Living in Riyadh [part 24]: Tentang Sekolah TK

Kakak Aafiya and her letter book
Masih soal cerita si kakak. Maklum lagi hits di ImoreFamily... Ekekekeke.

Pada awalnya, aku sedikit 'suudzan' dengan sekolah-sekolah di sini. Di mana, anak TK aja bawa tas ke sekolah itu udah kayak bawa koper. Pakek roda itu tas sekolah. Ga kuat anaknya harus ngangkut banyaaak buku. Aku aja bawain tas Aafiya serasa miring bahuku sebelah saking beratnya tas sekolah kakak. Jadi, mesti kayak koper gitu tas sekolahnya. Anak TK, tapi pelajarannya segitunya! Udah belajar Sains (belajar IPA kalau di kita) dan Bahasa Asing segala (bahasa Prancis) karena bahasa pengantarnya sendiri adalah bahasa Inggris dan juga masih dominan bahasa Arabnya apalagi kalau kakak main sama temannya. 'Suudzan' nya aku adalah ... kenapa soal akademis doang yang dikejar dan anak yang masih dalam tahap bermain itu dibebankan segitu banyak mata pelajaran? Harusnya TK kan masanya hepi-hepi. Masa pembentukan karakter.

Tapiii, suudzan aku ini terbantahkan 100% ketika ada parent meeting kemarin. Jika ada istilah parent meeting, dalam bayanganku yaa nanti para ortu duduk di aula gitu trus dengerin gurunya cuap-cuap. Di Indonesia dulu kalau ada pertemuan wali murid juga gitu kan yaa. Wali murid dengerin gurunya ngomong tapi rame-rame gituh. Komunikasi berjalan 1 arah. Tapii, ternyata parent meeting di sini berbeda sangat! Yang dimaksud parent meeting adalah guru dan walimurid ngomong 4 mata. Jadi, ada antrian gitu buat ngomong dengan gurunya, walikelasnya. Pertemuannya yaa pertemuan untuk melaporkan perkembangan anak, apa masalah yang dihadapi dan apa solusinya. Personal. Fokus ke anak kita saja. Hanya berdua antara walimurid dan guru. Aku sungguh terkesan. Gurunya ramah ma shaa Allah. Bahkan walimurid dijamu dengan minuman dan makanan, ma shaa Allah...

Jadiii, ternyata bukan soal akademis saja yang diutamakan. Banyak pengembangan karakter yang juga digenjot. Poin penilaian guru bukan saja soal anak bisa nangkep pelajaran atau enggak tapi dalam banyak hal. Misal, apakah anak mau membantu temannya. Apakah anak mau sharing dengan temannya. Apakah anak mau belajar untuk rapi dan bersih di tempat duduknya. Apakah anak bisa mengikuti rule yang sudah dibuat. Bagaimana anak bisa lebih PD. Dan lain sebagainya. Anak juga diajarkan do'a, menghafal al Qur'an yang dimulai dari al fatihah terus ke juz 30 (dari belakang). Gurunya juga banyak. Untuk pelajaran agama-hafalan-bahasa Arab lain gurunya. Olahraga lain gurunya. Bahasa prancis lain gurunya. Tapii tetap ada homeroom teacher. Kalau di kita wali kelas kayaknya yaa...

"I'm her mommy in the school. So, the problem that's happen or something need to encourage, it's our task. Both side. Parent and teacher. Not only me. But also parent." Kata gurunya. Mengayomi banget gurunya ma shaa Allah. Bu gurunya menjelaskan pentingnya sinergi antara guru dan orang tua karena ini tugas bersama. Ga bisa sertamerta diserahkan 100% ke gurunya saja. Totally true, bu Guru! Can't agree anymore.

Bu gurunya juga sangat welcome. "Apapun yang menjadi masalah, please ceritakan ke saya. Jangan ragu dan malu untuk menceritakan masalah sekecil apapun." Waah ma shaa Allah... Senang banget gurunya sangat terbuka begitu. Dalam pertemuan tersebut bu Guru menyampaikan apa saja capaian Aafiya dan juga apa yang mesti digenjot lagi. Apa yang mesti disupport orang tua di rumah. Dan terakhir ditawarin teh dan juga camilan. Enak banget, hehehehe.

Kalau di Indonesia, guru dan murid berjilbab. Tapi di sini tidak lho. Guru-gurunya ga berjilbab lho kalau ngajar. Begitu juga dengan muridnya. Ini perbedaan kultur antara di Indo dengan di sini. Murid-muridnya juga ga berjilbab deh. Hehehe. Tapi, sekali keluar ... langsung semuanya serba tertutup.
Kadang orang berpikir, masak di negara Arab sendiri malah ga berjilbab ke sekolah. Sedangkan di Indo saja anak TK banyak yang sudah pakai jilbab ke sekolah. Aafiya sendiri juga kalau ke sekolah ga pakek jilbab. Kalau di luar sekolah (misal ke mall, ke supermarket, ke taman dll) baru deh belajar pakai jilbab lagi.

Mengapa begitu? Jadii, kalau di sini area untuk perempuan itu benar-benar private. Tidak boleh satupun laki-laki masuk. Segala urusan sekolah harus diurus oleh ibu. Makanya di dalam kelas para guru bebas ga berjilbab. Bahkan modis² dan cantik-cantik, pada make up an deh, tetapi tetap sopan (mengenakan rok panjang dan kemeja panjang). Kalau di Indonesia, fungsi gamis yaa buat pakaian ke manapun kan yaa. Dalemnya ya langsung daleman atau kaos pendek. Kalau di sini, Abaya cuma pakaian luar, sebagai penutup. Plus tarha dan cadarnya. Tapiii, ketika sudah di area khusus perempuan, abayanya dilepas. Terjawab sudah keherananku kenapa rok dan juga kemeja perempuan laku terjual. Kalau dipikir-pikir toh mereka keluar rumah pakai abaya juga koq, apa gunanya beli kemeja dan rok lagi. Begitu pikirku sebelum ini. Tapi, selama ini aku hanya melihat dari sisi terluar saja. Hehe.

Cerita ini hanya sekedar sharing. Hanya sekedar berbagi cerita sajaa. Yang jelas setiap pendidikan di tiap negara punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bukan berarti di sini jauh lebih baik. Tidak. Sama sekali tidak. Dan bukan berarti pula di Indonesia juga jauh lebih baik. Masing-masing punya plus dan minusnya. Kayak di Indonesia misalnya. Anak-anak TK memang masanya happy-happy an, ga dibebankan pelajaran yang macam-macam. Aku setuju banget yang begini niiih. Kalau di sini, pelajarannya udah banyak. Emaknya aja kadang sampai pusing ga ngerti PR anak TK, instruksinya apa nih. Hehe. Tapi, mungkin saja dikemas dengan cara yang menarik sehingga bagi anak-anak TK itu bukan pelajaran yang berat. Di Australia malah anak kelas 5 SD ga dibebankan PR sama sekali. TK nya aja cuma main-main doang, ga ada pelajaran beratnya. Entahlaah mana yang terbaik, aku juga tidak tau karena aku bukan pakar pendidikan anak usia dini. Hehehehe...


(In shaa Allah bersambung ke postingan berikutnya).

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked