Kufr wal Faqr


Perjalanan ke dan dari arah Grogol-Slipi (sebenarnya untuk urusan akademis) pada saat Jakarta dilanda banjir besar kemarin meninggalkan sesuatu pelajaran berharga bagiku. Sebenarnya, bukan perjalanannya, dan hal ini sebenarnya sudah disadari dari kemarin-kemarin. Tapi, perjalanan (yang cukup dramatis itu) semakin memperkuat keresahan dan kesedihan di hati tentang sesuatu yang besar ini. Sesuatu yang begitu berat untuk dituliskan sebenarnya. Sesuatu yang membuat kita harus dan bahkan wajib men-syukuri betapa nikmatnya berislam dan wajib memohon pada-Nya agar ditetapkan dalam keislaman. Sesuatu yang begitu menampar wajah ini tentang keberadaan kita saat hal besar itu sedang dipertaruhkan. Allahu akbar! Subhanallaah… Sungguh, ini adalah sesuatu yang berat.
Mungkin sudah banyak kita mendengar kisah-kisah orang-orang yang rela menukar sesuatu amat mahal harganya yaitu akidah hanya dengan sekarung beras, bahkan hanya dengan sekotak nasi rames. Na’udzubillaah… Adalah ketetapan-Nya ketika rizqi itu disempitkan bagi mereka. Kesulitan ekonomi, tuntutan fisiologis untuk bisa makan di saat kelaparan yang amat sangat, dan fondasi akidah yang mungkin saja lemah dan di saat sulit itu datanglah orang lain yang memberikan apa yang dimaui dengan syarat penukaran akidah, maka serta-merta diterima. Mungkin kita dengan zona nyamannya kita merasa pongah berkata, “Masa hanya demi sekarung beras saja rela menukar akidah?”. Tapi, kita mungkin hanya bisa berkata tapi tak pernah benar-benar berada di kondisi itu. Dan perjalanan itu, membuat aku jadi mengerti, tentang ‘ranah hati’ yang mereka sentuh. Sungguh, seharusnya KITA lah yang melakukannya. Dan itulah PR nya kita. Saat mereka datang dengan segala ‘kebaikan’ mereka (dan kebaikan itu adalah sesuatu yang universal yang pasti akan menyentuh sisi hati yang dalam), maka di manakah kita, yang seharusnya LEBIH HARUS dan LEBIH BERTANGGUNGJAWAB atas saudara-saudara kita tersebut?! Pertanyaan ini sedang kutujukan untuk diriku sendiri, dan sungguh aku merasa sangat tertampar dengan pertanyaan itu…

Semoga Allah senantiasa lindungi kita dari KEFAQIRAN dan KEKAFIRAN…
Allahumma inna na’udzubika minal kufri wal faqri…
Dan semoga kita, menjadi lebih ‘peduli’ dan berkontribusi (sesedikit apapun itu, sebisa apa yang kita punya dengan harta atau yang lainnya) dalam upaya menyelamatkan kefakiran yang menjadi jalan menuju kekafiran ini. Smoga…

*Sungguh, aku ngeri menuliskan ini. Tapi aku hanya sedang ‘menampar’ diri sendiri.
Sungguh bersedih dengan fenomena itu ( ini bukanlah cerita ketika banjir Jakarta, hanya menjadi penyadaran bagiku saat banjir melanda), dan yang lebih menyedihkan…ketika kita (aku terutama) belumlah dapat berbuat apa-apa… Smoga, apapun yang bisa kita kontribusikan, smoga kita menjadi bagin darinya…

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked