semua, agar kita tak menyerah di saat-saat serba terbatas dan susah. Agar kita memandang kekurangan dan keterbatasan itu sebagai sebuah potensi bukan penghalang jalan menuju suksesnya kita, dunia dan akhirat. Ini benar-benar peringatan dan pengingat buat diriku, yang mungkin kadang suka berkeluh kesah. Astaghfirullaah...

Sekian kisah Tumis Entah Apa Namanya ini. Aku mau lanjutin metodologi penelitian yang merupakan persenyawaan dunia farmasi dan multimedia dulu yaaahh. Mohon do'anya agar Allah mudahkan. Sangat berharap bisa lulus tepat waktu. Smoga tidak ada kendala yang berarti. Jika pun ada kendala, semoga kendalanya itu serta keterbatasannya menjadikan sesuatu yang potensial dan memiliki nilai bagiku sendiri, bagi ilmu ini terutama. ^__^

2 comments:

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked